Share

Bab 2

last update Last Updated: 2021-11-11 17:23:19

Mas Faisal makan dengan lahap. Mungkin dia lapar dan capek sepulang dari tambak ikan. Aku sudah menawarinya bekal tadi pagi, tapi dia tidak mau. Katanya sebentar. Tetapi, ternyata katanya ada tanggul yang longsor sedikit dan menimpa tambak kami. Karena semalam, hujan turun dengan lebatnya. Jadi,mau tidak mau Mas Faisal membetulkannya seorang diri.

            “Kenapa, Dek? Kok, ngelihatin Mas ampe begitu?” teguran Mas Faisal membuatku sedikit kaget.

            “Eh, anu, Mas. Nggak apa-apa.”

            “Em, bener? Itu, makanan kenapa cuma diaduk-aduk? Atau mau disuapin?” Tanpa menunggu jawabanku, Mas Faisal mengambil piringku dan menyendokkan nasi, mengarahkannya padaku.

            “Ih, Ibu kan udah gede,masa maemnya disuapin, malu,” protes Arkan, anak bungsu kami. Hal itu sontak membuat aku dan Mas Faisal tertawa.

            “Habisnya, ibumu maemnya lama.”

            “Ibu, maemnya habisin, biar sehat kayak Arkan.” Aku mengusap lembut kepala bocah berumur lima tahun itu.

            “Iya, Arkan hebat. Arkan nonton tivi dulu, ya. Ibu mau beresin meja dulu.”

            Bocah yang mewarisi wajah serupa dengan Mas Faisal itu mengangguk, lalu turun dari kursinya dan meninggalkan ruang makan yang menyatu dengan dapur ini.

            “Ada apa?” tanya Mas Faisal. Rupanya, dia masih penasaran dengan apa yang sedang aku pikirkan.

            Aku menarik napas dan membuangnya perlahan. “Mas, kapan lelenya bisa dipanen?”

            Mas Faisal menatapku, lalu mengusap lembut lengan kananku. “Sekitar tiga bulanan lagi, Dek. Ada apa? Apa tabunganmu sudah habis?”

            Lagi-lagi aku menghela napas, lalu menggeleng perlahan. “Mas, kalo udah panen lele, kita cari ruko, yuk.aku pengen buka usaha.”

            “Kenapa? Kamu nggak betah di sini?”

            Aku menggeleng perlahan. “Nggak, bukan nggak betah. Cuma, aku bosen, Mas. Kemarin, aku jalan-jalan, terus lihat ada ruko yang mau disewa-sewakan gitu.”

            “Sabar, ya, Dek. Mudah-mudahan, hasil panennya, bisa buat modal kamu buka usaha, aamiin.”

            Aku pun mengaminkan harapan Mas Faisal. Untuk masalah gunjingan ibu mertuaku dan Bude Warni soal kami, biar kusimpan sendiri saja. Kalau aku mengadu, takutnya malah menambah beban pikiran Mas Faisal.

            “Mas, kalo Mbak Tuti, kapan mau bayar hutang ke kita? Ada kabar nggak?” Mbak Tuti adalah anak tertua Bude Warni. Sebelum pandemi melanda, dia meminjam uang sepuluh juta untuk menggelar syukuran khitanan anak bungsunya. Dan, seingatku, baru dibayar setengahnya saja. Padahal, janjinya selesai acara, mau langsung dilunasi. Tetapi, sampai hari ini, belum ada tanda-tanda dia membayar sisa hutangnya.

            Terdengar helaan napas Mas Faisal. “Belum, Dek. Beberapa hari yang lalu, Mas udah nanyain. Katanya belum ada. Kan, dia juga sama kayak kita, usahanya lagi sepi.”

            “Oh. Ya sudah, sana temani Arkan. Aku mau beresin meja.”

            Mas Faisal berdiri, tapi bukannya meninggalkan ruangan ini, Mas Faisal malah memelukku dari belakang. “Maafin, Mas, ya, Dek. Karena belum bisa membahagiakan kamu. Apalagi, sekarang keadaan kita malah kayak gini. Mas harap, kamu sabar, ya.”

