Share

7. Membatalkan Pernikahan

Hana tak dapat duduk berlama, ingatan akan masa lalu ia simpan rapi kembali. Lalu langkahnya tertarik lebih jauh menuju rumah sakit. 

Pasti Mas Rezky sudah lama menungguku.

*

Lima belas menit perjalanan, wanita itu sampai di tempat tujuan. Sepanjang kaki melangkah lisan terus mengucap kalimat kebesaran dan kasih sayang Allah. Diantara kalimat suci tersebut, tak juga reda dari ucapan, kalimat permohonan agar Allah bermurah hati menyembuhkan buah hatinya.

Wanita itu sampai di depan ruangan Rezky. Ia mengetuk pintu.

"Siapa?"

"Saya Mas, Hana."

"Masuk, Han."

Hana mengangguk, dia masuk dan duduk di hadapan Rezky.

"Apa Mas sudah lama menungguku?"

Hana bertanya segan, bagaimana tidak. Saat itu adalah waktunya istirahat, semua dokter terlihat sudah meninggalkan ruangan poli mereka masing-masing. Kecuali Rezky.

"Sedikit lama. Bukankah kita janjiannya pagi?"

"Iya Mas, maaf. Tadi saya tidak diijinkan keluar sebelum mengerjakan beberapa pekerjaan."

"Sudah mulai bekerja? Syaina bagaimana?"

"Saya sudah terlalu lama tidak masuk, jadi merasa tidak enak, Mas. Syaina di sanapun hanya beristirahat tanpa melakukan kegiatan apa-apa termasuk bermain."

Rezky menatap wajah yang tampak lelah di hadapannya. Wajah ayu dengan bulu mata lentik tanpa penjepit, alisnya sedikit bersambung dengan bola mata kecoklatan, bibir tipis berwarna merah muda, pipi kemerahan karena sengatan matahari, disempurnakan dengan peletakan hidung mungil tapi mancung. Ciri khas orang Asia

Cantik dan bersahaja.

Batin Rezky selalu bergumam tak kala berkesempatan memandang dalam jarak yang dekat.

Jika beberapa waktu lalu sempat menahan pandangan karena berpikir Hana telah bersuamikan orang lain, setelah tahu bahwa mereka sudah bercerai. Seakan ada sebuah lampu hijau yang memintanya untuk terus berjalan.

"Yasudah tidak apa-apa. Mau saya bacakan hasil pemeriksaannya sekarang? Atau kita shalat dulu baru bicara gimana?"

"Boleh, Mas. Habis dhuhuran aja."

"Yaudah yuk ke mushalla."

Mereka berbarengan menuju mushalla.

*

Hana sudah menunggu Rezky di depan ruangannya, ia tadi sempat melihat lelaki itu duduk berzikir usai shalat. Sebuah kebiasaan yang sangat jarang dilakukan oleh lelaki seumuran dirinya. Apalagi Rezky adalah dokter yang punya cukup banyak kesibukan. Tapi dalam hal ibadah lelaki itu selalu melebihkan diri.

Sekitar lima belas menit menanti, akhirnya Rezky terlihat jua dipandangan Hana. Dengan wajah berseri-seri, ia mendekati sang wanita.

"Maaf ya nunggu lama."

"Nggak papa, Mas."

"Ayo masuk lagi."

Hana mengangguk dan masuk kembali ke ruangan Rezky. Mereka duduk berhadapan.

"Apa harapanmu pada hasil pemeriksaan ini?"

"Tak lain, Mas. Hanya kesembuhan Syaina."

Rezky tersenyum, membuat degup di dada Hana semakin menyentak.

"Alhamdulillah, Allah mengabulkan doamu dan Syaina."

Dua netra Hana membelalak.

"Syaina bersih dari kanker. Ia hanya mengalami peningkatan jumlah sel darah putih yang kemungkinan besar adalah karena infeksi pada paru-parunya."

Masih panjang Rezky berkata, tapi Hana sudah tak lagi mendengarnya. Saking bahagia ia seketika sujud ke lantai.

Resky berhenti berkata lalu ia menatap wanita itu yang kinberlinang air mata.

"Makasih, Mas. Mas sudah banyak membantu."

