Aku tersenyum sinis ke arah perempuan dengan rambut berwarna cokelat muda itu. “Nggak usah ikut campur, Mbak. Mendingan, Mbak Tuti, pikirin hutang Mbak ke aku. Udah dua tahun, loh. Kan, waktu itu, janjinya selesai hajatan dibayar lunas. Mana? Itu uang pribadiku, loh. Hasil jualan jajanan receh. Bukan uang Mas Faisal.”
Seketika wajah Mbak Tuti berubah pucat. Mungkin, dia tidak menyangka aku akan menagih hutang yang mungkin dia pura-pura lupa. Aku pura-pura tidak melihat ekspresi Mbak Tuti, dan melewati mereka begitu saja.
“Hutang segitu aja, ditagih-tagih terus. Kayak sama siapa! Ingat, siapa yang ngajarin suamimu dagang!”
Mendengar gerutuan Mbak Tuti, aku pun menghentikan langkah dan membalikkan badan. “Segitu aja? Maksud Mbak, lima juta itu sedikit? Kalo gitu, kenapa nggak dibayar-bayar? Buatku, lima juta itu banyak, loh. Apalagi menurut kalian, aku dan Mas Faisal sedang bangkrut, kan? Lima juta itu, bisa dipakai bayar sekolah Alea setengah tahun. Atau, bisa buat biaya lamaran Hanum, ya, kan, Bu?”
Ibu dan Bude Warni langsung saling pandang. Raut tak suka tercetak jelas pada wajah Bude Warni. Mungkin, dia tidak suka aku mengungkit masalah hutang anak sulungnya itu. Sementara Ibu, terlihat terkejut. Mungkin, Ibu tidak menyangka kalau keponakan yang selalu ia banggakan, ternyata memiliki hutang padaku.
“Benar, kamu masih punya hutang sama Arum, Tut?” tanya Ibu. Matanya menatap tajam pada Mbak Tuti yang sedang melotot ke arahku. “Atau, jangan-jangan Arum mengada-ada?”
Aku tersenyum sinis ke arah mereka semua. “Mengada-ada gimana, Bu? Mbak Tuti itu punya hutang sepuluh juta buat modal hajatan sewaktu anak bungsunya dikhitan. Janjinya, selesai hajatan mau dibayar lunas. Tapi nyatanya, dia cuma transfer lima juta. Katanya, yang lima juta lagi mau dibayar setelah semua urusan yang menyangkut hajatan selesai. Tapi, nyatanya? Sampai sekarang nggak kabar. Dan, saya baru sekarang nanyain uang itu. Padahal udah mau dau tahun, loh.”
Tatapan tajam Ibu beralih ke Mbak Tuti. “Benar begitu, Tuti?”
Mbak Tuti tampak menggaruk tengkuknya. Kemudian, ia mengusap keningnya, lalu menunduk. Terlihat sekali kalau dia sedang salah tingkah.
“Tuti!” bentak Bude Warni. “Jawab pertanyaan Bik Ningsih! Bener kamu masih punya hutang sama Arum?”
Perlahan Mbak Tuti mengangkat wajahnya yang sekarang terlihat pias. Kemudian, perempuan bermake-up tebal itu mengangguk samar.
“Makanya, Bude, sebelum ngomentarin hidup orang, lihat dulu hidup anak sendiri. Biarpun saya dan Mas Faisal bangkrut, tapi kami nggak jadi benalu buat orang lain. Biarpun Mas Faisal cuma bertani dan beternak, dan saya cuma jualan makanan murah, tapi nggak sampe ngutang sana-sini buat menutupi gaya hidup kami. Ibu, sebelum ngajarin saya untuk hidup apa adanya, mendingan Ibu ajarin keponakan dan anak bungsu kesayangan Ibu, apa itu hidup sederhana sesuai kemampuan. Kalo nggak punya duit, jangan banyak gaya. Dan, kamu, Mbak Tuti, tolong segera bayar hutang yang menurutmu nggak seberapa itu!”
Setelah mengeluarkan unek-unek yang ada di hati, aku pun meninggalkan mereka dan masuk ke rumah yang tinggal beberapa langkah lagi. Kututup pintu perlahan, dan berjalan ke dapur. Segelas air dingin mungkin bisa mentralisir amarah yang masih tersisa di dada.
Usai meminum segelas air dingin, aku duduk di kursi kayu. Kutarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Suara obrolan ibu mertuaku, Bude Warni, Mbak Tuti dan Hanum masih terdengar meskipun samar-samar. Terserah saja mereka mau ngomong apa. Mendingan aku mandi biar badan lebih segar saat Mas Faisal dan Arkan pulang nanti. Mas Faisal mengajak Arkan untuk menemui teman lamanya yang memiliki rumah makan. Mas Faisal bermaksud menawarkan lele-lele yang sebentar lagi bisa dipanen.
