Hana tak dapat duduk berlama, ingatan akan masa lalu ia simpan rapi kembali. Lalu langkahnya tertarik lebih jauh menuju rumah sakit.
Pasti Mas Rezky sudah lama menungguku.
*
Lima belas menit perjalanan, wanita itu sampai di tempat tujuan. Sepanjang kaki melangkah lisan terus mengucap kalimat kebesaran dan kasih sayang Allah. Diantara kalimat suci tersebut, tak juga reda dari ucapan, kalimat permohonan agar Allah bermurah hati menyembuhkan buah hatinya.
Wanita itu sampai di depan ruangan Rezky. Ia mengetuk pintu.
"Siapa?"
"Saya Mas, Hana."
"Masuk, Han."
Hana mengangguk, dia masuk dan duduk di hadapan Rezky.
"Apa Mas sudah lama menungguku?"
Hana bertanya segan, bagaimana tidak. Saat itu adalah waktunya istirahat, semua dokter terlihat sudah meninggalkan ruangan poli mereka masing-masing. Kecuali Rezky.
"Sedikit lama. Bukankah kita janjiannya pagi?"
"Iya Mas, maaf. Tadi saya tidak diijinkan keluar sebelum mengerjakan beberapa pekerjaan."
"Sudah mulai bekerja? Syaina bagaimana?"
"Saya sudah terlalu lama tidak masuk, jadi merasa tidak enak, Mas. Syaina di sanapun hanya beristirahat tanpa melakukan kegiatan apa-apa termasuk bermain."
Rezky menatap wajah yang tampak lelah di hadapannya. Wajah ayu dengan bulu mata lentik tanpa penjepit, alisnya sedikit bersambung dengan bola mata kecoklatan, bibir tipis berwarna merah muda, pipi kemerahan karena sengatan matahari, disempurnakan dengan peletakan hidung mungil tapi mancung. Ciri khas orang Asia
Cantik dan bersahaja.
Batin Rezky selalu bergumam tak kala berkesempatan memandang dalam jarak yang dekat.
Jika beberapa waktu lalu sempat menahan pandangan karena berpikir Hana telah bersuamikan orang lain, setelah tahu bahwa mereka sudah bercerai. Seakan ada sebuah lampu hijau yang memintanya untuk terus berjalan.
"Yasudah tidak apa-apa. Mau saya bacakan hasil pemeriksaannya sekarang? Atau kita shalat dulu baru bicara gimana?"
"Boleh, Mas. Habis dhuhuran aja."
"Yaudah yuk ke mushalla."
Mereka berbarengan menuju mushalla.
*
Hana sudah menunggu Rezky di depan ruangannya, ia tadi sempat melihat lelaki itu duduk berzikir usai shalat. Sebuah kebiasaan yang sangat jarang dilakukan oleh lelaki seumuran dirinya. Apalagi Rezky adalah dokter yang punya cukup banyak kesibukan. Tapi dalam hal ibadah lelaki itu selalu melebihkan diri.
Sekitar lima belas menit menanti, akhirnya Rezky terlihat jua dipandangan Hana. Dengan wajah berseri-seri, ia mendekati sang wanita.
"Maaf ya nunggu lama."
"Nggak papa, Mas."
"Ayo masuk lagi."
Hana mengangguk dan masuk kembali ke ruangan Rezky. Mereka duduk berhadapan.
"Apa harapanmu pada hasil pemeriksaan ini?"
"Tak lain, Mas. Hanya kesembuhan Syaina."
Rezky tersenyum, membuat degup di dada Hana semakin menyentak.
"Alhamdulillah, Allah mengabulkan doamu dan Syaina."
Dua netra Hana membelalak.
"Syaina bersih dari kanker. Ia hanya mengalami peningkatan jumlah sel darah putih yang kemungkinan besar adalah karena infeksi pada paru-parunya."
Masih panjang Rezky berkata, tapi Hana sudah tak lagi mendengarnya. Saking bahagia ia seketika sujud ke lantai.
Resky berhenti berkata lalu ia menatap wanita itu yang kinberlinang air mata.
"Makasih, Mas. Mas sudah banyak membantu."
Hana masih terisak.
"Sudah jangan menangis."
"Ini tangis bahagia, Mas. Saya nggak bisa bayangkan jika setelah biopsi hasilnya positif. Hancur Mas perasaan ini."
"Iya, saya mengerti."
"Tapi kemarin Syaina sempat mimisan."
