Aku masih merenung, bingung hendak memasak apa hari ini untuk kedua anak-anakku. Dua pekan sudah mas Jazirah tidak pulang ke rumah, tempat kerjanya yang cukup jauh dari kontrakan kami, membuatnya memutuskan untuk pulang setiap satu pekan sekali. Tapi mengapa sudah dua pekan dia tidak juga pulang? Jangankan bahan makanan, bahkan beraspun sudah tidak ada di dalam tempayan.
Aku hanya seorang ibu rumah tangga yang sibuk mengurus kedua putraku, si sulung, Langit Biru berusia lima tahun, dan adiknya, Bumi Bhayangkara baru saja menginjak usia tiga tahun sebulan yang lalu. Suamiku, mas Jazirah bekerja sebagai penjaga toko sembako, di pasar induk yang terletak di kota, sedang kami mengontrak rumah petakan di desa.Tidak banyak pendapatan yang mas Jazirah dapatkan dengan bekerja di sana, tapi setidaknya cukup untuk memenuhi kebutuhan kami berempat dan untuk membayar kontrakan. Biasanya gaji mas Jazirah akan dibayarkan setiap pekan, jadi mas Jazirah pulang kekontrakan selain untuk melepas rindu kepadaku dan anak-anak, juga untuk memberikan sebagian uang gajinya untuk biaya hidup kami sehari-hari.Biasanya mas Jazirah akan memberikan uang sebesar Rp. 350.000,- kepadaku, itu adalah jumlah keseluruhan untuk semua biaya hidup kami selama sepekan, termasuk cicilan untuk membayar uang sewa kontrakan sebesar Rp. 150.000,- per pekan, dan token listrik sebesar Rp. 20.000,-. Ya, karena di kontrakan kami hanya ada tiga lampu, satu buah kipas angin dan mesin air jadi paling mahal kami harus membeli token listrik dua pulu ribu saja setiap pekannya.Sisanya sebesar Rp. 180.000,- aku belikan kebutuhan sehari-hari seperti beras, minyak goreng, gas tiga kiloan dan beberapa bungkus mie instan. Sementara untuk bahan lauk, aku biasanya akan berbelanja setiap hari, karena di kontrakan ku tidak ada kulkas, jadi tidak bisa menyimpan bahan makanan yang cepat busuk.“Bu, Langit lapar, apa sudah ada makanan?” tanya anakku Langit dengan suara pelan.“Nanti ya, Nak! Ibu coba ke warung bude Rum dulu, ya. Semoga bude Rum mau memberikan utangan kepada ibu. Kamu di rumah saja, jaga adikmu!” jawabku, lekas meninggalkan anak-anakku menuju warung kelontong yang menjual aneka sayur dan bahan pokok.“Maaf Bude, apa saya boleh ngutang beras sama telor? Mas Jazirah belum pulang kerja, nanti kalau dia pulang saya bayar,” ucapku takut-takut, karena ini sudah ketiga kalinya aku ngutang di warungnya pekan ini.“Ngutang aja kerjamu, Gi! Kemarin saja kamu belum bayar, ini kok ya sudah mau ngutangan lagi, di mana otak mu itu? Kamu fikir aku gak perlu modal untuk muter daganganku? Sudah sana pergi, saya gak bisa ngasi utangan ke kamu!” maki bude Rum, membuat pupus sudah harapan ku satu-satunya.Kemana lagi aku harus mencari pinjaman? Kasian Langit dan Bumi pasti kelaparan, karena dari semalam kami hanya mengganjal perut dengan sepotong singkong. Andai aku bisa menghubungimu, Mas. Kamu di mana? Anak-anak kelaparan.Setelah dari warung bude Rum, kuputuskan tidak langsung pulang ke rumah, aku mencoba mencari keberuntungan dengan menawarkan tenagaku untuk mencuci dan menggosok ke ruma-rumah warga. Satu persatu pintu rumah aku ketuk untuk menawarkan jasaku, tapi sudah hampir satu jam aku berjalan, tidak ada satupun yang mau memberiku pekerjaan.Entah