Tiga tahun bersama tak membuat Langit bisa mencintai istrinya, Hana. Namun semua itu terus ia tutupi hingga suatu malam lelaki itu mabuk berat dan menjatuhkan talaknya untuk sang istri. Setelah satu tahun palu perceraian terketuk, ternyata mereka dipertemukan kembali di Purwokerto. Mereka bertemu di sebuah rumah sakit. Ternyata, anak Hana yang didiagnosa menderita Leukimia, ditangani oleh teman Langit sendiri, yaitu Rezky yang pada akhirnya jatuh cinta kepada Hana. Akankah ada rasa cemburu dalam hati Langit saat mengetahui, Rezky sahabatnya berniat ingin melamar Hana? Ataukah justru Langit ingin menggagalkan rencana tersebut dan mengajak Hana untuk rujuk kembali? Lalu bagaimana dengan masa lalu Langit yang menjadi sebab perceraiannya dengan Hana. Akankah wanita itu ikhlas Langit kembali menaruh perduli dengan mantan istrinya?
View MoreSudah satu tahun berlalu semenjak Langit menjatuhkan talaknya untuk Raihana, hidup sang mantan istri dan buah hati yang hari ini genap berusia empat tahun, telah banyak mengalami perubahan.
Tepatnya setelah palu perceraian diketuk, wanita itu memilih pergi menjauh. Meninggalkan segala kenangan yang mungkin takkan pernah terhapus meski waktu terus bergulir. Karena buatnya, Langit adalah cinta pertama yang diharap akan bersama hingga menutup usia.
Tiga tahun lamanya Langit dan Hana hidup seatap, sang istri berpikir dia akan bisa mengubah perasaan suaminya seiring perjalanan rumah tangga mereka terlalui. Tapi nyatanya, lelaki itu masih sama. Masih sedingin saat pertama kali mereka berjabat tangan di depan wali nikah.
Setiap kali Hana meminta penjelasan, lelaki itu selalu diam seribu bahasa. Dan anehnya, Hana selalu memilih bertahan hingga tiga tahun berlalu dengan begitu berat.
Dan kejadian malam itu telah membuka hati dan pikiran sang wanita, bahwa sampai kapanpun dia tidak akan pernah ada dalam hati suaminya. Dia hanya kerikil yang sangat ingin ditinggalkan Langit.
Malam itu, malam saat Langit mabuk hebat, dia jujur akan semua yang terjadi pada dirinya.
"Aku tidak pernah mencintaimu, Hana. Aku menikahimu hanya karena permintaan kedua orang tuaku yang merasa bersalah karena telah membuat kedua orang tuamu meninggal."
Hana tercengang, ingatannya terlempar pada masa lima tahun silam, saat kedua orang tuanya dinyatakan meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas.
Kala itu Hana masih duduk di bangku kuliah semester tiga, dia merasa hidupnya hancur. Ditinggal secara bersamaan oleh dua orang yang paling dicintai. Hana seakan ingin menyus mereka.
Namun, Papa dan Mama Langit yang sudah menyebabkan semua itu tetap menunjukkan tanggung jawabnya. Merekalah yang kemudian mengambil alih membiayai kuliah dan kehidupan Hana.
Tidak berakhir sampai di situ, kedua orang tua tersebut masih merasa bersalah hingga meminta anak mereka satu-satunya untuk menikahi Hana sebagai penyempurna pertanggungjawaban yang diberikan mereka kepada Hana.
"Apa kau dengar Hana?"
"Dengar apa, aku tak paham dengan maksud omongan Mas barusan?"
"Harusnya kita tidak menikah, Hana? Atau kamu pura-pura tidak tahu jika aku sudah punya kekasih yang sangat ingin kunikahi?"
Meski Langit saat itu sedang mabuk, tapi Hana sadar apa yang diucapkannya adalah benar. Hati Hana hancur, sungguh sakit mendengar kejujuran itu keluar dari bibir sang suami.
"Harusnya jika kamu sudah punya kekasih, kamu menolak saat kedua orang tuamu menjodohkan kita, Mas."
"Aku tidak mungkin menolak, mereka adalah segalanya untukku. Seharusnya kamu bisa lebih peka membaca keadaan. Berapa kali Mama memintaku menemuimu, tapi bukankah aku selalu menolak? Itu karena aku tidak menginginkan pernikahan ini."