-dmr-
“Dek, kamu nagih ke Mbak Tuti?” tanya Mas Faisal saat dia tiba di rumah. Ia terlihat sedikit kerepotan menggendong Arkan yang tertidur. Kuikuti langkahnya ke dalam kamar, menidurkan anak bungsu kami yang terlihat lelap.
“Iya. Lumayan, kalo dia bayar, bisa buat nambah-nambah biaya lamaran Hanum,” jawabku sambil menata bantal untuk Arkan.
“Iya, tapi, ya, jangan marah-marah juga.”
Aku menoleh pada lelaki yang terlihat lelah itu. Sudah kuduga, pasti salah satu atau mereka semua sudah mengadu padanya. Tentunya dengan ditambahi banyak bumbu drama.
“Siapa yang marah-marah? Kita ini udah nikah selama tiga belas tahun, masa masih nggak paham juga sifatku gimana? Dan, kamu, sejak lahir kan pastinya juga udah kenal sama Ibu, Bude Warni, Mbak Tuti, Hanum, masa masih nggak hafal gimana kelakuan mereka?” sindirku. Malas berdebat dengan Mas Faisal, aku memilih ke luar dari kamar Arkan.
“Ya, kamu kan, udah tahu kalo mereka gitu. Kenapa juga dilawan?” Ternyata Mas Faisal mengikutiku ke dapur. Kuambil segelas air dingin dari kulkas dan memberikannya pada Mas Faisal. Lelaki berjambang tipis itu menerima gelas dariku dan langsung meminum isinya sampai tandas.
“Ya, terus, aku harus diam aja gitu? Mereka ngomongin aku, aku diem, nggak ngadu sama siapa-siapa. Kita diperlakukan berbeda dari anak menantu yang lain, aku juga diem. Toh, nggak perlu cerita juga, orang lain pada tahu dengan sendirinya. Semut diinjak juga ngegigit, Mas. Apalagi aku, manusia biasa. Nggak mungkinlah diem aja kalo dihina terus-terusan. Apalagi yang menghina punya hutang sama aku!”
Mas Faisal tak menyahut omelanku. Ia menarik satu kursi dan mendudukinya. Kalau sudah seperti itu, aku paham, pasti Mas Faisal lapar. Aku pun mengambil piring, dan mengisinya dengan nasi dan lauk pauk yang sudah kumasak. Kuberikan piring itu pada Mas Faisal. Ia menerimanya, lalu menyuap makanan itu setelah berdoa. Kubiarkan dia menghabiskan dulu makanan di depannya. Kata almarhum nenekku, jangan mengomel saat suami sedang makan. Jadi, meskipun ingin mengomel, kutahan saja sampai suamiku ini selesai makan. Kuberikan segelas air mineral pada Mas Faisal, saat piringnya sudah bersih.
“Maaf, ya, Dek. Mas cuma nggak mau kamu ribut sama keluarga Mas, itu aja.”
“Ya, kalo mereka bisa menjaga omongan mereka, aku juga nggak akan ribut, kok. Aku ini masih waras, nggak mungkin berisik kalo nggak diusik!”
Mas Faisal tampak menghela napas. “Mas harap, kamu lebih sabar lagi menghadapi mereka.”
Aku mendengkus kasar. “Sabar-sabar! Yang disabarin ngelunjak! Giliran dilawan, ngadu ke mana-mana!”
Kutinggalkan Mas Faisal yang masih duduk di kursi. Selalu saja begini, setiap kali membahas perilaku saudara-saudaranya. Dia hanya memintaku sabar dan sabar. Tetapi, tidak pernah ada teguran untuk keluarganya. Menyebalkan!
