Share

Chapter 3 -breakfeast

Rasa pening luar biasa menghampiri Savana saat ia membuka matanya. Jelas ia tau apa penyebabnya. Matanya sedikit buram dengan pencahayaan minim, harusnya dia berada di kamarnya... tapi,

"Aku dimana?" 

Savana tersadar bahwa ia sedang tidak di kamarnya, dan dia juga bukan hanya pening tapi badannya remuk juga, tapi itu hal biasa karena dia  sering jatuh ke lantai jika tidur di kasur yang tinggi, terlebih saat mabuk. 

Saat menoleh ke arah ranjang Savana melihat punggung seseorang yang sudah di pastikan pria.

Tunggu! Tunggu! Dia tidak melakukan hal bodoh kan saat mabuk? Savana melihat ke seluruh badannya yang masih terpasang dress hitam semalam, itu sedikit membuatnya tenang. 

Dia tidak bodoh dengan berteriak dan langsung menyalahkan pria yang tengah tidur itu seperti di flm-flm. Mungkin pria itu menolongnya, sebagai ucapan terimakasih.... apakah Savana harus membuatkannya sarapan?

"Okey.... mari kita bergelut dengan dapur!" Serunya tanpa ragu dan bersemangat, entahlah Savana juga tidak tau apa yang dirinya lakukan.

Saat sampai dapur Savana menatap horor semua peralatan yang tertata rapih itu, jujur terakhir kali dia masak gadis itu hampir membakar dapur di mansionnya. Tapi Savana yakin ia bisa sekedar membuat telor mata sapi.

Langkah pertama Savana mengambil dua butir telur, lalu ia pecahkan dengan teplon yang sudah berisikan minyak dan.... sedikit mengebul. Suara percikan minyak membuat Savana kaget dan sedikit menjauh, dengan tangan yang memegang tutup panci untuk menghalangi cipratan minyak ke wajahnya, sedangkan yang satunya lagi terulur untuk mematikan kompor.

Saat di angkat.... ternyata gosong.

"Ini baru percobaan pertama." Ucap Savana meyakinkan dirinya bahwa ia bisa memasak telor mata sapi.

Percobaan kedua, Savana mengambil telur yang satunya dan memecahkannya di teplon, kali ini ia sengaja tidak menyalakan kompor dulu dan dalam keadaan minyak dingin, mungkin itu akan lebih baik. Dan langkah selanjutnya ia menyalakan kompor lagi tapi kali ini dengan api sangat kecil.

"YEAYY!!! Aku bisa membuat telor mata sapi!!" Pekiknya girang karena akhirnya berhasil juga.

Untung saja ia memiliki otak pintar jadi seenggaknya ia berfikir dan hanya gagal sekali, sungguh Savana merasa memenangkan Award dengan nominasi fantasis. Toh di kalangan seumurannya dan teman-temannya sangat tidak aneh bahwa tidak bisa memasak, dan ini bisa di pamerkan saat nanti mereka bertemu.

Setelah menaruhnya di piring Savana memberi lada dan garam sedikit, lalu menyiaplannya di meja makan lalu ia menuangkan susu putih ke dalam gelas dan menaruhnya di meja.

"Selesai!!" Savana menepuk-nepuk tangannya bangga.

Saat dia berbalik ke dapur dia menutup mulutnya lebay, itu.... sangat berantakan. Baiklah ia harus merapihkannya, entahlah ia sangat anti dengan pekerjaan rumah ataupun memasak tapi kali ini, seperti ada yang menggeraknnya bahkan ia bisa tidak bisa dia paksakan untuk bisa.

Savana tidak mencuci piring hanya menumpuknya saja di wastafel, seenggaknya dapurnya tidak terlalu berantakan. Matanya teralihkan dengan telur mata sapi pertama yang gagal, "sayang sekali kalo di buang." Savana memperhatikannya lamat-lamat hingga akhirnya menyuapkannya ke dalam mulutnya.

"Not bad." Seru Savana dengan raut wajah bangga, tidak pahit sama sekali di bagian yang gosoang hanya saja pinggirannya sangat garing.

"Ekhem..." Savana langsung berbalik badan saat mendengar dehaman seseorang.

'God! Apa dia bukan manusia? Jika bukan mengapa dari ujung kepala hingga kaki pria yang berjarak beberapa meter dariku sangat sempurna.' Pekik hatinnya meronta. Memang Savana sangat lemah dengan spesies yang namanya cogan.

