Share

5. Tamu Tak Diundang

Langit telah selesai membersihkan diri, bukannya keluar untuk menemui Lina, ia justru merebahkan diri di atas ranjang. Menatap langit-langit kamar seraya kembali mengenang pertemuan tadi dengan Hana dan juga Syaina.

Pertama kali yang terlihat di sana adalah wajah cantik anaknya. Ia merasa nyaman saat tangan-tangan mungil itu memeluk erat.

Satu tahun terlalui, rumah ini terasa begitu sepi. Sebab sebelumnya ia sering mendengar celoteh Syaina meski jarang menggendong apalagi sampai mencium. Sebegitu jauhkah ia dari darah dagingnya sendiri?

Sejenak kemudian, ingatan Langit terlempar pada sebuah kata, Leukimia.

Ya Allah ...

Langit mengusap wajahnya kasar. 

Bagaimana mungkin anakku menderita leukimia?

Ia menghela napas berat. Tak paham kenapa hatinya terasa begitu sakit dan kecewa mendapati kenyataan pahit tersebut. Langit kembali mencoba menyimpan wajah Syaina hingga sesosok yang lain mampir begitu saja. 

Hana.

Penampilan wanita itu kini banyak berubah, jilbab yang sudah lebih lebar dengan gamis yang sepadan. Hana terlihat lebih anggun dari saat menjadi istrinya. Dengan wajah ayu yang natural, sebenarnya Hana memiliki wajah yang cukup memikat. Sayangnya tiga tahun bersama tak membuat dua matanya terbuka untuk menatap kelebihan yang dimiliki sang istri.

Dia justru masih berambisi untuk memperistri Syarlina. Wanita masa lalu yang padahal ia ketahui saat itu sudah menikah. Wanita yang bahkan tidak sekalipun memakai jilbab kecuali saat lebaran tiba.

Dahulu di matanya dari sekian banyak wanita yang ia kenal, tak ada yang seanggun dan semempesona Lina. Terlebih ketika melihat rambut lurus dan lembut milik sang wanita tergerai indah. Hati Langit berdebar-debar penuh kekaguman. Belum lagi predikatnya sebagai dokter spesialis kecantikan. Lina sempurna dalam segala sisi.

Tapi saat ini, ia justru lebih senang menatap wanita sederhana seperti Hana. Tidak banyak polesan, tapi tetap memancarkan inner beauty yang kuat.

Langit menghela napas berat.

Apa yang terjadi padaku?

"Mas ...."

Sebuah ketukan pintu disertai suara Lina di depan pintu membuat segenap pikiran lelaki itu lenyap.

"Hmm, iya ...."

"Udah siap belum Mas, aku nungguin daritadi."

"Lin, Mas kelelahan. Mau istirahat," ucapnya tanpa membuka pintu.

"Kok gitu sih Mas? Aku nungguin daritadi, malah kamu cuekin. Yaudah aku pergi aja."

Lina memukul pintu kamar Langit, tapi lelaki itu tak jua mau bergerak.

"Iya Lin, hati-hati ya."

Lina yang masih berdiri di depan pintu terlihat begitu kesal mendengar jawaban Langit. Tak seperti satu bulan pertama lelaki itu mendekatinya kembali, sikap Langit sekarang sudah tak lagi bisa dimengerti. Apa karena Hana? 

Wanita itu lekas mengangkat langkah. Ia sudah menyimpan nomor telpon Hana dan akan melacak dimana keberadaannya sekarang.

*

Sementara itu, di kota lain masih di pulau yang sama. Seorang wanita tampak sibuk membereskan meja dapur. Hana, pukul enam subuh, ia bahkan sudah menyiapkan sarapan bubur ayam untuk anak gadis kesayangannya. Tak lupa segelas susu segar menjadi pendamping menu utama.

Saat hendak membangunkan Syaina, dia justru terhenyak mendapati sebuah panggilan yang berasal dari Rezky.