Hana masih terisak.

"Sudah jangan menangis."

"Ini tangis bahagia, Mas. Saya nggak bisa bayangkan jika setelah biopsi hasilnya positif. Hancur Mas perasaan ini."

"Iya, saya mengerti."

"Tapi kemarin Syaina sempat mimisan."

"Bisa jadi karena iritasi pada saluran hidungnya."

Hana kembali menarik napas.

"Tapi tetap harus kontrol lagi ya, sampai paru-parunya bersih dan leukositnya kembali normal."

"Baik, Mas. Terima kasih banyak."

Rezky hanya tersenyum.

"Hana."

Ia memanggil lembut wanita di hadapannya. Membuat wajah Hana teralihkan.

"Iya, Mas."

"Besok Syaina ulang tahun."

Dua netra Hana membelalak. Ia mengingat-ingat tanggal.

"Astaghfirullah, saya bahkan sampai lupa."

"Harap maklum, kamu menghadapi ini semua seorang diri, pasti sangat berat."

Angan Rezky sejenak terlempar pada pertemuannya kemarin dengan Langit. Sungguh jika mengingat perbuatan Langit pada Hana, ingin rasanya memutuskan persahabatan. Tapi sang lelaki hanya bisa mengelus dada.

Sementara Hana menunduk, Rezky kembali berucap.

"Saya punya kejutan untuk Syaina."

"Kejutan?"

"Apa kamu bisa membawanya ke suatu tempat?"

Rezky menyebutkan kemana ia meminta Hana membawa Syaina esok hari. Tak dapat dipungkiri, kejutan yang direncanakan sang lelaki berhasil membuat Hana begitu terharu.

Dia yang tak punya hubungan apapun, tapi bertindak seperti seorang yang begitu sayang. Sementara lelaki yang harusnya bertanggung jawab, tega meminta mereka menjauh.

Pertemuan hari itu berhasil membuat Hana merasakan sesuatu yang berbeda dengan apa yang ia jalani selama ini. Entah itu karena terlalu bahagia dengan hasil pemeriksaan, atau karena perhatian yang ditunjukkan Rezky. Hana menyimpan tanya, kenapa hatinya seperti ini?

*

Hana pulang membawa kabar gembira, ia menjemput sang anak untuk kemudian berniat menceritakan hal tersebut pada buah hatinya.

"Syaina nggak bangun-bangun dari ranjang sampai ketiduran gitu," ucap salah satu teman yang menjaga Syaina. Hana menatap buah hatinya, bersyukur jika kemarin-kemarin rasa takut hampir membuatnya tak berniat melanjutkan hidup, tapi hari ini semua gundah terangkat sudah.

"Nggak papa Fir, sepertinya Syaina masih takut karena beberapa waktu lalu sempat dibiopsi dan emang dokternya Belum ngijinin beraktivitas dulu."

"Terus kenapa kamu bawa dia kemari?"

"Nggak ada cara lain Firda. Aku sudah cukup lama ijin karena mengurus Syaina. Sudah waktunya kembali bekerja."

Firda menghela napas.

"Yang kuat ya, Han. Aku yakin Syaina pasti akan sembuh."

"Alhamdulillah, kamu tahu, hasil pemeriksaan biopsi Syaina negatif, Fir. Anakku tidak menderita Leukimia."

"Benarkah?"

Hana mengangguk. Sang sahabat seketika memeluknya.

"Aku ikut senang mendengar berita ini."

"Alhamdulillah. Makasih ya."

"Mama ...."

Dalam suasana haru itu, suara Syaina mengejutkan Hana.

"Kamu udah bangun, Nak?"

Hana melerai pelukannya.

"Mama kemana aja? Syaina takut bangun, padahal udah kebelet pipis."

"Astaghfirullah, yaudah ayuk Mama kawani ke kamar mandi."

Hana menggendong buah hatinya untuk ke kamar mandi. Suasana saat itu memang sudah sepi, hanya ada beberapa murid yang masih berada di PAUD.

Usai menemani sang anak, Hana mendudukkan Syaina di atas ranjang.

"Mama tadi ke rumah sakit, Sayang."

"Ketemu sama dokter Rezky?"

Hana mengangguk.