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 43Sejak kejadian itu, aku tak pernah lagi menyambangi kediaman Ibu mertua. Entah dengan Mas Faisal dan adik-adiknya, serta menantu yang lain. Tak ingin memperpanjang masalah, aku memberikan uang yang sedianya untuk membayar denda, pada Mas Faisal. Tentu sesuai jumlah yang harus dibayar oleh Ibu. Aku juga tak pernah menanyakan kabar ibu pada siapapun. Dan, sepertinya, Mas Faisal dan adik-adiknya juga mengerti dan menghargai sikapku. Terbukti, saat berkumpul, mereka tak pernah membahas apapun soal Ibu. Menurut cerita Nita, dia juga sudah jarang berkomunikasi dengan ibu. Sebenarnya, bukan ini yang aku inginkan. Bagaimanapun juga, aku ingin anak-anak ibu mertuaku tetap dekat dan memperhatikan ibu mereka. Karena, mungkin saja, di masa senjanya, Ibu pasti ingin dekat dengan anak-anak dan cucu-cucu, serta menantunya. Akan tetapi, aku juga tak berhak memaksa mereka untuk mengambil sikap yang sedikit tegas pada ibu. Ya, walaupun tujuannya hanya untuk memberi pelaja
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 42Aku sangat terkejut mendengar kalimat panjang Nita. Dia yang selama ini selalu diam dan patuh pada Ibu, akhirnya buka suara juga. Mungkin,dia sudah jengah dengan sikap ibu mertua yang semakin hari semakin menyebalkan. Perlahan, kuangkat wajah, menatap satu persatu orang-orang yang ada di ruangan ini. Mereka juga sepertinya sama denganku, terkejut dengan kalimat yang diucapkan Nita, menantu kesayangan Ibu. Sedangkan Ibu, kulihat tak kalah terkejutnya. Wajahnya tampak pucat. Mungkin, ia tak menyangka, menantu kesayangan yang selama ini dibanggakan, berani membantah omongannya."Bu-bukan begitu maksud ibu, Nit." Ibu berusaha menyanggah kata-katanya sendiri. "Lalu, apa? Jelas-jelas Ibu tadi bilang, kalo Mbak Arum itu orang lain yang hanya kebetulan menikah dengan anak Ibu, bukan?"Ibu mengangguk samar, sambil menautkan jari jemari tangannya."Nah, terus, apa bedanya Mbak Arum, sama Nita? Juga Dika? Kami juga orang lain yang kebetulan berjodoh dengan anak
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 41Aku terus berjalan menjauhi rumah Hanum. Hingga tak terasa hampir tiba di gerbang komplek. Kuputuskan untuk mencari tukang ojeg yang biasa mangkal di depan komplek. Akan tetapi, belum juga sampai ke pangkalan ojek, Mas Faisal sudah berhasil menyusulku dengan mengendarai mobil kami. “Arum!” teriaknya.Tak ingin menjadi pusat perhatian orang di sekitar kami, aku pun terpaksa menghentikan langkah. Mas Faisal memarkirkan kendaraan roda empat itu di depanku, lalu bergegas turun “Masuk, Rum!” titahnya sambil menuntunku masuk ke mobil. Aku pun menurut saja. Apalagi, memang dalam hal ini Ma
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 40Seminggu sejak Hanum melahirkan, Ibu masih tidak mau datang menjenguk anak dan cucunya itu. Setiap kali aku dan Mas Faisal mengajak ke rumah Hanum, ibu selalu menolak dengan berbagai alasan. Apalagi, masalah mobil yang hilang itu masih belum selesai. Karena kendaran roda empat tersebut tidak bisa ditemukan, maka sang pemilik menuntut ganti rugi. Apalagi, ternyata, sebelum menyewa, Mbak Tuti sudah menanda tangani surat perjanjian tentang peraturan sewa. Tentu saja, hal itu membuat kami tidak bisa berbuat banyak. “Kalian ini! Hanum terus yang diurus! Ibu yang lagi kena masalah, kalian biarkan saja! Tidak satu pun yang berniat membantu!” omel Ibu saat aku dan Mas Faisal akan berangkat ke rumah Hanum.
&nb
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 38Sejak kedatangannya yang mendapat perlakukan tidak menyenangkan dari Ibu, baik Hanum maupun Satya, tidak pernah lagi berkunjung ke rumah Ibu. Begitu juga Ibu yang semakin menjaga jarak dengan kami. Bahkan, sewaktu Hanum menggelar acara tujuh bulanan, Ibu juga menolak untuk datang. “Mau ngadain acara di mana? Mereka kan, tinggal di kontrakan, pasti tempatnya sempit. Kalo kalian mau datang, ya silakan. Ibu ada acara lain,” tolaknya waktu itu.Hatiku serasa ditusuk pisau tak kasat mata mendengar kalimat Ibu. Hal yang sama juga kualami saat menggelar acara tujuh bulanan Alea dulu. Waktu itu, kami juga masih tinggal di kontrakan dua petak. Ibu menolak datang, alasannya tempat tinggal kami sempit. Dan Ibu lebih memilih membantu acara syukuran wisuda anak bungsu Bude Warni. Padahal, waktu itu Ibu belum mempunyai cucu dari anak menantu yang lain. Harusnya, kehadiran Alea dis