Ragu, tapi Hana mengangkat jua panggilan itu.

"Hallo, Assalamualaikum."

"Waalaikum salam, Han maaf Mas mengganggu. Apa kamu sibuk?"

"Em nggak kok Mas. Memangnya ada apa?"

"Hasil pemeriksaan Syaina sudah keluar. Apa kamu bisa ke rumah sakit hari ini?"

"Benarkah Mas? Bagaimana hasilnya?"

"Ke rumah sakit saja dulu, nanti kita bicarakan."

"Baik, Mas. Selepas menitipkan Syaina di PAUD. Hana langsung ke sana."

"Mas tunggu ya. Oya, Hana."

"Ada apa, Mas."

"Hati-hati di jalan, ya."

"Iya, Mas. Terima kasih."

Hana menarik napas dalam. Selama ini, dalam sujud tak henti dia terus berdoa agar buah hatinya segera diberi kesembuhan. Hari ini adalah test yang akan menjadi penentuan.

Semoga hasil pemeriksaan nanti, menjadi penyudah atas segala resah dan ketakutanku selama ini ya Allah.

Hana lekas menyuapi sang anak sarapan. Tiba-tiba Syaina mengajukan sebuah pertanyaan.

"Ma, Papa ada nelpon nggak?"

"Belum, Sayang."

Hana menjawab sebiasa mungkin.

"Tapi udah ada nomor telponnya, Ma?"

Hana mengangguk.

"Mama ada pulsa nggak?"

Sejujurnya Hana tak ingin mengiyakan hal itu, tapi ia tak tega melihat wajah Syaina yang sangat ingin berbicara dengan Langit.

"Ada, Nak."

"Yey, berarti bisa telpon Papa donk, Ma?"

Hana tersenyum.

"Habiskan dulu buburnya, setelah itu Mama janji akan telpon Papa."

Syaina mengangguk dan lekas menghabiskan buburnya dengan begitu semangat.

*

Langit sudah selesai berpakaian, pagi ini dia bertugas untuk memvisit seluruh pasien rawatan. Tugasnya sebagai dokter spesialis THT memang cukup menyita banyak waktu.

Tapi keinginannya untuk menjenguk sang anak begitu besar. Sepertinya tak ada cara lain kecuali cuti. Ya, dalam tahun ini memang dirinya belum mengambil cuti. Rencana hal itu akan dilaksanakan bertepatan dengan hari pernikahannya dengan Lina.

Tapi keinginan Langit mengalami sedikit perubahan, ia akan lebih cepat mengambil cuti untuk mengurus segala keperluan pemeriksaan Syaina di Jakarta.

Saat hendak mengambil jas dokter, tiba-tiba ponsel lelaki itu berdering. Langit lekas memeriksa, tapi sepertinya bunyi benda pipih tersebut terdengar di luar kamar.

Langit melangkah lebih jauh keluar. Ia mendapati ponsel ada di atas meja. Lelaki tersebut segera meraih serta mendapati nomor asing menelponnya.

"Hallo."

"Papa ...."

"Syaina? Apa kabar, Nak?"

Entah kenapa perasaan langit begitu bahagia. Seperti bumi yang sudah lama gersang tanpa siraman air hujan, kekeringan dan ketandusannya seketika sirna begitu mendengar sapaan sang anak.

"Syaina baik, Pa. Papa lagi ngapain?"

"Papa mau kerja, Sayang."

"Oh, sebentar lagi Syaina juga mau sekolah."

"Wah, kamu udah sekolah, ya?"

"Iya, Pa. Kata dokter aku udah boleh sekolah lagi, tapi nggak boleh capek."

"Syukurlah, jaga kesehatan ya, Nak. Dalam waktu dekat, Papa akan menjenguk Syaina lagi. Kita ke Jakarta ya untuk berobat."

"Ke Jakarta? Mau mau, Pa."

Langit tersenyum bahagia.

"Syaina udah sarapan, Nak?"

