Hujan deras mengguyur bumi sejak siang, dan belum ada tanda-tanda akan reda. Padahal, sudah dua jam berlalu. Untungnya, butiran air membawa rahmat itu, turun setelah jam istirahat anak sekolah usai. Jadi, barang daganganku habis terjual tanpa sisa.
“Dek, kamu nggak ada niat nyari karyawan, gitu?” tanya Mas Faisal sambil membetulkan letak selimut di tubuh Arkan.
“Pengen, sih, Mas. Apalagi, sekarang makin banyak yang minta delivery. Agak keteteran juga, Mas. Aku sampai menyetop orderan di atas jam satu siang. Padahal, sayang ya, Mas. Takutnya, mereka kecewa dan cari penjual lain. kemarin, aku lihat di alun-alun ada yang jualan kayak aku juga.”
“Maaf, ya, Dek. Uang tabungan yang mau dipakai beli sepeda motor buatmu, malah terpakai b
Ketukan di pintu kamar memaksaku bangun dari tempat tidur. Terdengar suara Wak Acih dan Mas Faisal memanggil namaku. Kubuka pintu perlahan. Tampak mereka berdua berdiri di ambang pintu dengan raut wajah khawatir. Sejak bertengkar dengan Ibu, aku memang memilih diam di kamar. “Ada apa, Wak? Mas?” Mas Faisal dan Wak Acih saling pandang. “Kamu nggak apa-apa?” tanya Wak Acih. Seingatku, Wak Acih adalah salah satu kerabat Ibu yang selalu bersikap baik padaku. Entah karena kami jarang bertemu atau memang aslinya baik. Tetapi, memang sejak dulu, wanita yang suka mengunyah daun sirih itu selalu ramah padaku.
Kami Bukan Benalu, Bu. Bab 19 “Sebenernya, Ibu maunya apa?” tanya Mas Faisal dengan suara serak. Ibu mengangkat dagu seperti yang biasa ia lakukan saat marah. “Nggak mau apa-apa. Emang dasar istrimu aja yang cengeng dan senengn ngadu! Nggak diapa-apain nangis. Mungkin dia seneng, ada Mbak Acih dan Mbak Darmi yang selalu belain dia. Jadi, sengaja ambil kesempatan buat jatuhin ibu. Biar Ibu kelihatan jahat!” “Ningsih! Stop! Nggak usah diterusin! Tanpa Arum mengadu pun, kami sudah tahu apa yang terjadi. Kami lebih paham sifat kamu!” bentak Wak Darmi. “Bawa ibumu pulang, Fais!” Mas Faisal pun membujuk Ibu agar mau ke luar dari rumah ini. Ibu tampak menepis tangan anak sulungnya itu, saat akan dibimbing menuju pintu. “Lepasin! Ibu bisa sendiri! Urus saja istrimu yang tukang ngadu itu!” Ibu per
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 20Setibanya di klinik, Arkan langsung ditangani oleh dokter yang sedang bertugas. Untungnya, klinik sedang tidak ramai. Jadi Arkan langsung mendapat pertolongan. Menurut dokter, luka Arkan tidak terlalu dalam, dan mendapat tiga jahitan. Akan tetapi, masalah belum selesai, aku bingung bagaimana harus membayar tagihan klinik. Karena panik, aku sampai lupa tidak membawa dompet. “Kenapa, Mbak?” tanya Rizki yang ternyata menunggu di teras klinik. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. “Anu, Ki, saya lupa nggak bawa dompet sama HP. Mm, maaf, bisa minta tolong sekali lagi nggak?”
Kami Bukan Benalu, Bu. Bab 21 Mbak Arini mengeluarkan beberapa dokumen yang harus kutandatangani. Rupanya, ia juga sudah terlebih dulu menanda tangani surat-surat itu. Surat-surat yang berisi akad jual beli tanah dan surat keterangan lain. Tanah peninggalan Bapak, terkena jalur pembangunan jalan bebas hambatan. Tanah itu terletak di daerah yang sulit dijangkau. Karena itulah, dibiarkan terbengkelai. Selain jalanan menuju ke sana sangat terjal dan berliku, tanahnya juga tandus. Karena itulah, tidak ada yang menggarapnya. Padahal, lumayan luas. Satu hektar setengah. Kata bapak, sebagian tanah itu adalah warisan dari kakek, sebagian lagi dibeli sendiri oleh Bapak sewaktu bekerja di kebun sawit saat bujangan dulu. Tanah itu diwariskan kepada kami berdua.
