Share

Bab 8

last update Last Updated: 2021-11-13 09:14:48

Perdebatan soal siapku atas perlakuan keluarga Mas Faisal meninggalkan rasa kesal yang tak kunjung hilang. Apalagi, Mas Faisal juga tidak meminta maaf padaku. Bahkan, setelah dia malah pergi entah ke mana. Karena, aku memilih tidur cepat selepas Isya. Sengaja, biar tidak perlu lagi berdebat dengannya.

            Pagi harinya, aku tetap mengurus rumah dan menyiapkan sarapan seperti biasa, walaupun masih dengan mode senyap. Dan, seperti biasa, Mas Faisal juga tidak banyak bicara.

            “Jam berapa kamu jualannya, Dek?” tanya Mas Faisal saat kami selesai sarapan.

            “Mulai jam sebelas siang. Kan, ngejar waktu istirahat anak-anak sekolah.”

            “Oh, ya udah, ntar Arkan biar Mas yang jemput di sekolah, terus Mas anter ke ruko. Takut kamu keteteran.”

            Aku hanya mengangguk, sebagai ganti kata ‘iya’.

            “Semua udah siap?”

            Lagi-lagi, aku mengangguk sebagai jawaban.

            “Ya sudah, setelah antar Arkan ke sekolah, Mas anter kamu ke ruko.”

            “Emangnya, Mas nggak akan ke sawah atau tambak?”

            “Mau, kebetulan temen yang ditawarin kerja sama, mau lihat dulu lelenya. Paling sebentar, kok, Dek.”

            “Oh, ya udah.”

            “Nggak apa-apa, kan, kamu sendirian dulu. Ntar siang Mas bantuin.”

            Aku mengangguk, lalu bangun dari kursi dan membereskan bekas sarapan kami. Sedangkan Mas Faisal menghampiri Arkan yang sudah siap dengan seragam sekolahnya.

-dmr-

            Hari pertama berjualan, aku sedikit kewalahan. Apalagi, Mas Faisal tidak muncul sama sekali. Ponselnya juga tidak aktif, membuatku sedikit kesal. Untungnya para pembeli mengerti dan mau mengantri. Padahal semua ceker sudah kumasak sekaligus, dan dibiarkan di atas kompor. Sesekali dihangatkan,  jadi saat ada pembeli, aku tinggal bungkus dan ditambah bumbu pedas sesuai selera pembeli.

Meskipun kesal dengan ketidak munculan Mas Faisal, aku tetap bersyukur, karena sepuluh kilo ceker habis terjual. Bahkan ada beberapa pembeli yang tidak kebagian. Hal itu, membuatku berinisiatif menambah pesanan ceker mentah.

“Rame, Rum?” tanya Mbak Tami, saat aku sedang membereskan perkakas bekas berjualan. Kakak sepupu suamiku itu memang selalu mengantarkan makan siang untuk suaminya.

“Alhamdulillah, Mbak. terimakasih udah bantuin promosi sama bantuin ngomong sama yang punya tempat.”

Mbak Tami tersenyum sambil mengacungkan ibu jari tangan kanannya. “Arkan mana?”

“Tadi sih, Mas Faisal bilang mau jemput Arkan, terus mau dianter ke sini sekalian dia mau bantuin. Tapi, nggak tahu deh, sampai sekarang mereka nggak dateng. Mungkin, Arkan diajak ke tambak, Mbak. soalnya, temen Mas Faisal mau lihat dulu ikan lelenya.”

“Oh. Tapi, aku lihat tadi Faisal pergi sama Joko, Rum. Boncengan pake sepeda motor. Ketemu tadi pagi, pas aku dari pasar.”

Aku menoleh ke arah Mbak Tami. “Beneran, Mbak?”

Mbak Tami mengangguk. Tiba-tiba ada perasaan tidak enak menyelusup ke hati. Joko adalah suami Mbak Tuti. Laki-laki yang berbisnis jual beli sepeda motor bekas itu, memang sesekali minta diantar Mas Faisal saat bepergian jauh. Dan biasanya, mereka pergi sampai malam. Kalau Mas Faisal pergi sama Mas Joko, lalu Arkan sama siapa di rumah? Siapa yang menjemputnya di sekolah?

“Oh, ya udah. Kalo gitu, aku langsung pulang aja, ya, Mbak. Aku khawatir sama Arkan.”

“Bareng aja, Rum. Abis ini aku juga langsung pulang, kok. Aku tunggu di ruko suamiku, ya.”