kemana lagi aku harus mencari pekerjaan, rasanya kaki ku sudah cukup letih, tapi bagaimanpun aku harus mendapatkan uang untuk makan anak-anakku. Kembali aku langkahkan kaki menuju ke desa sebelah, berharap di sini aku mendapatkan seseorang yang mau menggunakan jasaku.Matahari sudah cukup tinggi, tapi tidak menggoyahkan langkahku untuk terus mencari pekerjaan, sampai pada rumah terakhir di desa ini yang aku datangi, ku ketuk pintu rumah berwarna biru muda tersebut, tidak lupa aku ucapkan salam agar orang di dalam mengetahui keberadaanku. Tidak lama pintupun terbuka, timbul seorang wanita paruh baya yang melongokan kepalanya.“Iya, Nak, ada perlu apa, ya?” sapa nya ramah.“Maaf, Bu. Mungkin jika ibu berkenan, saya sedang mencari pekerjaan sebagai kuli cuci dan gosok baju, apa ibu mau menerima saya untuk bekerja di sini? Saya sedang butuh sekali uang untuk membeli makan untuk anak-anak saya di rumah, Bu.”“Sebenarnya ibu tidak ada cucian kotor, Nak. Tapi kalau kamu mau, kamu bisa bantu ibu bersih-bersih rumah ini dan memasak makan siang, karena sebentar lagi anak-anak ibu akan datang dan ibu belum sempat memasak,” jawab wanita baya tersebut, membuatku seperti menemukan mata air di padang sahara yang gersang.“Alhamdulillah, terima kasih. Saya mau, Bu. Saya bisa memasak dengan baik dan membereskan rumah ibu sampai bersih dan rapi,” cicitku dengan semangat.“Syukurlah kalau begitu, nama saya Ibu Rosmalia, namamu siapa, Nak?”“Saya Gianira, Bu. Saya punya dua anak di rumah, Langit dan Bumi namanya.”“Nama yang bagus, Langit, Bumi dan Gianira? Peri laut, kan?” tanyanya memastikan.“Benar, Bu.”“Yaudah, yuk masuk, kamu bisa langsung memasak di dapur, setelah itu baru beres-beres rumah, ya!” perintahnya seraya membimbingku masuk ke dalam rumahnya.Sekilas aku terpana melihat isi rumah ini, meski tampak sederana di luar, tapi isi rumah ini cukup mewah untuk ukuran rumah di desa seperti di sini. Di ruang tamu ada sofa panjang berwarna biru muda yang kontras dengan warna dinding rumah, dibawahnya juga di sediakan karpet berbulu rafsur, yang terlihat sangat tebal dan lembut. Ada juga telivisi berlayar datar yang ukurannya cukup besar, selain itu di pojok-pojok ruangan berdiri kokoh guci-guci yang terlihat mahal.Terdapat pula lukisan dan foto-foto keluarga yang ku taksir adalah keluarga ibu Rosmalia, masuk ke ruang tengah, ada sebuah meja makan besar yang di kelilingi kursi berjumlah delapan buah, sepertinya bu Rosmalia memiliki keluarga yang besar, terbukti dari jumlah kursi makannya.Saat sampai di dapurnya, aku cukup terkejut dengan pemandangan yang kulihat. Sebuah dapur modern beserta panci dan wajannya yang tertata apik di kabinet-kabinet penyimpanan, selain itu berdiri apik sebuah lemari es yang memiliki dua pintu yang bisa digeser, dan sebuah oven berukuran besar, yang diletakkan di salah satu kabinet yang sepertinya memang di desain mengikuti ukuran oven.Dipojok dapur ada wastafel untuk mencuci piring dan sayuran, aku terpana, sungguh berbanding terbalik sekali dengan dapur di kontrakanku, yang hanya ada meja kayu yang di buatkan mas Jazirah ketika kami pindah ke kontrakan itu, diatasnya diletakkan kompor gas bekas pemberian mertuaku yang catnya bahkan sudah terkelupas.