Mungkin kalian akan berfikir bahwa wanita itu berlebihan, tapi sungguh pria di depannya ini telah berhasil mencuri perhatiannya.

"Apa yang kau lakukan disana?" Savana mengerjap beberapa kali untuk menyadarkan dirinya, bahkan ia tak sadar bahwa pria itu sudah berada di dekatnya. 

"A-aku membuatkan mu sarapan.... ekhem! Anggap saja itu ucapan terimakasih ku karena kau membantu ku semalam." Seru Savana dengan gugup dan malu-malu ia merasa terintimidasi dengan tatapan pria itu.

"Terimakasih kembali. Jujur saja kau sangat merepotkan dan sangat tak tahu malu." Ucap Aiden santai ia duduk dan menatap sarapannya.

Disisi lain Savana mengepalkan tangannya, kesal melihat pria di depannya itu terlihat santai padahal ia rasa ia sudah cukup baik memperlakukannya sedari tadi. 

Sabar, tahan emosi. Ia harus ingat bahwa pria itu sudah membantunya.

Mereka memakan sarapannya dalam diam. Aiden tidak suka kebisingan sedangkan Savana malas bicara karena Aiden ternyata sangat membosankan. Percuma tampan, tapi minus di kenyamanan.

Kriet.

Savana mendorong kursi ke belakang, Aiden meliriknya sebentar. Hanya sekilas setelah itu ia kembali memakan sarapannya.

"Aku sudah selesai sarapan. Sekali lagi terimakasih sudah berbaik hati membantu ku semalam, dan maaf karena telah merepotkan mu. Di lain waktu jika kau merasa kesusahan boleh meminta bantuan ku." Savana menunduk kecil dengan sopan. Lalu ia beranjak dari meja pantry tanpa menunggu jawaban Aiden.

"Ekhem. Aku tidak punya nomor ponsel mu, if you know." Savana menoleh saat lawan bicaranya itu bersuara. Ia kira akan tetap diam hingga dunia runtuh.

Savana mendengus kecil, lalu merogoh tasnya mencari sesuatu. "Ini kartu nama saya. Pak Penolong bisa hubungi saya kapan saja. Sekian, terima kasih." Savana sedikit menekan setiap katanya sembari menyerahkan kartu kecil. Kartu namanya.

Tak ingin berlama-lama dengan manusia yang sok dingin itu, Savana beranjak cepat sebelum manusia itu bersuara lagi.

****

Ting!

Pintu lift terbuka, Savana sedikit membenarkan syal berbulunya. Kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya. Muka tanpa polesan make up ia biarkan begitu saja. Bukan ingin menunjukan bahwa dirinya sedang dalam keadaan tidak baik, hanya saja terlalu malas untuk mandi dan ber- make up.

Ia butuh ketenangan tanpa beban apapun.

"Dia Savana Valerie itu kan, yang sedang ramai di berita." 

Savana sedikit melirik ke arah dua orang perempuan dengan seragam rapih. Sepertinya mereka pekerja kantoran. Jelas ia mendengar apa yang dia katakan barusan.

"Benar Saya Savana Valerie, ada masalah dengan saya?" Savana sedikit menurunkan kacamata hitamnya.

Dua perempuan itu sedikit kaget saat melihat Savana yang mereka bicarakan ada disana.

"Maaf aku hanya bicara so'al berita di televisi yang tadi aku lihat." Ujar wanita berbaju pink dengan raut wajah tak enak.

Savana sedikit mengernyit bingung, "saya? Di televisi? Berita? Kenapa saya ada di berita?" Tanya Savana beruntun.

Mereka berdua gelagapan takut salah bicara, mereka tau Savana Valerie itu siapa, apalagi mengingat marganya yang jarang sekali wanita itu tambahkan tapi tetap saja mereka tau bahwa wanita di depannya itu putri tunggal keluarga Akcrecama.

"Maaf sepertinya anda harus mengaktifkan ponsel." Seru perempuan yang memakai baju biru. 

"Ah... ya aku belum melihat ponsel sedari semalam." Seru Savana, ia malas menyentuhnya, karena isi ponselanya banyak sekali kenangan dengan Arka.

Dua perempuan itu menjerit dalam hati, 'pantas saja tak tau apa-apa'.

*****

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status