Kapal sudah di depan mata, tanpa Cheril di sisiku rasanya sangat hening dan kosong. Padahal, dulu aku tidak menginginkan anak itu ada di dunia. Menyalahkan Tuhan, kenapa aku malah diberi anak yang tidak diinginkan?
Akibat hamil dan tidak ingin menggugurkan kandungan, aku keluar dari kampus. Sepenuhnya bekerja untuk tabungan melahirkan. Paman dan bibi marah habis-habisan, menamparku dengan keras. Mengataiku pelacur dan anak tidak berguna.Aku menanggung semuanya tanpa menyebutkan nama Kak Afrizal sedikitpun. Percuma, kalau tahu diperkosa pun tidak ada guna. Malah menjadi aib bayiku."Kamu istirahat saja di dalam, biar Abang yang bayarin."Bang Anton orang yang pengertian, tahu aku sangat lelah dengan kehamilan besar. Menyuruh istirahat di dalam dengan nyaman. Ada karpet dengan bantal di sana meski berbayar."Nggak papa, Bang. Aku di luar saja."Padahal hanya 15 ribu, sebenarnya uangku masih utuh 20 ribu. Niatnya untuk membelikan Bang Anton rokok. Aku sudah menumpang tanpa membelikan bensin atau makan sedikitpun. Setidaknya rokok satu bungkus ingin kuberi."Sudahlah, nggak papa. Sekalian Abang istirahat juga. Ayo."Bang Anton mendorongku supaya naik tangga, tanpa bisa menolak aku menurut. Masuk ke ruangan setelah Bang Anton membayar, terlihat banyak orang yang sudah tidur.Aku diberikan bantal yang disewa seharga 5 ribu. Tidak bisa tidur dengan nyenyak karena kondisi kehamilan yang semakin besar. Miring salah telentang juga salah.Mungkin karena terganggu aku ganti posisi terus, Bang Anton memberikan bantalnya. Diletakkan di perutku yang miring supaya lebih nyaman."Nggak usah, Bang.""Nggak papa. Mirna juga sulit tidur waktu hamil besar."Dia berbaring lagi setelah melepaskan jaket, membuntal dan diletakkan di kepala. Tidur dengan bantal dari jaket.Masih ada orang baik di dunia ini, aku memakai bantal yang diberikan dan memang rasanya jauh lebih nyaman. Kapal terus melaju ke arah Bakauheni.Paman dan bibi tidak menerima Cheril, kehamilan yang membuat mereka malu. Sepupuku juga sama saja. Mereka menghina dan menyuruh supaya aku diusir. Tanpa diminta pun aku pergi, meninggalkan mereka kembali ke kosan."Ada aku, kamu tidak perlu khawatir."Satu-satunya orang yang ada di pihakku hanya Diandra, tanpa imbalan apapun bersedia menemani di setiap masa sulit. Sahabat yang sudah membuatku merasa masih ada hal baik di kehidupanku ini, yakni bertemu sahabat seperti Diandra.Menginjak usia kehamilan ke delapan, aku masih bisa bekerja. Di restoran sebagai tukang cuci piring. Malamnya bekerja sebagai buruh cuci warga sekitar kosan. Mengumpulkan uang supaya bisa tenang tanpa takut kelaparan saat melahirkan, juga biaya persalinan yang terbilang besar.Mendekati bulan ke 9, Diandra terus berada di sisiku. Menjagaku dengan baik sampai merasa bahwa dunia ini tidak seburuk itu."Ini aku beliin susu ibu hamil.""Kamu ini kan udah kubilang nggak perlu. Tapi selalu aja beliin. Kamu sendiri kan juga butuh uang."Aku tidak sanggup membeli susu, sayang uangnya juga. Harus irit selama hamil supaya uang tabungan cukup untuk biaya persalinan. Diandra tahu betul apa yang ada di pikiranku. Dia berisiatif sendiri membelikan susu tanpa mau dicegah."Buat ponakan tercinta apa sih yang nggak." Diandra mengelus perutku.Hanya dia, sahabat yang sangat aku sayangi. Orang yang menerima aku apa adanya.Malam ketika hujan lebat, aku merasa akan melahirkan. Membangunkan Diandra yang memang siap siaga. Bersusah payah membawaku ke bidan di tengah hujan.Rasa sakit yang tidak akan pernah aku lupakan, menyusahkan Diandra yang meminjam becak untuk membawaku di tengah hujan.Memang hanya berjarak 10 menit dari kosan, becak milik tetangga pun Diandra ambil. Mendorongku