Rizal menguap, dia kurang tidur akhir-akhir ini. Sibuk bekerja sampai lembur. Presdir WterSun Group sebelumnya sedang sakit keras, ayah Yuno, dia harus menyiapkan rumah yang nyaman di Bogor. Ponselnya berdering lagi tepat ketika dia akan masuk kamar, kali ini dari Yuno. "Hallo," jawabnya. "Tenaga medis untuk Papa di Bogor sudah kamu siapkan, 'kan?" tanya Yuno tanpa basa-basi. "Sudah, dari RS Yadika. Besok akan aku cek ke Bogor sekali lagi." "Papaku ingin segera pindah ke Bogor, kalau bisa besok siang Papa sudah bisa berangkat.""Iya, tenang saja. Akan aku urus." "Baiklah, aku tutup." Panggilan ditutup, Rizal kembali menguap. Besok pagi harus bangun subuh supaya bisa sampai Bogor tepat waktu. Sebenarnya urusan seperti ini dia bisa menugaskan orang. Namun, hatinya tidak tenang jika tidak melihat lokasi. Kesehatan Presdir WterSun Group sebelumnya sangat penting, pekerjaannya dipertaruhkan. Renold adalah orang tua kandung Yuno, tidak boleh ada kesalahan sedikit pun. Saham perusaha
Rizal melirik pasangan suami istri itu, mereka yang biasanya tidak akur, sejak Renold sakit menjadi sangat romantis. Mungkin takut menyesal."Aku akan menemanimu apapun yang terjadi." Elja memeluk Renold dari belakang. Telepon dari Yuno masuk. "Hallo, gimana keadaan Papa ku di sana?" "Semua baik, terkendali." "Kalau gitu cepat kembali ke kantor." "Baik, aku akan segera kembali ke Jakarta."Dia bergegas kembali setelah memastikan Tuan Renold tidak kekurangan sesuatu. Pamitan dan meninggalkan pasangan itu menghabiskan hari-hari terakhirnya.Di kantor pekerjaan sudah menumpuk, sebenarnya dia memiliki ruangan sendiri di depan ruangan Yuno tanpa sekat. Tepat di samping dua sekretaris perempuan. Namun Yuno selalu bersikeras membuatkan meja di ruangan yang sama. Alhasil dia harus satu ruangan dan menambah pekerjaan."Bang, coba cek ulang jadwal meeting dengan Direktur Namikase di Jepang. Aku lihat waktunya mepet sama pertemuan di Hongkong. Jaraknya cuma sehari, aku takut tabrakan." Mata
Aku pikir, kebahagiaan itu sudah datang. Penantian panjang tentang kehidupan yang lebih baik. Tidak perlu bingung besok makan apa, bisa memakai pakaian bagus, dan hidup tenang. Apalagi hubungan dengan Kak Afrizal juga sudah baik. Setiap hari kami berbalas pesan. Aku merasa seperti orang yang... dicintai. Masa lalu biarkan berlalu, aku tidak ingin mengungkit atau mengingatnya lagi. Mas Malik sudah mendapatkan hukuman yang pantas. Dari awal menikah aku memang tidak mencintainya sekeras apapun mencoba. "Rumah ini bagus, awal bulan depan kita pindah ke sini." Bibi berkata seakan ini rumah yang mereka beli. Aku tidak tahu dari mana paman dan bibi mendapatkan alamat rumah ini, kabar tentang ayah Cheril yang kaya juga terdengar oleh mereka. Paman memegang guci di pojokan, mungkin memperkirakan harganya. Lalu matanya beralih ke lampu kristal yang tergantung di atas. Paman suka menjual barang-barang untuk judi. Mereka sering bertengkar karena kebiasaan paman yang menghabiskan uang serta b
Cheril membalas pelukanku dengan tangan kecilnya, aku bertekad bahwa anakku harus bahagia. Tidak boleh seperti ibunya. "Elil sayang Ibu." "Ibu juga sayang Cheril."Anak ini yang membuat aku kuat, terima kasih karena sudah hadir di hidup ibu yang kesepian dan merasa terbuang. Sore harinya aku dikejutkan dengan Mbak Ratih yang hendak menculik Ramaniya. Beruntung dia tertangkap kamera CCTV dan Bang Gufron mencegahnya. Aku mengambil Ramaniya darinya, mendekap erat bayi mungilku. Mataku nyalang menatap Mbak Ratih. "Mbak Ratih apa-apa sih, kenapa terus menganggu kami?" tanyaku. Tangannya dikunci Bang Gufron, kami masih menunggu kedatangan polisi. "Kalau aku tidak bisa memiliki bayi itu, kau juga tidak boleh." "Ini bayiku, Mbak. Aku yang mengandung dan melahirkan dia. Apa hak Mbak bicara begitu?" "Bayi itu ada karena aku yang menyuruh Malik menikahimu, kalau tidak maka anak itu tidak akan pernah lahir." Ucapannya memang benar, kalau mereka tidak berbuat licik dengan menipuku maka h
