Lima belas menit sudah ibunda dokter Rezky duduk bersama keluar Datuk Basri, tak ada tanda-tanda anaknya keluar dari kamar. Ibu Hanum memerintahkan adiknya untuk mengecek ke kamar sang anak."Uda Rezky, Ama memanggil. Di suruh cepat sedikit."Dengan berat hati Rezky keluar dari kamar. Akhirnya, ia ikut bergabung bersama ibunda dan keluarga Datuk Basri.Percakapan hangat sebelum proses lamaran terjadi. Datuk tampak akrab dengan ibunda dokter Rezky. Sementara di sisi lain, sang lelaki hanya terdiam. Sama halnya dengan putri Datuk. Gadis itu juga ikut terdiam.Lima belas menit terlalui dalam suasana yang cukup menyenangkan hingga masuk dalam tahap lamaran."Jadi mungkin Uda Rezky udah tahu maksud kedatangan Datuk kemari?"Rezky terkesiap. Meskipun sudah bergelar dokter spesialis tapi dia tetap takzim pada orang tua. Inginnya tak menolak, tapi hati memberontak."Ambo tahu Datuk.""Kalau begitu bagaimana pendapatmu. Apa kau setuju menikahi putriku?"Rezky menatap Mika yang masih menunduk.
Hana sedikit gelagapan. Ia menepis segala keraguan yang mencoba menggoyahkan niatnya untuk bersama Rezky."Terserah Mas saja, tapi saya hanya takut jikadipercepat, Syainanya justru belum siap. Hana belum memberitahu apapun padanya tentang hal ini.""Tidak apa, Syaina akan kita beritahu perlahan."Hana terdiam sejenak."Bagaimana tanggapan Mama dan saudara Mas di kampung? Apa mereka setuju Mas menikahiku?"Rezky menatap Hana secara dekat."Jangan risaukam restu, aku ini sudah dewasa. Bisa memutuskan apa yang terbaik untuk diriku sendiri.""Maksud Mas?""Sudah lupakanlah, bulan depan. Bagaimana?"Hana masih dipenuhi rasa penasaran, tapi pertanyaan Rezky lagi-lagi membuyarkan rasa itu."Bulan depan?""Iya ada tanggal cantik di bulan depan. Tanggal dua bulan dua tahun dua ribu dua puluh dua."Hana tercenung sejenak."Lo kok melamun? Siap nggak kembali jadi seorang istri?"Hana memejam sejenak, lalu tersenyum. Senyum yang membuat Rezky semakin ingin segera memilikinya, cantik dan menawan.
Wajahnya teralihkan untuk menatap Langit. Mereka saling bertatapan hingga getar ponsel sang lelaki membuat keduanya terhenyak.Langit menunduk sejenak mengontrol perasaan hati, lalu mengeluarkan ponsel di saku celana untuk kemudian membaca pesan yang terkirim ke benda pipih tersebut.Sebuah pesan dari Rezky. Ia abaikan dan menyimpan kembali ponselnya."Jika waktu bisa berputar, satu hal yang tidak akan Mas sia-siakan. Mencintaimu Han."Dua netra Langit tiba-tiba terlihat basah."Tapi sayangnya waktu memang nggak bisa berputar. Mas cuma bisa doa aja, supaya kelak hidup kamu bahagia."Ucapan itu pada akhirnya ikut membuat dua netra Hana basah. Hanyut dalam suasana."Terima kasih atas doa baik Mas untuk saya. Saya juga akan mendoakan Mas Langit, supaya mendapat jodoh yang baik yang bisa menuntun Mas menjadi pribadi yang lebih baik lagi.""Aammiin ...."Mereka kembali saling memandang."Mas nangis?"Langit menekan dua bola matanya lalu tersenyum."Kamu juga nangis?"Hana memaksa tersenyum
"Aku ingin mengucapkan terima kasih pada Uda karena sudah menolak perjodohan kita."Dua netra Rezky membelalak, tak seperti dugaannya dimana dia pikir Mika akan kecewa karena penolakannya terhadap perjodohan itu. Namun, sebaliknya gadis itu justru bahagia.Lucu!Batin Rezky sedikit menaruh penasaran pada Mika."Kenapa harus berterima kasih.""Ya karena Ambo tidak menginginkan pernikahan itu, Uda. Ambo Masih muda, masih pengenlah berkarir dan milih-milih soal jodoh. Setidaknya yang lebih muda lah, bukan yang setua Uda."Rezky menelan ludah mendengar perkataan Mika.Tua? "Lagian Uda itu bukan level Ambo. Ambo tu suka sama laki-laki yang berpeci, khas anak pesantren gitu lah Uda. Sekali lagi maaf ya Uda, atas kejujuran ini."Rezky menarik napas panjang mendengar omongan gadis itu."Emang Mika umur berapa sih?" tanya Rezky tergerak untuk tahu seberapa muda gadis di hadapannya."Dua puluh lima tahun."Seketika Rezky terkekeh."Perempuan Minang itu rata-rata menikah 20 sampai 25 tahun? Ema
