Share

4. Secuil Rahasia

Hana sampai di depan rumah, ia sejenak mengabaikan seseorang yang ikut mengantarkan sepeda mini yang sudah dibeli Langit untuk Syaina.

Masih dengan perasaan khawatir, ia bergegas memasuki rumah dan menidurkan buah hatinya di atas ranjang. Lanjut mengambilkan air hangat untuk membersihkan lubang hidung Syaina.

"Ma, Syaina kalau keluar darah terus dari hidung. Nantinya bakalan meninggal, ya?"

Hana terhenyak, sekuat tenaga menahan cairan yang memaksa keluar dari pelupuk mata.

"Mama selalu berdoa sama Allah supaya Syaina sembuh dan panjang umurnya."

"Kira-kira Allah bakalan ngabulin nggak, Ma?"

"In Syaa Allah dikabulin Sayang. Karena doa orang tua untuk anaknya tidak ada halangan apapun, akan selalu sampai pada Allah."

Hana menahan sesak di dada. Semakin lama menjalani, semakin lemah pula pertahannya. Semenjak awal sang buah hati didiagnosa bronchitis, entah sudah berapa kali jarum suntik keluar masuk tubuhnya. Entah berapa kali rontgen dan USG yang dilakukan.

Hingga diagnosa kedua muncul. Tubuh gadis kecilnya semakin sering terkena alat kesehatan. Ia sebagai wanita yang sudah melahirkan Syaina rasanya tak kuat. Berkali-kali menangis seorang diri, raga semakin tak berdaya. 

Tapi Syaina butuh Ibu yang kuat. Meski tak ada tempatnya berkeluh selain dokter Rezky, ia harus bertahan dan selalu tersenyum di depan bocah itu.

"Ma, kalau Papa juga ikut berdoa, pasti bakalan lebih cepat dikabulkan Allah. Mungkin besok Syaina udah sehat?"

Hana menelan ludah mendengar ucapan bocah itu. Tapi rasa kecewa dan kekesalannya semakin menjadi untuk Langit. 

"Iya Sayang. Pasti akan Allah kabulkan lebih cepat."

Apalagi yang bisa dikatakan Hana selain sesuatu yang semakin menyemangati sang anak.

"Ma, tadi Syaina lupa minta nomor hape Papa. Padahal Syaina pengen ngomong ke Papa kalau Syaina itu lagi sakit. Mau nyuruh Papa juga supaya doain Syaina biar cepat sembuh."

"Sabar ya, Sayang. Nanti kalau Papa datang lagi ke sini, kamu kasih tahu Papa ya."

Syaina mengangguk dan memejamkan mata. Mungkin karena kelelahan, hingga bocah itu kembali mimisan. Harusnya tadi Hana tidak lagi kemanapun, tapi karena Syaina merajuk tidak mau minum obat, akhirnya baru duduk sekejap selepas dari rumah sakit, dia terpaksa kembali keluar rumah untuk membeli sepeda mini. Dan hal itulah yang membuka jalan pertemuannya dengan Langit.

Hana memejam mata sejenak lalu dia teringat pada seseorang yang bertugas mengantar sepeda di depan rumah. Langkah sang wanita segera terulur keluar.

Terlihat di sana, Langit tengah membimbing lelaki yang mengantar sepeda ke rumahnya untuk menurunkan benda itu dan meletakkan di teras rumah. Perasaan Hana kembali terguncang.

Hari ini juga Mas Langit menyusul kemari?

Kenapa ada rasa tak ikhlas, tapi semua demi Syaina ...

Dua netra Langit kini memandangi Hana yang masih berdiri di ambang pintu. Dia tersenyum seraya mendekat.

"Mas nyuruh sepedanya diletakkan di situ, nggak papa 'kan?"

Hana hanya mengangguk dengan wajah tak acuh.

