Jarum jam terus berdetak, sekarang sudah pukul setengah delapan malam. Cheril sudah tidak kuat makan lagi. Buah anggur itu disingkirkan, tinggal separuh.
"Elil kenyang, Yah.""Kalau kenyang ya sudah, jangan dimakan lagi. Tunggu setengah jam habis itu mandi."TV dinyalakan, di putar channel Donal bebek. Cheril menonton TV dengan antusias, duduk si sofa yang empuk dengan lampu menyala terang. Sementara itu Rizal pergi ke ruang kerja, mengecek email dari Yuno hasil dari rapat di Singapura. Harus segera diproses.Dari pintu yang tidak ditutup, Cheril berdiri. Tidak berani meminta meski sudah hampir jam sembilan malam. Dia mengantuk, ingin tidur. Tapi badannya lengket dan belum mandi."Yah...." Anak itu memanggil dengan lirih.Rizal menoleh ke jam dinding, tidak sadar sudah malam. Terbiasa hidup sendiri dia lupa bahwa sekarang ada Cheril yang harus diurus."Ya ampun, lupa."Berkas yang berserakan di meja ditinggal, dia beranjak menghampiri bocah yang matanya sudah mengantuk tersebut."Ayo mandi," ucapnya. Menyuruh Cheril mengikuti.Kaki kecil itu berjalan di belakang, berlari kecil mengimbangi langkah ayahnya yang panjang. Menuju kamar, Rizal menaruh tas ransel Cheril di sana.Bocah itu kagum melihat kamar yang luas dan kasur empuk, kasur yang tingginya sedadanya. Ia menggaruk kepala, gatal dan lengket."Sini," panggil Rizal. Menarik tangan Cheril untuk berdiri di depannya. Ingin mencopot ikat ramput yang sudah berantakan."Akit, Yah." Keluh Cheril ketika Rizal mencoba menarik karet gelang dari rambut Cheril."Ibumu ini gimana, masak ngucir pake karet gelang."Pandangan mata Rizal masih fokus ke ikatan rambut yang semakin menggumpal, sulit dilepaskan. Satu persatu helain rambut berusaha dilepaskan dengan hati-hati supaya Cheril tidak kesakitan."Bu nggak da uang buat beli, Yah.""Masak cuma beli ikat rambut aja nggak ada uang?"Karet gelang sudah terlepas, rambut Cheril terurai. Sedikit bergelombang akibat bekas kuciran. Balita itu menggelengkan kepalanya."Nggak da uang.""Om Alik kerja apa sampai kalian nggak ada uang.""Om Alik da uang Ibu nggak da uang nenek da uang."Rizal berkerut kening, kurang paham maksud perkataan Cheril. Dia meraih tas ransel milik Cheril, dibuka tas itu di tas kasur.Ada kertas di sana, buru-buru Rizal baca.Assalamualaikum. Kak Afrizal.Aku Hana.Aku minta tolong terima Cheril sampai lebaran, dia sangat merindukan ayahnya. Beri makanan yang enak dan pakaian yang layak selama kalian bersama. Itu sudah cukup membuat dia bahagia dan mengenang ayahnya sebagai orang yang baik.Aku tahu kakak sudah sukses dan mungkin kehadiran Cheril akan mengganggu. Aku tidak bisa memaksa. Kalau kakak tidak mau memenuhi permintaanku, tolong hubungi nomor suamiku atau antarkan Cheril ke Lampung. Alamat dan nomor telepon aku tulis di bagian belakang surat.Wassalamu'alaikum.Surat itu dibalik, ada nomor telepon dengan nama Malik dan alamat rumah di Telukbetung, Bandar Lampung. Padahal Hana tidak jauh dari UNILA. Tapi kenapa pencariannya tidak membuahkan hasil sama sekali? Apakah selama menikah Hana tidak pernah keluar rumah?Saat dia mencari memang dua tahun yang lalu, katanya Hana tidak berada di Bandar Lampung dan pulang ke rumah paman bibinya. Rizal tak tahu sama sekali rumah paman bibi Hana. Tidak disangka