Rasa pening luar biasa menghampiri Savana saat ia membuka matanya. Jelas ia tau apa penyebabnya. Matanya sedikit buram dengan pencahayaan minim, harusnya dia berada di kamarnya... tapi,
"Aku dimana?"
Savana tersadar bahwa ia sedang tidak di kamarnya, dan dia juga bukan hanya pening tapi badannya remuk juga, tapi itu hal biasa karena dia sering jatuh ke lantai jika tidur di kasur yang tinggi, terlebih saat mabuk.
Saat menoleh ke arah ranjang Savana melihat punggung seseorang yang sudah di pastikan pria.
Tunggu! Tunggu! Dia tidak melakukan hal bodoh kan saat mabuk? Savana melihat ke seluruh badannya yang masih terpasang dress hitam semalam, itu sedikit membuatnya tenang.
Dia tidak bodoh dengan berteriak dan langsung menyalahkan pria yang tengah tidur itu seperti di flm-flm. Mungkin pria itu menolongnya, sebagai ucapan terimakasih.... apakah Savana harus membuatkannya sarapan?
"Okey.... mari kita bergelut dengan dapur!" Serunya tanpa ragu dan bersemangat, entahlah Savana juga tidak tau apa yang dirinya lakukan.
Saat sampai dapur Savana menatap horor semua peralatan yang tertata rapih itu, jujur terakhir kali dia masak gadis itu hampir membakar dapur di mansionnya. Tapi Savana yakin ia bisa sekedar membuat telor mata sapi.
Langkah pertama Savana mengambil dua butir telur, lalu ia pecahkan dengan teplon yang sudah berisikan minyak dan.... sedikit mengebul. Suara percikan minyak membuat Savana kaget dan sedikit menjauh, dengan tangan yang memegang tutup panci untuk menghalangi cipratan minyak ke wajahnya, sedangkan yang satunya lagi terulur untuk mematikan kompor.
Saat di angkat.... ternyata gosong.
"Ini baru percobaan pertama." Ucap Savana meyakinkan dirinya bahwa ia bisa memasak telor mata sapi.
Percobaan kedua, Savana mengambil telur yang satunya dan memecahkannya di teplon, kali ini ia sengaja tidak menyalakan kompor dulu dan dalam keadaan minyak dingin, mungkin itu akan lebih baik. Dan langkah selanjutnya ia menyalakan kompor lagi tapi kali ini dengan api sangat kecil.
"YEAYY!!! Aku bisa membuat telor mata sapi!!" Pekiknya girang karena akhirnya berhasil juga.
Untung saja ia memiliki otak pintar jadi seenggaknya ia berfikir dan hanya gagal sekali, sungguh Savana merasa memenangkan Award dengan nominasi fantasis. Toh di kalangan seumurannya dan teman-temannya sangat tidak aneh bahwa tidak bisa memasak, dan ini bisa di pamerkan saat nanti mereka bertemu.
Setelah menaruhnya di piring Savana memberi lada dan garam sedikit, lalu menyiaplannya di meja makan lalu ia menuangkan susu putih ke dalam gelas dan menaruhnya di meja.
"Selesai!!" Savana menepuk-nepuk tangannya bangga.
Saat dia berbalik ke dapur dia menutup mulutnya lebay, itu.... sangat berantakan. Baiklah ia harus merapihkannya, entahlah ia sangat anti dengan pekerjaan rumah ataupun memasak tapi kali ini, seperti ada yang menggeraknnya bahkan ia bisa tidak bisa dia paksakan untuk bisa.
Savana tidak mencuci piring hanya menumpuknya saja di wastafel, seenggaknya dapurnya tidak terlalu berantakan. Matanya teralihkan dengan telur mata sapi pertama yang gagal, "sayang sekali kalo di buang." Savana memperhatikannya lamat-lamat hingga akhirnya menyuapkannya ke dalam mulutnya.
"Not bad." Seru Savana dengan raut wajah bangga, tidak pahit sama sekali di bagian yang gosoang hanya saja pinggirannya sangat garing.
