Share

Bab 5

last update Last Updated: 2021-11-11 17:31:51

Pandangan Ibu dan Hanum kembali beralih padaku. Sorot mata keduanya seperti elang yang siap menerkam mangsanya.

            “Tahu apa kamu soal ngajarin anak? Nggak usah menggurui Ibu! Ibu jelas lebih berpengalaman dari kalian!”

            Aku dan Mas Faisal saling tatap. Ayah dari kedua anakku itu menggeleng perlahan, sebagai isyarat agar aku tidak melawan perkataan Ibu. Akan tetapi, aku pura-pura tak melihat kode dari Mas Faisal.

            “Kalo Ibu lebih jago mendidik anak, harusnya, Ibu juga bisa ngasih tahu Hanum, kalo menginginkan sesuatu itu, harus berusaha. Bukan cuma ngandelin ketiga kakaknya, terutama Mas Faisal yang Ibu bilang jatuh miskin,” jawabku berusaha sesantai mungkin.

            Ibu langsung melotot ke arahku. Kedua tangannya tampak mengepal kuat. Begitu juga Hanum. Gadis yang sepintas mirip dengan Ibu itu, ikut melebarkan matanya padaku.

            “Nggak usah melotot gitu, ntar matanya lepas, susah masanginnya. Emang bener, kan? Tadi Ibu bilang kalo saya jangan banyak gaya karena Mas Faisal jatuh miskin. Lebih baik, saya hidup apa adanya saja. Nah, Hanum, kamu juga jangan banyak gaya, ya. Kakakmu udah nggak banyak duit kayak dulu. Udah nggak sanggup ngasih duit buat kamu hura-hura. Kalo mau hidup dengan gayamu yang wah, kerja dong. Cari duit sendiri, jangan ngandelin kami yang udah jatuh miskin. Atau, kamu bisa minta ke kakakmu yang lain. barangkali, mereka masih mau membiayai hidupmu yang sok sialita.”

            “Dek!” bentak Mas Faisal.

            Aku menoleh pada laki-laki yang juga tengah melotot padaku itu. Mungkin, dia tidak terima dengan apa yang aku katakan.

            “Lihat kelakuan istrimu, Fais! Ibu nggak nyangka kalo ternyata, begini sikapnya!” Ibu mertua mulai terisak sambil meneteskan air mata. Entah asli atau pura-pura. Yang jelas, tak adarasa kasihan sedikitpun padanya. Obrolannya dengan Bude Warni dan kebohongannya soal menjenguk cucu Wak Darmi perlahan mengikis rasa hormatku padanya. Sedangkan Hanum, masih melotot padaku. Entah apa yang tengah gadis itu pikirkan.

            “Loh, emang saya kenapa, Bu? Salah saya di mana? Yang saya katakan itu bener, kan? Kalo nggak ada duit, ya, jangan banyak gaya. Kalo mau banyak gaya, ya, cari duit. Jangan ngandelin pemberian orang lain. Apalagi sampe maksa-maksa. Bener, kan, Mas Fais?”

            Terdengar helaan napas dari Mas Faisal. Mungkin, dia bingung hendak membela siapa.

            “Sudah, Dek. Jangan diterusin,” pinta Mas Faisal sambil mengusap lembut bahuku. “Ibu, Hanum, mendingan, kalian pulang, ya. Masalah uang buat acara lamaran Hanum, ntar Fais ngobrol sama Zaenal dan Hana. Biar ada jalan ke luarnya. Bagaimana pun juga, mereka juga kakaknya Hanum. Fais nggak mau disalahin karena nggak ngajak mereka berunding.”

            “Kamu ngusir Ibu dan adikmu, Fais?” tanya Ibu dengan napas memburu.

            “Bukan ngusir, Bu. Tapi, ini udah malam. Dan, Ibu sepertinya lagi emosi. Nggak akan bener kalo kita ngomong sekarang. Malu kalo sampe kedengeran sama tetangga.”

            “Biar saja tetangga pada denger! Biar mereka tahu bagaimana kelakuan asli istrimu, Mas!” teriak Hanum, membuatku menggelengkan kepala. Tak habis pikir dengan jalan pikiran gadis itu.