"Bisa jadi karena iritasi pada saluran hidungnya."
Hana kembali menarik napas.
"Tapi tetap harus kontrol lagi ya, sampai paru-parunya bersih dan leukositnya kembali normal."
"Baik, Mas. Terima kasih banyak."
Rezky hanya tersenyum.
"Hana."
Ia memanggil lembut wanita di hadapannya. Membuat wajah Hana teralihkan.
"Iya, Mas."
"Besok Syaina ulang tahun."
Dua netra Hana membelalak. Ia mengingat-ingat tanggal.
"Astaghfirullah, saya bahkan sampai lupa."
"Harap maklum, kamu menghadapi ini semua seorang diri, pasti sangat berat."
Angan Rezky sejenak terlempar pada pertemuannya kemarin dengan Langit. Sungguh jika mengingat perbuatan Langit pada Hana, ingin rasanya memutuskan persahabatan. Tapi sang lelaki hanya bisa mengelus dada.
Sementara Hana menunduk, Rezky kembali berucap.
"Saya punya kejutan untuk Syaina."
"Kejutan?"
"Apa kamu bisa membawanya ke suatu tempat?"
Rezky menyebutkan kemana ia meminta Hana membawa Syaina esok hari. Tak dapat dipungkiri, kejutan yang direncanakan sang lelaki berhasil membuat Hana begitu terharu.
Dia yang tak punya hubungan apapun, tapi bertindak seperti seorang yang begitu sayang. Sementara lelaki yang harusnya bertanggung jawab, tega meminta mereka menjauh.
Pertemuan hari itu berhasil membuat Hana merasakan sesuatu yang berbeda dengan apa yang ia jalani selama ini. Entah itu karena terlalu bahagia dengan hasil pemeriksaan, atau karena perhatian yang ditunjukkan Rezky. Hana menyimpan tanya, kenapa hatinya seperti ini?
*
Hana pulang membawa kabar gembira, ia menjemput sang anak untuk kemudian berniat menceritakan hal tersebut pada buah hatinya.
"Syaina nggak bangun-bangun dari ranjang sampai ketiduran gitu," ucap salah satu teman yang menjaga Syaina. Hana menatap buah hatinya, bersyukur jika kemarin-kemarin rasa takut hampir membuatnya tak berniat melanjutkan hidup, tapi hari ini semua gundah terangkat sudah.
"Nggak papa Fir, sepertinya Syaina masih takut karena beberapa waktu lalu sempat dibiopsi dan emang dokternya Belum ngijinin beraktivitas dulu."
"Terus kenapa kamu bawa dia kemari?"
"Nggak ada cara lain Firda. Aku sudah cukup lama ijin karena mengurus Syaina. Sudah waktunya kembali bekerja."
Firda menghela napas.
"Yang kuat ya, Han. Aku yakin Syaina pasti akan sembuh."
"Alhamdulillah, kamu tahu, hasil pemeriksaan biopsi Syaina negatif, Fir. Anakku tidak menderita Leukimia."
"Benarkah?"
Hana mengangguk. Sang sahabat seketika memeluknya.
"Aku ikut senang mendengar berita ini."
"Alhamdulillah. Makasih ya."
"Mama ...."
Dalam suasana haru itu, suara Syaina mengejutkan Hana.
"Kamu udah bangun, Nak?"
Hana melerai pelukannya.
"Mama kemana aja? Syaina takut bangun, padahal udah kebelet pipis."
"Astaghfirullah, yaudah ayuk Mama kawani ke kamar mandi."
Hana menggendong buah hatinya untuk ke kamar mandi. Suasana saat itu memang sudah sepi, hanya ada beberapa murid yang masih berada di PAUD.
Usai menemani sang anak, Hana mendudukkan Syaina di atas ranjang.
"Mama tadi ke rumah sakit, Sayang."
"Ketemu sama dokter Rezky?"
Hana mengangguk.
"Pasti ngomongin Syaina?"
"Iya, kok tahu?"
"Tahulah, soalnya Dokter Rezky 'kan suka ngomongin Syaina."
Hana tersenyum, ia akan berterus terang.
"Nak, mulai saat ini kamu tidak perlu lagi merasakan sakitnya ketika semua alat-alat pemeriksaan dimasukkan ke tubuh. Dokter Rezky bilang sama Mama kalau hasil pemeriksaan yang terakhir menunjukkan kalau Syaina tidak mengalami Leukimia, Sayang. Dokter bilang Syaina hanya menderita infesi saluran napas, Nak."