hingga sampai ke bidan dengan tubuh kecilnya yang basah kuyup.Di antara rasa sakit yang tiada tara, aku masih berharap Kak Afrizal datang. Menemaniku melahirkan bayinya."Aku keluar dulu, bajuku basah kuyup nggak boleh di sini. Kamu yang kuat ya?""Makasih, Din." Aku menjawab sembari mengangguk.Ingatanku terus berputar pada kenangan ayah dari bayi yang akan lahir ini, kalimatnya yang halus dan penuh perhatian seakan tidak akan pernah meninggalkan diriku sendirian. Sekarang dia meninggal diriku yang kesakitan melahirkan anaknya. Berjuang antara hidup dan mati."Tarik napas dan coba dorong bayinya." Bu Bidan memberi aba-aba.Keringat yang bercucuran di pelipis, tubuhku sangat kelelahan sekuat tenaga mencoba mengeluarkan bayi ini dari perut. Rasa sakit sampai membuat kepalaku nyeri.Air mataku menetes, tidak ada waktu untuk bersedih."Kepalanya sudah terlihat, ayo dorong lagi."Bayi yang tidak kuingkan lahir ke dunia. Ikut serta dalam luka. Tanpa memiliki seorang ayah yang mengazani. Aku sebagai ibu tunggal akan merawatnya. Bayi perempuan yang sehat, anak kak Afrizal. Kuberi nama Cheril Lisyana. Anak yang sekarang sudah bertemu dengan ayahnya.Tanpa sadar waktu sudah hampir pagi, kapal akan menepi di labuhan. Aku keluar meninggalkan ruangan. Hanya tidur setengah jam.Waktu sudah menunjukkan waktu subuh, aku mencari mushola dan shalat di sana. Setelah itu baru keluar dan menunggu matahari muncul.Lautan biru mulai terlihat di antara matahari yang baru saja terbit. Bersinar terang sampai menimbulkan silau. Aku mengusap perutku yang buncit. Berbeda dengan Cheril, anak ini memiliki ayah yang akan menemaniku melahirkan. Mengazani dan menyayanginya."Hana, ayo masuk mobil."Bang Anton keluar dari kamar mandi, wajahnya basah dengan air menetes."Iya, Bang."Perjalanan dilanjutkan menuju Bandar Lampung. Kembali ke rumah pengap dengan suami dan ibu mertua. Sebenarnya Mas Malik punya ayah, tapi sekarang sedang di Malaysia untuk mengurus sesuatu. Aku sendiri hanya beberapa kali bertemu beliau selama menikah.Sesampainya di rumah sudah disambut wajah masam ibu mertua. Menyindir habis-habisan."Enak ya habis jalan-jalan ketemu mantan.""Setelah mengantar Cheril ketemu ayahnya, Hana langsung pulang, Bu.""Halah alasan aja."Lagi pula, percuma dijelaskan. Biarkan saja beliau bicara apa. Rumah ini terasa hening tidak ada Cheril.Semoga Cheril sekarang bahagia bersama ayahnya. Aku membersihkan dapur sembari terus memikirkan Cheril."Besok kamu bersiap, kita akan membelikan perlengkapan bayi."Mas Malik baru pulang kerja. Meletakkan rompinya di meja makan. Melewatiku untuk mencuci tangan.Aku tersenyum, akhirnya kebahagiaanku akan datang. Benar bahwa Mas Malik tetap menyayangi anak ini di balik sikapnya yang selalu judes.Sepertinya ramadhan tahun ini akan menjadi hal baik untukku dan Cheril. Aku tersenyum ke samping, melihat wajah suamiku yang mulai perhatian."Iya, Mas. Besok pagi kita belanja perlengkapan bayi bareng."Mas Malik tidak mempedulikan ucapku, dia terus menggosok tangannya yang kotor menggunakan sabun.bersambungWajah balita itu tampak berbinar melihat makanan yang Rizal hidangkan. Duduk di kursi meja makan dengan kaki yang terus bergerak. Senyuman merekah setiap Rizal membuka bungkusan dan menaruh di piring. Sendok dan garpu sudah berada di tangan Cheril, cuci tangan pun juga sudah. Perutnya yang lapar semakin berselera karena mencium aroma enak dari daging. Sesekali Cheril melirik ayahnya, orang yang sangat dia rindukan. Ia jadi ingat rasa iri setiap melihat Zila digendong ayahnya. "Kamu itu aib keluarga, dasar anak haram." Ucap Ayah Zila saat menggendong Zila menuju motor. Sampai sekarang Cheril tidak tahu apa arti kata anak haram. Semua anggota keluarga Malik menjuluki dirinya anak haram dan pembawa sial. "Cila, anak halam itu apa? Nenek, om Alik, ibumu cama ayahmu ilang Elil anak halam." Cheril bertanya sembari mengelap meja, sebisanya asal tidak berdebu kata ibu. Sementara Zila mainan boneka Barbie sembari duduk di sofa. "Anak halam itu nggak punya ayah, nggak pelnah digendong Ay