wanita itu kembali lagi Bandar Lampung.Rizal memotret alamat yang diberikan untuk dikirim ke Dimas, kepala kepolisian yang merupakan teman dekatnya. Minta diselidiki perihal Hana dan Malik. Tak lupa juga asal usul Cheril."Yah, mandi.""Oh, iya."Rizal meletakkan surat dari Hana dan ponselnya, berganti mengambil pakaian di dalam ransel. Semuanya pakaian buruk yang lebih cocok untuk lap atau dibuang. Benar ini pakaian Cheril?"Kenapa bajumu lusuh semua seperti ini?"Pakaian itu dikeluarkan semuanya, tidak ada satupun yang menurutnya pantas dipakai Cheril. Jatuh ke lantai dan bocah itu punguti."Ini baju Elil bekas Cila. Jangan dibuang, nanti Elil nggak punya baju." Baju yang tadi dipunguti bocah itu kembalikan ke dalam tas."Jadi ini baju bekas?" tanyanya.Bocah itu mengangguk sembari membenarkan anak rambut yang menutupi matanya."Nanti Om belikan baju baru yang bagus. Pokoknya pakaian ini buang saja semua."Rizal menelpon anak buahnya, minta dibelikan baju anak kisaran umur 4 tahun yang nyaman. Tiga stel dan harus diantar sekarang juga.Sekarang masih pukul sembilan malam, kemungkinan masih ada toko yang buka. Besok hari jumat dan di kantor ada rapat, belum bisa ke mall membelikan baju untuk Cheril. Kemungkinan bisa di hari Sabtu, jadi untuk sementara memakai baju yang dipilihkan anak buahnya."Sekarang ayo mandi," ucap Rizal menggandeng tangan Cheril ke kamar mandi.Rasanya canggung memandikan anak perempuan, jadi Rizal hanya menunjukkan alat-alat mandi. Rupaya Cheril tidak bisa memakai shower. Alhasil Rizal menaruh air hangat di bathtub. Memintanya cepat mandi. Dia akan menunggu di luar.Rizal menyuruh Cheril memakai pakaian sendiri, meninggalkan anak itu di dalam kamar setelah mandi. Menyuruh tidur tanpa ditemani."Yah, Elil takut tidul cendili.""Nggak ada apa-apa di sini, lampunya ngga dimatiin. Aku belum mandi, besok pagi harus kerja. Kamu cepet tidur dan jangan rewel."Rizal meninggalkan Cheril di dalam kamar sendirian, wajah bocah itu memelas ingin ditemani. Namun Rizal tetap menutup pintunya tanpa memberikan belas kasih.Baginya memberikan makan dan pakaian sudah lebih dari cukup, seperti permintaan Hana. Dia belum bisa menganggap Cheril anaknya. Bagaimana bisa dia memiliki anak jika tidak ingat pembuatannya?Pagi buta suara air kran di tempat cuci piring terdengar, dengan mata berat Rizal ke dapur. Melihat Cheril membasahi kain lap dengan air.Sembari mengucek matanya Rizal bertanya, "kamu sedang apa? Kok jam segini udah bangun?""Elil belsih-belsih lumah.""Buat apa? Siapa yang nyuruh? Hoam...." Rizal masih mengumpulkan nyawanya."Kalau nggak belsih-belsih lumah nanti Elil nggak boleh maem.""Eh?" Rizal terkejut. "Siapa yang bilang kayak gitu? Apa ibumu nyuruh kamu kerja?"Rizal jongkok, menyeimbangkan tubuh dengan Cheril. Bocah itu menggeleng."Kata nenek, kalo Elil ma Ibu nggak belesin lumah. Nggak boleh maem."Rizal menelengkan kepalanya, kurang paham perkataan Cheril. Tapi melihat anak ini seperti kurang makan, mungkin saja memang dia dan ibunya hidup susah.Sekarang masih pukul lima pagi, azan subuh baru terdengar beberapa menit lalu. Rizal mengambil kain lap Cheril dan mengangkat bocah itu menuju kamarnya."Nggak usah bersih-bersih, kamu bakal aku tetap kasih makan. Sekarang tidur lagi