Syaina terdiam.
"Kamu nggak senang, Nak?"
"Senang."
"Tapi kok nggak ngucapin Alhamdulillah."
"Alhamdulillah," jawab Syaina tak semangat.
Entah apa yang dirasakan bocah itu, kebahagiaan di hati Hana membuatnya abai akan hal itu. Ia memeluk buah hatinya.
Firda yang menyaksikan ikut menyeka air mata haru yang berderai. Pemandangan itu berhasil membuat siapapun yang menyaksikan ikut merasa bahagia sekaligus terharu.
*
Sementara itu di sudut kota lain ...
Langit menatap baju pengantin yang ada di hadapannya. Pernah ia mengenakan pakaian itu, tepatnya lima tahun yang lalu. Saat itu ia sangat merasa enggan. Namun, demi kedua orang tua yang sangat dicintai, lelaki itu memaksakan diri untuk memakainya jua.
Dan saat ini, terhitung tujuh hari lagi lagi, ia pula akan kembali mengenakan pakaian tersebut. Ini sesuai dengan keinginannya semenjak dahulu, menikahi Lina.
Tapi kenapa iapun enggan mengenakan pakaian pengantin tersebut?
"Fitting bajunya oke. Tinggal nunggu hari H aja. Bagaimana perasaan kalian berdua?" sapa desainer yang dipinta khusus oleh Lina untuk merancang pakaian pengantinnya bersama Langit.
"Deg-degan lah," jawab Lina seraya melirik Langit yang semenjak tadi hanya membungkam mulutnya.
"Dokter Langit sedang kurang sehat, ya?"
Langit terhenyak, pandangan yang tadi entah tertuju kemana kini fokus pada wanita di hadapan.
"Saya baik."
"Oh maaf, saya pikir sakit sebab dari tadi hanya diam."
"Sedang banyak kerjaan aja sih, Na," potong Lina.
"Iya ya, apalagi mendekati masa cuti. Semoga kalian berdua selalu diberi kesehatan sampai hari H."
"Aammiin ...."
Lina menjawab sedang Langit masih terdiam. Mereka kini keluar dari butik tersebut.
"Mas, makan siang yuk. Aku lapar ...."
"Aku nggak bisa, harus balik ke rumah sakit sekarang."
"Sebentar aja ya, Mas. Lagian kamu juga belum makan."
Tak lagi menjawab pertanyaan Lina, Langit justru memberhentikan mobil. Berat untuk berkata, karena janji yang telah terlebih dahulu terucap. Tapi dia tidak bisa melanjutkan jika hanya akan memberi kepalsuan seperti dahulu.
"Lin, aku minta maaf padamu."
"Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini, Lin."
Wajah Lina seketika teralihkan pada Langit.
"Apa maksud kamu, Mas?"
"Aku terlambat menyadarinya, Lin. Aku mencintai mantan istriku dan aku ingin kembali padanya."
***
Bersambung
Nah, baru sadar ternyata. Apakah Hana masih ada rasa? Atau kisah Langit-Hana hanya akan menjadi sebuah kenangan yang tetap mengabadi dalam sebuah album bernama masa lalu?
Yuk baca lanjutannya.
Terima kasih.
Utamakan baca Al-Quran.