“Gianira, ini coba kamu cuci dulu ikan gurame dan ayam nya, ya! Tolong kamu buatkan gurame asam manis dan sop ayam bisa, ya? Nanti ibu kasih tau bumbunya, anak-anak dan cucu ibu suka sekali makan gurame dan sop ayam,” kata Bu Ros menghapuskan lamunanku.“Baik, Bu, saya cuci dulu sebentar, ya.”Aku mencuci tiga ekor ikan gurame yang ukurannya lebih besar dari telapak tanganku, ku taksir beratnya mencapai satu kilogram untuk seekor ikan gurame ini, setelah mencuci ikan dan ayam, aku lanjutkan dengan membuat bumbu untuk membuat sayur sop dan gurame asam manis, sebelum melanjutkan memasak lauk, aku terlebih dahulu mencuci beras dan memasaknya di megicom.Selain gurame asam manis, bu Rosmalia juga memintaku membuatkan urap sayur , tahu dan tempe goreng, lengkap pula dengan sambal terasinya. Sementara itu, aku melihat bu Ros tengah mengaduk aduk cairan berwarna coklat di atas panci, setelah ku tanya, itu adalah pudding cokelat kesukaan cucunya.Setelah semua masakan siap, aku langsung mengambil sapu dan lap pel untuk membersihkan seluruh rumah ini, sebenarnya rumah ini sudah bersih, tapi bu Rosmalia bilang, anaknya sangat teliti sekali dengan kebersihan, dan akan marah kalau ada sedikit saja ruangan yang kotor. Selain menyapu dan mengepel, aku juga harus mengelap semua jendela rumah ini, mengusap-usap guci dengan kemoceng, dan menyedot debu di karpet menggunakan vacuum cleaner.Tidak terasa semua kerjaan sudah selesai, aku terkaget ketika jam sudah menunjukan hampir pukul dua siang, aku teringat anak-anakku yang belum makan di rumah kontrakan. Akhirnya dengan tergesa akupun pamit kepada bu Rosmalia, berharap beliau segera memberikan upahku, sehingga aku bisa membeli makanan untuk Langit dan Bumi di perjalanan pulang.“Permisi, Bu. Maaf pekerjaan sudah selesai, saya mau pamit sekarang boleh ya, Bu?” tanyaku ketika menemui beliau sedang berada di depan televisi.“Oh iya boleh, Gi. Kamu tunggu dulu sebentar di sini, ya.” Bu Rosmalia beranjak dari duduknya hendak menuju ke arah dapur.Aku menunggu dengan cemas, memikirkan anak-anakku yang pasti sudah sangat kelaparan di rumah. Tidak lama kemudian, Bu Rosmalia datang dengan membawa kantong kresek berwarna putih di tangannya.“Ini, kamu bawa makanan untuk Langit dan Bumi! pasti mereka sudah lapar. Kalau yang ini, upah kamu karena sudah bantu-bantu Ibu hari ini,” kata Bu Rosmalia seraya menyerahkan kantong kresek putih di tangannya dan sebuah amplop kepadaku.“Terima kasih, Bu, karena Ibu sudah berkenan menolong saya dengan memberikan pekerjaan kepada saya, anak-anak saya pasti senang, karena saya membawakan banyak makanan enak untuk mereka di rumah,” sahutku penuh haru. Ah baik sekali orang tua ini.“Sama-sama, Gi. Kamu juga sudah membantu saya hari ini
Aku segera menata semua makanan tersebut ke dalam piring dan mangkok plastik yang sudah kuambil. Kemudian membawanya ke ruang depan dan meletakkannya di depan Langit dan Bumi, seperti dugaanku, kedua anakku langsung terperanjat, pandangan mereka membulat melihat banyaknya makanan yang kusajikan.“Ibu, ini makanan buat kita?” tanya Langit dengan pandangan berkaca-kaca.“Benar, sayang. Yuk Langit sama Bumi makan, ya.” Aku menyerahkan masing-masing piring berisi nasi dan potongan ikan kepada mereka.“Asiiikk, Bumi lapel banget, Bu. Tadi Bumi mau makan loti tapi bude Lum malahin kita ya, Kak? Tutur Bumi dengan suara cadelnya, membuat hatiku kembali perih mengingat hal menyakitkan tadi.“Lain kali kalau Ibu suruh Langit sama Bumi di rumah aja kalian harus nurut, ya! Ibu minta maaf tadi perginya kelamaan. Ibu tadi pergi ke desa sebelah untuk kerja, Alhamdulillah ada yang mau pakai jasa Ibu buat beres-beres rumah dan memasak. Nah, makanan ini dikasih sama orang yang memberi Ibu pekerjaan.”“
