Home / Rumah Tangga / Kami Bisa Tanpamu Mas / Bab 1 | Ke mana Mas Jazirah

Share

Kami Bisa Tanpamu Mas
Kami Bisa Tanpamu Mas
Author: Didi Mawadah

Bab 1 | Ke mana Mas Jazirah

Author: Didi Mawadah
last update Last Updated: 2022-06-13 18:18:31

Aku masih merenung, bingung hendak memasak apa hari ini untuk kedua anak-anakku. Dua pekan sudah mas Jazirah tidak pulang ke rumah, tempat kerjanya yang cukup jauh dari kontrakan kami, membuatnya memutuskan untuk pulang setiap satu pekan sekali. Tapi mengapa sudah dua pekan dia tidak juga pulang? Jangankan bahan makanan, bahkan beraspun sudah tidak ada di dalam tempayan.

Aku hanya seorang ibu rumah tangga yang sibuk mengurus kedua putraku, si sulung, Langit Biru berusia lima tahun, dan adiknya, Bumi Bhayangkara baru saja menginjak usia tiga tahun sebulan yang lalu. Suamiku, mas Jazirah bekerja sebagai penjaga toko sembako, di pasar induk yang terletak di kota, sedang kami mengontrak rumah petakan di desa.

Tidak banyak pendapatan yang mas Jazirah dapatkan dengan bekerja di sana, tapi setidaknya cukup untuk memenuhi kebutuhan kami berempat dan untuk membayar kontrakan. Biasanya gaji mas Jazirah akan dibayarkan setiap pekan, jadi mas Jazirah pulang kekontrakan selain untuk melepas rindu kepadaku dan anak-anak, juga untuk memberikan sebagian uang gajinya untuk biaya hidup kami sehari-hari.

Biasanya mas Jazirah akan memberikan uang sebesar Rp. 350.000,- kepadaku, itu adalah jumlah keseluruhan untuk semua biaya hidup kami selama sepekan, termasuk cicilan untuk membayar uang sewa kontrakan sebesar Rp. 150.000,- per pekan, dan token listrik sebesar Rp. 20.000,-. Ya, karena di kontrakan kami hanya ada tiga lampu, satu buah kipas angin dan mesin air jadi paling mahal kami harus membeli token listrik dua pulu ribu saja setiap pekannya.

Sisanya sebesar Rp. 180.000,- aku belikan kebutuhan sehari-hari seperti beras, minyak goreng, gas tiga kiloan dan beberapa bungkus mie instan. Sementara untuk bahan lauk, aku biasanya akan berbelanja setiap hari, karena di kontrakan ku tidak ada kulkas, jadi tidak bisa menyimpan bahan makanan yang cepat busuk.

“Bu, Langit lapar, apa sudah ada makanan?” tanya anakku Langit dengan suara pelan.

“Nanti ya, Nak! Ibu coba ke warung bude Rum dulu, ya. Semoga bude Rum mau memberikan utangan kepada ibu. Kamu di rumah saja, jaga adikmu!” jawabku, lekas meninggalkan anak-anakku menuju warung kelontong yang menjual aneka sayur dan bahan pokok.

“Maaf Bude, apa saya boleh ngutang beras sama telor? Mas Jazirah belum pulang kerja, nanti kalau dia pulang saya bayar,” ucapku takut-takut, karena ini sudah ketiga kalinya aku ngutang di warungnya pekan ini.

“Ngutang aja kerjamu, Gi! Kemarin saja kamu belum bayar, ini kok ya sudah mau ngutangan lagi, di mana otak mu itu? Kamu fikir aku gak perlu modal untuk muter daganganku? Sudah sana pergi, saya gak bisa ngasi utangan ke kamu!” maki bude Rum, membuat pupus sudah harapan ku satu-satunya.

Kemana lagi aku harus mencari pinjaman? Kasian Langit dan Bumi pasti kelaparan, karena dari semalam kami hanya mengganjal perut dengan sepotong singkong. Andai aku bisa menghubungimu, Mas. Kamu di mana? Anak-anak kelaparan.

Setelah dari warung bude Rum, kuputuskan tidak langsung pulang ke rumah, aku mencoba mencari keberuntungan dengan menawarkan tenagaku untuk mencuci dan menggosok ke ruma-rumah warga. Satu persatu pintu rumah aku ketuk untuk menawarkan jasaku, tapi sudah hampir satu jam aku berjalan, tidak ada satupun yang mau memberiku pekerjaan.