Aku mengangguk, Mbak Tami pun ke luar dari ruko ini. Gegas aku menyelesaikan pekerjaan yang tersisa. Saat semua selesai, Mbak Tami sudah menungguku di depan ruko dengan sepeda motor maticnya. Kami berdua pun bergegas pulang.

-dmr-

Sesampainya di rumah, terlihat Arkan tengah bermain di teras, sendirian. Aku menarik napas lega, karena melihat anak bungsuku anteng dan sudah berganti baju. Mungkin, Mas Faisal sempat mengurusnya sebelum pergi tadi.

“Baru jualan begitu aja, udah nelantarin anak! Kalo mau berbisnis, urus dulu anak!”

Omelan Ibu membuat aku dan Mbak Tami saling pandang. Aku pun bergegas menghampiri Ibu yang terlihat marah. Mbak Tami yang tadi sudah berpamitan untuk langsung pulang, juga ikut turun dari sepeda motornya.

“Maaf, Bu, tapi saya udah nitipin Arkan ke Mas Faisal dan meminta Arkan diantar ke ruko.”

“Halah! Alasan saja! Buktinya, Arkan sampe siang nggak ada yang jemput! Sampe dianterin sama gurunya ke sini! Malu-maluin aja!”

Mbak Tami mengusap lembut punggungku, mungkin memintaku untuk bersabar menghadapi omelan ibu mertua.

“Iya, Bu, maaf. Besok-besok lagi, saya nggak akan telat jemput Arkan. Maaf kalo Arkan udah bikin Ibu repot.”

Ibu mertua melengos dan pergi begitu saja.

“Sabar,” bisik Mbak Tami. “Aku pulang dulu, ya.”

Aku mengangguk, tanpa mengatakan apapun. Tenggorokanku rasanya tercekat, antara ingin marah dan ingin menangis. Malu rasanya dimarahin di depan orang lain. Mbak Tami berlalu dengan sepeda motornya, aku mengajak Arkan masuk.

“Arkan udah makan?”

“Belum, Bu. Di rumah nenek sayurnya pedas. Arkan minta digorengin telur, kata Tante Hanum telurnya tinggal satu, mau dipake masak mie katanya.”

Ada nyeri menusuk ulu hati. Bahkan hanya sebutir telur saja, mereka tidak mau memberikannya pada anakku. Padahal, ada darah yang sama dengan mereka, mengalir di tubuh Arkan.

“Kenapa nggak ngambil telur di rumah? Atau ayam goreng, kan, ada. Ibu udah siapin tadi pagi, kok.”

“Kan, pintunya dikunci, sama ayah kuncinya dibawa. Arkan juga nggak ganti baju.”

“Emang nggak ada baju di rumah nenek?” Seingatku, ada beberapa baju Arkan dan Alea di rumah Ibu.

Arkan menggeleng cepat. “Kata nenek, baju Arkan udah dipake lap.”

Lagi-lagi, rasa nyeri menjalar di hati. Bahkan baju anak-anakku yang masih layak pakai pun, mereka tak mau menyimpannya. Aku menarik napas dan membuangnya perlahan. Berharap, rasa sakit ini berkurang seiring helaan napas. Tetapi, aku salah. Rasa sakit itu tetap ada. Sekuat apa pun aku berusaha membuangnya.

Entah apa yang membuat Ibu bersikap begini. Caranya memperlakukan keluargaku sangat berbeda dengan sikapnya pada orang lain. seolah-olah kami adalah benalu, yang menganggu hidupnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 43

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 43Sejak kejadian itu, aku tak pernah lagi menyambangi kediaman Ibu mertua. Entah dengan Mas Faisal dan adik-adiknya, serta menantu yang lain. Tak ingin memperpanjang masalah, aku memberikan uang yang sedianya untuk membayar denda, pada Mas Faisal. Tentu sesuai jumlah yang harus dibayar oleh Ibu. Aku juga tak pernah menanyakan kabar ibu pada siapapun. Dan, sepertinya, Mas Faisal dan adik-adiknya juga mengerti dan menghargai sikapku. Terbukti, saat berkumpul, mereka tak pernah membahas apapun soal Ibu. Menurut cerita Nita, dia juga sudah jarang berkomunikasi dengan ibu. Sebenarnya, bukan ini yang aku inginkan. Bagaimanapun juga, aku ingin anak-anak ibu mertuaku tetap dekat dan memperhatikan ibu mereka. Karena, mungkin saja, di masa senjanya, Ibu pasti ingin dekat dengan anak-anak dan cucu-cucu, serta menantunya. Akan tetapi, aku juga tak berhak memaksa mereka untuk mengambil sikap yang sedikit tegas pada ibu. Ya, walaupun tujuannya hanya untuk memberi pelaja

