Langit telah selesai membersihkan diri, bukannya keluar untuk menemui Lina, ia justru merebahkan diri di atas ranjang. Menatap langit-langit kamar seraya kembali mengenang pertemuan tadi dengan Hana dan juga Syaina.
Pertama kali yang terlihat di sana adalah wajah cantik anaknya. Ia merasa nyaman saat tangan-tangan mungil itu memeluk erat.
Satu tahun terlalui, rumah ini terasa begitu sepi. Sebab sebelumnya ia sering mendengar celoteh Syaina meski jarang menggendong apalagi sampai mencium. Sebegitu jauhkah ia dari darah dagingnya sendiri?
Sejenak kemudian, ingatan Langit terlempar pada sebuah kata, Leukimia.
Ya Allah ...
Langit mengusap wajahnya kasar.
Bagaimana mungkin anakku menderita leukimia?
Ia menghela napas berat. Tak paham kenapa hatinya terasa begitu sakit dan kecewa mendapati kenyataan pahit tersebut. Langit kembali mencoba menyimpan wajah Syaina hingga sesosok yang lain mampir begitu saja.
Hana.
Penampilan wanita itu kini banyak berubah, jilbab yang sudah lebih lebar dengan gamis yang sepadan. Hana terlihat lebih anggun dari saat menjadi istrinya. Dengan wajah ayu yang natural, sebenarnya Hana memiliki wajah yang cukup memikat. Sayangnya tiga tahun bersama tak membuat dua matanya terbuka untuk menatap kelebihan yang dimiliki sang istri.
Dia justru masih berambisi untuk memperistri Syarlina. Wanita masa lalu yang padahal ia ketahui saat itu sudah menikah. Wanita yang bahkan tidak sekalipun memakai jilbab kecuali saat lebaran tiba.
Dahulu di matanya dari sekian banyak wanita yang ia kenal, tak ada yang seanggun dan semempesona Lina. Terlebih ketika melihat rambut lurus dan lembut milik sang wanita tergerai indah. Hati Langit berdebar-debar penuh kekaguman. Belum lagi predikatnya sebagai dokter spesialis kecantikan. Lina sempurna dalam segala sisi.
Tapi saat ini, ia justru lebih senang menatap wanita sederhana seperti Hana. Tidak banyak polesan, tapi tetap memancarkan inner beauty yang kuat.
Langit menghela napas berat.
Apa yang terjadi padaku?
"Mas ...."
Sebuah ketukan pintu disertai suara Lina di depan pintu membuat segenap pikiran lelaki itu lenyap.
"Hmm, iya ...."
"Udah siap belum Mas, aku nungguin daritadi."
"Lin, Mas kelelahan. Mau istirahat," ucapnya tanpa membuka pintu.
"Kok gitu sih Mas? Aku nungguin daritadi, malah kamu cuekin. Yaudah aku pergi aja."
Lina memukul pintu kamar Langit, tapi lelaki itu tak jua mau bergerak.
"Iya Lin, hati-hati ya."
Lina yang masih berdiri di depan pintu terlihat begitu kesal mendengar jawaban Langit. Tak seperti satu bulan pertama lelaki itu mendekatinya kembali, sikap Langit sekarang sudah tak lagi bisa dimengerti. Apa karena Hana?
Wanita itu lekas mengangkat langkah. Ia sudah menyimpan nomor telpon Hana dan akan melacak dimana keberadaannya sekarang.
*
Sementara itu, di kota lain masih di pulau yang sama. Seorang wanita tampak sibuk membereskan meja dapur. Hana, pukul enam subuh, ia bahkan sudah menyiapkan sarapan bubur ayam untuk anak gadis kesayangannya. Tak lupa segelas susu segar menjadi pendamping menu utama.
Saat hendak membangunkan Syaina, dia justru terhenyak mendapati sebuah panggilan yang berasal dari Rezky.
Ragu, tapi Hana mengangkat jua panggilan itu.
"Hallo, Assalamualaikum."
"Waalaikum salam, Han maaf Mas mengganggu. Apa kamu sibuk?"
"Em nggak kok Mas. Memangnya ada apa?"
"Hasil pemeriksaan Syaina sudah keluar. Apa kamu bisa ke rumah sakit hari ini?"