Dua mata Hana seketika dipenuhi cairan. Lelaki yang ia cintai selama ini, yang ia pertahankan kehadirannya meski kerap menyakiti hati, ternyata tak pernah mencintainya. Justru sangat merasa tersiksa dengan pernikahan ini.
"Jadi Mas tidak mencintaiku sama sekali?"
"Maafkan aku Hana, aku tidak bisa mencintaimu. Cintaku hanya untuk kekasihku. Syarlina."
"Lalu anak kita? Apa dia juga terlahir karena keluguanku?"
"Aku minta maaf, sebenarnya aku tidak pernah ingin menyentuhmu. Semua itu karena Mama, beliau yang sudah menaruh obat perangs*ang dalam minumanku. Dia tahu selama kita bersama, aku tidak pernah menyentuhmu. Makanya, Mama mencari cara agar kau bisa hamil dan beranggapan bahwa setelah kita melakukannya, maka hatiku akan mencintaimu. Tapi nyatanya, cintaku masih untuk Syarlina."
Dada Hana seperti teremas mendengar perkataan itu, inilah kejujuran yang seharusnya ia dapat semenjak hari pertama pernikahannya dengan Langit. Saat dimana dia bertanya pada lelaki itu apakah benar bersedia belajar mencintainya seperti pesan kedua orang tuanya di hari memberi wejangan.
"Jadi selama ini Mas menyentuhku tanpa cinta?"
"Iya. Ooekk!"
Langit menjawab seraya memuntahkan isi lambungnya. Meski hati tersayat, Hana tetap membantu Langit untuk bisa lebih baik. Dia membalur punggung suaminya dengan minyak kayu putih sembari mengusap air mata di kedua pipi.
"Hana, sudahlah. Mari kita akhiri semua ini. Bukankah aku sudah sangat menyakitimu? Kedua orang tuaku juga sudah tiada, mari kita berpisah."
Hana menghentikan gerakan tangannya, cukup sesak terasa di dada. Permintaan ini apakah karena Langit sedang mabuk? Atau memang itulah yang diinginkan sang lelaki semenjak dahulu.
"Mas bersungguh-sungguh ingin kita bercerai?"
Langit mengangguk. Membuat cairan bening semakin deras membanjiri wajah Hana. Tapi wanita itu tak mau gegabah. Siapa tahu ini hanya karena pengaruh miras yang ditenguk Langit. Dia bangkit hendak keluar.
"Mau kemana Hana?"
"Istirahatlah, Mas. Jika kau sudah sadar dari mabuk, kita bicarakan lagi masalah ini."
"Tidak Han, apa kamu pernah melihatku seperti ini?"
Hana terdiam sejenak, detik berikutnya dia menggeleng. Nyatanya Langit memang tidak pernah seburuk malam ini.
"Aku sengaja mabuk, agar aku punya keberanian untuk mengakhiri semua ini?"
Deg.
"Hana, aku ingin bercerai."
Seluruh kekuatan sang wanita seolah tercabut paksa mendengar kalimat itu.
"Aku akan mengurus perceraian ini ke pengadilan. Maaf, jika kemauanku ini telah menyakiti hatimu, Han."
Hana menarik napas berat, ia mulai paham keinginan Langit. Lelaki itu bertahan hanya karena merasa tak enak untuk mengajukan cerai.
Ia tak mungkin lagi berjuang, semuanya telah jelas. Hana menghela napas dalam.
Ia juga paham hukum menceraikan istri meski dalam keadaan mabuk yang disengaja adalah sah. Tak ada haknya lagi untuk berlindung di rumah ini. Dia akan pergi.
*
Sudah satu bulan, Hana bolak balik rumah sakit untuk memeriksakan keadaan buah hatinya. Kejadiannya berawal dari penyakit batuk, pilek dan demam yang diderita Syaina. Berbulan-bulan berobat tapi batuk yang diderita bocah itu tak kunjung sembuh. Hingga ia putuskan untuk membawa buah hati pada salah satu dokter spesialis anak.
Betapa terkejutnya Hana dengan diagnosa yang disebutkan dokter itu, Leukimia. Wanita itu terduduk lemas tak bisa lagi berkata apapun. Sedemikian sulit hidup yang harus mereka jalani, sekarang masalah baru kembali menimpa.
Hana menangis, tak sanggup melihat sang buah hati kesakitan. Hingga ia bertemu dengan dokter Rezky Abang kelasnya semasa SMA yang ternyata kini berpraktik di Rumah Sakit Umum Kota Purwokerto.