            “Astaghfirullah, Hanum! Ngomong apa kamu ini? Emangnya Arum ngapain? Udah, sana ajak Ibu pulang. Mending kalian istirahat!”

            Mas Faisal menuntun paksa Ibunya ke luar dari ruangan ini. Hanum pun mengikuti sambil menghentak-hentakkan kakinya, persis anak kecil yang sedang merajuk. Pemandangan itu membuatku menggelengkan kepala, karena merasa heran. Walau pun ini rumah anaknya, menurutku tetap saja sikap Ibu itu tidak sopan. Datang tanpa menngucapkan salam, lalu marah-marah. Sepeninggal Ibu dan Hanum, aku pun bergegas masuk ke kamar Arkan. Aku khawatir kalau pertengkaran tadi membuatnya ketakutan.

            Benar saja, Arkan sedang memeluk bantal guling saat aku menemuinya di kamar.

            “Arkan, udah bobo?” tanyaku pura-pura tak tahu kalau jagoan kecilku itu masih terjaga. Arkan langsung membalikkan badannya dan bangun dari tempat tidur. Bocah laki-laki itu memelukku erat.

            “Ibu, Arkan takut sama nenek sama Tante Hanum. Mereka galak. Jahat sama Ibu, marah-marah.”

            Aku mengusap punggung Arkan.”Sst, nggak boleh ngomong gitu. Tadi, nenek sama Tante Hanum ngobrolnya kekencengan. Bukan marah-marah.”

            “Tapi, Arkan takut, Bu. Kata nenek sama Tante Hanum, kalo Arkan nakal, Arkan mau dimasukin karung terus dikasihin ke tukang rongsok, Bu.”

            Penuturan Arkan membuatku mengerutkan dahi. “Kapan nenek sama tante ngomong gitu?”

            “Kemarin pas Arkan nggak sengaja numpahin air teh nenek, Bu. Padahal, Arkan udah minta maaf. Tapi nenek sama tante melotot, terus marahin Arkan, dan bilang gitu.”

            Mendengar pengakuan Arkan, aku hanya bisa beristghfar dalam hati. “Oh, itu cuma bercanda. Udah, sekarang Arkan bobo, ya. Udah malem.”

            Bocah yang mewarisi garis wajah Mas Faisal itu mengangguk, lalu kembali ke tempat tidur. Seperti biasa, aku akan menemaninya sampai tertidur. Sedangkan Mas Faisal, belum terdengar pulang. Mungkin, dia masih berbicara dengan ibu dan adiknya.

            Sambil menyenandungkan sholawat untuk menina bobokan Arkan, pikiranku melayang pada sikap Ibu akhir-akhir ini. Ternyata, bukan hanya padaku Ibu bersikap menyebalkan. Pada Arkan pun Ibu sudah berani menakut-nakuti dengan kata-kata yang tidak pantas. Apakah ini ada hubungannya dengan uang yang Ibu minta untuk persiapan acara lamaran Hanum? Bagaimana  reaksi Mas Faisal kalau mengetahui anak lelakinya ditakut-takuti seperti itu?

           

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 43

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 43Sejak kejadian itu, aku tak pernah lagi menyambangi kediaman Ibu mertua. Entah dengan Mas Faisal dan adik-adiknya, serta menantu yang lain. Tak ingin memperpanjang masalah, aku memberikan uang yang sedianya untuk membayar denda, pada Mas Faisal. Tentu sesuai jumlah yang harus dibayar oleh Ibu. Aku juga tak pernah menanyakan kabar ibu pada siapapun. Dan, sepertinya, Mas Faisal dan adik-adiknya juga mengerti dan menghargai sikapku. Terbukti, saat berkumpul, mereka tak pernah membahas apapun soal Ibu. Menurut cerita Nita, dia juga sudah jarang berkomunikasi dengan ibu. Sebenarnya, bukan ini yang aku inginkan. Bagaimanapun juga, aku ingin anak-anak ibu mertuaku tetap dekat dan memperhatikan ibu mereka. Karena, mungkin saja, di masa senjanya, Ibu pasti ingin dekat dengan anak-anak dan cucu-cucu, serta menantunya. Akan tetapi, aku juga tak berhak memaksa mereka untuk mengambil sikap yang sedikit tegas pada ibu. Ya, walaupun tujuannya hanya untuk memberi pelaja