"Udah, barusan dibuatin bubur sama Mama. Enak banget Pa. Papa udah sarapan?"

"Belum. Soalnya nggak ada yang masakin."

"Em, nanti kalau Papa kemari, Syaina suruh Mama buatin sarapan untuk Papa, ya."

Langit menarik napas, sesuatu membuat dadanya bergemuruh.

"Memangnya Mama mau buatin Papa sarapan?"

"Nggak."

Terdengar suara Hana di seberang sana.

"Kalau Mama nggak mau, biar Syaina aja yang buat."

"Syaina bisa masak?"

Langit semakin tertarik berbicara dengan buah hatinya. 

"Bisa, tapi masak-masakan Pa."

Langit tersenyum mendengar guyonan sang anak. Tanpa sadar wajahnya tertatap pada cermin yang terletak tak jauh di hadapan. Senyum yang telah lama hilang dari wajahnya kini kembali terlihat.

Benarkah ini yang dinamakan penyesalan? Lalu aku harus bagaimana?

*

Hana telah selesai mengantar Syaina ke tempat penitipan anak. Di tempat itu pula dirinya selama ini mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka berdua. Bukan Hana tak memanfaatkan ijazah S1 yang dimilikinya, tapi memang lahan pekerjaan saat ini belum mendukung untuknya bekerja. 

Ada sebuah sekolah negeri yang bersedia menerimanya sebagai tenaga bhakti, tapi gaji yang didapat tidak sesuai dengan pengeluaran yang harus ia siapkan nanti. Karena jika bekerja, otomatis Syaina harus dititipkan ke tempat penitipan anak, dan itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Hana menolak.

Hingga ia bertemu dengan salah satu teman semasa SMA yang ternyata adalah pemilik PAUD tempatnya bekerja saat ini.

Temannya itulah yang menawarkan Hana menjadi guru di PAUD tersebut. Meski gaji tak seberapa, tapi setidaknya ia tak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk penitipan Syaina. Semua digratiskan sebagai tanda sahabat.

Sampai di PAUD ternyata Hana sudah dihadapkan pada beberapa tugas. Ia baru bisa keluar siang hari selepas shalat dhuhur.

Syukurnya, Rezky bisa memahami posisi Hana yang sudah beberapa hari tidak masuk kerja karena mengurus segala pemeriksaan buah hatinya.

Syaina masih dititipkan di PAUD, Hana hanya pamit ke rumah sakit sekitar satu jam. Tadinya sang wanita ingin langsung berangkat, tapi karena teringat tidak membawa cukup uang. Ia terpaksa kembali, kemungkinan dengan membuka celengan milik buah hatinya karena memang gaji bulan itu belum cair.

Dari kejauhan, Hana sudah dapat melihat di depan pagar rumahnya ada sebuah mobil mewah terparkir. Ia sejenak menebak siapa yang berkunjung. Hingga motor berhenti di depan pagar, Hana sedikit terhenyak saat mendapati seorang wanita telah duduk di kursi teras rumahnya.

Wanita cantik berpakaian rapi dengan rambut tergerai sebahu. Siapa wanita itu?

Hana turun dari motor, wanita yang tadi duduk di teras rumahnya seketika bangkit. Tatapannya tajam membidik tapi tak sedikitpun menyunggingkan selarik senyum.

"Anda siapa?" tanya Hana penasaran.

"Saya Syarlina. Calon istri Mas Langit."

***

Bersambung.

Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa subsrcribe ya.

Utamakan baca Al-Quran.

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Isabella
saya syarlina ..... bodo amat
goodnovel comment avatar
Aqeela Afra Celestine
Usia Syaina brpa? Ktny bersama selama 3th aja, berpisah selama 10blan atau setahun? Jdi harusny usia Syiana 3th an. Tpi udh PAUD y?
goodnovel comment avatar
Claresta Ayu
iiiiish....ngapain jg syarlina nglabrak mantan istri Langit??
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status