Wajah balita itu tampak berbinar melihat makanan yang Rizal hidangkan. Duduk di kursi meja makan dengan kaki yang terus bergerak. Senyuman merekah setiap Rizal membuka bungkusan dan menaruh di piring.
Sendok dan garpu sudah berada di tangan Cheril, cuci tangan pun juga sudah. Perutnya yang lapar semakin berselera karena mencium aroma enak dari daging.Sesekali Cheril melirik ayahnya, orang yang sangat dia rindukan. Ia jadi ingat rasa iri setiap melihat Zila digendong ayahnya."Kamu itu aib keluarga, dasar anak haram." Ucap Ayah Zila saat menggendong Zila menuju motor.Sampai sekarang Cheril tidak tahu apa arti kata anak haram. Semua anggota keluarga Malik menjuluki dirinya anak haram dan pembawa sial."Cila, anak halam itu apa? Nenek, om Alik, ibumu cama ayahmu ilang Elil anak halam."Cheril bertanya sembari mengelap meja, sebisanya asal tidak berdebu kata ibu. Sementara Zila mainan boneka Barbie sembari duduk di sofa."Anak halam itu nggak punya ayah, nggak pelnah digendong Ayah. Elil anak halam, Cila bukan anak halam.""Jadi, kalo Elil digendong Ayah, Elil bukan anak halam lagi?"Zila mengangguk dengan pasti, meyakinkan Cheril supaya bisa digendong ayahnya.Setelah menangkap obrolan dengan Zila, Cheril mendekati Malik. Mengambilkan sepatunya setiap kali mau berangkat kerja. Selalu berusaha dekat hingga suatu hari bisa minta digendong. Dulu, kata Malik sebelum menikah dengan ibunya, Malik akan menjadi ayah Cheril.Namun, setelah menikah malah tidak mau dipanggil Ayah. Kalimatnya selalu kasar dan pedas. Membentak sampai memukul."Kamu mau apa? Hah?" tanya Malik keras ketika Cheril terus mendekatinya.Selama memakai sepatu, Cheril terus berada di sampingnya. Kepala bocah itu menunduk malu."Elil ngin digendong Om Alik.""Jangan mimpi!" Malik berdiri. Mendorong Cheril hingga terjatuh lalu berjalan melewatinya. "Aku ini bukan ayahmu! Ingat itu!"Keinginan kecil yang tidak sampai, dorongan kasar sampai punggungnya sakit. Dan harapan yang pupus. Cheril menangis kencang sampai membuat ibunya lari dari dapur ke teras depan."Ada apa ini?""Ajari anak harammu itu, jangan dekat-dekat denganku! Apalagi minta digendong, memang dia pikir aku ayahnya?!"Malik mengambil rompi dan kunci motor, menatap Hana yang memeluk Cheril. Bocah itu masih menangis kencang dengan posisi duduk."Kalau nggak mau gendong Cheril, ya udah. Tapi nggak usah kasar.""Kamu berani, ya sekarang?!" Bentak Malik sembari menyabetkan rompinya pada tubuh Hana.Wanita itu melindungi Cheril dengan mendekapnya erat. Kepalanya disabet baju rompi beberapa kali hingga terasa ada luka.Sejak saat itu, Cheril tidak pernah berharap apapun lagi kepada Malik untuk bisa menjadi ayahnya. Bahkan harapan memiliki ayah sudah pupus, dia terima saja dibilang anak haram. Karena nyatanya memang tidak pernah digendong Ayah."Cheril bukan anak haram, Cheril anak yang suci sejak lahir.""Tapi Elil nggak punya ayah, Bu."Hana menghapus air matanya yang mengalir, sejak tahu tidak bisa mengharapkan apapun dari Malik. Cheril terus menerus sedih dan melamun."Cheril punya Ayah, suatu hari nanti Cheril bakal ketemu sama ayah.""Ayah Cheril kayak Om Alik?"Hana menggeleng, dia mengusap pucuk kepala anaknya dengan lembut."Ayahnya Cheril orang baik, dia bakal sayang sama Cheril."Dari cerita ibunya, Cheril mulai membangun imajinasi sendiri tentang ayah. Setiap malam bertanya bagaimana wajah ayahnya, apa kesukaan ayah dan apa yang tidak disukai ayah. Semua ditanyakan untuk memuaskan rasa penasaran tentang ayah yang tidak pernah dia jumpai.Dan, tadi sore. Keinginan terwujud. Bertemu ayah dan digendong. Harapan yang sejak dulu hanya berada di angan kini menjadi kenyataan."Kamu bisa makan sendiri, 'kan?" tanya Rizal sembari duduk.Balita itu mengangguk, punggung tangannya membenarkan anak rambut yang menutupi matanya. Air liur hampir menetes, namun Cheril belum mengambil makanan apapun. Takut Rizal marah. Kalau di rumah, ibunya selalu bilang jangan mengambil makanan apapun sebelum disuruh."Elil boleh maem, Yah?" tanya bocah itu ragu."Iya cepat makan, habiskan."Rizal