"Benarkah Mas? Bagaimana hasilnya?"
"Ke rumah sakit saja dulu, nanti kita bicarakan."
"Baik, Mas. Selepas menitipkan Syaina di PAUD. Hana langsung ke sana."
"Mas tunggu ya. Oya, Hana."
"Ada apa, Mas."
"Hati-hati di jalan, ya."
"Iya, Mas. Terima kasih."
Hana menarik napas dalam. Selama ini, dalam sujud tak henti dia terus berdoa agar buah hatinya segera diberi kesembuhan. Hari ini adalah test yang akan menjadi penentuan.
Semoga hasil pemeriksaan nanti, menjadi penyudah atas segala resah dan ketakutanku selama ini ya Allah.
Hana lekas menyuapi sang anak sarapan. Tiba-tiba Syaina mengajukan sebuah pertanyaan.
"Ma, Papa ada nelpon nggak?"
"Belum, Sayang."
Hana menjawab sebiasa mungkin.
"Tapi udah ada nomor telponnya, Ma?"
Hana mengangguk.
"Mama ada pulsa nggak?"
Sejujurnya Hana tak ingin mengiyakan hal itu, tapi ia tak tega melihat wajah Syaina yang sangat ingin berbicara dengan Langit.
"Ada, Nak."
"Yey, berarti bisa telpon Papa donk, Ma?"
Hana tersenyum.
"Habiskan dulu buburnya, setelah itu Mama janji akan telpon Papa."
Syaina mengangguk dan lekas menghabiskan buburnya dengan begitu semangat.
*
Langit sudah selesai berpakaian, pagi ini dia bertugas untuk memvisit seluruh pasien rawatan. Tugasnya sebagai dokter spesialis THT memang cukup menyita banyak waktu.
Tapi keinginannya untuk menjenguk sang anak begitu besar. Sepertinya tak ada cara lain kecuali cuti. Ya, dalam tahun ini memang dirinya belum mengambil cuti. Rencana hal itu akan dilaksanakan bertepatan dengan hari pernikahannya dengan Lina.
Tapi keinginan Langit mengalami sedikit perubahan, ia akan lebih cepat mengambil cuti untuk mengurus segala keperluan pemeriksaan Syaina di Jakarta.
Saat hendak mengambil jas dokter, tiba-tiba ponsel lelaki itu berdering. Langit lekas memeriksa, tapi sepertinya bunyi benda pipih tersebut terdengar di luar kamar.
Langit melangkah lebih jauh keluar. Ia mendapati ponsel ada di atas meja. Lelaki tersebut segera meraih serta mendapati nomor asing menelponnya.
"Hallo."
"Papa ...."
"Syaina? Apa kabar, Nak?"
Entah kenapa perasaan langit begitu bahagia. Seperti bumi yang sudah lama gersang tanpa siraman air hujan, kekeringan dan ketandusannya seketika sirna begitu mendengar sapaan sang anak.
"Syaina baik, Pa. Papa lagi ngapain?"
"Papa mau kerja, Sayang."
"Oh, sebentar lagi Syaina juga mau sekolah."
"Wah, kamu udah sekolah, ya?"
"Iya, Pa. Kata dokter aku udah boleh sekolah lagi, tapi nggak boleh capek."
"Syukurlah, jaga kesehatan ya, Nak. Dalam waktu dekat, Papa akan menjenguk Syaina lagi. Kita ke Jakarta ya untuk berobat."
"Ke Jakarta? Mau mau, Pa."
Langit tersenyum bahagia.
"Syaina udah sarapan, Nak?"
"Udah, barusan dibuatin bubur sama Mama. Enak banget Pa. Papa udah sarapan?"
"Belum. Soalnya nggak ada yang masakin."
"Em, nanti kalau Papa kemari, Syaina suruh Mama buatin sarapan untuk Papa, ya."
Langit menarik napas, sesuatu membuat dadanya bergemuruh.
"Memangnya Mama mau buatin Papa sarapan?"
"Nggak."
Terdengar suara Hana di seberang sana.
"Kalau Mama nggak mau, biar Syaina aja yang buat."
"Syaina bisa masak?"
Langit semakin tertarik berbicara dengan buah hatinya.
"Bisa, tapi masak-masakan Pa."