"Ekhem..." Savana langsung berbalik badan saat mendengar dehaman seseorang.
'God! Apa dia bukan manusia? Jika bukan mengapa dari ujung kepala hingga kaki pria yang berjarak beberapa meter dariku sangat sempurna.' Pekik hatinnya meronta. Memang Savana sangat lemah dengan spesies yang namanya cogan.
Mungkin kalian akan berfikir bahwa wanita itu berlebihan, tapi sungguh pria di depannya ini telah berhasil mencuri perhatiannya.
"Apa yang kau lakukan disana?" Savana mengerjap beberapa kali untuk menyadarkan dirinya, bahkan ia tak sadar bahwa pria itu sudah berada di dekatnya.
"A-aku membuatkan mu sarapan.... ekhem! Anggap saja itu ucapan terimakasih ku karena kau membantu ku semalam." Seru Savana dengan gugup dan malu-malu ia merasa terintimidasi dengan tatapan pria itu.
"Terimakasih kembali. Jujur saja kau sangat merepotkan dan sangat tak tahu malu." Ucap Aiden santai ia duduk dan menatap sarapannya.
Disisi lain Savana mengepalkan tangannya, kesal melihat pria di depannya itu terlihat santai padahal ia rasa ia sudah cukup baik memperlakukannya sedari tadi.
Sabar, tahan emosi. Ia harus ingat bahwa pria itu sudah membantunya.
Mereka memakan sarapannya dalam diam. Aiden tidak suka kebisingan sedangkan Savana malas bicara karena Aiden ternyata sangat membosankan. Percuma tampan, tapi minus di kenyamanan.
Kriet.
Savana mendorong kursi ke belakang, Aiden meliriknya sebentar. Hanya sekilas setelah itu ia kembali memakan sarapannya.
"Aku sudah selesai sarapan. Sekali lagi terimakasih sudah berbaik hati membantu ku semalam, dan maaf karena telah merepotkan mu. Di lain waktu jika kau merasa kesusahan boleh meminta bantuan ku." Savana menunduk kecil dengan sopan. Lalu ia beranjak dari meja pantry tanpa menunggu jawaban Aiden.
"Ekhem. Aku tidak punya nomor ponsel mu, if you know." Savana menoleh saat lawan bicaranya itu bersuara. Ia kira akan tetap diam hingga dunia runtuh.
Savana mendengus kecil, lalu merogoh tasnya mencari sesuatu. "Ini kartu nama saya. Pak Penolong bisa hubungi saya kapan saja. Sekian, terima kasih." Savana sedikit menekan setiap katanya sembari menyerahkan kartu kecil. Kartu namanya.
Tak ingin berlama-lama dengan manusia yang sok dingin itu, Savana beranjak cepat sebelum manusia itu bersuara lagi.
****
Ting!
Pintu lift terbuka, Savana sedikit membenarkan syal berbulunya. Kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya. Muka tanpa polesan make up ia biarkan begitu saja. Bukan ingin menunjukan bahwa dirinya sedang dalam keadaan tidak baik, hanya saja terlalu malas untuk mandi dan ber- make up.
Ia butuh ketenangan tanpa beban apapun.
"Dia Savana Valerie itu kan, yang sedang ramai di berita."
Savana sedikit melirik ke arah dua orang perempuan dengan seragam rapih. Sepertinya mereka pekerja kantoran. Jelas ia mendengar apa yang dia katakan barusan.
"Benar Saya Savana Valerie, ada masalah dengan saya?" Savana sedikit menurunkan kacamata hitamnya.
Dua perempuan itu sedikit kaget saat melihat Savana yang mereka bicarakan ada disana.
"Maaf aku hanya bicara so'al berita di televisi yang tadi aku lihat." Ujar wanita berbaju pink dengan raut wajah tak enak.
Savana sedikit mengernyit bingung, "saya? Di televisi? Berita? Kenapa saya ada di berita?" Tanya Savana beruntun.