Jika aku diberi kesempatan hidup sekali lagi, satu hal yang tak ingin kusia-siakan yaitu kesempatan untuk mencintaimu.*"Apa maksud ucapanmu, Mas?"Lina menatap dengan wajah memerah. Ia seakan sudah bisa membaca arah ucapan Langit. "Lin, aku salah karena berpikir kau lah cinta sejatiku. Tapi nyatanya, hidupku tak berarti semenjak Hana dan anakku pergi. Aku tak pernah menemukan bahagia yang aku cari ketika bersamamu. Aku minta maaf, Lin.""Kamu sudah tidak waras, Mas? Kamu pikir aku mainan, seenaknya saja kau dekati dan kau tinggalkan begitu saja? Kau lupa siapa yang datang padaku lebih dulu?""Iya, aku memang datang padamu. Tapi kau yang mengundang.""Kau mau menuduhku, Mas?""Aku tidak menuduh, memang kenyataannya seperti itu. Kau 'kan yang menyuruh Andre mengundangku ke rumahmu hari itu? Hari dimana aku menceraikan istriku?"Lina terdiam."Setelahnya berapa kali aku ragu untuk mengurus perceraianku ke pengadilan, tapi kamu! Kamu yang terus membujukku hingga aku semakin terlena dan
Langit mendapati kebisuan, Rezky tak langsung menjawab pertanyaannya."Rez, Kami masih di sana?""Hm, iya. Kamu mau aku menjawab dengan jujur?""Tentu.""Baik aku akan katakan yang sebenarnya. Sebenarnya aku sudah lama mengenal istrimu, kami satu SMA. Aku menyukainya sudah semenjak dahulu, tapi kamu tahu 'kan aku bukan tipe yang mudah menyatakan cinta. Hingga kami berpisah saat kelulusan SMA. Aku masih belum juga berani bicara tentang perasaanku. Satu bulan yang lalu, aku sangat terkejut, saat dia datang membawa seorang anak untuk berobat. Lang, Syaina anakmu adalah pasienku."Langit benar-benar terhenyak, ini adalah sebuah berita yang berhasil membuat degup jantungnya riuh berdetak."Lang, apa kamu keberatan jika suatu saat aku melamar mantan istrimu menjadi istriku?"Pertanyaan itu membuat jantung Langit tersentak kuat. Dia tak dapat berkata, terlalu berat rasanya mengikhlaskan sesuatu yang masih begitu ingin dimiliki. Sang lelaki menarik napas dalam. Ia tak mungkin menahan siapapu
Hana mencoba tersenyum untuk menetralisir kegugupan, lalu membuka suara."Ini serius?""Jawab saja dulu."Rezky kembali menjawab dengan jawaban yang sama tiap kali Hana melempar pertanyaan."Jika memang pertanyaan yang di sana itu benar adanya, dari hati Mas Rezky yang terdalam, saya akan menjawab dengan serius."Rezky tampak menatap Hana."Saya belum bisa menerima lamaran siapapun untuk saat ini, Mas."Suasana seketika tegang. Rezky menarik napas."Jika tidak untuk saat ini?""Maksud, Mas?""Saya tidak memaksa agar kamu memberi jawabannya hari ini. Tapi besok, satu minggu ke depan, satu bulan atau bahkan satu tahun? Apa kamu sudah akan punya jawaban atas pertanyaan ini?"Hana tercenung sejenak, ia tak percaya jika Rezky terlihat begitu serius dengan lamarannya. Bahkan ia bersedia menunggu untuk setahun."Kenapa harus saya? Saya ini seorang janda, sementara Mas menikah saja belum. Mas Rezky punya karir yang bagus, wajah yang rupawan, sebaiknya Mas melamar seseorang dari kalangan Mas s
Hana tersenyum menatap pemberian dari lelaki di hadapannya, sebuah pemandangan yang membuat Langit di kejauhan sana seolah kehilangan kekuatan untuk bertahan.Terlebih saat tangan mantan istrinya itu terulur untuk mengambil cincin yang diberikan Rezky. Ah, bukan itu saja yang membuat hati Langit semakin teriris, Syaina, buah hatinya bersorak bahagia melihat pemandangan itu. Bocah tersebut bahkan kini sudah berada dalam gendongan sahabat lamanya tersebut.Semua sudah berakhir, apakah ini pertanda agar aku mengubur rapat keingian untuk rujuk?"Papa ...."Suara panggilan Syaina membuyarkan pikiran Langit. Ia terhenyak, dan kembali dari alam khayalan.Bocah itu berlari ke arah sang ayah. "Sayang, kamu mau kemana?"Tanpa menggubris panggilan sang ibu, Syaina terus berlari keluar pagar lalu jatuh di dalam dada bidang papanya. Langit memeluk putrinya erat."Papa kemana aja? Syaina kangen."Jemari mungil Syaina yang menempel di punggung Langit membuat lelaki itu kembali merasa bergetar."Maa
