Share

9. Impian Kecil

Wajah balita itu tampak berbinar melihat makanan yang Rizal hidangkan. Duduk di kursi meja makan dengan kaki yang terus bergerak. Senyuman merekah setiap Rizal membuka bungkusan dan menaruh di piring.

Sendok dan garpu sudah berada di tangan Cheril, cuci tangan pun juga sudah. Perutnya yang lapar semakin berselera karena mencium aroma enak dari daging.

Sesekali Cheril melirik ayahnya, orang yang sangat dia rindukan. Ia jadi ingat rasa iri setiap melihat Zila digendong ayahnya.

"Kamu itu aib keluarga, dasar anak haram." Ucap Ayah Zila saat menggendong Zila menuju motor.

Sampai sekarang Cheril tidak tahu apa arti kata anak haram. Semua anggota keluarga Malik menjuluki dirinya anak haram dan pembawa sial.

"Cila, anak halam itu apa? Nenek, om Alik, ibumu cama ayahmu ilang Elil anak halam."

Cheril bertanya sembari mengelap meja, sebisanya asal tidak berdebu kata ibu. Sementara Zila mainan boneka Barbie sembari duduk di sofa.

"Anak halam itu nggak punya ayah, nggak pelnah digendong Ayah. Elil anak halam, Cila bukan anak halam."

"Jadi, kalo Elil digendong Ayah, Elil bukan anak halam lagi?"

Zila mengangguk dengan pasti, meyakinkan Cheril supaya bisa digendong ayahnya.

Setelah menangkap obrolan dengan Zila, Cheril mendekati Malik. Mengambilkan sepatunya setiap kali mau berangkat kerja. Selalu berusaha dekat hingga suatu hari bisa minta digendong. Dulu, kata Malik sebelum menikah dengan ibunya, Malik akan menjadi ayah Cheril.

Namun, setelah menikah malah tidak mau dipanggil Ayah. Kalimatnya selalu kasar dan pedas. Membentak sampai memukul.

"Kamu mau apa? Hah?" tanya Malik keras ketika Cheril terus mendekatinya.

Selama memakai sepatu, Cheril terus berada di sampingnya. Kepala bocah itu menunduk malu.

"Elil ngin digendong Om Alik."

"Jangan mimpi!" Malik berdiri. Mendorong Cheril hingga terjatuh lalu berjalan melewatinya. "Aku ini bukan ayahmu! Ingat itu!"

Keinginan kecil yang tidak sampai, dorongan kasar sampai punggungnya sakit. Dan harapan yang pupus. Cheril menangis kencang sampai membuat ibunya lari dari dapur ke teras depan.

"Ada apa ini?"

"Ajari anak harammu itu, jangan dekat-dekat denganku! Apalagi minta digendong, memang dia pikir aku ayahnya?!"

Malik mengambil rompi dan kunci motor, menatap Hana yang memeluk Cheril. Bocah itu masih menangis kencang dengan posisi duduk.

"Kalau nggak mau gendong Cheril, ya udah. Tapi nggak usah kasar."

"Kamu berani, ya sekarang?!" Bentak Malik sembari menyabetkan rompinya pada tubuh Hana.

Wanita itu melindungi Cheril dengan mendekapnya erat. Kepalanya disabet baju rompi beberapa kali hingga terasa ada luka.

Sejak saat itu, Cheril tidak pernah berharap apapun lagi kepada Malik untuk bisa menjadi ayahnya. Bahkan harapan memiliki ayah sudah pupus, dia terima saja dibilang anak haram. Karena nyatanya memang tidak pernah digendong Ayah.

"Cheril bukan anak haram, Cheril anak yang suci sejak lahir."

"Tapi Elil nggak punya ayah, Bu."

Hana menghapus air matanya yang mengalir, sejak tahu tidak bisa mengharapkan apapun dari Malik. Cheril terus menerus sedih dan melamun.

"Cheril punya Ayah, suatu hari nanti Cheril bakal ketemu sama ayah."

"Ayah Cheril kayak Om Alik?"

Hana menggeleng, dia mengusap pucuk kepala anaknya dengan lembut.

"Ayahnya Cheril orang baik, dia bakal sayang sama Cheril."

Dari cerita ibunya, Cheril mulai membangun imajinasi sendiri tentang ayah. Setiap malam bertanya bagaimana wajah ayahnya, apa kesukaan ayah dan apa yang tidak disukai ayah. Semua ditanyakan untuk memuaskan rasa penasaran tentang ayah yang tidak pernah dia jumpai.