Kusiapkan makan malam untuk Bumi dan juga untukku, karena tadi akupun belum sempat makan karena sibuk beres-beres rumah. Bumi makan dengan lahap, walaupun tadi sore sudah makan, tapi pengaruh tidak makan dari pagi sampai siang membuat dia cepat lapar lagi sepertinya. Setelah selesai makan, aku mengajak Bumi untuk sholat isya bersama, kulihat Langit sebentar, hendak mengajaknya sholat bersama juga, tapi sepertinya dia sudah tertidur, kuusap lembut kepala Langit dan membisikan doa agar dia menjadi anak yang sholeh, sabar dan patuh kepada kedua orang tua, kemudian kutiupkan ubun-ubun kepalanya, hal itu rutin kulakukan kepada kedua putraku ketika mereka sedang tertidur.Setelah menunaikan sholat isya bersama Bumi, aku membimbingnya untuk segera naik ke atas kasur yang tanpa dialasi dipan. Kuajak dia berdoa sebelum tidur dan membacakan sedikit dongeng sebagai pengantar tidurnya. Bumi dan Langit sama-sama suka jika aku mendongeng untuk mereka sebelum tidur. Biasanya aku akan menceritakan
Ku peluk erat tubuh sulungku itu, kasian sekali dia, hanya karena keterbasan ekonomi yang kami sandang, membuatnya harus menerima perlakuan buruk dari orang lain. Hati ibu mana yang tidak sakit melihat anaknya disakiti orang lain yang bakan tidak ikut andil dalam memberikan nafkah.“Langit enggak mau lagi mengaji di masjid, Bu. Langit takut diejek teman-teman karena Langit dan Adek Bumi anak miskin. Malu sekali, Bu.” Allah … hancur hati ini mendengarnya, bahaya bullying memang sangat berbahaya, karena korbannya akan merasa sangat tersakiti dan menjadi rendah diri, merasa dikucilkan serta tak memiliki ruang di tempat umum. Perilaku bullying bahkan sudah masuk ke dalam pelanggaran HAM, baik bullying secara verbal maupun non verbal seperti cyber bullying atau penghinaan melalui media sosial.“Langit, dengar ibu ya, Nak! Allah tidak pernah membeda-bedakan hambanya hanya karena dia orang kaya atau orang miskin. Allah hanya melihat hambanya dari keimanan dan ketaqwaannya saja. Walau orang
Aku dan anak-anak segera masuk ke dalam rumah, canggung karena bingung apa yang harus kulakukan, kemana bu Rosmalia pergi? Apa beliau lupa jika menyuruhku untuk datang hari ini. Aku masih berdiri di ruang tamu ketika tidak tau apa yang harus ku lakukan. Hingga akhirnya pria tadi menyadari keberadaanku yang belum beranjak dari posisi dia duduk.“Kamu ngapain berdiri di situ, hah?” tanyanya ketus, membuatku yang tengah kebingungan terlonjak kaget.=====================================================Aku sedang menyapu lantai dapur, ketika bu Rosmalia datang sambil meletakkan kantong plastik merah bawaannya ke atas meja dapur. Wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang sudah mendekati kepala enam itu tersenyum kepadaku.“Maaf ya, Gi, ibu tadi dari warung sebentar. Kamu sudah dari tadi?” tanyanya kepadaku.“Baru saja kok, Bu. Tadi ada sedikit masalah di jalan, jadi agak telat sampai sini. Maaf ya, Bu,” tuturku merasa tidak enak.“Masalah apa, Gi? Anak-anakmu jadi ikut ke sini, kan