"Terima kasih ya, Pak," ucap wanita itu pada lelaki pengantar sepeda dengan ramah. Lalu dia segera berbalik hendak masuk kembali ke dalam rumah.

"Hana, tunggu."

Panggilan Langit menghentikan langkah Hana. Wanita itu berbalik.

"Ada apa lagi, Mas?"

"Aku butuh penjelasan akan beberapa hal."

"Aku tak punya banyak waktu untuk menjelaskan banyak hal."

"Ini tentang kondisi Syaina."

Hana yang tadinya ingin abai, terpaksa urung, mengingat hal ini ada kaitannya dengan putri mereka. Akhirnya dia memilih duduk di kursi teras. Langit pun ikut.

Sejenak waktu seperti dibungkam kebisuan hingga,

"Syaina kemana?"

"Sudah tidur."

"Katakan sejak kapan dia didiagnosa Leukimia?"

"Satu bulan yang lalu."

"Tolong ceritakan padaku dari awal?"

"Pertama kali, Syaina didignosa bronchitis, tapi setelah melalui serangkaian pengobatan dan tidak menunjukkan kesembuhan. Dokter memutuskan melakukan pemeriksaan lanjutan. Dan hasilnya mereka bilang Syaina terkena leukimia."

"Itu hanya pemeriksaan satu dokter, apa kamu tidak mencoba memeriksa ke dokter yang lain?"

"Sudah. Alhamdulillah dokter yang kedua mengatakan masih ada kemungkinan bukan Leukimia."

Hana kembali terdiam.

"Aku akan membawanya berobat pada dokter yang lebih profesional di Jakarta."

Hana masih bergeming.

"Apa dia sering menanyakanku selama ini?"

"Kamu ayahnya tentu dia selalu bertanya."

"Maaf atas apa yang terjadi, tapi kenapa kamu pergi sejauh ini?"

"Aku pergi karena ada alasan."

"Karena aku?"

"Entahlah. Begini Mas, kamu kemari cukup untuk menemui Syaina. Masalah kita, bukankah semuanya sudah berakhir. Jadi kuharap kamu tidak lagi menyinggung apapun tentang masa lalu."

Langit tersentak, entah apa yang dia harapkan dari pertemuan ini. Ada amarah, tapi kenapa? Bukankah dia yang memilih berpisah? Ada kecewa, tapi untuk alasan apa? Bukankah dia yang menginginkan Hana menjauh?

Langit menarik napas berat.

"Ini kartu namaku. Jika Syaina rindu padaku, silahkan telpon kapan saja."

Hana meraih kertas itu, karena sebelumnya Syaina memang sudah menanyakan nomor telpon Langit.

"Aku-" 

"Maaf ya Mas, aku mau istirahat," potong Hana tak mau memperpanjang percakapan. Ia bangkit untuk kemudian masuk ke rumahnya.

Sementaramasih di tempat yang sama, Langit mengusap wajah. Dia duduk sampai setengah jam lamanya, meski hanya seorang diri.

Padahal sudah setahun tak bersama Hana dan Syaina. Bukankah hidupnya berjalan normal? Lalu kenapa sekarang seperti tak ingin pergi?

*

Langit sampai di rumahnya di kawasan perumahan elite Jakarta Barat. Ia tersentak saat mendapati Syarlina ada di rumahnya.

"Kenapa di sini?" tanyanya dingin.

"Aku menunggumu, Mas. Kamu lupa tadi pagi aku sudah mengingatkanmu soal fitting baju malam ini?"

Langit memejam mata.

"Maaf, aku lupa."

Lina melipat dua tangan di perut.

"Ketemuan sama siapa sih sampai malam begini baru sampai Jakarta?"

"Rezky, teman Coas dulu."

"Terus kemana lagi?"

"Lin, apa aku harus menceritakan semua yang kulakukan setia saat padamu?"

"Mas, aku calon istrimu. Sudah seharusnya aku tahu semua tentang kamu. Apa itu salah?"