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 22Pak Penghulu bangun dari duduknya, membuat suasana semakin tegang. Hanum dan Ibu bahkan mulai terisak. Jujur saja, ada rasa tidak tega melihat mereka seperti itu. Mas Faisal, Zaenal dan Dika juga bangun dari duduknya dan berusaha mencegah Pak Penghulu pergi. “Kami mohon, Pak, lima menit lagi aja.” Mas Faisal menyatukan kedua tangannya di depan dada. “Maaf, Mas Faisal, saya sudah ditunggu di tempat lain. Ini juga sudah telat.” “Tapi, Pak ....” “Maaf sekali, saya nggak bisa nunggu lagi. Sekarang, biar saya menikahkan di tempat lain dulu, nanti kalo pengantin prianya sudah ada, saya ke sini lagi.” Pak Penghulu beserta satu orang stafnya tetap melangkah meninggalkan tempat. Mas Faisal, Zaenal dan Dika berusaha mengejar sam
Kami Bukan BenaluBab 23POV HanumKejadian saat menjelang akad nikah benar-benar membuatku malu. Bagaimana bisa? Mas Satya datang bersama Jelita, istri tuanya ke acara akad nikah kami. Tidak sampai disitu saja, di depan semua orang, Jelita dengan percaya diri memperkenalkan diri sebagai istri pertama Mas Satya. Tentu saja, hal itu membuat semua orang terutama teman-temanku, memandang sinis dan merendahkanku. Mereka bahkan terang-terangan menyebutku pelakor. “Ya ampun, Hanum, apa nggak ada cowok lain? sampe-sampe kamu deketin suami orang. Ish! Malu-maluin kita aja, ya, nggak gengs?” Ocehan Tia, seketika membuat wajahku memanas. Untung saja, wajahku tertutup polesan make-up tebal, jadi mungkin tidak terlihat pucat pasi. Apalagi, Tia yang memang terkenal suka blak-blakan kalau berbicara, meninggikan nada suaranya, membuat beberapa orang menoleh. “Pantesan datangnya telat, mungkin
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 24POV Hanum Ibu melepas kepergianku dengan isakan dan linangan air mata. Begitu juga beberapa kerabat yang lain. Mereka tidak rela melihatku meninggalkan acara resepsi yang belum selesai. Akan tetapi, aku sudah mengambil keputusan untuk memenuhi permintaan Jelita dan Mas Satya. Dari pada menjadi gunjingan banyak orang, lebih baik aku ikut dengan mereka. Dengan begitu, aku tidak akan mendengar apapun soal pernikahan yang tak wajar menurut beberapa orang. Mas Faisal, Mas Zaenal dan Mbak Hana memelukku sebelum aku naik ke mobil milik Satya. Ketiga kakakku itu tampak menitikkan air mata. Bagaimana pun juga, mereka pasti sedih melepas adik bungsunya ke luar dari rumah.Mas Faisal, walaupun pendiam dan tidak banyak bicara, tapi dia selalu menuruti semua permintaanku. Apalagi, setelah bapak meninggal. Hampir semua tanggung jawab bapak, berpindah pa
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 25POV Hanum Mobil berbelok memasuki halaman sebuah rumah dengan pagar tinggi menutup hampir sekelilingnya. Mang Caca langsung turun dan membukakan pintu mobil untuk Mas Satya yang duduk di belakangnya. Mas Satya pun turun, lalu berjalan memutari bagian depan kendaraan roda empat ini. Aku pikir, dia akan membukakan pintu untukku, seperti yang ia lakukan saat kami masih berpacaran. Ternyata, itu hanya angan saja. Dia berjalan melewati pintu depan begitu saja, dan bergegas membuka pintu belakang, lalu pria yang masih mengenakan jas hitam itu, mengulurkan tangannya pada Jelita. “Hanum, kamu bantu Mang Caca bawa barang belanjaan ke dalam, ya. Langsung simp