Share

Kami Bukan Benalu, Bu
Kami Bukan Benalu, Bu
Author: Dwi Mei Rahayu

Bab 1

Aku memperlambat langkah, karena mendengar suara orang mengobrol di samping rumah mertuaku.

            “Nggak tahulah Mbak Yu, mereka maunya apa? Tiba-tiba pulang kampung, dan bilang mau menetap di sini. Katanya usaha Faisal sepi, sering merugi, makanya tutup sekalian. Nah, pulang ke sini, bukannya mikir bikin usaha apa atau cari kerja, malah buru-buru masukin anakya ke Pesantren. Katanya habis sebelas juta sama ini-itu. Lah. Wong sekolah yang gratis juga ada, kok. Gaya-gayaan nyekolahin anak di tempat mahal. Nggak tahu deh, ntar bayaran tiap bulannya gimana? Pusing aku, Yu.” Itu suara ibu mertuaku. aku yang berniat mengambil ponsel, memilih diam dulu, ingin tahu apa tanggapan Bude Warni, kakak ibu mertuaku.

            “Dengernya aja pusing, Ning. Lah, anakmu itu loh, nggak bisa dikasih tahu. Nikah kok, sama orang jauh. Mana yatim piatu, banyak maunya pula.  Nggak jelas banget. Kayak di sini udah kehabisan stok perempuan aja. Coba, kalo dulu dia nikah sama Erina, anaknya Pak Haji Udin. Kan, Faisal nggak perlu merantau jauh-jauh. Tinggal diam di kampung, ngelola usaha mertuanya. Anakmu juga ngeyel, Ning. Giliran susah di perantauan, tetap aja pulang kampung, kan?”

            Aku menghela napas perlahan. Sungguh tak di sangka, mereka yang selama ini bersikap manis padaku, ternyata bersikap sebaliknya di belakang.

            “Terus, sekarang Arum kerjanya ngapain?” tanya Bude Warni. Rupanya mereka belum menyadari kehadiranku. Entah karena posisi mereka yang duduk membelakangiku, atau asyik bergunjing, sehingga mereka tak tahu aku tengah berdiri mendengarkan semua obrolan mereka.

            “Ya gitulah, main hape. Ngapain lagi? Dari pas udah ke luar kerja kan, dia nggak bisa lepas dari hape. Dikit-dikit hape. Aku lihatnya aja bosen, Yu.”

            “Ya begitulah anak sekarang. Dikit-dikit hape. Lagian, aku juga heran sama Arum. Udah enak-enak kerja, kok malah ke luar. Alesane ngurus anak. Padahal kan, bisa bayar yang ngasuh kayak waktu Alea dulu. Orang lain aja pada pengen kerja, ini udah kerja malah ke luar. Coba kalo dia nggak ke luar kerja, sekarang Faisal bangkrut, kan, Arum masih bisa nopang pengeluaran. Mereka nggak perlu pulang kampung. Nyusahin aja! Udah tahu keadaan di kampung serba susah. Orang lain aja pada pengen ke kota. Lah, ini, udah di kota malah pulang kampung.”

            “Embuhlah, Yu. Mumet aku.”

            Aku yang mulai tak tahan dengan gunjingan mertuaku dan kakaknya, memilih berbalik. Biarlah, ponsel tidak jadi diambil. Toh, tadi sebelum pergi, aku sudah membawa uang untuk berjaga-jaga kalau Arka, anak bungsuku minta jajan. Lebih baik aku cepat kembali ke sekolah Arkan, takut dia mencariku.

-dmr-

            Mas Faisal, berprofesi sebagai penjual ayam bakar dan ayam goreng. Awalnya memang hanya pakai gerobak. Semakin lama, usaha suamiku semakin berkembang. Dia sampai bisa menyewa tempat yang lebih enak. Bahkan sampai buka dua cabang. Tetapi, sejak wabah covid 19 merajalela, usaha Mas Faisal menjadi sepi. Apalagi sempat diterapkannya PSBB tahun lalu. Keadaan semakin memburuk. Walau pun sekarang keadaan tidak semencekam awal pandemi, tetap saja, usaha Mas Faisal susah kembali normal seperti dulu. Karena sekarang, semakin banyak yang membuka usaha serupa.

 Berbagai usaha sudah kami lakukan. Bergabung dengan aplikasi berjualan online, sampai memberikan potongan harga. Tetapi, tetap saja, setiap harinya pemasukan kami tak sebanding dengan pengeluaran. Dan akhirnya, kedua cabang pun ditutup karena tidak bisa memperpanjang sewa tempat. Barang-barang kami lelang, uangnya dipakai memberikan pesangon pada ke empat pegawai setia kami.

Sementara, Mas Faisal, memilih pulang kampung. Dia bilang, ingin mengurus sawah dan tambak ikan peninggalan almarhum bapaknya. Sejak bapak mertua meninggal dua tahun lalu, sawah dan tambak ikan miliknya, digarap oleh orang lain. beberapa bulan yang lalu, Mang Asep yang selama ini menggarap sawah dan tambak ikan itu, jatuh sakit. Beliau tak sanggup lagi melakukan pekerjaan seperti biasanya. Karena itulah, sawah dan tambak pun terbengkelai. Sebagai anak tertua, Mas Faisal merasa bertanggung jawab mengurus harta peninggalan bapaknya yang tidak seberapa itu.

Sebagai istri, aku hanya bisa mendukung apa yang Mas Faisal lakukan. Aku rela mengikutinya pindah ke kampung. Karena, kami tidak mungkin pulang ke kampungku. Rumah peninggalan orang tuaku sudah ditempati oleh Mbak Arini, kakakku dan keluarganya. Keadaan ekonomi Mbak Arini yang juga pas-pasan, membuatku tak tega untuk pulang ke rumah penuh kenangan itu. Karena selain rumah yang kecil, aku dan Mas Faisal juga belum tahu akan mengerjakan apa di sana? Karena, sawah dan ladang peninggalan orang tuaku juga sudah digarap oleh orang lain. Tidak mungkin kami tiba-tiba memintanya untuk digarap sendiri.

Tetapi rupanya, keputusan yang diambil Mas Faisal ambil, menjadi beban pikiran buat ibu dan kelaurganya. Padahal, dulu, mereka selalu bersikap baik pada kami. Bahkan, saat kami menceritakan rencana kepindahan kami, ibu mertua langsung menyetujuinya. Akan tetapi, dari percakapan yang aku dengar tadi, sepertinya, mereka keberatan dengan kehadiran keluarga kecilku. Apakah, karena mereka takut kami hanya akan jadi benalu dalam kehidupan mereka?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status