mendorong steak yang sudah dia iris kecil, tepat berada di depan Cheril."Elil boleh maem banyak, Yah?" tanya bocah itu lagi dengan mata berbinar."Iya, makan sepuas kamu. Ini sayurannya juga dimakan."Selama tinggal bersama ibunya, bocah itu jarang sekali makan daging. Pernah beberapa kali ibunya sengaja menyembunyikan potongan kecil daging di baju, lalu diberikan kepada Cheril. Meminta anak itu makan di kamar mandi supaya nenek dan ayah tirinya tidak tahu.Meski kamar mandi bau, bocah itu tetap menikmati daging yang diberikan ibunya. Katanya supaya dia tidak kurus kering.Dengan memakai garpu Cheril mengambil potongan steak, tanpa mengoleskan ke saos dia memakan steak sapi yang terasa kenyal dan enaknya lumer di mulut."Enak, Yah." Wajah balita itu berbinar. Sangat menikmati makanan enak yang baru pertama kali dimakan.Rizal hanya mengangguk, dia mengambil steaknya dan makan sendiri. Sesekali melirik Cheril yang makan dengan lahap dan sangat cepat."Pelan-pelan saja," ucapnya. Berusaha membuat anak itu makan hati-hati.Memang seperti anak kelaparan yang tidak pernah diberi makan, Cheril tak mengindahkan peringatan Rizal. Terus makan dengan mata berbinar. Daging pertama dari ayahnya sangat enak.Biasanya dia hanya kebagian ceker sisa, atau paling beberapa bulan sekali ibunya menyelipkan secuil daging untuk dirinya. Cheril tidak pernah makan daging seenak dan sebanyak saat ini."Sayurannya juga dimakan." Rizal memberikan brokoli ke piring Cheril.Anak itu makan dengan sangat lahap hingga mampu membuat Rizal kenyang hanya dengan melihatnya. Belepotan ke pipi.Azan magrib sudah terdengar satu jam lalu, sebelum makan Rizal shalat Magrib lebih dulu. Belum mandi dan memandikan Cheril.Ah, pria itu bingung cara memandikan anak kecil. Terlebih perempuan, sangat canggung.Setelah makan Rizal mencuci piring, Cheril dengan kaki kecilnya berjinjit berusaha meraih piring. Membantu seperti biasanya. Rizal menoleh ke bawah, melihat anak yang kesusahan meraih piring."Kamu mau apa?" tanyanya."Bantu Ayah.""Nggak usah," ucap Rizal.Dia menaruh sarung tangan dan mengangkat Cheril supaya duduk kembali di kursi meja makan. Mengambil anggur dari kulkas. Diletakkan di depan bocah itu supaya tenang dan makan pencuci mulut."Elil boleh maem ni?" tanyanya bingung."Iyalah, kan sudah Om taruh di situ. Eh, Ayah taruh. Makan saja itu dan jangan mendekat ke sini. Nanti kejatuhan piring."Buah anggur terlihat sangat menggoda, besar dan berwarna ungu mengkilap. Belum pernah Cheril makan anggur, hanya melihat dari jauh ketika Zila makan bersama nenek.Dia mengambil buah itu, dimakan dengan hati-hati. Rasa manisnya lumer di mulut hingga bocah itu terkejut.Sarung tangan dilepaskan ketika Rizal selesai mencuci piring. Berbalik melihat bocah yang terlihat kagum dengan rasa manis dari anggur. Di sudut bibirnya tersenyum. Teringat kepada ibu bocah itu yang bereaksi sama.Steak yang dia beli dari restoran untuk Hana, wajah gadis yang belum pernah merasakan enaknya steak. Sangat mirip dengan ekspresi Cheril sekarang.bersambungJarum jam terus berdetak, sekarang sudah pukul setengah delapan malam. Cheril sudah tidak kuat makan lagi. Buah anggur itu disingkirkan, tinggal separuh. "Elil kenyang, Yah.""Kalau kenyang ya sudah, jangan dimakan lagi. Tunggu setengah jam habis itu mandi." TV dinyalakan, di putar channel Donal bebek. Cheril menonton TV dengan antusias, duduk si sofa yang empuk dengan lampu menyala terang. Sementara itu Rizal pergi ke ruang kerja, mengecek email dari Yuno hasil dari rapat di Singapura. Harus segera diproses. Dari pintu yang tidak ditutup, Cheril berdiri. Tidak berani meminta meski sudah hampir jam sembilan malam. Dia mengantuk, ingin tidur. Tapi badannya lengket dan belum mandi."Yah...." Anak itu memanggil dengan lirih.Rizal menoleh ke jam dinding, tidak sadar sudah malam. Terbiasa hidup sendiri dia lupa bahwa sekarang ada Cheril yang harus diurus. "Ya ampun, lupa." Berkas yang berserakan di meja ditinggal, dia beranjak menghampiri bocah yang matanya sudah mengantuk tersebut.