Dia adalah dokter spesialis kedua yang mengatakan bahwa masih ada kemungkinan lain selain Leukimia. Saat itu semangat Hana yang tadinya sudah benar-benar hilang, perlahan kembali menghampiri.
Selama lebih dua minggu tak bisa menelan makanan, kini wanita itu mulai kembali memiliki keinginan untuk mengisi perut.
Hari ini ia kembali menemui Rezky untuk melakukan pemeriksaan kedua
"Hallo Syaina, apa kabar Sayang?"
Syaina bergeming, pagi ini keadaan bocah itu tidak baik. Dia bahkan menolak untuk diperiksa.
"Kelihatannya lemas banget, ayo jujur sama dokter ada apa?"
Maisa masih terdiam. Pandangan dokter Rezky kini jatuh pada sang ibu.
"Syaina dari rumah emang udah menolak ke rumah sakit, Mas."
Sesuai permintaan dokter Rezky, ia meminta agar Hana cukup memanggilnya dengan sebutan nama atau Mas tanpa embel-embel dokter. Maka Hana pun mematuhinya.
"Lo kenapa? Tapi katanya mau sehat? Mau sekolah lagi kayak teman-teman yang lain? Harus semangat ya Nak, biar cepat sembuh," terang Dokter itu seraya mengusap kepala sang anak.
Sebuah perlakuan yang selalu membuat Hana merasa sedih. Jika mengingat bahwa disaat-saat sulit seperti ini, seharusnya lelaki bergelar ayah selalu ada untuk mendampingi. Meski mereka sudah bercerai. Tapi apa yang terjadi, dia justru harus melewati semua itu berdua bersama sang anak.
"Semangat untuk sembuh ya, Nak."
Syaina hanya mengangguk, lalu ia pun dibawa untuk masuk ke sebuah ruangan pemeriksaan selanjutnya.
*
Syaina sudah tertidur di dalam pangkuan sang ibu. Setelah melalui serangkaian pemeriksaan, mereka kini menunggu obat yang sedang disiapkan di apotik.
Tiba-tiba sebuah suara membuat pandangan Hana teralihkan.
"Belum selesai nebus resep?"
"Belum, Mas."
Dokter Rezky yang sepertinya hendak pulang terlihat duduk kembali di kursi depan apotik tepatnya di samping Hana.
"Mohon maaf sebelumnya, aku ingin bertanya hal pribadi padamu."
"Iya, silahkan."
"Selama kamu dan Syaina berkonsultasi, aku tidak pernah melihat kalian ditemani seorang lelaki. Apa Papa Syaina di luar kota?"
Hana tercenung sejenak mendengar pertanyaan itu, apa yang seharusnya ia katakan? Haruskah ia jujur?
"Aku dan Papanya Syaina sudah berpisah, Mas."
"Oh maaf, aku jadi merasa tidak enak."
"Tidak apa, Mas."
"Sebenarnya aku bertanya seperti ini tidak lain, karena tadi sebelum pemeriksaan sempat mengajukan sebuah pertanyaan kepada Syaina. Apa yang dia inginkan setelah pemeriksaan ini selesai. Kupikir dia akan menjawab ingin kesembuhan atas penyakit yang diderita. Tapi ternyata jawaban yang diberikan Syaina sungguh membuat terharu. Dia hanya meminta kepada Allah, agar Papanya datang menjenguk."
Hana terdiam, rasa sedih tiba-tiba saja memenuhi kalbu. Selama ini, Syaina tak pernah menyinggung apapun soal sang papa padanya, tapi kejujuran yang diutarakan pada Rezky memberitahu hati bahwa sang anak begitu merindukan papanya.
"Mungkin kamu bisa menelpon sekedar membicarakan kesehatan Syaina, siapa tahu dengan kehadiran Papanya, Syaina bisa lebih semangat menjalani semua pemeriksaan."
Hana terdiam, hal itu sudah pernah dia lakukan. Tapi apa yang didapat, telponnya justru dijawab oleh seorang wanita yang mengaku bernama Syarlina. Tak hanya itu, sampai detik ini Langit bahkan tak jua menelpon balik.
"Terima kasih Mas atas sarannya."
Tiba-tiba ponsel Rezky berdering, lelaki itu segera mengangkat.
"Hallo Rez, kamu dimana?"
"Aku di depan apotik, masuk aja. Aku tunggu di sini."