Entah kemana lagi aku harus mencari pekerjaan, rasanya kaki ku sudah cukup letih, tapi bagaimanpun aku harus mendapatkan uang untuk makan anak-anakku. Kembali aku langkahkan kaki menuju ke desa sebelah, berharap di sini aku mendapatkan seseorang yang mau menggunakan jasaku.

Matahari sudah cukup tinggi, tapi tidak menggoyahkan langkahku untuk terus mencari pekerjaan, sampai pada rumah terakhir di desa ini yang aku datangi, ku ketuk pintu rumah berwarna biru muda tersebut, tidak lupa aku ucapkan salam agar orang di dalam mengetahui keberadaanku. Tidak lama pintupun terbuka, timbul seorang wanita paruh baya yang melongokan kepalanya.

“Iya, Nak, ada perlu apa, ya?” sapa nya ramah.

“Maaf, Bu. Mungkin jika ibu berkenan, saya sedang mencari pekerjaan sebagai kuli cuci dan gosok baju, apa ibu mau menerima saya untuk bekerja di sini? Saya sedang butuh sekali uang untuk membeli makan untuk anak-anak saya di rumah, Bu.”

“Sebenarnya ibu tidak ada cucian kotor, Nak. Tapi kalau kamu mau, kamu bisa bantu ibu bersih-bersih rumah ini dan memasak makan siang, karena sebentar lagi anak-anak ibu akan datang dan ibu belum sempat memasak,” jawab wanita baya tersebut, membuatku seperti menemukan mata air di padang sahara yang gersang.

“Alhamdulillah, terima kasih. Saya mau, Bu. Saya bisa memasak dengan baik dan membereskan rumah ibu sampai bersih dan rapi,” cicitku dengan semangat.

“Syukurlah kalau begitu, nama saya Ibu Rosmalia, namamu siapa, Nak?”

“Saya Gianira, Bu. Saya punya dua anak di rumah, Langit dan Bumi namanya.”

“Nama yang bagus, Langit, Bumi dan Gianira? Peri laut, kan?” tanyanya memastikan.

“Benar, Bu.”

“Yaudah, yuk masuk, kamu bisa langsung memasak di dapur, setelah itu baru beres-beres rumah, ya!” perintahnya seraya membimbingku masuk ke dalam rumahnya.

Sekilas aku terpana melihat isi rumah ini, meski tampak sederana di luar, tapi isi rumah ini cukup mewah untuk ukuran rumah di desa seperti di sini. Di ruang tamu ada sofa panjang berwarna biru muda yang kontras dengan warna dinding rumah, dibawahnya juga di sediakan karpet berbulu rafsur, yang terlihat sangat tebal dan lembut. Ada juga telivisi berlayar datar yang ukurannya cukup besar, selain itu di pojok-pojok ruangan berdiri kokoh guci-guci yang terlihat mahal.

Terdapat pula lukisan dan foto-foto keluarga yang ku taksir adalah keluarga ibu Rosmalia, masuk ke ruang tengah, ada sebuah meja makan besar yang di kelilingi kursi berjumlah delapan buah, sepertinya bu Rosmalia memiliki keluarga yang besar, terbukti dari jumlah kursi makannya.

Saat sampai di dapurnya, aku cukup terkejut dengan pemandangan yang kulihat. Sebuah dapur modern beserta panci dan wajannya yang tertata apik di kabinet-kabinet penyimpanan, selain itu berdiri apik sebuah lemari es yang memiliki dua pintu yang bisa digeser, dan sebuah oven berukuran besar, yang diletakkan di salah satu kabinet yang sepertinya memang di desain mengikuti ukuran oven.

Dipojok dapur ada wastafel untuk mencuci piring dan sayuran, aku terpana, sungguh berbanding terbalik sekali dengan dapur di kontrakanku, yang hanya ada meja kayu yang di buatkan mas Jazirah ketika kami pindah ke kontrakan itu, diatasnya diletakkan kompor gas bekas pemberian mertuaku yang catnya bahkan sudah terkelupas.

“Gianira, ini coba kamu cuci dulu ikan gurame dan ayam nya, ya! Tolong kamu buatkan gurame asam manis dan sop ayam bisa, ya? Nanti ibu kasih tau bumbunya, anak-anak dan cucu ibu suka sekali makan gurame dan sop ayam,” kata Bu Ros menghapuskan lamunanku.

“Baik, Bu, saya cuci dulu sebentar, ya.”

Aku mencuci tiga ekor ikan gurame yang ukurannya lebih besar dari telapak tanganku, ku taksir beratnya mencapai satu kilogram untuk seekor ikan gurame ini, setelah mencuci ikan dan ayam, aku lanjutkan dengan membuat bumbu untuk membuat sayur sop dan gurame asam manis, sebelum melanjutkan memasak lauk, aku terlebih dahulu mencuci beras dan memasaknya di megicom.