sana, nanti jam tujuh aku bangunin."Rizal memasukkan Cheril ke kamar dan menurunkan tepat di ranjang. Dia menguap lagi sembari berbelik. Harus solat subuh dan mungkin masih bisa tidur satu jam lagi.Hari jumat seperti biasa, Bi Sarah datang untuk membersihkan apartemen, terkejut dengan kehadiran Cheril. Dengan susah payah Rizal menjelaskan siapa Cheril dan kenapa ada di sini."Hari ini tolong titip anak ini ya, Bi. Saya harus lembur di kantor."Rizal mengambil roti bakar yang disiapkan Bi Sarah, langsung digigit sembari berjalan memakai jas."Jam berapa Tuan pulang?""Mungkin jam dua belas malam, jangan tungguin. Urus aja anak itu dengan baik nanti kukasih gaji dua kali lipat."Ketika memakai sepatu, Cheril berlari ke Rizal. Menarik jasnya, tidak mau ditinggal. Sudah jauh-jauh ke Jakarta ingin menghabiskan waktu bersama ayahnya. Bukan orang lain.Mata bocah itu berkaca-kaca. "Ayah jangan pelgi.""Aku harus kerja, kamu di rumah aja sama Bi Sarah. Besok kita ke mall beliin kamu pakaian. Oke?""Ayah nggak akan tinggalin Elil, 'kan?""Nggaklah. Kan kamu di rumahku, gimana aku bisa pergi? Udah jangan rewel dan main aja sama Bi Sarah."Rizal pergi sembari melepas tangan Cheril dari jasnya. Meninggalkan bocah yang menatap nanar kepergian ayahnya. Cheril masih berharap Rizal mau berbalik dan menghabiskan waktu bersama."Nggak papa, Non. Tadi kan Tuan bilang kalau besok kalian akan ke mall. Jalan-jalan bareng, pasti seru." Bi Sarah menunduk, memegang bahu balita itu dan menghapus air matanya yang mengalir di sudut."Elil main sama Ayah?""Iya, besok kalian bakal main bareng. Jadi jangan sedih dan biarin Ayah Non Cheril kerja. Cari uang buat main besok. Sekarang ayo sarapan," ucap Bi Sarah.Bocah itu mengangguk dengan semangat. Berharap hari esok segera datang.bersambungRapat berjalan normal, tidak ada yang aneh. Rizal mencatat hal penting selama rapat. Proyek pembangunan apartemen di daerah Bekasi, Yuno jelaskan dengan rinci. Lalu melimpahkan tugas ke beberapa orang mumpuni yang bisa menjalankan dengan baik. Hari itu semua berjalan lancar, mereka istirahat untuk shalat jumat. Berkali-kali Rizal melihat ke ponselnya. Penyelidikan tentang Hana dan Cheril belum juga ada hasil. Katanya, Dimas sedang berusaha. Minimal hari senin besok datanya akan lengkap. Setelah shalat jumat, Rizal berjalan beriringan dengan Yuno menuju kantor. Di belakang dan depan ada beberapa pengawal, penjagaan Presdir WterSun Group sangatlah ketat. "Kudenger ibumu minta dijenguk?" tanya Yuno, dia mengancingkan kemejanya. Langit cerah dengan awan putih, udara panas menyengat mereka rasakan ketika sedang berjalan. Menambah volume keringat membasahi kemeja."Aku tidak akan datang. Membiayai rumah sakit dan menjamin hidupnya itu sudah cukup."Seorang ibu yang meninggalkannya ketik