Mereka berdua gelagapan takut salah bicara, mereka tau Savana Valerie itu siapa, apalagi mengingat marganya yang jarang sekali wanita itu tambahkan tapi tetap saja mereka tau bahwa wanita di depannya itu putri tunggal keluarga Akcrecama.
"Maaf sepertinya anda harus mengaktifkan ponsel." Seru perempuan yang memakai baju biru.
"Ah... ya aku belum melihat ponsel sedari semalam." Seru Savana, ia malas menyentuhnya, karena isi ponselanya banyak sekali kenangan dengan Arka.
Dua perempuan itu menjerit dalam hati, 'pantas saja tak tau apa-apa'.
*****
Prita menatap layar monitor yang menampilkan seluruh ruangan pesta yang di datangi oleh Aiden. Matanya menajam- berkilat marah saat Aiden dengan mesra mengajak Savana berdansa.Tangannya mengepal. Puk!Dengan kasar Prita menutup laptopnya. Ini tak bisa di biarkan. Ia harus bergerak cepat. Sebelum benar-benar pergi dari kamar hotelnya. Prita membawa buku catatannya.Sembari berjalan, Prita membuka bukunya. Membaca deretan nama dan juga profile yang di sertakan.Telunjuknya mengarah ke salah satu foto, sekertaris ya?? Menarik. Prita menutup bukunya dengan seringaian di wajahnya. Tangan yang satunya merogoh ponselnya dan mendial nomor seseorang."Diego Dwinarta. Cari apapun yang berkaitan dengannya. Secepatnya!"'Laksanakan!' Balas seseorang di sebrang sana.Setelah masuk lift, Prita menatap pantulannya di cermin yang menjadi salah satu tembok lift. Penampilannya agak berantakan. Untuk kali ini-- ia akan menjadi seorang pelayan cantik, sexy dan mempesona. Jelas itu untuk menarik perhat
Pesta mewah di gelar untuk merayakan ulang tahun Tuan Willson-- salah satu rekan kerja Aiden. Ia di undang langsung oleh Tuan Willson. Jelas ia harus datang.Tapi--Harus bersama Savana. Jika tidak Aiden tak mau datang. Terserah orang lain mengatakannya kekanakan dan semcamnya. Aiden tak peduli. Yang ia pedulikan hanya Savana seorang."Sudah ku bilang! Kau ini sudah dalam kategori pembodohan yang kau namakan CINTA itu!" Digo terus mengomeli teman satu-satunya ini. "Ayolah.... Tuan Willson itu penting dalam perusahaan mu Aiden!!" Digo nyaris memohon agar Aiden menghadiri pesta itu.Sang pelaku tak bergeming. Tetap santai dengan wajah datarnya. Jangan lupakan piyama tidur dan sebuah buku melekat di tangannya. Ingin rasanya Digo melempar temannya ini ke bulan, tapi ia urungkan karena masih membutuhkannya. Otaknya tak sepintar milik Aiden.Jelas alasannya sang pujaan hati yang tengah merajuk dan tak ingin ikut kepada pesta malam ini. Bagi yang tahu-tahu saja, Savana merajuk karena kejadi
Savana menatap pantulan dirinya di cermin, dress yang ia kenakan saat ini bergaya sabrina. Memamerkan pundak mulusnya dan leher jenjangnya. Savana menyatukan seluruh rambutnya yang menjuntai dan menggelungnya ke atas."Perfact." Savana tersenyum puas saat melihat hasil pilihannya.Dress bergaya sabrina berwarna biru dongker yang panjangnya di atas lutut. Savana memilih ini.Dari lima dress pilihannya yang ini paling memikat dan cocok dengan seleranya.Persetan Aiden menunggunya lama. Sengaja Savana ingin membuat pria itu kesal. "Apa kau tertidur An?" Savana berdecak kesal, pasalnya Aiden menggunakan nama panggilan orang-orang terdekatnya."IYA!" Kesalnya.Sebenarnya hal yang membuat Savana malas jika membeli baju itu adalah berganti baju. Baiklah... karena malas Savana memilih memakai dress yang ia kenakan.Sret!Savana menarik tirai itu. Ia mendapati Aiden yang tengah bersandar di samping pintu masuk menuju ruang ganti."Bayar yang ini." Seru Savana membuat badan Aiden menegak.Ia t