Langit tersenyum mendengar guyonan sang anak. Tanpa sadar wajahnya tertatap pada cermin yang terletak tak jauh di hadapan. Senyum yang telah lama hilang dari wajahnya kini kembali terlihat.
Benarkah ini yang dinamakan penyesalan? Lalu aku harus bagaimana?
*
Hana telah selesai mengantar Syaina ke tempat penitipan anak. Di tempat itu pula dirinya selama ini mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka berdua. Bukan Hana tak memanfaatkan ijazah S1 yang dimilikinya, tapi memang lahan pekerjaan saat ini belum mendukung untuknya bekerja.
Ada sebuah sekolah negeri yang bersedia menerimanya sebagai tenaga bhakti, tapi gaji yang didapat tidak sesuai dengan pengeluaran yang harus ia siapkan nanti. Karena jika bekerja, otomatis Syaina harus dititipkan ke tempat penitipan anak, dan itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Hana menolak.
Hingga ia bertemu dengan salah satu teman semasa SMA yang ternyata adalah pemilik PAUD tempatnya bekerja saat ini.
Temannya itulah yang menawarkan Hana menjadi guru di PAUD tersebut. Meski gaji tak seberapa, tapi setidaknya ia tak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk penitipan Syaina. Semua digratiskan sebagai tanda sahabat.
Sampai di PAUD ternyata Hana sudah dihadapkan pada beberapa tugas. Ia baru bisa keluar siang hari selepas shalat dhuhur.
Syukurnya, Rezky bisa memahami posisi Hana yang sudah beberapa hari tidak masuk kerja karena mengurus segala pemeriksaan buah hatinya.
Syaina masih dititipkan di PAUD, Hana hanya pamit ke rumah sakit sekitar satu jam. Tadinya sang wanita ingin langsung berangkat, tapi karena teringat tidak membawa cukup uang. Ia terpaksa kembali, kemungkinan dengan membuka celengan milik buah hatinya karena memang gaji bulan itu belum cair.
Dari kejauhan, Hana sudah dapat melihat di depan pagar rumahnya ada sebuah mobil mewah terparkir. Ia sejenak menebak siapa yang berkunjung. Hingga motor berhenti di depan pagar, Hana sedikit terhenyak saat mendapati seorang wanita telah duduk di kursi teras rumahnya.
Wanita cantik berpakaian rapi dengan rambut tergerai sebahu. Siapa wanita itu?
Hana turun dari motor, wanita yang tadi duduk di teras rumahnya seketika bangkit. Tatapannya tajam membidik tapi tak sedikitpun menyunggingkan selarik senyum.
"Anda siapa?" tanya Hana penasaran.
"Saya Syarlina. Calon istri Mas Langit."
***
Bersambung.
Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa subsrcribe ya.
Utamakan baca Al-Quran.
Hana sejenak terdiam, dua netra memandang tak percaya."Perkenalkan nama saya Syarlina."Wanita itu mengulurkan tangannya yang tampak begitu mulus dan indah."Saya Hana.""Em, saya pernah dengar Mas Langit menyebut namamu. Dulu, saat pertama kali kami bertemu. Tepatnya setelah kalian bercerai. Sebenarnya saya sudah ingin bertemu denganmu semenjak dahulu. Tapi ...."Dia menarik napas."Ah, syukurlah bisa juga bertemu denganmu saat ini, di detik-detik pernikahanku dengan Mas Langit akan diadakan."Hana menarik napas berat. Menatap Lina saat wanita itu menyerahkan sebuah undangan berwarna keemasan.Hana mencoba melirik cover depan dan bisa membaca dua buah nama yang bersanding dengan tulisan diukir begitu indah.Syarlina Hermawan dan Langit Gagah Perkasa.Jadi mereka akan segera menikah?Hana membatin. Meski semenjak pertama kali mengangkat kaki dari Kota Jakarta ia sudah sangat mempersiapkan diri akan kenyataan ini. Tapi, entah kenapa saat sudah benar-benar dihadapkan pada kenyataan, ha