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 42

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 42Aku sangat terkejut mendengar kalimat panjang Nita. Dia yang selama ini selalu diam dan patuh pada Ibu, akhirnya buka suara juga. Mungkin,dia sudah jengah dengan sikap ibu mertua yang semakin hari semakin menyebalkan. Perlahan, kuangkat wajah, menatap satu persatu orang-orang yang ada di ruangan ini. Mereka juga sepertinya sama denganku, terkejut dengan kalimat yang diucapkan Nita, menantu kesayangan Ibu. Sedangkan Ibu, kulihat tak kalah terkejutnya. Wajahnya tampak pucat. Mungkin, ia tak menyangka, menantu kesayangan yang selama ini dibanggakan, berani membantah omongannya."Bu-bukan begitu maksud ibu, Nit." Ibu berusaha menyanggah kata-katanya sendiri. "Lalu, apa? Jelas-jelas Ibu tadi bilang, kalo Mbak Arum itu orang lain yang hanya kebetulan menikah dengan anak Ibu, bukan?"Ibu mengangguk samar, sambil menautkan jari jemari tangannya."Nah, terus, apa bedanya Mbak Arum, sama Nita? Juga Dika? Kami juga orang lain yang kebetulan berjodoh dengan anak

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 41

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 41Aku terus berjalan menjauhi rumah Hanum. Hingga tak terasa hampir tiba di gerbang komplek. Kuputuskan untuk mencari tukang ojeg yang biasa mangkal di depan komplek. Akan tetapi, belum juga sampai ke pangkalan ojek, Mas Faisal sudah berhasil menyusulku dengan mengendarai mobil kami. “Arum!” teriaknya.Tak ingin menjadi pusat perhatian orang di sekitar kami, aku pun terpaksa menghentikan langkah. Mas Faisal memarkirkan kendaraan roda empat itu di depanku, lalu bergegas turun “Masuk, Rum!” titahnya sambil menuntunku masuk ke mobil. Aku pun menurut saja. Apalagi, memang dalam hal ini Ma

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 40

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 40Seminggu sejak Hanum melahirkan, Ibu masih tidak mau datang menjenguk anak dan cucunya itu. Setiap kali aku dan Mas Faisal mengajak ke rumah Hanum, ibu selalu menolak dengan berbagai alasan. Apalagi, masalah mobil yang hilang itu masih belum selesai. Karena kendaran roda empat tersebut tidak bisa ditemukan, maka sang pemilik menuntut ganti rugi. Apalagi, ternyata, sebelum menyewa, Mbak Tuti sudah menanda tangani surat perjanjian tentang peraturan sewa. Tentu saja, hal itu membuat kami tidak bisa berbuat banyak. “Kalian ini! Hanum terus yang diurus! Ibu yang lagi kena masalah, kalian biarkan saja! Tidak satu pun yang berniat membantu!” omel Ibu saat aku dan Mas Faisal akan berangkat ke rumah Hanum.

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 39

    &nb

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 38

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 38Sejak kedatangannya yang mendapat perlakukan tidak menyenangkan dari Ibu, baik Hanum maupun Satya, tidak pernah lagi berkunjung ke rumah Ibu. Begitu juga Ibu yang semakin menjaga jarak dengan kami. Bahkan, sewaktu Hanum menggelar acara tujuh bulanan, Ibu juga menolak untuk datang. “Mau ngadain acara di mana? Mereka kan, tinggal di kontrakan, pasti tempatnya sempit. Kalo kalian mau datang, ya silakan. Ibu ada acara lain,” tolaknya waktu itu.Hatiku serasa ditusuk pisau tak kasat mata mendengar kalimat Ibu. Hal yang sama juga kualami saat menggelar acara tujuh bulanan Alea dulu. Waktu itu, kami juga masih tinggal di kontrakan dua petak. Ibu menolak datang, alasannya tempat tinggal kami sempit. Dan Ibu lebih memilih membantu acara syukuran wisuda anak bungsu Bude Warni. Padahal, waktu itu Ibu belum mempunyai cucu dari anak menantu yang lain. Harusnya, kehadiran Alea dis

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status