Di balik pintu keluar itu, seorang wanita dengan tubuh tinggi dan badan ramping bak seorang model, menggeram kesal dengan kedua tangan mengepal."Kali ini tidak berhasil... tapi tidak untuk lain kali." Desis wanita itu. Memilih pergi dari pemandangan yang menyesakan itu.Kesialan begitu setia kepadanya hari ini. Rencana dari jauh-jauh hari harus gagal seketika. Harusnnya-- ia tetap menjadi bagian penting disini, lalu menjebak Savana dan mendapatkan Aiden!Itu tujuannya!Dan malah sebaliknya. Itu semua bertolak belakang dengan kenyataannya.Wanita tadi-- Prita Adisson sudah sampai di apartemennya beberapa menit yang lalau. Ia melempar semua barang bawaannya asal, dengan segera ia melangkah menuju kamarnya."Aku pulang sayang!" Pekiknya seolah ada orang lain di apartemennya selain dirinya. Aslinya ia tinggal sendiri.Prita menatap kagum semua foto-- bahkan poster besar di setiap inci ding-ding kamarnya. Dari Aiden di nobatkan menjadi CEO Faeyza hingga Aiden yang baru keluar dari bandar
Sejak pagi tadi Savana sudah di sibukan dengan berbagai macam rangkaian shooting sebuah iklan. Usai dengan berbagai macam foto beberapa BA- nya, di karenakan sukses besar... kali ini ia mengambil project besar yang di tuangkan di sebuah iklan.Tentu main utamanya tak lain Kalea Faeyza, awalnya hanya dia seorang yang mengiklankan dengan sebuah foto dan di pajang di berbgai macam bentuk. Majalah, papan reklame, poster dan lain sebagainya. Setelah Kalea, tim pemasaran membuka luas Talent untuk di jadikan BA. Dari artis yang sedang naik daun hingga selebgram.Dan sekarang... ia akan mengambil project iklan yang resmi. Iklan ini di kontrak sekitar 3 tahun di berbagai macam stasiun televisi.Hari ini, kami semua sudah berjalan setengah jalan. Dan sekarang, semua orang sedang istirahat. Tapi tidak bagi Savana.Ia sibuk memeriksa semua vidio yang baru di ambil beberapa saat yang lalu."Talent C ini menurut ku kurang bersemangat, tak sesuai dengan skrip yang kita buat." Savana menunjuk salah s
Semua orang itu hidup dengan rencananya masing-masing, dengan kesulitan dan kebahagiaan yang sudah di atur oleh tuhan. Entah itu turunan atau sebagainya, ibunya Megan menikahi ayahnya karena di jodohkan-- lalu datanglah ia ke dunia yang rumit ini. Setelah itu tepat saat dirinya lahir, ayahnya juga datang dengan seorang wanita yang membawa seorang bayi. Benar sekali, ayahnya main belakang dari ibunya. Bahkan ayahnya jarang sekali pulang ke rumah dan lebih sering pulang kepada selingkuhannya. Alasannya-- karena tidak mencintai ibunya.Brengsek! Bajingan! Segala umpatan Megan arahkan hanya untuk pria yang katanya menyandang status sebagai ayah itu. Ia mengetahui kenyataan itu saat dia memasuki Sekolah Menengah Pertama.Dan saat ia mendengar Ben-- pria yang berhasil meluluhkan hatinya, ada wanita dan seorang bayi yang mencari pria itu, jelas Megan langsung marah. Ia tak menerima apapun alasan untuk kata Perselingkuhan!"Maafkan aku... ku mohon jangan menangis seperti ini lagi... aku tak