Hana tak dapat duduk berlama, ingatan akan masa lalu ia simpan rapi kembali. Lalu langkahnya tertarik lebih jauh menuju rumah sakit. Pasti Mas Rezky sudah lama menungguku.*Lima belas menit perjalanan, wanita itu sampai di tempat tujuan. Sepanjang kaki melangkah lisan terus mengucap kalimat kebesaran dan kasih sayang Allah. Diantara kalimat suci tersebut, tak juga reda dari ucapan, kalimat permohonan agar Allah bermurah hati menyembuhkan buah hatinya.Wanita itu sampai di depan ruangan Rezky. Ia mengetuk pintu."Siapa?""Saya Mas, Hana.""Masuk, Han."Hana mengangguk, dia masuk dan duduk di hadapan Rezky."Apa Mas sudah lama menungguku?"Hana bertanya segan, bagaimana tidak. Saat itu adalah waktunya istirahat, semua dokter terlihat sudah meninggalkan ruangan poli mereka masing-masing. Kecuali Rezky."Sedikit lama. Bukankah kita janjiannya pagi?""Iya Mas, maaf. Tadi saya tidak diijinkan keluar sebelum mengerjakan beberapa pekerjaan.""Sudah mulai bekerja? Syaina bagaimana?""Saya su
Jika aku diberi kesempatan hidup sekali lagi, satu hal yang tak ingin kusia-siakan yaitu kesempatan untuk mencintaimu.*"Apa maksud ucapanmu, Mas?"Lina menatap dengan wajah memerah. Ia seakan sudah bisa membaca arah ucapan Langit. "Lin, aku salah karena berpikir kau lah cinta sejatiku. Tapi nyatanya, hidupku tak berarti semenjak Hana dan anakku pergi. Aku tak pernah menemukan bahagia yang aku cari ketika bersamamu. Aku minta maaf, Lin.""Kamu sudah tidak waras, Mas? Kamu pikir aku mainan, seenaknya saja kau dekati dan kau tinggalkan begitu saja? Kau lupa siapa yang datang padaku lebih dulu?""Iya, aku memang datang padamu. Tapi kau yang mengundang.""Kau mau menuduhku, Mas?""Aku tidak menuduh, memang kenyataannya seperti itu. Kau 'kan yang menyuruh Andre mengundangku ke rumahmu hari itu? Hari dimana aku menceraikan istriku?"Lina terdiam."Setelahnya berapa kali aku ragu untuk mengurus perceraianku ke pengadilan, tapi kamu! Kamu yang terus membujukku hingga aku semakin terlena dan
Langit mendapati kebisuan, Rezky tak langsung menjawab pertanyaannya."Rez, Kami masih di sana?""Hm, iya. Kamu mau aku menjawab dengan jujur?""Tentu.""Baik aku akan katakan yang sebenarnya. Sebenarnya aku sudah lama mengenal istrimu, kami satu SMA. Aku menyukainya sudah semenjak dahulu, tapi kamu tahu 'kan aku bukan tipe yang mudah menyatakan cinta. Hingga kami berpisah saat kelulusan SMA. Aku masih belum juga berani bicara tentang perasaanku. Satu bulan yang lalu, aku sangat terkejut, saat dia datang membawa seorang anak untuk berobat. Lang, Syaina anakmu adalah pasienku."Langit benar-benar terhenyak, ini adalah sebuah berita yang berhasil membuat degup jantungnya riuh berdetak."Lang, apa kamu keberatan jika suatu saat aku melamar mantan istrimu menjadi istriku?"Pertanyaan itu membuat jantung Langit tersentak kuat. Dia tak dapat berkata, terlalu berat rasanya mengikhlaskan sesuatu yang masih begitu ingin dimiliki. Sang lelaki menarik napas dalam. Ia tak mungkin menahan siapapu
Hana mencoba tersenyum untuk menetralisir kegugupan, lalu membuka suara."Ini serius?""Jawab saja dulu."Rezky kembali menjawab dengan jawaban yang sama tiap kali Hana melempar pertanyaan."Jika memang pertanyaan yang di sana itu benar adanya, dari hati Mas Rezky yang terdalam, saya akan menjawab dengan serius."Rezky tampak menatap Hana."Saya belum bisa menerima lamaran siapapun untuk saat ini, Mas."Suasana seketika tegang. Rezky menarik napas."Jika tidak untuk saat ini?""Maksud, Mas?""Saya tidak memaksa agar kamu memberi jawabannya hari ini. Tapi besok, satu minggu ke depan, satu bulan atau bahkan satu tahun? Apa kamu sudah akan punya jawaban atas pertanyaan ini?"Hana tercenung sejenak, ia tak percaya jika Rezky terlihat begitu serius dengan lamarannya. Bahkan ia bersedia menunggu untuk setahun."Kenapa harus saya? Saya ini seorang janda, sementara Mas menikah saja belum. Mas Rezky punya karir yang bagus, wajah yang rupawan, sebaiknya Mas melamar seseorang dari kalangan Mas s
