Share

8. Harapan

Kapal sudah di depan mata, tanpa Cheril di sisiku rasanya sangat hening dan kosong. Padahal, dulu aku tidak menginginkan anak itu ada di dunia. Menyalahkan Tuhan, kenapa aku malah diberi anak yang tidak diinginkan?

Akibat hamil dan tidak ingin menggugurkan kandungan, aku keluar dari kampus. Sepenuhnya bekerja untuk tabungan melahirkan. Paman dan bibi marah habis-habisan, menamparku dengan keras. Mengataiku pelacur dan anak tidak berguna.

Aku menanggung semuanya tanpa menyebutkan nama Kak Afrizal sedikitpun. Percuma, kalau tahu diperkosa pun tidak ada guna. Malah menjadi aib bayiku.

"Kamu istirahat saja di dalam, biar Abang yang bayarin."

Bang Anton orang yang pengertian, tahu aku sangat lelah dengan kehamilan besar. Menyuruh istirahat di dalam dengan nyaman. Ada karpet dengan bantal di sana meski berbayar.

"Nggak papa, Bang. Aku di luar saja."

Padahal hanya 15 ribu, sebenarnya uangku masih utuh 20 ribu. Niatnya untuk membelikan Bang Anton rokok. Aku sudah menumpang tanpa membelikan bensin atau makan sedikitpun. Setidaknya rokok satu bungkus ingin kuberi.

"Sudahlah, nggak papa. Sekalian Abang istirahat juga. Ayo."

Bang Anton mendorongku supaya naik tangga, tanpa bisa menolak aku menurut. Masuk ke ruangan setelah Bang Anton membayar, terlihat banyak orang yang sudah tidur.

Aku diberikan bantal yang disewa seharga 5 ribu. Tidak bisa tidur dengan nyenyak karena kondisi kehamilan yang semakin besar. Miring salah telentang juga salah.

Mungkin karena terganggu aku ganti posisi terus, Bang Anton memberikan bantalnya. Diletakkan di perutku yang miring supaya lebih nyaman.

"Nggak usah, Bang."

"Nggak papa. Mirna juga sulit tidur waktu hamil besar."

Dia berbaring lagi setelah melepaskan jaket, membuntal dan diletakkan di kepala. Tidur dengan bantal dari jaket.

Masih ada orang baik di dunia ini, aku memakai bantal yang diberikan dan memang rasanya jauh lebih nyaman. Kapal terus melaju ke arah Bakauheni.

Paman dan bibi tidak menerima Cheril, kehamilan yang membuat mereka malu. Sepupuku juga sama saja. Mereka menghina dan menyuruh supaya aku diusir. Tanpa diminta pun aku pergi, meninggalkan mereka kembali ke kosan.

"Ada aku, kamu tidak perlu khawatir."

Satu-satunya orang yang ada di pihakku hanya Diandra, tanpa imbalan apapun bersedia menemani di setiap masa sulit. Sahabat yang sudah membuatku merasa masih ada hal baik di kehidupanku ini, yakni bertemu sahabat seperti Diandra.

Menginjak usia kehamilan ke delapan, aku masih bisa bekerja. Di restoran sebagai tukang cuci piring. Malamnya bekerja sebagai buruh cuci warga sekitar kosan. Mengumpulkan uang supaya bisa tenang tanpa takut kelaparan saat melahirkan, juga biaya persalinan yang terbilang besar.

Mendekati bulan ke 9, Diandra terus berada di sisiku. Menjagaku dengan baik sampai merasa bahwa dunia ini tidak seburuk itu.

"Ini aku beliin susu ibu hamil."

"Kamu ini kan udah kubilang nggak perlu. Tapi selalu aja beliin. Kamu sendiri kan juga butuh uang."

Aku tidak sanggup membeli susu, sayang uangnya juga. Harus irit selama hamil supaya uang tabungan cukup untuk biaya persalinan. Diandra tahu betul apa yang ada di pikiranku. Dia berisiatif sendiri membelikan susu tanpa mau dicegah.

"Buat ponakan tercinta apa sih yang nggak." Diandra mengelus perutku.

Hanya dia, sahabat yang sangat aku sayangi. Orang yang menerima aku apa adanya.

Malam ketika hujan lebat, aku merasa akan melahirkan. Membangunkan Diandra yang memang siap siaga. Bersusah payah membawaku ke bidan di tengah hujan.