Jarum jam terus berdetak, sekarang sudah pukul setengah delapan malam. Cheril sudah tidak kuat makan lagi. Buah anggur itu disingkirkan, tinggal separuh. "Elil kenyang, Yah.""Kalau kenyang ya sudah, jangan dimakan lagi. Tunggu setengah jam habis itu mandi." TV dinyalakan, di putar channel Donal bebek. Cheril menonton TV dengan antusias, duduk si sofa yang empuk dengan lampu menyala terang. Sementara itu Rizal pergi ke ruang kerja, mengecek email dari Yuno hasil dari rapat di Singapura. Harus segera diproses. Dari pintu yang tidak ditutup, Cheril berdiri. Tidak berani meminta meski sudah hampir jam sembilan malam. Dia mengantuk, ingin tidur. Tapi badannya lengket dan belum mandi."Yah...." Anak itu memanggil dengan lirih.Rizal menoleh ke jam dinding, tidak sadar sudah malam. Terbiasa hidup sendiri dia lupa bahwa sekarang ada Cheril yang harus diurus. "Ya ampun, lupa." Berkas yang berserakan di meja ditinggal, dia beranjak menghampiri bocah yang matanya sudah mengantuk tersebut.
Rapat berjalan normal, tidak ada yang aneh. Rizal mencatat hal penting selama rapat. Proyek pembangunan apartemen di daerah Bekasi, Yuno jelaskan dengan rinci. Lalu melimpahkan tugas ke beberapa orang mumpuni yang bisa menjalankan dengan baik. Hari itu semua berjalan lancar, mereka istirahat untuk shalat jumat. Berkali-kali Rizal melihat ke ponselnya. Penyelidikan tentang Hana dan Cheril belum juga ada hasil. Katanya, Dimas sedang berusaha. Minimal hari senin besok datanya akan lengkap. Setelah shalat jumat, Rizal berjalan beriringan dengan Yuno menuju kantor. Di belakang dan depan ada beberapa pengawal, penjagaan Presdir WterSun Group sangatlah ketat. "Kudenger ibumu minta dijenguk?" tanya Yuno, dia mengancingkan kemejanya. Langit cerah dengan awan putih, udara panas menyengat mereka rasakan ketika sedang berjalan. Menambah volume keringat membasahi kemeja."Aku tidak akan datang. Membiayai rumah sakit dan menjamin hidupnya itu sudah cukup."Seorang ibu yang meninggalkannya ketik
Pekerjaan menumpuk dan harus lembur, ada rasa tidak nyaman di hati Rizal. Pikiran yang terus berkecamuk di benak. Hana dan Cheril. Rasa cemburunya hingga membuat hati nurani memudar. Andai Hana datang tanpa status memiliki suami, mungkin ia akan menerima Hana sekalipun wanita itu sudah memiliki dua anak. Tidak peduli siapa ayah dari anak-anak Hana. Pukul satu malam Rizal pulang ke rumah, membuka kamar Cheril. Terlihat bocah kecil itu tidur dengan ditemani Bi Sarah yang menginap. Perlahan Rizal menutup pintu kembali, kepalanya bersender di sana. Memejamkan mata, mengingat bahwa dia tidak memiliki orang tua sejak kecil. Tidak tahu arti dari keluarga. Tiba-tiba ada anak kecil yang terus memanggilnya ayah, bagaimana dia tidak terkejut? Wajar jika berpikir bahwa semua ini hanya tipuan. Lebih menyakitkan lagi yang menipu adalah Hana, wanita yang dia cintai.Pagi harinya dia berangkat ke kantor lagi, wajah Cheril tampak sedih. Dia tahu bocah itu sangat ingin diperhatikan olehnya. "Elil