"Salah, aku jadi merasa seperti seorang tahanan. Kau tidak percaya padaku?"

"Aku bukan tidak percaya, Mas. Hanya saja aku takut kamu belok haluan."

"Apa maksudmu?"

"Entahlah, tapi aku terus dihantui ketakutan bahwa suatu saat kamu bakal kembali pada mantan istrimu."

"Jika memang benar, bagaimana?"

"Mas! Kamu ngomong apa? Pernikahan kita sudah di depan mata. WO semua sudah beres, bahkan undangan sudah tersebar. Kamu jangan bikin keluarga kita malu donk!"

Langit terdiam membisu, dia tak punya kata apapun lagi untuk menjawab perkataan perempuan di hadapannya.

"Mas, tolong jangan mengecewakanku. Aku seperti ini karena kamu."

Langit mengangguk.

"Aku tetap akan menikahimu."

Lina tersenyum puas.

"Makasih ya, Mas. Kamu mau teh hangat?" tanyanya pada Langit.

"Tidak usah."

"Nggak papa biar aku bikinin. Tungguin ya Mas. Hanya sebentar."

Lina bangkit ke dapur. Ia membuatkan segelas teh hangat lalu menghidangkan ke hadapan Langit. Selalu begitu, meski sang lelaki tidak pernah meminta. Dan anehnya, apapun yang dilakukan Lina, Langit hanya bisa melihat. Mulutnya seperti terkunci, apakah karena sudah terlanjur melangkah sejauh ini? 

Sang lelaki teringat akan ucapan Rezky tadi di Cafe,

"Aku yakin perasaanmu untuk Lina hanya ambisi."

Langit tercenung sejenak.

Ambisi? Yang setelah didapatkan ternyata terasa tak begitu berarti?

*

"Minum dulu Mas, tehnya."

Langit mengangguk, tapi ia justru bangkit ke kamar.

"Biarkan di situ, nanti aku minum."

"Mas mau kemana?"

"Mau bersihkan diri. Kamu kalau mau pulang, yaudah nggak papa. Besok pagi jam sepuluh Mas jemput."

Lina menghela napas dan terpaksa membiarkan lelaki itu menghilang dari pandangan. Dia menghempas punggung ke sandaran sofa. Tiba-tiba matanya tertuju pada ponsel Langit yang berdering.

Sebuah panggilan dari nomor tak dikenal. Iseng, Lina mencoba mengangkat.

"Hallo."

Seorang perempuan di seberang sana menyapa.

"Hallo. Ini siapa?"

"Saya Hana. Bisa bicara dengan Mas Langit?"

Hana? Bukankah itu nama mantan istri Mas Langit? 

Seketika tubuh Lina terasa panas.

"Mas Langit sedang mandi. Ada apa ya, sampaikan saja padaku nanti akan kusampaikan pada Mas Langit."

"Kamu siapa?"

"Saya calon istri Mas Langit. Syarlina."

"Oh, tidak usah."

"Papa ...."

"Sayang jangan begitu, Nak. Biar Mama yang bicara dulu. Itu Papa sedang mandi?"

Lina menelan ludah mendengar perdebatan kecil di seberang sana.

"Maaf ya Mbak, tidak ada pesan apapun. Besok saja saya telpon lagi."

"Oh iya."

Lina menutup telpon.

Papa? Seorang gadis kecil di seberang sana memanggil calon suamiku dengan sebutan Papa? Apa dia Syaina, anaknya Mas Langit?

***

Bersambung

Terima kasih sudah membaca.

Saya minta bantuannya untuk subsrcribe cerbung ini ya. Terima kasih banyak.

Utamakan baca Al-Quran

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Isabella
semoga langit belok belok ke Hana maksutku
goodnovel comment avatar
widji dewi utami
saya berharap langit kembali ke anak istrinya. saya ikut geram sama kelakuan syarlina!
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status