Rasa sakit yang tidak akan pernah aku lupakan, menyusahkan Diandra yang meminjam becak untuk membawaku di tengah hujan.

Memang hanya berjarak 10 menit dari kosan, becak milik tetangga pun Diandra ambil. Mendorongku hingga sampai ke bidan dengan tubuh kecilnya yang basah kuyup.

Di antara rasa sakit yang tiada tara, aku masih berharap Kak Afrizal datang. Menemaniku melahirkan bayinya.

"Aku keluar dulu, bajuku basah kuyup nggak boleh di sini. Kamu yang kuat ya?"

"Makasih, Din." Aku menjawab sembari mengangguk.

Ingatanku terus berputar pada kenangan ayah dari bayi yang akan lahir ini, kalimatnya yang halus dan penuh perhatian seakan tidak akan pernah meninggalkan diriku sendirian. Sekarang dia meninggal diriku yang kesakitan melahirkan anaknya. Berjuang antara hidup dan mati.

"Tarik napas dan coba dorong bayinya." Bu Bidan memberi aba-aba.

Keringat yang bercucuran di pelipis, tubuhku sangat kelelahan sekuat tenaga mencoba mengeluarkan bayi ini dari perut. Rasa sakit sampai membuat kepalaku nyeri.

Air mataku menetes, tidak ada waktu untuk bersedih.

"Kepalanya sudah terlihat, ayo dorong lagi."

Bayi yang tidak kuingkan lahir ke dunia. Ikut serta dalam luka. Tanpa memiliki seorang ayah yang mengazani. Aku sebagai ibu tunggal akan merawatnya. Bayi perempuan yang sehat, anak kak Afrizal. Kuberi nama Cheril Lisyana. Anak yang sekarang sudah bertemu dengan ayahnya.

Tanpa sadar waktu sudah hampir pagi, kapal akan menepi di labuhan. Aku keluar meninggalkan ruangan. Hanya tidur setengah jam.

Waktu sudah menunjukkan waktu subuh, aku mencari mushola dan shalat di sana. Setelah itu baru keluar dan menunggu matahari muncul.

Lautan biru mulai terlihat di antara matahari yang baru saja terbit. Bersinar terang sampai menimbulkan silau. Aku mengusap perutku yang buncit. Berbeda dengan Cheril, anak ini memiliki ayah yang akan menemaniku melahirkan. Mengazani dan menyayanginya.

"Hana, ayo masuk mobil."

Bang Anton keluar dari kamar mandi, wajahnya basah dengan air menetes.

"Iya, Bang."

Perjalanan dilanjutkan menuju Bandar Lampung. Kembali ke rumah pengap dengan suami dan ibu mertua. Sebenarnya Mas Malik punya ayah, tapi sekarang sedang di Malaysia untuk mengurus sesuatu. Aku sendiri hanya beberapa kali bertemu beliau selama menikah.

Sesampainya di rumah sudah disambut wajah masam ibu mertua. Menyindir habis-habisan.

"Enak ya habis jalan-jalan ketemu mantan."

"Setelah mengantar Cheril ketemu ayahnya, Hana langsung pulang, Bu."

"Halah alasan aja."

Lagi pula, percuma dijelaskan. Biarkan saja beliau bicara apa. Rumah ini terasa hening tidak ada Cheril.

Semoga Cheril sekarang bahagia bersama ayahnya. Aku membersihkan dapur sembari terus memikirkan Cheril.

"Besok kamu bersiap, kita akan membelikan perlengkapan bayi."

Mas Malik baru pulang kerja. Meletakkan rompinya di meja makan. Melewatiku untuk mencuci tangan.

Aku tersenyum, akhirnya kebahagiaanku akan datang. Benar bahwa Mas Malik tetap menyayangi anak ini di balik sikapnya yang selalu judes.

Sepertinya ramadhan tahun ini akan menjadi hal baik untukku dan Cheril. Aku tersenyum ke samping, melihat wajah suamiku yang mulai perhatian.

"Iya, Mas. Besok pagi kita belanja perlengkapan bayi bareng."

Mas Malik tidak mempedulikan ucapku, dia terus menggosok tangannya yang kotor menggunakan sabun.

bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mbak Lina
Hana wanita kuat.......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status