"Oh oke."
"Saya ada janji keluar sama teman lama semasa di Fakultas Kedokteran Umum, sebenarnya masih pengen duduk di sini nemani kamu dan Syaina."
"Tidak apa Mas, Syaina juga sudah tidur."
Rezky mengangguk tapi masih enggan bangkit menemui sahabatnya. Dahulu semenjak SMA, tak bisa dipungkiri dia memang pernah jatuh hati pada Hana. Tapi sayang, sifatnya yang pengecut, membuatnya tak berani menyatakan walau sekadar mengungkapkan rasa suka.
Dan kini ketika takdir justru kembali mempertemukan mereka, apalagi dia tahu wanita itu telah bercerai, ada sedikit keinginan untuk kembali mengulang sesuatu yang dahulu tak terwujud. Tapi tentunya Hana yang sekarang adalah sosok berbeda yang pasti menyimpan banyak luka? Terbukti dari cara dia memandang dan berbicara.
Nomor antrian sepuluh.
Hana melirik kertas antrian yang ada di tangan, lalu bangkit ke depan untuk mengambil obat.
"Biar Mas yang ambil."
"Tidak usah, Mas."
Hana langsung berjalan ke depan. Bersamaan dengan itu, seorang lelaki terdengar menyapa Rezky.
"Hallo Dokter Rezky."
Tubuh Rezky berbalik.
"Hai Dokter tampan, Dokter Gagah Langit Rahagi. Apa kabar?"
Rezky bangkit dari duduknya dan berjalan menghampirinya lelaki itu, mereka berpelukan.
Tanpa arahan dua netra Langit justru tertuju pada sosok perempuan yang tengah menggendong seorang anak yang sedang mengeluarkan sejumlah uang untuk menebus obat.
Langit membelalak.
"Hana?"
***
Bersambung.
Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa subsrcribe, like, koment dan share ya.
Utamakan baca Al-Quran.
Satpam yang melihat gambar CCTV yang menunjukkan Kamil, ibunya serta seorang wanita menarik paksa tangan ibunda Rian tampak begitu terhenyak. Lelaki itu segera masuk ke dalam rumah untuk mengecek keadaan.Pintu kamar terbuka, menampakkan kondisi ibunda Rian yang sangat menyedihkan. Wanita itu tergeletak di atas ranjang dengan keadaan lemah. "Ibu, Ibu kenapa, Bu?"Pak Yanto segera membantu ibunda Rian untuk bisa duduk."Kamil dan Ibunya telah membuat saya seperti ini, Pak. Tolong telpon polisi. Mereka ingin menguasai rumah ini.""Ba-baik, Bu."Pak Yanto segera menelpon polisi sementara ibunda Rian menelpon anaknya sendiri. "Hallo, Ma."Suara ibunda Rian terdengar bergetar. Membuat sang anak di seberang sana menjadi khawatir."Rian.""Iya, Ma.""Maafkan Mama Rian. Melani dan keluarganya tak sebaik yang Mama pikirkan. Mereka telah membuat masalah di rumah kita.""Masalah apa, Ma? Mama baik-baik aja 'kan?""Iya, Mama baik-baik saja. Kamil dan Ibunya, mereka ingin menghancurkan keluarga
"Sedang apa kau di sini? Apa yang mau kau lakukan pada istriku? Kau menggodanya?" teriak Kamil lantang.Tak menunggu penjelasanku, dia yang tak sabaran segera melayangkan sebuah bogem ke wajah ini hingga aku tersungkur ke lantai."Mas, sudah jangan bertengkar. Mas Rian kemari karena aku yang minta. Dia ingin membenarkan channel televisi yang rusak.""Aku nggak percaya, pasti kamu diancam 'kan sama dia? Sudah ngaku aja, kalau iya dia sudah melakukan hal tidak senonoh sama kamu, kita bawa dia langsung ke kantor polisi.""Nggak Mas, Mas Rian tidak melakukan apapun padaku."Kamil masih diluar kendali, ia terus ingin menghajarku. Syukurlah Ika menahannya. Tak menunggu lama, aku segera turun ke bawah. Tidak mungkin membela diri disaat dia sedang berapi-api dan kondisikupun sangat tidak stabil. Akhirnya dengan pertolongan Ika, aku lepas dari amukan Kamil.Sampai di gundakan terakhir tangga, tampak lah di hadapan. Mama tengah berdiri dan menatap penuh tanya ke arah diri ini."Mama sudah baika