Dan, tadi sore. Keinginan terwujud. Bertemu ayah dan digendong. Harapan yang sejak dulu hanya berada di angan kini menjadi kenyataan.

"Kamu bisa makan sendiri, 'kan?" tanya Rizal sembari duduk.

Balita itu mengangguk, punggung tangannya membenarkan anak rambut yang menutupi matanya. Air liur hampir menetes, namun Cheril belum mengambil makanan apapun. Takut Rizal marah. Kalau di rumah, ibunya selalu bilang jangan mengambil makanan apapun sebelum disuruh.

"Elil boleh maem, Yah?" tanya bocah itu ragu.

"Iya cepat makan, habiskan."

Rizal mendorong steak yang sudah dia iris kecil, tepat berada di depan Cheril.

"Elil boleh maem banyak, Yah?" tanya bocah itu lagi dengan mata berbinar.

"Iya, makan sepuas kamu. Ini sayurannya juga dimakan."

Selama tinggal bersama ibunya, bocah itu jarang sekali makan daging. Pernah beberapa kali ibunya sengaja menyembunyikan potongan kecil daging di baju, lalu diberikan kepada Cheril. Meminta anak itu makan di kamar mandi supaya nenek dan ayah tirinya tidak tahu.

Meski kamar mandi bau, bocah itu tetap menikmati daging yang diberikan ibunya. Katanya supaya dia tidak kurus kering.

Dengan memakai garpu Cheril mengambil potongan steak, tanpa mengoleskan ke saos dia memakan steak sapi yang terasa kenyal dan enaknya lumer di mulut.

"Enak, Yah." Wajah balita itu berbinar. Sangat menikmati makanan enak yang baru pertama kali dimakan.

Rizal hanya mengangguk, dia mengambil steaknya dan makan sendiri. Sesekali melirik Cheril yang makan dengan lahap dan sangat cepat.

"Pelan-pelan saja," ucapnya. Berusaha membuat anak itu makan hati-hati.

Memang seperti anak kelaparan yang tidak pernah diberi makan, Cheril tak mengindahkan peringatan Rizal. Terus makan dengan mata berbinar. Daging pertama dari ayahnya sangat enak.

Biasanya dia hanya kebagian ceker sisa, atau paling beberapa bulan sekali ibunya menyelipkan secuil daging untuk dirinya. Cheril tidak pernah makan daging seenak dan sebanyak saat ini.

"Sayurannya juga dimakan." Rizal memberikan brokoli ke piring Cheril.

Anak itu makan dengan sangat lahap hingga mampu membuat Rizal kenyang hanya dengan melihatnya. Belepotan ke pipi.

Azan magrib sudah terdengar satu jam lalu, sebelum makan Rizal shalat Magrib lebih dulu. Belum mandi dan memandikan Cheril.

Ah, pria itu bingung cara memandikan anak kecil. Terlebih perempuan, sangat canggung.

Setelah makan Rizal mencuci piring, Cheril dengan kaki kecilnya berjinjit berusaha meraih piring. Membantu seperti biasanya. Rizal menoleh ke bawah, melihat anak yang kesusahan meraih piring.

"Kamu mau apa?" tanyanya.

"Bantu Ayah."

"Nggak usah," ucap Rizal.

Dia menaruh sarung tangan dan mengangkat Cheril supaya duduk kembali di kursi meja makan. Mengambil anggur dari kulkas. Diletakkan di depan bocah itu supaya tenang dan makan pencuci mulut.

"Elil boleh maem ni?" tanyanya bingung.

"Iyalah, kan sudah Om taruh di situ. Eh, Ayah taruh. Makan saja itu dan jangan mendekat ke sini. Nanti kejatuhan piring."

Buah anggur terlihat sangat menggoda, besar dan berwarna ungu mengkilap. Belum pernah Cheril makan anggur, hanya melihat dari jauh ketika Zila makan bersama nenek.

Dia mengambil buah itu, dimakan dengan hati-hati. Rasa manisnya lumer di mulut hingga bocah itu terkejut.

Sarung tangan dilepaskan ketika Rizal selesai mencuci piring. Berbalik melihat bocah yang terlihat kagum dengan rasa manis dari anggur. Di sudut bibirnya tersenyum. Teringat kepada ibu bocah itu yang bereaksi sama.

Steak yang dia beli dari restoran untuk Hana, wajah gadis yang belum pernah merasakan enaknya steak. Sangat mirip dengan ekspresi Cheril sekarang.

bersambung

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Claresta Ayu
Ya Allah.... sumpah banjir air mata baca kisah cheril
goodnovel comment avatar
Mbak Lina
cheril kamu dak akan kekurangan lagi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status