Hana tersenyum menatap pemberian dari lelaki di hadapannya, sebuah pemandangan yang membuat Langit di kejauhan sana seolah kehilangan kekuatan untuk bertahan.Terlebih saat tangan mantan istrinya itu terulur untuk mengambil cincin yang diberikan Rezky. Ah, bukan itu saja yang membuat hati Langit semakin teriris, Syaina, buah hatinya bersorak bahagia melihat pemandangan itu. Bocah tersebut bahkan kini sudah berada dalam gendongan sahabat lamanya tersebut.Semua sudah berakhir, apakah ini pertanda agar aku mengubur rapat keingian untuk rujuk?"Papa ...."Suara panggilan Syaina membuyarkan pikiran Langit. Ia terhenyak, dan kembali dari alam khayalan.Bocah itu berlari ke arah sang ayah. "Sayang, kamu mau kemana?"Tanpa menggubris panggilan sang ibu, Syaina terus berlari keluar pagar lalu jatuh di dalam dada bidang papanya. Langit memeluk putrinya erat."Papa kemana aja? Syaina kangen."Jemari mungil Syaina yang menempel di punggung Langit membuat lelaki itu kembali merasa bergetar."Maa
Hana menyimpan cincin itu, dengan maksud bertanya pada Langit ketika nanti lelaki itu mengantar Syaina kembali. Ia kemudian masuk ke dalam rumah dan mendapati ponselnya berdering.Hana menelisik nomor asing yang muncul di layar ponsel, meski ragu wanita itu mengangkat jua panggilan tersebut."Hallo.""Aku tak ingin berbasa basi. Kupikir kamu wanita baik-baik yang bisa dipercaya, ternyata semuanya palsu. Kamu yang memintaku untuk tidak berdusta, tapi apa? Kamu juga yang terlebih dahulu mendustaiku.""Kamu siapa? Apa maksud omonganmu?""Aku Lina, calon istri Mas Langit.""Lina? Maaf ya, saya nggak mengerti dengan apa yang kamu bicarakan tadi?"Hana bertanya sedikit kesal karena Lina menyerangnya begitu saja."Dengar ya Han, Mas Langit membatalkan pernikahan kami. Alasannya, kamu. Tiba-tiba ia merasa berdosa karena udah menceraikan kamu dan berpikir untuk memperbaikinya. Katakan apa salahku, Han? Apa aku pernah menyakitimu? Apa aku datang sebelum kau bercerai? Tidak 'kan Han? Aku tidak t
Langit meneguk sedikit kopi panas yang ia pesan tadi pada salah satu pelayan hotel, hatinya sungguh kacau. Berbagai kejadian dalam hidup mulai dari saat ia resmi menikahi Hana sampai kejadian tadi siang melintas di dalam benak.Ia sadar telah melakukan banyak kesalahan. Ia bahkan sudah menyakiti hati dua wanita sekaligus dengan segala keinginannya.Lelaki itu mengeluarkan ponsel lalu mencoba mengetik sebuah pesan.[Hana, Mas minta maaf atas semua tuduhan Lina padamu. Mas akan bicara dengannya. Dan soal perasaan Mas untukmu, Mas juga minta maaf. Karena rasa yang terlambat ini telah menyakiti hatimu kembali. Mas akan simpan rapat semua cinta itu. Mas hanya ingin kamu bahagia, karena sadar dahulu telah banyak menebar luka. Jika bersama Rezky akan membuatmu bahagia, silahkan lanjutkan. Mas cukup kamu ijinkan satu hal, tolong tetap beri kesempatan untuk bisa bertemu Syaina. Karena selain kamu, hanya Syaina yang bisa buat Mas bahagia.]Dengan hati yang perih, ia mensend pesan tersebut. Lang