Selain gurame asam manis, bu Rosmalia juga memintaku membuatkan urap sayur , tahu dan tempe goreng, lengkap pula dengan sambal terasinya. Sementara itu, aku melihat bu Ros tengah mengaduk aduk cairan berwarna coklat di atas panci, setelah ku tanya, itu adalah pudding cokelat kesukaan cucunya.

Setelah semua masakan siap, aku langsung mengambil sapu dan lap pel untuk membersihkan seluruh rumah ini, sebenarnya rumah ini sudah bersih, tapi bu Rosmalia bilang, anaknya sangat teliti sekali dengan kebersihan, dan akan marah kalau ada sedikit saja ruangan yang kotor. Selain menyapu dan mengepel, aku juga harus mengelap semua jendela rumah ini, mengusap-usap guci dengan kemoceng, dan menyedot debu di karpet menggunakan vacuum cleaner.

Tidak terasa semua kerjaan sudah selesai, aku terkaget ketika jam sudah menunjukan hampir pukul dua siang, aku teringat anak-anakku yang belum makan di rumah kontrakan. Akhirnya dengan tergesa akupun pamit kepada bu Rosmalia, berharap beliau segera memberikan upahku, sehingga aku bisa membeli makanan untuk Langit dan Bumi di perjalanan pulang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
nurdianis
sabar gianira
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 106 | Terbongkar

    Mataku membulat sempurna kala melihat pesan yang lagi-lagi dikirimkan Niryala ke ponselku. Kali ini bukan hanya pesan singkat, tetapi juga sebuah foto yang memperlihatkan bagian atas dadanya dengan sebuah teks sebagai keterangannya.[Apakah ini mirip dengan miliknya Nirmala? Atau lebih besar?]============ Aku menahan nafas demi melihat foto yang Niryala kirimkan. Bagaimana bisa dia mengirimkan foto berisi aurat tubuhnya kepada orang lain yang bukan suaminya? Baru saja ingin mengapusnya, Niryala kembali mengirimiku pesan lagi. Kali ini berisi pesan suara yang membuat jiwa kelaki-lakianku bergejolak.‘Aku akan kirim bagian yang lainnya jika kamu mau,’ tuturnya dengan nada manja dan mendesah.Aku segera menutup ponselku, beranjak dari kasur dan membuka pintu kamar mandi. Beruntung pintunya tidak terkunci sehingga aku bisa langsung masuk tanpa mengetuknya. Kuhampiri Gianira yang sedang membasuh tubuhnya dengan sabun beraroma flower. Membuka seluruh pakaian yang kugunakan, segera kude

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 105 | Ancaman Dhanis

    Hingga kami selesai makan siang mas Riza masih belum juga kembali. Ke mana sebenarnya dia pergi? Tidak biasanya dia mengacuhkan ku, apalagi kami sedang ada masalah seperti ini. Kubantu Rima membereskan meja makan, kemudian menemani anak-anak membaca buku cerita yang bawa dari rumah. Aku tersenyum senang karena melihat Bumi yang semakin lancar membacanya. Untuk anak seusianya, pintar membaca dan suka membaca adalah anugerah tersendiri.Sebentar lagi dia akan masuk sekolah TK itulah mengapa Bumi semakin hari semakin giat belajarnya. Kehadiran kedua kakaknya juga sangat membantu Bumi dalam belajar, sehingga anak itu tidak harus belajar bersamaku saja.Sesekali aku menoleh pada ponsel yang kuletakan di atas nakas, berharap ada telpon ataupun sekedar chat singkat dari mas Riza yang hingga kini keberadaannya tidak kuketahui. Namun, nihil, tidak ada satupun pesannya singgah di ponselku.Jantungku mendadak berdegup cepat kala mendengar suara pintu depan dibuka. Berharap sekali jika mas Riza