"Itu Dokter Anita bukan, Mas?" tanyaku penasaran, melihat gaya berpakaian serta cadar yang menutupi wajahnya mirip sekali dengan salah satu dokter yang dikabarkan sedang proses hijrah. "Nggak tahu, tadi sewaktu Mas buka pintu kita udah sempat tatap-tatapan tapi kemudian dia seperti enggan masuk ke rumah ini. Kamil berusaha membujuk tapi wanita itu tetap ingin pergi." "Jika benaran itu dokter Anita, jadi suami yang udah buat dia hijrah itu Mas Kamil? Tapi kenapa aku merasa nggak mungkin ya Mas?" "Sepertinya bukan Anita, mungkin orang lain yang hanya mirip saja dengannya. Apalagi kalau sudah bercadar kebanyakan wajah hampir mirip-mirip begitu. Apa mungkin karena hanya kelihatan mata doank? Ah sudahlah jika mereka tak mau masuk biarkan saja. Ayo kita masuk, Yank." Mas Rian mengajakku masuk dan kembali ke ruang makan. "Siapa Rian?" tanya mama mertua yang sudah menyelesaikan makan malamnya. "Kamil sama istrinya." "Lo, mereka sudah pulang? Kenapa tidak masuk?" tanya Bu Mel kelihatan
"Rumah? Kamu kalau minta sesuatu itu yang wajar."Suara Mas Rian terdengar sedikit meninggi."Kau kalau bicara yang sopan, aku ini Abangmu.""Sudah, sudah. Rian, jangan lagi berdebat. Begini Nak Kamil dan Ibunda, ini adalah rumah yang sudah kami tempat semenjak dahulu, semenjak pertama kali saya dan Mas Arya menikah. Jadi rumah ini punya banyak sejarah yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Mengenai hak waris, sesuai aturan semua harta peninggalan almarhum akan dikumpulkan menjadi satu lalu barulah dibagi sesuai dengan aturan pembagian hak waris menurut Islam.""Oke, saya mengerti maksud Mbak tersebut. Tapi maksud anak saya mengharap rumah ini, karena sebagai anak kandung Mas Arya, dia tak pernah mendapatkan apa yang seharusnya juga dia dapatkan seperti Rian. Tinggal di rumah mewah, disekolahkan sampai menjadi dokter, mau kemana-mana dengan mobil mewah. Padahal Kamil dan Rian statusnya sama, sama-sama anak kandung. Jadi coba Mbak bayangkan, wajar tidak jika kini Kamil menginginkan
Hari ini adalah hari paling membahagiakan, setelah tiga bulan menanti akhirnya benih yang telah bertumbuh di dalam rahim kini terlihat jelas jenis kelaminnya."Gimana Mira, laki-laki atau perempuan?" tanyaku antusias. Mas Rian hanya tersenyum, baginya perempuan atau lelaki tak masalah yang penting sehat dan lahir dengan selamat. Tapi tidak dengan diri ini, semenjak awal dinyatakan positif hamil, aku sudah mengidam-idamkan anak perempuan. Supaya Lita punya teman bermain."Masya Allah ...."Mira tersenyum menatapku. "Seperti keinginanmu Sya, perempuan," ucapnya semangat yang kusambut dengan senyum bahagia. Mas Rian ikut semang dan merangkul bahu ini."Perkembangannya gimana, Dek? Sehat 'kan?" tanya Mas Rian yang lebih mengkhawatirkan kondisi fisik bayi kami. Tersebab sudah bertahun-tahun dia mendapati kemoterapi dan sangat takut akan rusaknya gen-gen yang seharusnya menjadi pembentuk bayi kami.Awalnya Mas Rian memang melarangku hamil, dia bahkan meminta agar aku memakai spiral. Tapi a
Tangis haru mewarnai pemakaman papa pagi ini. Mama masih tak stabil, sebentar pingsan, nanti sadarkan diri kembali. Begitulah semenjak semalam. Namun, tiga jam ini keadaannya sudah lebih membaik. Lebih tiga jam sudah ia sadarkan diri.Walaupun begitu, aku tetap tak bisa mengantar jenazah Papa untuk terakhir kalinya. Sebab tak mungkin meninggalkan Mama yang tak stabil seorang diri di rumah. Meski keinginan sedemikian besar, tapi kucoba mengikhlaskan dan menyerahkan pemakaman papa sepenuhnya pada Mas Rian dan adik semata wayang, Biantara Atha Arif.Kurang lebih dua jam, semua kembali ke rumah. Arif kini mendekati Mama dan memeluk wanita itu sejenak, postur tinggi serta bentuk tubuh dan wajah yang mewarisi Papa sepenuhnya, membuatku seolah melihat papalah yang kini tengah memeluk Mama."Sudah selesai pemakaiannya?" tanya Mama dengan suara serak. "Udah, Ma.""Sekarang Papa kalian sudah sendiri, biasanya semua Mama yang ngurus. Sekarang Papa kalian gimana? Dia pasti merasa sedih."Mama ke