            Perlakuan Mas Faisal membuatku terharu. Meskipun dia bukan tipe pria romantis, tapi dia sangat lembut dan penyayang, serta bertanggung jawab. Selain itu, Mas Faisal sangat jujur dan terbuka dalam segala hal, dan juga sangat sabar.

            “Inshaa Allah, Mas. Selama Mas Faisal tetap begini dan nggak berubah, inshaa Allah aku akan bertahan dalam keadaan apapun.”

            “Makasih ya, Dek.” Mas Faisal mengecup puncak kepalaku. Setelah itu, dia meninggalkan ruangan ini. Tak lama kemudian, terdengar gelak tawa Mas Faisal dan Arkan. Entah apa yang membuat mereka tertawa. Tetapi, begitulah Mas Arkan. Dia memang sangat dekat dengan kedua anak kami.

-dmr-

            “Bu, udah jenguk anaknya Wak Darmi yang ngelahirin kemarin?” tanyaku pada Ibu mertua yang sedang menyapu halaman rumahnya.

Meskipun pulang dan menetap di kampung, tapi aku dan mertua tidak tinggal serumah. Aku menempati rumah peninggalan alamrhumah neneknya Mas Faisal. Dulu, kami membelinya, dan merenovasi di beberapa bagian. Di antara rumah ibu mertua dan rumahku, ada teras yang sengaja dibuat terhubung. Biasanya dipakai untuk makan bersama saat keluarga sedang berkumpul. Sedangkan pintu masuk ke rumahku dari jalan raya, harus melewati halaman rumah Ibu. Karena itulah, Ibu dan Bude Warni tidak menyadari kehadiranku saat bergunjing kemarin.

“Ibu udah jenguk tadi, sepulang dari Masjid. Bareng sekalian sama ibu-ibu pengajian,” jawab Ibu tanpa melihat ke arahku.

“Oh. Kenapa nggak ngajak, Bu? Saya juga belum jenguk. Tadinya mau bareng sama Ibu.”

Ibu menoleh ke arahku sebentar, lalu kembali melanjutkan aktifitasnya. “Ibu pikir kamu nggak akan jenguk.”

“Ya maulah, Bu. Setiap saya ngelahirin, Wak Darmi kan, selalu nitip amplop ke Ibu. Masa iya, sekarang anaknya ngelahirin, saya nggak jengukin.”

Ibu mertua hanya menoleh sekilas. Kemudian, wanita bertubuh tambun itu menyerok sampah yang sudah disapunya.

“Suami lagi nggak ada kerjaan, punya duit bukannya disimpan. Malah sok-sokan mau jenguk yang habis lahiran. Kayak lagi banyak duit aja.”

Meskipun pelan dan diucapkan sambil berlalu, tapi aku masih bisa mendengar gerutuan Ibu. Rasanya hatiku sakit sekali mendengarnya. Kalau bukan karena rasa hormat, ingin rasanya aku membantah kalimat Ibu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 43

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 43Sejak kejadian itu, aku tak pernah lagi menyambangi kediaman Ibu mertua. Entah dengan Mas Faisal dan adik-adiknya, serta menantu yang lain. Tak ingin memperpanjang masalah, aku memberikan uang yang sedianya untuk membayar denda, pada Mas Faisal. Tentu sesuai jumlah yang harus dibayar oleh Ibu. Aku juga tak pernah menanyakan kabar ibu pada siapapun. Dan, sepertinya, Mas Faisal dan adik-adiknya juga mengerti dan menghargai sikapku. Terbukti, saat berkumpul, mereka tak pernah membahas apapun soal Ibu. Menurut cerita Nita, dia juga sudah jarang berkomunikasi dengan ibu. Sebenarnya, bukan ini yang aku inginkan. Bagaimanapun juga, aku ingin anak-anak ibu mertuaku tetap dekat dan memperhatikan ibu mereka. Karena, mungkin saja, di masa senjanya, Ibu pasti ingin dekat dengan anak-anak dan cucu-cucu, serta menantunya. Akan tetapi, aku juga tak berhak memaksa mereka untuk mengambil sikap yang sedikit tegas pada ibu. Ya, walaupun tujuannya hanya untuk memberi pelaja