"Pasti ngomongin Syaina?"

"Iya, kok tahu?"

"Tahulah, soalnya Dokter Rezky 'kan suka ngomongin Syaina."

Hana tersenyum, ia akan berterus terang.

"Nak, mulai saat ini kamu tidak perlu lagi merasakan sakitnya ketika semua alat-alat pemeriksaan dimasukkan ke tubuh. Dokter Rezky bilang sama Mama kalau hasil pemeriksaan yang terakhir menunjukkan kalau Syaina tidak mengalami Leukimia, Sayang. Dokter bilang Syaina hanya menderita infesi saluran napas, Nak."

Syaina terdiam.

"Kamu nggak senang, Nak?"

"Senang."

"Tapi kok nggak ngucapin Alhamdulillah."

"Alhamdulillah," jawab Syaina tak semangat.

Entah apa yang dirasakan bocah itu, kebahagiaan di hati Hana membuatnya abai akan hal itu. Ia memeluk buah hatinya.

Firda yang menyaksikan ikut menyeka air mata haru yang berderai. Pemandangan itu berhasil membuat siapapun yang menyaksikan ikut merasa bahagia sekaligus terharu.

*

Sementara itu di sudut kota lain ...

Langit menatap baju pengantin yang ada di hadapannya. Pernah ia mengenakan pakaian itu, tepatnya lima tahun yang lalu. Saat itu ia sangat merasa enggan. Namun, demi kedua orang tua yang sangat dicintai, lelaki itu memaksakan diri untuk memakainya jua.

Dan saat ini, terhitung tujuh hari lagi lagi, ia pula akan kembali mengenakan pakaian tersebut. Ini sesuai dengan keinginannya semenjak dahulu, menikahi Lina.

Tapi kenapa iapun enggan mengenakan pakaian pengantin tersebut?

"Fitting bajunya oke. Tinggal nunggu hari H aja. Bagaimana perasaan kalian berdua?" sapa desainer yang dipinta khusus oleh Lina untuk merancang pakaian pengantinnya bersama Langit.

"Deg-degan lah," jawab Lina seraya melirik Langit yang semenjak tadi hanya membungkam mulutnya.

"Dokter Langit sedang kurang sehat, ya?"

Langit terhenyak, pandangan yang tadi entah tertuju kemana kini fokus pada wanita di hadapan.

"Saya baik."

"Oh maaf, saya pikir sakit sebab dari tadi hanya diam."

"Sedang banyak kerjaan aja sih, Na," potong Lina.

"Iya ya, apalagi mendekati masa cuti. Semoga kalian berdua selalu diberi kesehatan sampai hari H."

"Aammiin ...."

Lina menjawab sedang Langit masih terdiam. Mereka kini keluar dari butik tersebut.

"Mas, makan siang yuk. Aku lapar ...."

"Aku nggak bisa, harus balik ke rumah sakit sekarang."

"Sebentar aja ya, Mas. Lagian kamu juga belum makan."

Tak lagi menjawab pertanyaan Lina, Langit justru memberhentikan mobil. Berat untuk berkata, karena janji yang telah terlebih dahulu terucap. Tapi dia tidak bisa melanjutkan jika hanya akan memberi kepalsuan seperti dahulu.

"Lin, aku minta maaf padamu."

"Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini, Lin."

Wajah Lina seketika teralihkan pada Langit.

"Apa maksud kamu, Mas?"

"Aku terlambat menyadarinya, Lin. Aku mencintai mantan istriku dan aku ingin kembali padanya."

***

Bersambung

Nah, baru sadar ternyata. Apakah Hana masih ada rasa? Atau kisah Langit-Hana hanya akan menjadi sebuah kenangan yang tetap mengabadi dalam sebuah album bernama masa lalu?

Yuk baca lanjutannya.

Terima kasih.

Utamakan baca Al-Quran.

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Shanaz Khambali
saya pernah di situasi begitu sakit tapi hidup terus berjalan
goodnovel comment avatar
Maseen Srimulyeni
rasanya ikut sakit, dgn apa yg dialami Hana
goodnovel comment avatar
Nurhamidah Hasty
semoga hana berjodoh dan menikah dg dr.rezky
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status