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 104 | Mulai Nyaman

    Yuk boleh banget yuk kalau mau cubitin ginjalnya Riza yuk! Mumpung sudah buka puasa ✌️🤪=======[Aku sungguh merasa lega sekarang, akhirnya bertemu denganmu dan bisa mengatakan wasiat Nirmala kepadamu.Kamu tenang saja, rindumu kepada Nirmala akan terlampiaskan. Kami ini kembar identik, hampir seluruh bentuk tubuh kami sangat mirip, jadi, mungkin kau akan ‘menemukan’ Nirmala saat mengekplore diriku setelah pernikahan kita nanti, bye]==============Aku mengucap istighfar sebagai upaya untuk menetralkan isi kepalaku. Isi chat Niryala sungguh di luar batas logika. Bagaimana dia bisa menuliskan isi chat semacam itu terhadap pria yang baru saja ditemuinya?Namun, aku tidak dapat berbohong, jjka jiwa kelaki-lakianku bergejolak tatkala membacanya. Aku membayangkan kembali saat-saat aku memadu kasih bersama Nirmala, dirinya yang romantis dan seringkali meminta lebih dulu membuatku merasa dilayani dengan baik dan sempurna.Berbeda sekali dengan Gianira yang harus kupancing terlebih dahulu ba

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 103 | Kemarahan Ibu

    Tahan emosii yaa...! Bulan puasa! 😆======“Gia baik-baik aja kok, Bu. Gia hanya butuh waktu untuk sendiri, Gia titip anak-anak sebentar ya, Bu!” ucapku pelan, kemudian masuk kembali ke dalam kamar dan menguncinya.Kufikir Mas Riza akan menyusulku, tapi hingga tiga puluh menit lebih dirinya tidak kunjung tiba di rumah. Kemana dia? Apa masih bersama wanita tadi? Siapa sebenarnya wanita itu? Mengapa ibu juga seperti tidak mengenalnya?================== Kuputuskan untuk pergi meninggalkan Niryala, berlama-lama dengannya hanya akan menambah pusing kepalaku. Selain itu aku perlu menjelaskan permasalahan ini kepada ibu dan Gianira. Mereka berhak tau mengenai amanah yang Nirmala katakan kepada Niryala, kembarannya.Memasuki Villa, aku dibuat heran dengan kondisi ruang tamu yang sepi, ke mana mereka semua? Apa sedang berkumpul di kamar? Segera aku mengecek ke kamar anak-anak, benar, mereka sedang berkumpul di sana, tetapi tidak kutemukan Gianira diantara mereka.Ibu dan Rima menatapku deng

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 102 | Terluka

    Yok yok yang emosi yok lanjutin emosinya.. Ini sudah mendekati akhir Yaa cinta-cintanya akuuu ✌️🤪================ “Mas, sekarang aku sudah tidak memiliki kekasih ataupun suami, aku ingin melaksanakan pesannya Nirmala untuk menikahi suaminya. Apa kamu bersedia menikah denganku, Mas?” Membulat sempurna mataku tatkala mendengar Niryala mengatakan hal tergila yang pernah kudengar seumur hidupku. Apa dia sedang menawarkan diri untuk menjadi istriku? Tapi, aku sudah memiliki istri yang baru, Gianira. Bagaimana dengannya jika aku menikah dengan Niryala?============ Aku terdiam, masih mencerna semua pernyataan Niryala. Tidak menyangka setela tujuh tahun kepergiannya Nirmala kembali dengan pesan yang membuat dadaku sesak. Mengapa dia tidak pernah mengatakan jika memiliki seorang saudara kembar? Mengapa dia menyembunyikan rasa sakit di tubuhnya? Lalu mengapa dirinya bisa berpesan seperti itu kepada Niryala?Sepuluh menit sudah kami berdua saling terdiam, tidak ada sedikitpun perkataan yan

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 101 | Niryala

    “Permisi, ini Mas Riza, kan?” tawaku dan Rima terhenti saat seorang wanita datang menemui kami.Bagai melihat hantu di siang bolong, aku begitu terperangah demi melihat siapa wanita yang berdiri di hadapanku dan Rima saat ini. Ini tidak mungkin, tidak mungkin terjadi.“N-nir … ma-la?” ucapku pelan karena terkejutnya.=============== Berulang kali kucoba menggosok mataku, barangkali ada kotoran mata yang menghalangi pandanganku sehingga melantur. Tapi mengapa hasilnya tetap sama? Wanita yang sejak tadi kufikirkan kini berdiri menjulang di hadapanku. Nirmala, dia benar Nirmala, istriku. Astaga, bagaimana bisa?“Nirmala? K-kamu, Nirmala?” tanyaku terbata, beranjak dari posisiku agar bisa berdiri sejajar dengannya. Ya Tuhan, benar, wajah itu, wajah yang teramat kurindukan, wajah yang bertahun-tahun membuat tidurku tidak tenang, wajah yang membuat hari-hariku murung karena kehilangan senyumnya. Ini benar-benar Nirmalaku, astaga aku tidak sedang melindur dan bermimpi, dia Nirmala.Tanp

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status