Mas Riza langsung berlari menuju mobilnya, tidak lama ia kembali dengan kota perkakas, dibukannya kotak itu dan menemukan sebatang palu berukuran besar. Segera saja Mas Riza memukul-mukul engsel dengan palu, berhasil, engselnya rusak, tapi belum terbuka. Kembali Mas Riza mengetukkan palunya, kali ini berhasil, Mas Riza mencopot engselnya dan mencongkel, akhirnya pintu kamar Bu Rosmalia terbuka. Kami segera masuk, alangkah terkejutnya dengan apa yang kami lihat di dalam kamar.=====================================================Kami semua terkejut melihat posisi Bu Rosmalia yang tersungkur tak sadarkan diri di lantai, Mbak Rima teriak histeris, Tiara tidak mau kalah dengan tantenya tersebut, dia menangis sekencang yang dia bisa sambil terus memanggil neneknya. Sementara Mas Riza, dia terlihat sangat shock, sehingga hanya bergeming di posisinya berdiri.Aku yang menyadari jika keadaan Bu Ros tidak baik-baik saja, segera menghampirinya dan membawanya ke pangkuanku. Hal pertama yang aku
“Justru itu, aku ke sini mau bilang, jika aku tengah mengurus proses perceraian kita, kamu tunggu saja suratnya datang, tidak perlu datang ke pengadilan!. Anak-anak biar ikut kamu saja, lagi pula keluargaku maupun Jamilah tidak menginginkan mereka. Jadi aku minta sama kamu, sampaikan kepada mereka jika aku bukan bapaknya lagi!” ujaranya lancar.Ingin ku sumpal mulutnya dengan tomat busuk, di mana fikirannya sebagai ayah? Kenapa bisa-bisanya dia memutuskan pertalian darah antara dirinya dengan anak-anak?“Yaudah yuk kita pulang, katanya Mas Jazi mau ngajak aku belanja.” Lagi, wanita tidak tahu malu itu bergelayut manja.“Iya sayang, sebentar.”“Dek, sudah ya, aku pamit, surat cerai akan segera ku kirim. Kita sudah tidak ada hubungan apapun lagi, ya!” ujarnya seraya melenggang meninggalkanku mematung di depan pintu.=====================================================Aku masih terpaku dengan perasaan yang entah seperti apa harus ku gambarkan, bagaimana bisa seorang ayah memutuskan pe
Saat hendak memasukan kabel posel milik Mas Riza, lagi lagi mataku menangkap hal tak terduga, sebuah bingkai foto berukuran 5R teronggok di sela-sela antara dipan kasur dan meja kerja milik mas Riza, bukan berniat kurang ajar, aku hanya ingin meletakannya di atas meja. Kupandangi sejenak wajah yang ada di dalam foto tersebut, seorang wanita yang sepertinya tengah mengandung besar. Seyum manis nan tulus tersemat di wajahnya, cantik adalah kesan yang kutangkap dari gambaran wajah tersebut. Apa dia istrinya mas Riza? Sepertinya wajah ini tidak asing untukku, aku seperti pernah melihatnya, tapi di mana? Tidak ingin berlama-lama di sana, aku segera meletakan foto tersebut di atas meja dan beranjak meninggalkan kamar milik ayahnya Tiara tersebut.=====================================================Aku kembali ke kamar tamu dan ikut bergabung dengan anak-anak untuk segera tidur, karena besok pagi aku harus siap-siap ke rumah sakit mengantarkan pakaian ganti untuk bu Ros dan anak-anaknya
Ucapannya membuat aku tersentak. Jadi Tiara tidak memiliki ibu? Pantas anak ini terlihat kurang terawat. Tubuhnya kurus dan terlihat kurang ceria, padahal mas Riza orang berada, tidak mungkin Tiara kurang makan.“Maafin tante ya, Sayang. Tante tidak tahu kalau ibunya Tiara sudah meninggal,” kataku, seraya memeluknya sebentar dan kemudian mengajaknya memeprcepat langkah menuju ruangan.=====================================================Saat aku tiba di depan ruangan tempat bu Rosmalia dirawat, aku dikejutkan dengan suasana menegangkan, bu Rosmalia sempat berhenti bernafas dan tidak merespon kerja dari alat automated external defibrillator atau yang disingkat AED. Sebuah alat medis yang dapat menganalisis irama jantung secara otomatis dan memberikan kejutan listrik untuk mengembalikan irama jantung.Terlihat kepanikan dan kesedihan diwajah-wajah anak bu Rosmalia, Tiara yang tadi tenang bersamaku pun akhirnya ikut menangis, aku mencoba menenangkan cucu perempuannya bu Rosmalia ini.S