Pekerjaan menumpuk dan harus lembur, ada rasa tidak nyaman di hati Rizal. Pikiran yang terus berkecamuk di benak. Hana dan Cheril. Rasa cemburunya hingga membuat hati nurani memudar. Andai Hana datang tanpa status memiliki suami, mungkin ia akan menerima Hana sekalipun wanita itu sudah memiliki dua anak. Tidak peduli siapa ayah dari anak-anak Hana. Pukul satu malam Rizal pulang ke rumah, membuka kamar Cheril. Terlihat bocah kecil itu tidur dengan ditemani Bi Sarah yang menginap. Perlahan Rizal menutup pintu kembali, kepalanya bersender di sana. Memejamkan mata, mengingat bahwa dia tidak memiliki orang tua sejak kecil. Tidak tahu arti dari keluarga. Tiba-tiba ada anak kecil yang terus memanggilnya ayah, bagaimana dia tidak terkejut? Wajar jika berpikir bahwa semua ini hanya tipuan. Lebih menyakitkan lagi yang menipu adalah Hana, wanita yang dia cintai.Pagi harinya dia berangkat ke kantor lagi, wajah Cheril tampak sedih. Dia tahu bocah itu sangat ingin diperhatikan olehnya. "Elil
"Kami akan membeli sepatu," ucap Rizal. Mengelus punggung Cheril yang memeluknya. Bocah itu terang-terangan tidak menyukai Marsha. "Aku temenin, yuk. Aku tahu banyak soal fashion." Marsha tersenyum. Rizal mengangguk dan berjalan menuju toko, kali ini mereka bertiga memilih sepatu. Wajah Cheril cerah kembali setelah mendapat sepatu baru berwarna merah muda yang cantik. Dipilihkan langsung oleh Rizal.Bocah itu senang bukan karena sepatunya, melainkan wajah tersenyum Rizal ketika memakaikan sepatu baru. Hal yang sering dia lihat ketika ayahnya Zila menjemput. Mamakaikan sepatu lalu menggendong, sekarang dia juga merasakan hal yang sama. "Elil suka, Yah." Senyumannya lebar. Berhambur memeluk Rizal. Dia menyukai momen ini, keinginannya tercapai. "Sekarang kan sudah ada sepatu, kamu jalan sendiri jangan minta gendong." Rizal melapaskan pelukan Cheril. Membuat wajah bocah itu sedih kembali."Ayah nggak suka gendong Elil?" tanyanya."Bukan gitu, tapi capek dari tadi gendong terus. Janga
Cheril bingung dengan sikap ayahnya yang tiba-tiba berubah, belanjaan sudah didapatkan. Mereka berkeliling mencari hal lain. Ada bando cantik berwarna merah muda. Memakai ikat rambut dan bandok bagus adalah keinginannya, dia mendongak ke atas. Rizal tampak sibuk memakaikan ponsel sembari berjalan. "Yah, ngin itu." Cheril menarik ujung baju Rizal. Mencoba mendapatkan perhatian Rizal. "Apa?" Arah telunjuk Cheril menunjuk toko pernak-pernik, ada bando cantik dan segala ikat rambut di sana. Mirip punya Zila yang selalu dipamerkan padanya. Akan sangat menyenangkan jika Cheril bisa memilikinya juga. "Nanti aja beli itu, sekarang temui teman Om dulu."Bukan ayah tapi Om, Rizal menarik tangan Cheril menjauh dari toko itu, segera menghampiri Yuno dan Husna yang sudah menunggu. Mereka naik eskalator, menuju lantai 7. Sekali lagi Cheril melihat bando yang tidak jadi dibeli, dia menurut mengikuti Rizal membawanya naik. Tak apa, katanya nanti beli itu. Dia percaya ayahnya tidak akan berbohon
Aku merindukan Cheril, tangan kecilnya selalu menghapus air mataku. Padahal baru beberapa hari berpisah, kerinduan sudah menumpuk seperti ini. Sedang apa anak itu? Apakah bahagia bersama ayahnya? Lipatan baju bocah itu aku taruh di lemari, pakaian lusuh bekas Zila. Apakah Kak Afrizal memberikan baju baru untuk Cheril? Aku sangat penasaran kabar mereka. "Kalau udah lipetin baju cepat beresin dapur, ibu sudah selesai makan." Perintah Mas Malik. Aku segera menutup pintu lemari, berjalan cepat mendekat ke Mas Malik. Pria itu sedang membersihkan gigi dengan lidi. Tadi aku membuat opor ayam. "Mas dapat SMS dari Cheril nggak?" "Untuk apa anak itu SMS?""Aku ngasih nomor Mas kalau seumpama ayahnya Cheril tidak menerima anak itu dan minta dijemput." "Jadi kamu nunggu SMS dari mantan?" "Nggaklah, Mas. Lagian yang pegang Hp kan Mas. Bukan aku." Sikap cemburunya tidak berdasar. Walaupun itu tanda bahwa dia mencintaiku, tapi terkadang membuat sebal. Seakan mencari kesalahan supaya bisa mar
Cengkraman tangannya masih sangat kuat, tidak berbelas kasih sedikitpun kepada istrinya yang sedang hamil. Aku merintih kesakitan, mataku berkaca-kaca. Kadang aku bertanya dalam hati, meskipun tidak ada cinta apakah ada kasih darinya untukku? Maksudku, selain pada bayi kita. Bohong jika aku berkata tidak butuh cinta darinya. Semua istri ingin dicintai suaminya. Mendapatkan kasih sayang yang pantas bukan sikap cuek dan kasar setiap hari. Semua istri pasti menginginkan hal itu."Iya, aku pindah." Cengkraman tanganku dilepaskan, napas Mas Malik memburu. Menahan emosi. Bersyukur dia tidak menampar seperti biasanya. Sejak kehamilan masuk ke usia tujuh bulan, aku merasa dia lebih berhati-hati dalam memperlakukan diriku. Untuk anak kita, bukan istrinya. Ibu mertua tersenyum sinis sebelum berbalik, mereka pergi. Tak habis pikir kenapa aku mau tetap berharap bahwa hubungan keluarga ini akan membaik. Belum lahir saja anakku sudah mendapatkan perlakuan tak adil. Malam harinya aku membereskan
Di halaman rumah keluarga Bagaskara banyak pengawal berjaga, tidak menyapa Rizal yang duduk di tangga teras ditemani angin malam. Matanya melihat ke langit. Awan hitam di antara bulan yang hampir hilang. Sebentar lagi memasuki bulan suci ramadhan. Sejak dibawa oleh Husna dan Yuno, tangisan Cheril tetap tidak berhenti. Dia merengek minta dipulangkan ke ibunya. Terlihat jelas bahwa bocah itu kecewa pada Rizal, tidak mengharapkan bersama lagi seperti sebelumnya. Husna mengusir Rizal keluar supaya Cheril mau berhenti menangis. Masih ditenangkan dan Rizal menunggu di luar rumah selama berjam-jam. Tidak berani masuk meskipun ingin membawa Cheril pulang ke apartemen. "Bang," panggil Yuno. Pria yang sudah dia anggap adik itu mendekat, duduk di sampingnya. Ikut merasakan angin malam. "Gimana Cheril?" "Dia udah tidur bareng Husna. Biarin malam ini dia nginep di sini." Rizal mengembuskan napas berat, kepalanya menunduk. Melihat lantai di antara dua kakinya. Dia sangat menyesal. "Suer, ak
Ingatan tentang Om Malik yang selalu marah dan ketus ketika dia tidak membereskan rumah. Mungkin Ayah juga seperti itu. Dia ingat ketika minta bando ke Ayah, seperti perkataan ibu dan Om Anton. Tidak boleh merepotkan ayah, nanti ayah tidak menerima dia.Mereka baru bertemu, seharusnya ia tidak minta apapun, bisa bersama Ayah selama sebulan kedepan saja seharusnya dia sudah bersyukur. Jadi, sebenarnya sikap ketus ayahnya kemarin karena dia merepotkan? Pasti karena dia minta bando. Cheril merasa bersalah. Dia harus maaf kepada ayahnya dan tidak akan mengulangi lagi. Apakah jika seperti itu ayahnya akan menerima dia?"Elil mau Ayah." Meskipun kemarin meronta ingin pulang ke ibu, tapi rasa rindunya ke ayah masih begitu besar. Sebenarnya belum ingin berpisah. Apalagi jika pulang tidak tahu kapan lagi bisa bertemu ayah. Dia berjanji akan lebih rajin bersih-bersih dan tidak akan merepotkan. Juga tidak akan minta bando yang mirip punya Zila. Supaya ayah mau menerimanya.Kalau sampai Ayah me