Rapat berjalan normal, tidak ada yang aneh. Rizal mencatat hal penting selama rapat. Proyek pembangunan apartemen di daerah Bekasi, Yuno jelaskan dengan rinci. Lalu melimpahkan tugas ke beberapa orang mumpuni yang bisa menjalankan dengan baik. Hari itu semua berjalan lancar, mereka istirahat untuk shalat jumat. Berkali-kali Rizal melihat ke ponselnya. Penyelidikan tentang Hana dan Cheril belum juga ada hasil. Katanya, Dimas sedang berusaha. Minimal hari senin besok datanya akan lengkap. Setelah shalat jumat, Rizal berjalan beriringan dengan Yuno menuju kantor. Di belakang dan depan ada beberapa pengawal, penjagaan Presdir WterSun Group sangatlah ketat. "Kudenger ibumu minta dijenguk?" tanya Yuno, dia mengancingkan kemejanya. Langit cerah dengan awan putih, udara panas menyengat mereka rasakan ketika sedang berjalan. Menambah volume keringat membasahi kemeja."Aku tidak akan datang. Membiayai rumah sakit dan menjamin hidupnya itu sudah cukup."Seorang ibu yang meninggalkannya ketik
Pekerjaan menumpuk dan harus lembur, ada rasa tidak nyaman di hati Rizal. Pikiran yang terus berkecamuk di benak. Hana dan Cheril. Rasa cemburunya hingga membuat hati nurani memudar. Andai Hana datang tanpa status memiliki suami, mungkin ia akan menerima Hana sekalipun wanita itu sudah memiliki dua anak. Tidak peduli siapa ayah dari anak-anak Hana. Pukul satu malam Rizal pulang ke rumah, membuka kamar Cheril. Terlihat bocah kecil itu tidur dengan ditemani Bi Sarah yang menginap. Perlahan Rizal menutup pintu kembali, kepalanya bersender di sana. Memejamkan mata, mengingat bahwa dia tidak memiliki orang tua sejak kecil. Tidak tahu arti dari keluarga. Tiba-tiba ada anak kecil yang terus memanggilnya ayah, bagaimana dia tidak terkejut? Wajar jika berpikir bahwa semua ini hanya tipuan. Lebih menyakitkan lagi yang menipu adalah Hana, wanita yang dia cintai.Pagi harinya dia berangkat ke kantor lagi, wajah Cheril tampak sedih. Dia tahu bocah itu sangat ingin diperhatikan olehnya. "Elil
"Kami akan membeli sepatu," ucap Rizal. Mengelus punggung Cheril yang memeluknya. Bocah itu terang-terangan tidak menyukai Marsha. "Aku temenin, yuk. Aku tahu banyak soal fashion." Marsha tersenyum. Rizal mengangguk dan berjalan menuju toko, kali ini mereka bertiga memilih sepatu. Wajah Cheril cerah kembali setelah mendapat sepatu baru berwarna merah muda yang cantik. Dipilihkan langsung oleh Rizal.Bocah itu senang bukan karena sepatunya, melainkan wajah tersenyum Rizal ketika memakaikan sepatu baru. Hal yang sering dia lihat ketika ayahnya Zila menjemput. Mamakaikan sepatu lalu menggendong, sekarang dia juga merasakan hal yang sama. "Elil suka, Yah." Senyumannya lebar. Berhambur memeluk Rizal. Dia menyukai momen ini, keinginannya tercapai. "Sekarang kan sudah ada sepatu, kamu jalan sendiri jangan minta gendong." Rizal melapaskan pelukan Cheril. Membuat wajah bocah itu sedih kembali."Ayah nggak suka gendong Elil?" tanyanya."Bukan gitu, tapi capek dari tadi gendong terus. Janga