Hana menyimpan cincin itu, dengan maksud bertanya pada Langit ketika nanti lelaki itu mengantar Syaina kembali. Ia kemudian masuk ke dalam rumah dan mendapati ponselnya berdering.Hana menelisik nomor asing yang muncul di layar ponsel, meski ragu wanita itu mengangkat jua panggilan tersebut."Hallo.""Aku tak ingin berbasa basi. Kupikir kamu wanita baik-baik yang bisa dipercaya, ternyata semuanya palsu. Kamu yang memintaku untuk tidak berdusta, tapi apa? Kamu juga yang terlebih dahulu mendustaiku.""Kamu siapa? Apa maksud omonganmu?""Aku Lina, calon istri Mas Langit.""Lina? Maaf ya, saya nggak mengerti dengan apa yang kamu bicarakan tadi?"Hana bertanya sedikit kesal karena Lina menyerangnya begitu saja."Dengar ya Han, Mas Langit membatalkan pernikahan kami. Alasannya, kamu. Tiba-tiba ia merasa berdosa karena udah menceraikan kamu dan berpikir untuk memperbaikinya. Katakan apa salahku, Han? Apa aku pernah menyakitimu? Apa aku datang sebelum kau bercerai? Tidak 'kan Han? Aku tidak t
Langit meneguk sedikit kopi panas yang ia pesan tadi pada salah satu pelayan hotel, hatinya sungguh kacau. Berbagai kejadian dalam hidup mulai dari saat ia resmi menikahi Hana sampai kejadian tadi siang melintas di dalam benak.Ia sadar telah melakukan banyak kesalahan. Ia bahkan sudah menyakiti hati dua wanita sekaligus dengan segala keinginannya.Lelaki itu mengeluarkan ponsel lalu mencoba mengetik sebuah pesan.[Hana, Mas minta maaf atas semua tuduhan Lina padamu. Mas akan bicara dengannya. Dan soal perasaan Mas untukmu, Mas juga minta maaf. Karena rasa yang terlambat ini telah menyakiti hatimu kembali. Mas akan simpan rapat semua cinta itu. Mas hanya ingin kamu bahagia, karena sadar dahulu telah banyak menebar luka. Jika bersama Rezky akan membuatmu bahagia, silahkan lanjutkan. Mas cukup kamu ijinkan satu hal, tolong tetap beri kesempatan untuk bisa bertemu Syaina. Karena selain kamu, hanya Syaina yang bisa buat Mas bahagia.]Dengan hati yang perih, ia mensend pesan tersebut. Lang
Keluar dari ruangan Lina dengan perasaan tak karuan, Langit justru bertemu seorang lelaki. Lelaki yang entah kenapa seperti familiar di benaknya.Mereka saling bertatapan."Bisa bicara sebentar," tanya lelaki itu pada Langit."Anda siapa?""Saya Reno, mantan suaminya Lina."Langit terhenyak."Aku minta waktu sebentar saja, ada hal penting yang inginku bicarakan dengan Mas Langit."Meski diawali rasa ragu untuk mengiyakan, tapi entah kenapa langkah Langit terulur jua untuk mengikuti lelaki di hadapannya. Mereka duduk di kantin rumah sakit."Sudah lama saya ingin ke Jakarta terutama untuk menemui Mas Langit. Tapi selalu terkendala karena mengurus ibu kandung yang sedang sakit.""Ada perlu apa kamu ingin menemuiku."Lelaki di hadapan Langit tersenyum kecil."Maaf sebelum aku jujur tentang tujuanku menemuimu, bolehkah aku mengajukan satu pertanyaan saja pada Mas Langit?""Silahkan.""Apakah Mas Langit dan Lina sudah resmi menikah?""Memangnya kenapa?"Lelaki di hadapan Langit menarik napa
Langkah Hana terhenti saat mendapati lelaki yang keluar dari kamar rawatan Hana menyapa merwka.Udah pada ramai-ramai di sini, ah ada dr. Rezky juga ternyata? Apa kabar dok?"Dr. Helmi mengulurkan tangan menyalami dua lelaki dan satu perempuan yang ada di hadapannya."Alhamdulillah, sangat baik. Dok sendiri apa kabar?""Sehat, bahkan semakin sehat. Lihat saja berat badan saya yang semakin tua semakin bertambah."Lelaki-lelaki itu tertawa."Ngomong-ngomong pada mau ngejenguk Lina semua ne?" tanyanya menatap satu persatu yang hadir di tempat itu.Rezky mengangguk."Owalah, Lina pasti senang dikunjungi sama teman-temannya."Pandangan dr. Helmi tertuju pada Syaina."Yang ini siapa Dok?" tanyanya pada Langit.Rezky terhenyak, sementara Hana hanya bisa mengelus dada. Pada kenyataan selama ini Langit memang selalu tak pernah menganggap mereka ada."Ini anak saya dok.""Masya Allah udah sebesar ini."Dua netra dr. Helmi seketika menatap Hana."Ini ibunya?"Langit mengangguk, sementara Hana me