Sungguh terhenyak diri ini saat pintu kamar mandi terbuka, bahkan ponsel di tangan sampai jatuh ke atas ranjang."Ma, kenapa?"Mas Rian yang melihatku tiba-tiba berdiri kaku langsung mengambil ponsel dan mengecek isinya. Dia membaca pesan Friska yang belum kukeluarkan dari layar utama. Usai membaca, lelaki itu menatapku."Aamminnn, semoga doanya diijabah."Mas Rian mematikan ponsel lalu meletakkan di atas nakas. Dia kemudian berjalan mendekatiku yang nyaris tak bergerak tersebab perasaan dipenuhi tanda tanya, bagaimana Friska bisa tahu bahwa hari ini aku dan Mas Rian menikah? Lalu perihal keluhan wanita itu, sepertinya aku menangkap jika ternyata Friska telah menikah lagi dan suaminya kemungkinan selingkuh. Benarkah?"Bagamana Friska bisa tahu jika hari ini kita menikah?" tanyaku menatap Mas Rian, seketika rasa cemburu menyergap. Apakah mereka masih berkomunikasi?"Papa nggak tahu, Ma.""Kalian masih berhubungan, ya 'kan?""Demi Tuhan, nggak Ma. Jika kami masih berhubungan kenapa dia
"Boleh lebih dekat?"Mas Rian memintaku untuk lebih rapat dengannya, usai pemasangan cincin dan menerima sebuah kecupan. Kini saatnya sesi foto-foto, meski tidak berdiri di atas pelaminan dan hanya duduk di atas sebuah karpet tebal berbulu lembut, acara ini tetap sesakral pernikahan pertama kami yang dilaksanakan begitu meriah.Mas Rian menyentuh kembali jemariku lalu sebuah foto tercetak dua kali."Selanjutnya foto bareng anak-anak."Seorang fotografer meminta kedua anakku bergabung. Setelah selesai mencetak foto berempat, lelaki itu kembali meminta seluruh keluarga untuk bergabung."Oke, satu dua tiga."Blast. "Sudah cukup, seadanya saja. Karena kami masih masa berkabung," ucap mama mertua meminta fotografer tidak lagi mengambil gambar. Lelaki itupun berbicara dengan Mas Rian lalu pamit pulang. Seminggu setelah jenazah Papa mertua dikebumikan adalah waktu yang baik yang sudah ditentukan oleh dua belah keluarga untuk melangsungkan pernikahan ini. Seharusnya ini menjadi suatu hal ya
Entah kenapa di detik ini kedua netraku tiba-tiba basah, terlebih saat melihatnya memeluk Talita seraya berucap terima kasih."Terima kasih Mama. Papa janji tidak akan menyia-nyiakan kesempatan kedua yang Mama berikan ini."Lagi-lagi dia meluapkan rasa bahagia pada Lita dengan mengecup pucuk kepalanya, membuat anakku keheranan."Papa kenapa sih tiba-tiba peluk dedek?""Papa sedang terharu, Nak.""Terharu karena bahagia?""Iya.""Karena Aa hebat, ya?""Salah satunya.""Dedek juga hebat?""Iya Papa tahu, kamu pasti sehebat Mamamu," ucap Mas Rian kini seraya membawa anakku dalam pelukan.Lita pun tersenyum sembari mengeratkan pelukan papanya. Melihat pemandangan itu, wajah tertunduk sejenak. Tak ada penyesalan saat niat ini sudah mantap menerimanya kembali. Setiap manusia memang sangat mungkin berbuat kesalahan, tapi Mas Rian membuktikan bahwa dia melakukan hal yang baik dengan meninggalkan kesalahannya dan beritikad untuk kembali padaku semenjak dahulu.Maaf Mas telah membuatmu terus be
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments