Share

10. Selama Ini Dia Ke mana

Jarum jam terus berdetak, sekarang sudah pukul setengah delapan malam. Cheril sudah tidak kuat makan lagi. Buah anggur itu disingkirkan, tinggal separuh.

"Elil kenyang, Yah."

"Kalau kenyang ya sudah, jangan dimakan lagi. Tunggu setengah jam habis itu mandi."

TV dinyalakan, di putar channel Donal bebek. Cheril menonton TV dengan antusias, duduk si sofa yang empuk dengan lampu menyala terang. Sementara itu Rizal pergi ke ruang kerja, mengecek email dari Yuno hasil dari rapat di Singapura. Harus segera diproses.

Dari pintu yang tidak ditutup, Cheril berdiri. Tidak berani meminta meski sudah hampir jam sembilan malam. Dia mengantuk, ingin tidur. Tapi badannya lengket dan belum mandi.

"Yah...." Anak itu memanggil dengan lirih.

Rizal menoleh ke jam dinding, tidak sadar sudah malam. Terbiasa hidup sendiri dia lupa bahwa sekarang ada Cheril yang harus diurus.

"Ya ampun, lupa."

Berkas yang berserakan di meja ditinggal, dia beranjak menghampiri bocah yang matanya sudah mengantuk tersebut.

"Ayo mandi," ucapnya. Menyuruh Cheril mengikuti.

Kaki kecil itu berjalan di belakang, berlari kecil mengimbangi langkah ayahnya yang panjang. Menuju kamar, Rizal menaruh tas ransel Cheril di sana.

Bocah itu kagum melihat kamar yang luas dan kasur empuk, kasur yang tingginya sedadanya. Ia menggaruk kepala, gatal dan lengket.

"Sini," panggil Rizal. Menarik tangan Cheril untuk berdiri di depannya. Ingin mencopot ikat ramput yang sudah berantakan.

"Akit, Yah." Keluh Cheril ketika Rizal mencoba menarik karet gelang dari rambut Cheril.

"Ibumu ini gimana, masak ngucir pake karet gelang."

Pandangan mata Rizal masih fokus ke ikatan rambut yang semakin menggumpal, sulit dilepaskan. Satu persatu helain rambut berusaha dilepaskan dengan hati-hati supaya Cheril tidak kesakitan.

"Bu nggak da uang buat beli, Yah."

"Masak cuma beli ikat rambut aja nggak ada uang?"

Karet gelang sudah terlepas, rambut Cheril terurai. Sedikit bergelombang akibat bekas kuciran. Balita itu menggelengkan kepalanya.

"Nggak da uang."

"Om Alik kerja apa sampai kalian nggak ada uang."

"Om Alik da uang Ibu nggak da uang nenek da uang."

Rizal berkerut kening, kurang paham maksud perkataan Cheril. Dia meraih tas ransel milik Cheril, dibuka tas itu di tas kasur.

Ada kertas di sana, buru-buru Rizal baca.

Assalamualaikum. Kak Afrizal.

Aku Hana.

Aku minta tolong terima Cheril sampai lebaran, dia sangat merindukan ayahnya. Beri makanan yang enak dan pakaian yang layak selama kalian bersama. Itu sudah cukup membuat dia bahagia dan mengenang ayahnya sebagai orang yang baik.

Aku tahu kakak sudah sukses dan mungkin kehadiran Cheril akan mengganggu. Aku tidak bisa memaksa. Kalau kakak tidak mau memenuhi permintaanku, tolong hubungi nomor suamiku atau antarkan Cheril ke Lampung. Alamat dan nomor telepon aku tulis di bagian belakang surat.

Wassalamu'alaikum.

Surat itu dibalik, ada nomor telepon dengan nama Malik dan alamat rumah di Telukbetung, Bandar Lampung. Padahal Hana tidak jauh dari UNILA. Tapi kenapa pencariannya tidak membuahkan hasil sama sekali? Apakah selama menikah Hana tidak pernah keluar rumah?

Saat dia mencari memang dua tahun yang lalu, katanya Hana tidak berada di Bandar Lampung dan pulang ke rumah paman bibinya. Rizal tak tahu sama sekali rumah paman bibi Hana. Tidak disangka wanita itu kembali lagi Bandar Lampung.

Rizal memotret alamat yang diberikan untuk dikirim ke Dimas, kepala kepolisian yang merupakan teman dekatnya. Minta diselidiki perihal Hana dan Malik. Tak lupa juga asal usul Cheril.

"Yah, mandi."

"Oh, iya."

Rizal meletakkan surat dari Hana dan ponselnya, berganti mengambil pakaian di dalam ransel. Semuanya pakaian buruk yang lebih cocok untuk lap atau dibuang. Benar ini pakaian Cheril?

"Kenapa bajumu lusuh semua seperti ini?"

Pakaian itu dikeluarkan semuanya, tidak ada satupun yang menurutnya pantas dipakai Cheril. Jatuh ke lantai dan bocah itu punguti.

"Ini baju Elil bekas Cila. Jangan dibuang, nanti Elil nggak punya baju." Baju yang tadi dipunguti bocah itu kembalikan ke dalam tas.

"Jadi ini baju bekas?" tanyanya.

Bocah itu mengangguk sembari membenarkan anak rambut yang menutupi matanya.

"Nanti Om belikan baju baru yang bagus. Pokoknya pakaian ini buang saja semua."

Rizal menelpon anak buahnya, minta dibelikan baju anak kisaran umur 4 tahun yang nyaman. Tiga stel dan harus diantar sekarang juga.

Sekarang masih pukul sembilan malam, kemungkinan masih ada toko yang buka. Besok hari jumat dan di kantor ada rapat, belum bisa ke mall membelikan baju untuk Cheril. Kemungkinan bisa di hari Sabtu, jadi untuk sementara memakai baju yang dipilihkan anak buahnya.

"Sekarang ayo mandi," ucap Rizal menggandeng tangan Cheril ke kamar mandi.

Rasanya canggung memandikan anak perempuan, jadi Rizal hanya menunjukkan alat-alat mandi. Rupaya Cheril tidak bisa memakai shower. Alhasil Rizal menaruh air hangat di bathtub. Memintanya cepat mandi. Dia akan menunggu di luar.

Rizal menyuruh Cheril memakai pakaian sendiri, meninggalkan anak itu di dalam kamar setelah mandi. Menyuruh tidur tanpa ditemani.

"Yah, Elil takut tidul cendili."

"Nggak ada apa-apa di sini, lampunya ngga dimatiin. Aku belum mandi, besok pagi harus kerja. Kamu cepet tidur dan jangan rewel."

Rizal meninggalkan Cheril di dalam kamar sendirian, wajah bocah itu memelas ingin ditemani. Namun Rizal tetap menutup pintunya tanpa memberikan belas kasih.

Baginya memberikan makan dan pakaian sudah lebih dari cukup, seperti permintaan Hana. Dia belum bisa menganggap Cheril anaknya. Bagaimana bisa dia memiliki anak jika tidak ingat pembuatannya?

Pagi buta suara air kran di tempat cuci piring terdengar, dengan mata berat Rizal ke dapur. Melihat Cheril membasahi kain lap dengan air.

Sembari mengucek matanya Rizal bertanya, "kamu sedang apa? Kok jam segini udah bangun?"

"Elil belsih-belsih lumah."

"Buat apa? Siapa yang nyuruh? Hoam...." Rizal masih mengumpulkan nyawanya.

"Kalau nggak belsih-belsih lumah nanti Elil nggak boleh maem."

"Eh?" Rizal terkejut. "Siapa yang bilang kayak gitu? Apa ibumu nyuruh kamu kerja?"

Rizal jongkok, menyeimbangkan tubuh dengan Cheril. Bocah itu menggeleng.

"Kata nenek, kalo Elil ma Ibu nggak belesin lumah. Nggak boleh maem."

Rizal menelengkan kepalanya, kurang paham perkataan Cheril. Tapi melihat anak ini seperti kurang makan, mungkin saja memang dia dan ibunya hidup susah.

Sekarang masih pukul lima pagi, azan subuh baru terdengar beberapa menit lalu. Rizal mengambil kain lap Cheril dan mengangkat bocah itu menuju kamarnya.

"Nggak usah bersih-bersih, kamu bakal aku tetap kasih makan. Sekarang tidur lagi sana, nanti jam tujuh aku bangunin."

Rizal memasukkan Cheril ke kamar dan menurunkan tepat di ranjang. Dia menguap lagi sembari berbelik. Harus solat subuh dan mungkin masih bisa tidur satu jam lagi.

Hari jumat seperti biasa, Bi Sarah datang untuk membersihkan apartemen, terkejut dengan kehadiran Cheril. Dengan susah payah Rizal menjelaskan siapa Cheril dan kenapa ada di sini.

"Hari ini tolong titip anak ini ya, Bi. Saya harus lembur di kantor."

Rizal mengambil roti bakar yang disiapkan Bi Sarah, langsung digigit sembari berjalan memakai jas.

"Jam berapa Tuan pulang?"

"Mungkin jam dua belas malam, jangan tungguin. Urus aja anak itu dengan baik nanti kukasih gaji dua kali lipat."

Ketika memakai sepatu, Cheril berlari ke Rizal. Menarik jasnya, tidak mau ditinggal. Sudah jauh-jauh ke Jakarta ingin menghabiskan waktu bersama ayahnya. Bukan orang lain.

Mata bocah itu berkaca-kaca. "Ayah jangan pelgi."

"Aku harus kerja, kamu di rumah aja sama Bi Sarah. Besok kita ke mall beliin kamu pakaian. Oke?"

"Ayah nggak akan tinggalin Elil, 'kan?"

"Nggaklah. Kan kamu di rumahku, gimana aku bisa pergi? Udah jangan rewel dan main aja sama Bi Sarah."

Rizal pergi sembari melepas tangan Cheril dari jasnya. Meninggalkan bocah yang menatap nanar kepergian ayahnya. Cheril masih berharap Rizal mau berbalik dan menghabiskan waktu bersama.

"Nggak papa, Non. Tadi kan Tuan bilang kalau besok kalian akan ke mall. Jalan-jalan bareng, pasti seru." Bi Sarah menunduk, memegang bahu balita itu dan menghapus air matanya yang mengalir di sudut.

"Elil main sama Ayah?"

"Iya, besok kalian bakal main bareng. Jadi jangan sedih dan biarin Ayah Non Cheril kerja. Cari uang buat main besok. Sekarang ayo sarapan," ucap Bi Sarah.

Bocah itu mengangguk dengan semangat. Berharap hari esok segera datang.

bersambung

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Sekar Taufik
cheril anak yang kuat dan mandiri ....
goodnovel comment avatar
Betty Yuspriatna
...semoga ayah cheril mau menerima anaknya
goodnovel comment avatar
Mbak Lina
sabar cheril.... ayah kerja dulu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status