“Bumi kok menangis, Nak? Ada apa? Langit, adek Bumi kenapa, Sayang?” tanyaku lagi.“Tadi saat kita lagi makan, ada ayah sama nenek, Bu. Mereka juga mau makan, tapi Langit sama Bumi panggil-panggil, ayah enggak menjawab, terus kami samperin ayah, tapi malah dimarahi nenek, katanya Langit dan Bumi bukan anak ayah lagi. Ayah juga usir kami berdua, Bu,” tutur Langit, membuatku terkaget.Jadi tadi ada mas Jazi dan Ibunya di sini? Sedang apa mereka? Apa Ibunya mas Jazi sakit? Tapi mengapa mereka tega mengusir anak-anak ini, darah dagingnya. Jadi mas Jazirah serius dengan ucapannya semalam, yang ingin anak-anak tidak lagi menganggap dirinya ayah mereka. Keterlaluan kamu, mas.=====================================================Mbak Rima menatapku dengan tatapan menyelidik, seakan mengajukan pertanyaan lewat tatapan matanya kepadaku. Aku hanya mengangguk seraya tersenyum membalas tatapannya. Cukup lama waktu yang aku butuhkan untuk mengembalikan keceriaan di wajah Langit dan Bumi, mungkin
“Bu, jadi benar ayah bukan ayah kita lagi?” lirih Langitku.Tidak ada jawaban yang keluar, hanya ada sebuah isakan yang lolos dari mulutku, ternyata ada yang lebih sakit dari diceraikan suami tanpa sebab, yaitu melihat sang buah hati menangis karena hatinya terluka akan kenyataan pahit yang harus dihadapinya.Langit, Bumi, ibu janji, Nak. Kita bertiga akan kuat berpijak, tidak perlu khawatir, Nak. Ibu akan berjuang untuk hidup kalian. Ibu tidak akan membiarkan ada hal yang lebih menyakitkan lagi, yang akan kalian hadapi setelah ini. Kuat ya, Nak. Bantu ibu untuk bertahan, Sayang.=====================================================Langit dan Bumi menolak untuk diberikan makan siang, mereka lebih memilih ke kamar untuk tidur siang. Sedihku bertambah karena melihat mereka murung tanpa gairah. Andai saja aku bisa merebut hati keluarganya mas Jazirah, pastilah hal buruk ini tidak akan pernah terjadi. Tapi apalah daya ku, sebagai manusia kami sangat dilarang untuk berandai-andai, karen
Aku mencoba memahami ucapan ustadnya anak-anakku, benar juga yang beliau katakana, walaupun terasa tidak adil bagi Langitku, tapi itu lebih baik, orang miskin seperti kami pasti akan kalah jika berhadapan dengan orang berada seperti mereka.Setelah mengucapkan terima kasih karena tadi secara tidak langsung sudah membela anak-anak, aku putuskan untuk berpamitan pulang, selain sebentar lagi maghrib, kami juga harus bersiap-siap untuk pergi ke rumah bu Rosmalia.“Mbak Gianira …,” panggil Ustad Faiz ketika aku baru beranjak beberapa langkah.“Ya, Pak Ustad.”“Sabar, ya! Langit dan Bumi anak-anak baik, mereka anak yang kuat,” ucapnya seraya tersenyum, memamerkan barisan giginya yang rapi dan putih.Aku tidak menjawab, hanya tersenyum sambil mengangguk sopan, kemudian menggandeng tangan anak-anakku, dan membawa mereka pulang meninggalkan masjid.=====================================================Aku dan anak-anak tengah bersiap-siap, saat tiba-tiba saja pintu kontrakan kami digedor denga
Aku yang panik lantas berteriak, berusaha menghentikan mas Jazirah dari memukuli ustad Faiz. Pak mantri berusaha menahan kedua tangan mas Jazi agar tidak lagi melepaskan pukulan. Tanpa mengucapkan maaf ataupun terima kasih kepada ustad Faiz dan pak mantri karena sudah menolongku, mas Jazirah dengan paksa menarik kasar tanganku yang dibalut kain kasa untuk segera ikut pergi dengannya.Hingga hari berikutnya aku tidak pernah lagi bertemu dengan ustad Faiz, padahal aku ingin sekali berterima kasih dan meminta maaf. Setelah setahun kemudian aku baru mengetahui dari pak mantri saat control kandungan, jika ustad Faiz tengah melanjutkan pendidikannya di Mesir.=====================================================Setelah melaksanakan sholat maghrib di kontrakan, kami segera keluar untuk menuju ke rumah bu Rosmalia, aku berjanji akan datang sebelum isya kepada mas Riza. Tapi karena kejadian tidak terduga tadi, membuatku sedikit terlambat, karena harus membereskan barang-barang sesuai pada tem