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 42

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 42Aku sangat terkejut mendengar kalimat panjang Nita. Dia yang selama ini selalu diam dan patuh pada Ibu, akhirnya buka suara juga. Mungkin,dia sudah jengah dengan sikap ibu mertua yang semakin hari semakin menyebalkan. Perlahan, kuangkat wajah, menatap satu persatu orang-orang yang ada di ruangan ini. Mereka juga sepertinya sama denganku, terkejut dengan kalimat yang diucapkan Nita, menantu kesayangan Ibu. Sedangkan Ibu, kulihat tak kalah terkejutnya. Wajahnya tampak pucat. Mungkin, ia tak menyangka, menantu kesayangan yang selama ini dibanggakan, berani membantah omongannya."Bu-bukan begitu maksud ibu, Nit." Ibu berusaha menyanggah kata-katanya sendiri. "Lalu, apa? Jelas-jelas Ibu tadi bilang, kalo Mbak Arum itu orang lain yang hanya kebetulan menikah dengan anak Ibu, bukan?"Ibu mengangguk samar, sambil menautkan jari jemari tangannya."Nah, terus, apa bedanya Mbak Arum, sama Nita? Juga Dika? Kami juga orang lain yang kebetulan berjodoh dengan anak

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 41

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 41Aku terus berjalan menjauhi rumah Hanum. Hingga tak terasa hampir tiba di gerbang komplek. Kuputuskan untuk mencari tukang ojeg yang biasa mangkal di depan komplek. Akan tetapi, belum juga sampai ke pangkalan ojek, Mas Faisal sudah berhasil menyusulku dengan mengendarai mobil kami. “Arum!” teriaknya.Tak ingin menjadi pusat perhatian orang di sekitar kami, aku pun terpaksa menghentikan langkah. Mas Faisal memarkirkan kendaraan roda empat itu di depanku, lalu bergegas turun “Masuk, Rum!” titahnya sambil menuntunku masuk ke mobil. Aku pun menurut saja. Apalagi, memang dalam hal ini Ma

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 40

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 40Seminggu sejak Hanum melahirkan, Ibu masih tidak mau datang menjenguk anak dan cucunya itu. Setiap kali aku dan Mas Faisal mengajak ke rumah Hanum, ibu selalu menolak dengan berbagai alasan. Apalagi, masalah mobil yang hilang itu masih belum selesai. Karena kendaran roda empat tersebut tidak bisa ditemukan, maka sang pemilik menuntut ganti rugi. Apalagi, ternyata, sebelum menyewa, Mbak Tuti sudah menanda tangani surat perjanjian tentang peraturan sewa. Tentu saja, hal itu membuat kami tidak bisa berbuat banyak. “Kalian ini! Hanum terus yang diurus! Ibu yang lagi kena masalah, kalian biarkan saja! Tidak satu pun yang berniat membantu!” omel Ibu saat aku dan Mas Faisal akan berangkat ke rumah Hanum.

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 39

    &nb

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 38

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 38Sejak kedatangannya yang mendapat perlakukan tidak menyenangkan dari Ibu, baik Hanum maupun Satya, tidak pernah lagi berkunjung ke rumah Ibu. Begitu juga Ibu yang semakin menjaga jarak dengan kami. Bahkan, sewaktu Hanum menggelar acara tujuh bulanan, Ibu juga menolak untuk datang. “Mau ngadain acara di mana? Mereka kan, tinggal di kontrakan, pasti tempatnya sempit. Kalo kalian mau datang, ya silakan. Ibu ada acara lain,” tolaknya waktu itu.Hatiku serasa ditusuk pisau tak kasat mata mendengar kalimat Ibu. Hal yang sama juga kualami saat menggelar acara tujuh bulanan Alea dulu. Waktu itu, kami juga masih tinggal di kontrakan dua petak. Ibu menolak datang, alasannya tempat tinggal kami sempit. Dan Ibu lebih memilih membantu acara syukuran wisuda anak bungsu Bude Warni. Padahal, waktu itu Ibu belum mempunyai cucu dari anak menantu yang lain. Harusnya, kehadiran Alea dis

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status