Kami sampai ke rumah dan mas Jazi langsung dipersilahkan masuk untuk menemui bapak mertua, sedangkan aku dan anak-anak? Disuruh masuk pun kami tidak. Aku dan anak-anak memutuskan untuk menunggu mas Jazi di teras rumah.Sungguh perih, setidaknya biarkan anak-anakku masuk. Mereka kepanasan menunggu di teras. Langit mereka minta makan, karena memang tadi kami belum sempat sarapan di rumah, tapi bagaimana mungkin, bahkan pintu rumah pun tertutup rapat. Akhirnya aku mengajak langit dan Bumi pulang dulu ke kontrakan untuk makan.=====================================================Sesampainya di kontrakan aku segera menyiapkan makanan untuk Langit dan Bumi, anak-anak makan dengan lahap sekali, selain kelaparan, mereka juga kehausan, menunggu cukup lama di teras rumah dari pagi hingga siang hari tentu membuat mereka kelelahan. Akhirnya setela selesai makan kedua anakku tertidur, sementara aku membereskan bekas makan mereka.Hari sudah beranjak malam, tapi belum ada tanda-tanda mas Jazi pula
Aku menata semua masakan yang telah matang di atas meja makan, tidak lupa aku menata piring dan gelas untuk ku isi air putih juga. Setelah semua sudah siap, aku menghampiri bu Rosmalia untuk memberitahukan jika makanan suda terhidang. Tapi langkahku terhenti ketika tanpa sengaja, telingaku menangkap suara tangisan dari dalam kamar mas Riza. Siapa yang menangis? Apa mas Riza?.=====================================================Aku baru saja akan beranjak dari depan kamar mas Riza ketika tiba-tiba saja pintu kamar tersebut terbuka, menampilkan sosok pria yang tadi pagi terlihat sangat ketus, tapi siang ini terlihat cukup rapuh, ada air mata tersemat di ujung matanya, menandakan suara yang tadi kudengar adalah benar tangisannya.“Ngapaain kamu di depan kamar saya?” tanya mas Riza, ketika tatapan kami bersirobok. Kesan rapuh seketika hilang, berganti wajah ketus di sana.“Hmm anu Mas, ta – tadi saya tidak sengaja sedang lewat depan kamar Mas Riza, terus mendengar suara ta….” Belum sem
Mas Riza langsung berlari menuju mobilnya, tidak lama ia kembali dengan kota perkakas, dibukannya kotak itu dan menemukan sebatang palu berukuran besar. Segera saja Mas Riza memukul-mukul engsel dengan palu, berhasil, engselnya rusak, tapi belum terbuka. Kembali Mas Riza mengetukkan palunya, kali ini berhasil, Mas Riza mencopot engselnya dan mencongkel, akhirnya pintu kamar Bu Rosmalia terbuka. Kami segera masuk, alangkah terkejutnya dengan apa yang kami lihat di dalam kamar.=====================================================Kami semua terkejut melihat posisi Bu Rosmalia yang tersungkur tak sadarkan diri di lantai, Mbak Rima teriak histeris, Tiara tidak mau kalah dengan tantenya tersebut, dia menangis sekencang yang dia bisa sambil terus memanggil neneknya. Sementara Mas Riza, dia terlihat sangat shock, sehingga hanya bergeming di posisinya berdiri.Aku yang menyadari jika keadaan Bu Ros tidak baik-baik saja, segera menghampirinya dan membawanya ke pangkuanku. Hal pertama yang aku