Cheril bingung dengan sikap ayahnya yang tiba-tiba berubah, belanjaan sudah didapatkan. Mereka berkeliling mencari hal lain. Ada bando cantik berwarna merah muda. Memakai ikat rambut dan bandok bagus adalah keinginannya, dia mendongak ke atas. Rizal tampak sibuk memakaikan ponsel sembari berjalan. "Yah, ngin itu." Cheril menarik ujung baju Rizal. Mencoba mendapatkan perhatian Rizal. "Apa?" Arah telunjuk Cheril menunjuk toko pernak-pernik, ada bando cantik dan segala ikat rambut di sana. Mirip punya Zila yang selalu dipamerkan padanya. Akan sangat menyenangkan jika Cheril bisa memilikinya juga. "Nanti aja beli itu, sekarang temui teman Om dulu."Bukan ayah tapi Om, Rizal menarik tangan Cheril menjauh dari toko itu, segera menghampiri Yuno dan Husna yang sudah menunggu. Mereka naik eskalator, menuju lantai 7. Sekali lagi Cheril melihat bando yang tidak jadi dibeli, dia menurut mengikuti Rizal membawanya naik. Tak apa, katanya nanti beli itu. Dia percaya ayahnya tidak akan berbohon
Aku merindukan Cheril, tangan kecilnya selalu menghapus air mataku. Padahal baru beberapa hari berpisah, kerinduan sudah menumpuk seperti ini. Sedang apa anak itu? Apakah bahagia bersama ayahnya? Lipatan baju bocah itu aku taruh di lemari, pakaian lusuh bekas Zila. Apakah Kak Afrizal memberikan baju baru untuk Cheril? Aku sangat penasaran kabar mereka. "Kalau udah lipetin baju cepat beresin dapur, ibu sudah selesai makan." Perintah Mas Malik. Aku segera menutup pintu lemari, berjalan cepat mendekat ke Mas Malik. Pria itu sedang membersihkan gigi dengan lidi. Tadi aku membuat opor ayam. "Mas dapat SMS dari Cheril nggak?" "Untuk apa anak itu SMS?""Aku ngasih nomor Mas kalau seumpama ayahnya Cheril tidak menerima anak itu dan minta dijemput." "Jadi kamu nunggu SMS dari mantan?" "Nggaklah, Mas. Lagian yang pegang Hp kan Mas. Bukan aku." Sikap cemburunya tidak berdasar. Walaupun itu tanda bahwa dia mencintaiku, tapi terkadang membuat sebal. Seakan mencari kesalahan supaya bisa mar
Cengkraman tangannya masih sangat kuat, tidak berbelas kasih sedikitpun kepada istrinya yang sedang hamil. Aku merintih kesakitan, mataku berkaca-kaca. Kadang aku bertanya dalam hati, meskipun tidak ada cinta apakah ada kasih darinya untukku? Maksudku, selain pada bayi kita. Bohong jika aku berkata tidak butuh cinta darinya. Semua istri ingin dicintai suaminya. Mendapatkan kasih sayang yang pantas bukan sikap cuek dan kasar setiap hari. Semua istri pasti menginginkan hal itu."Iya, aku pindah." Cengkraman tanganku dilepaskan, napas Mas Malik memburu. Menahan emosi. Bersyukur dia tidak menampar seperti biasanya. Sejak kehamilan masuk ke usia tujuh bulan, aku merasa dia lebih berhati-hati dalam memperlakukan diriku. Untuk anak kita, bukan istrinya. Ibu mertua tersenyum sinis sebelum berbalik, mereka pergi. Tak habis pikir kenapa aku mau tetap berharap bahwa hubungan keluarga ini akan membaik. Belum lahir saja anakku sudah mendapatkan perlakuan tak adil. Malam harinya aku membereskan
Di halaman rumah keluarga Bagaskara banyak pengawal berjaga, tidak menyapa Rizal yang duduk di tangga teras ditemani angin malam. Matanya melihat ke langit. Awan hitam di antara bulan yang hampir hilang. Sebentar lagi memasuki bulan suci ramadhan. Sejak dibawa oleh Husna dan Yuno, tangisan Cheril tetap tidak berhenti. Dia merengek minta dipulangkan ke ibunya. Terlihat jelas bahwa bocah itu kecewa pada Rizal, tidak mengharapkan bersama lagi seperti sebelumnya. Husna mengusir Rizal keluar supaya Cheril mau berhenti menangis. Masih ditenangkan dan Rizal menunggu di luar rumah selama berjam-jam. Tidak berani masuk meskipun ingin membawa Cheril pulang ke apartemen. "Bang," panggil Yuno. Pria yang sudah dia anggap adik itu mendekat, duduk di sampingnya. Ikut merasakan angin malam. "Gimana Cheril?" "Dia udah tidur bareng Husna. Biarin malam ini dia nginep di sini." Rizal mengembuskan napas berat, kepalanya menunduk. Melihat lantai di antara dua kakinya. Dia sangat menyesal. "Suer, ak