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 42

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 42Aku sangat terkejut mendengar kalimat panjang Nita. Dia yang selama ini selalu diam dan patuh pada Ibu, akhirnya buka suara juga. Mungkin,dia sudah jengah dengan sikap ibu mertua yang semakin hari semakin menyebalkan. Perlahan, kuangkat wajah, menatap satu persatu orang-orang yang ada di ruangan ini. Mereka juga sepertinya sama denganku, terkejut dengan kalimat yang diucapkan Nita, menantu kesayangan Ibu. Sedangkan Ibu, kulihat tak kalah terkejutnya. Wajahnya tampak pucat. Mungkin, ia tak menyangka, menantu kesayangan yang selama ini dibanggakan, berani membantah omongannya."Bu-bukan begitu maksud ibu, Nit." Ibu berusaha menyanggah kata-katanya sendiri. "Lalu, apa? Jelas-jelas Ibu tadi bilang, kalo Mbak Arum itu orang lain yang hanya kebetulan menikah dengan anak Ibu, bukan?"Ibu mengangguk samar, sambil menautkan jari jemari tangannya."Nah, terus, apa bedanya Mbak Arum, sama Nita? Juga Dika? Kami juga orang lain yang kebetulan berjodoh dengan anak

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 41

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 41Aku terus berjalan menjauhi rumah Hanum. Hingga tak terasa hampir tiba di gerbang komplek. Kuputuskan untuk mencari tukang ojeg yang biasa mangkal di depan komplek. Akan tetapi, belum juga sampai ke pangkalan ojek, Mas Faisal sudah berhasil menyusulku dengan mengendarai mobil kami. “Arum!” teriaknya.Tak ingin menjadi pusat perhatian orang di sekitar kami, aku pun terpaksa menghentikan langkah. Mas Faisal memarkirkan kendaraan roda empat itu di depanku, lalu bergegas turun “Masuk, Rum!” titahnya sambil menuntunku masuk ke mobil. Aku pun menurut saja. Apalagi, memang dalam hal ini Ma

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 40

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 40Seminggu sejak Hanum melahirkan, Ibu masih tidak mau datang menjenguk anak dan cucunya itu. Setiap kali aku dan Mas Faisal mengajak ke rumah Hanum, ibu selalu menolak dengan berbagai alasan. Apalagi, masalah mobil yang hilang itu masih belum selesai. Karena kendaran roda empat tersebut tidak bisa ditemukan, maka sang pemilik menuntut ganti rugi. Apalagi, ternyata, sebelum menyewa, Mbak Tuti sudah menanda tangani surat perjanjian tentang peraturan sewa. Tentu saja, hal itu membuat kami tidak bisa berbuat banyak. “Kalian ini! Hanum terus yang diurus! Ibu yang lagi kena masalah, kalian biarkan saja! Tidak satu pun yang berniat membantu!” omel Ibu saat aku dan Mas Faisal akan berangkat ke rumah Hanum.

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 39

    &nb

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 38

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 38Sejak kedatangannya yang mendapat perlakukan tidak menyenangkan dari Ibu, baik Hanum maupun Satya, tidak pernah lagi berkunjung ke rumah Ibu. Begitu juga Ibu yang semakin menjaga jarak dengan kami. Bahkan, sewaktu Hanum menggelar acara tujuh bulanan, Ibu juga menolak untuk datang. “Mau ngadain acara di mana? Mereka kan, tinggal di kontrakan, pasti tempatnya sempit. Kalo kalian mau datang, ya silakan. Ibu ada acara lain,” tolaknya waktu itu.Hatiku serasa ditusuk pisau tak kasat mata mendengar kalimat Ibu. Hal yang sama juga kualami saat menggelar acara tujuh bulanan Alea dulu. Waktu itu, kami juga masih tinggal di kontrakan dua petak. Ibu menolak datang, alasannya tempat tinggal kami sempit. Dan Ibu lebih memilih membantu acara syukuran wisuda anak bungsu Bude Warni. Padahal, waktu itu Ibu belum mempunyai cucu dari anak menantu yang lain. Harusnya, kehadiran Alea dis

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status