"Ma, Papa ada nelpon nggak?"Sebuah pertanyaan yang membuat Hana bingung bagaimana menjawab."Em Sayang, maafkan Mama ya. Ponsel Mama ketingalan di rumah."Wajah Syaina seketika berubah."Nanti kalau Papa nelpon gimana, Ma?""Kalau Papa nelpon terus nggak Mama angkat, pasti Papa nggak nunggu kita pulang. Langsung balik ke Jakarta.""Tapi Syaina pengen ketemu Papa.""Iya Sayang, tapi Mama benar-benar lupa. Nggak disengaja. Mama minta maaf, ya.""Yaudah deh, tapi janji nanti pas nyampai rumah isi pulsa terus langsung telpon Papa, ya."Hana mengangguk demi menyenangkan hati putrinya. Memang selama ini ia selalu menolak jika Syaina meminta menelpon sang Papa. Alasannya tak lain, karena tak ingin mengganggu Langit. Jujur, ia berharap lelaki itulah yang terlebih dahulu menelpon, tapi seminggu lamanya terlalui, tak satu kalipun Langit memberi kabar.Palingan juga udah mulai dapat gebetan baru setelah Lina. Huh, dasar lelaki.Hana kembali disibukkan dengan mengurus anak-anak hingga waktu teru
Degup jantung Hana berpacu kencang. Antata keterkejutan dan rasa keraguan. Ia masih bimbang.Jika tak pikirkan perasaan sang anak, dalam kebimbangan seperti ini, Hana memilih menolak saja. Toh, hatinya masih ragu. Namun, melihat wajah penuh damba sang anak, jahat rasanya jika ia menolak."Ma, mau ya sama Papa?"Entah Syaina paham atau tidak apa yang ia lihat dengan kedua matanya. Tapi permintaan bocah itu untuk mengiyakan, membuat kepala sang ibu pada akhirnya mengangguk perlahan.Mendapati keiyaan sang mantan istri, seketika Langit berucap syukur."Alhamdulillah."Ia reflek menggendong buah hati untuk kemudian mengecup kening dengan kuat. Sementara Hana merasa dadanya sedikit bergemuruh. Tak ia pungkiri jika cinta untuk lelaki itu masihlah mendominasi di dalam hati. Ia hanya takut terluka. Sebab ternyata tak ada yang lebih menyakitkan dalam hidup melainkan perceraian yang terjadi satu tahun silam.Tapi lagi-lagi jika melihat Syaina amat bahagia dalam dekapan sang Papa, seketika rasa
Syaina berjalan dan duduk di pangkuan sang ayah."Papa sama Mama habis shalat, ya?"tanyanya penasaran."Iya Sayang. Nanti ketika waktunya shalat isya tiba, Syaina mau nggak ikut shalat bareng Mama dan Papa?" tanya Langit pada sang anak."Mau, Pa.""Alhamdulillah.""Pa, Ma, malam ini Syaina tidur dimana?""Tidur di sini Sayang, mau 'kan?"Syaina seketika mengangguk."Terus Papa tidur dimana?""Di sini juga?""Kita tidur bertiga?"Syaina masih tak percaya."Iya, dulu Syaina 'kan pernah minta Papa tidur di rumah ini. Alhamdulillah, doa Syaina dikabulkan Allah.""Alhamdulillah. Syaina tidur di sebelah mana?" tanyanya lagi masih penasaran."Kamu maunya dimana?""Dekat sama Papa dan Mama.""Berarti Syaina tidurnya di tengah Sayang."Bocah itu mengangguk bahagia. Hana dan Langit tampak tersenyum mendapati kebahagiaan putrinya, akhirnya kini mereka dapat menikmati indahnya kebersamaan.Tepatnya setelah melalui cukup banyak cobaan yang tidak saja menguras letih raga bahkan jiwa terasa berkali-
Langit mencari keberadaan Rezky di tempat biasa sesuai yang disebutkan lelaki itu tadi di telpon. Lima menit ia mengedarkan pandang namun tak jua ketemu. Akhirnya sebuah tepukan di pundak membuat lelaki itu berbalik dan mendapati Rezky ada di sana."Bikin kaget aja."Rezky hanya tersenyum."Kita duduk di sana yuk.""Tapi aku nggak bisa lama lo, siang ini ada jam operasi.""Oke nggak lama, sebentar aja."Mereka duduk di sebuah bangku yang di sekelilingnya sudah begitu ramai oleh pengunjung."Ada apa?""Aku cuma mau ngasih undangan pernikahan dari Salsa. Masih ingat nggak?"Langit mencoba mengingat."Adik leting kita satu angkatan. Itu lo, yang bantuin kita nyari materi pas lagi nyusun skripsi.""Oh iya, aku ingat. Dia di kota ini?""Iya. Kemarin dia ngajak ketemuan, ternyata mau ngasih undangan pernikahan. Terus dia ingat banget sama kamu, jadi sengaja ngasih undangan juga supaya kamu bisa hadir."Langit meraih undangan di tangan Rezky."Oh ya yang ini orangnya, ingat banget aku sama d