Air di bajuku terus menetes membasahi lantai rumah sakit. Aku menenggelamkan wajah di antara lutut. Tak menghiraukan orang-orang yang berlalu lalang, juga tidak mengindahkan permintaan suster supaya aku diperiksa. Saat ini yang terpenting adalah Cheril dan Ramaniya yang tengah berjuang antara hidup dan mati. Mereka berdua adalah hidupku, nyawaku dan segalaku. Apa artinya luka di tubuh jika luka sebenarnya adalah mereka. Rasa takut kehilangan mereka melebihi kematian. Tanpa mereka berdua aku tidak bisa bertahan hidup. Mereka adalah segalanya bagiku yang tidak memiliki apapun. Orang tuaku sudah pergi sejak aku masih kecil, paman dan bibi tidak menyayangiku, Kak Afrizal mempermainkanku. Hanya Cheril dan Ramaniya yang benar-benar keluarga dan cinta yang sesungguhnya. Tuhan, apa salahku sampai engkau ingin merenggut satu-satunya alasanku bertahan hidup? Selamatkan mereka, kalau engkau ingin, aku bersedia menukar nyawaku untuk mereka. Apapun akan aku lakukan asal mereka selamat. "Nyony
Sekarang aku merasa bahwa pria ini bisa menjadi sandaran supaya aku tidak sendirian berjuang. Aku yang sedari kecil merasa kesepian, menanggung semua hal sendirian, kini memiliki seseorang yang selalu ada di samping ku. "Semua akan baik-baik saja, tenanglah." Tepukan ringan datang dari tangan Kak Afrizal ke punggungku. Pelan dan menenangkan. Seolah kalimatnya mengatakan bahwa tidak akan ada hal buruk yang terjadi.Sudah lama aku tidak memiliki kepercayaan kepada orang lain, kalimatnya yang mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja persis seperti perkataan ibu. Setelah aku tenang, Kak Afrizal mengajak shalat subuh bersama, meminta aku mandi dan ganti baju juga. Kami mendoakan Cheril dan Ramaniya. Dia membimbingku, menjagaku dan percaya bahwa semua akan baik-baik saja asal kami menghadapinya bersama. Aku takut hatiku goyah lagi, jatuh cinta dan bergantung padanya. Perkataan Mbak Marsha supaya menjauhi Kak Afrizal yang merupakan pacarnya aku langgar. Demi Cheril, izinkan aku merasa ti
Sifat kasar Malik ketika di penjara tidak berubah, tetap saja layaknya mandor. Memerintah sebarangan dan sok berkuasa. Dia menganggap derajatnya lebih tinggi dari yang lain. Karena sifatnya itu, di dalam penjara dia menjadi bulan-bulanan. Ditambah ada dua orang yang terus mengganggunya tanpa sebab jelas. Seperti sengaja memusuhinya. Malik bukan lagi orang yang dihormati sejak vonis hukuman 12 tahun penjara dijatuhkan. Hal itu mengakibatkan pukulan telak hingga saudara-saudaranya malu. Ibunya memutuskan pulang kampung ke Jambi karena tidak ada lagi yang menafkahi dan malu terhadap saudara. Ratih masih bertahan di Bandar Lampung meskipun hidupnya sudah hancur, suami di penjara dan uang hasil penjualan ladang 3 hektar dirampok. Bayi yang dia inginkan juga tidak bisa dimiliki. Kini pasangan suami istri itu jatuh ke dalam keterpurukan yang sangat dalam. Namun, Malik berjanji pada Ratih bahwa mereka akan bisa bangkit lagi suatu hari nanti."Aku tidak bisa hancur sendirian, Mas. Tara dan
Di dalam lapas terjadi perkelahian sudah biasa, bahkan sampai menyebabkan kematian adalah hal yang lumrah bagi sesama tahanan. Penjaga sipir tidak akan peduli sebelum keadaan parah, mereka biasanya hanya pura-pura melerai. Tak acuh. Bagi mereka, para tahanan hanyalah orang-orang berdosa, yang mati pun tidak akan berpengaruh terhadap dunia."Mereka pantas mendapatkannya," ucap Malik enteng."Apa makananmu enak setelah berniat membunuh Hana dan Cheril?" tanya Rizal. Matanya menyelidik.Sekarang sudah kepalang tanggung, tidak bisa mundur apalagi mengelak. Malik berdiri, matanya nyalang membalas tantangan Rizal. Kulit Rizal yang sawo matang terlihat gagah dengan pakaian tahanan. "Tentu saja enak, apalagi kalau Hana dan Cheril mati. Aku akan berpesta di sini."Tonjokan langsung mengarah ke wajah Malik, bibirnya pecah hingga mengeluarkan darah segar. "Apa kau ini manusia?!" Teriak Rizal, dia menduduki Malik dan memegang kerahnya. "Di rumah itu juga ada anakmu!" Malik sadar anaknya bisa