"Kami akan membeli sepatu," ucap Rizal. Mengelus punggung Cheril yang memeluknya. Bocah itu terang-terangan tidak menyukai Marsha. "Aku temenin, yuk. Aku tahu banyak soal fashion." Marsha tersenyum. Rizal mengangguk dan berjalan menuju toko, kali ini mereka bertiga memilih sepatu. Wajah Cheril cerah kembali setelah mendapat sepatu baru berwarna merah muda yang cantik. Dipilihkan langsung oleh Rizal.Bocah itu senang bukan karena sepatunya, melainkan wajah tersenyum Rizal ketika memakaikan sepatu baru. Hal yang sering dia lihat ketika ayahnya Zila menjemput. Mamakaikan sepatu lalu menggendong, sekarang dia juga merasakan hal yang sama. "Elil suka, Yah." Senyumannya lebar. Berhambur memeluk Rizal. Dia menyukai momen ini, keinginannya tercapai. "Sekarang kan sudah ada sepatu, kamu jalan sendiri jangan minta gendong." Rizal melapaskan pelukan Cheril. Membuat wajah bocah itu sedih kembali."Ayah nggak suka gendong Elil?" tanyanya."Bukan gitu, tapi capek dari tadi gendong terus. Janga
Cheril bingung dengan sikap ayahnya yang tiba-tiba berubah, belanjaan sudah didapatkan. Mereka berkeliling mencari hal lain. Ada bando cantik berwarna merah muda. Memakai ikat rambut dan bandok bagus adalah keinginannya, dia mendongak ke atas. Rizal tampak sibuk memakaikan ponsel sembari berjalan. "Yah, ngin itu." Cheril menarik ujung baju Rizal. Mencoba mendapatkan perhatian Rizal. "Apa?" Arah telunjuk Cheril menunjuk toko pernak-pernik, ada bando cantik dan segala ikat rambut di sana. Mirip punya Zila yang selalu dipamerkan padanya. Akan sangat menyenangkan jika Cheril bisa memilikinya juga. "Nanti aja beli itu, sekarang temui teman Om dulu."Bukan ayah tapi Om, Rizal menarik tangan Cheril menjauh dari toko itu, segera menghampiri Yuno dan Husna yang sudah menunggu. Mereka naik eskalator, menuju lantai 7. Sekali lagi Cheril melihat bando yang tidak jadi dibeli, dia menurut mengikuti Rizal membawanya naik. Tak apa, katanya nanti beli itu. Dia percaya ayahnya tidak akan berbohon
Aku merindukan Cheril, tangan kecilnya selalu menghapus air mataku. Padahal baru beberapa hari berpisah, kerinduan sudah menumpuk seperti ini. Sedang apa anak itu? Apakah bahagia bersama ayahnya? Lipatan baju bocah itu aku taruh di lemari, pakaian lusuh bekas Zila. Apakah Kak Afrizal memberikan baju baru untuk Cheril? Aku sangat penasaran kabar mereka. "Kalau udah lipetin baju cepat beresin dapur, ibu sudah selesai makan." Perintah Mas Malik. Aku segera menutup pintu lemari, berjalan cepat mendekat ke Mas Malik. Pria itu sedang membersihkan gigi dengan lidi. Tadi aku membuat opor ayam. "Mas dapat SMS dari Cheril nggak?" "Untuk apa anak itu SMS?""Aku ngasih nomor Mas kalau seumpama ayahnya Cheril tidak menerima anak itu dan minta dijemput." "Jadi kamu nunggu SMS dari mantan?" "Nggaklah, Mas. Lagian yang pegang Hp kan Mas. Bukan aku." Sikap cemburunya tidak berdasar. Walaupun itu tanda bahwa dia mencintaiku, tapi terkadang membuat sebal. Seakan mencari kesalahan supaya bisa mar
Cengkraman tangannya masih sangat kuat, tidak berbelas kasih sedikitpun kepada istrinya yang sedang hamil. Aku merintih kesakitan, mataku berkaca-kaca. Kadang aku bertanya dalam hati, meskipun tidak ada cinta apakah ada kasih darinya untukku? Maksudku, selain pada bayi kita. Bohong jika aku berkata tidak butuh cinta darinya. Semua istri ingin dicintai suaminya. Mendapatkan kasih sayang yang pantas bukan sikap cuek dan kasar setiap hari. Semua istri pasti menginginkan hal itu."Iya, aku pindah." Cengkraman tanganku dilepaskan, napas Mas Malik memburu. Menahan emosi. Bersyukur dia tidak menampar seperti biasanya. Sejak kehamilan masuk ke usia tujuh bulan, aku merasa dia lebih berhati-hati dalam memperlakukan diriku. Untuk anak kita, bukan istrinya. Ibu mertua tersenyum sinis sebelum berbalik, mereka pergi. Tak habis pikir kenapa aku mau tetap berharap bahwa hubungan keluarga ini akan membaik. Belum lahir saja anakku sudah mendapatkan perlakuan tak adil. Malam harinya aku membereskan