"Buset. Ini serius?" tanyaku pelan.
"Betulan. Aku lagi nyuruh temanku yang dikasih undangannya kesini, sih. Ngecek keaslian undangan itu. Kalo bohong, mungkin si Delia lagi bohongin kita."
Aku mengetuk-ngetukkan jemari ke meja. Menganggukkan kepala, tapi entah kenapa menurutku undangan itu asli.
Ponsel Gita berdering. Aku diam, menunggu Gita mengangkay teleponnya.
"Oke. Aku buka pintu sekarang."
"Gimana?" tanyaku padanya.
"Aman. Dia mau bukain pintu. Eh, kamu beneran harus lihat undangannya nanti. Tenang aja, dia gak bakalan kasih tau ke siapa-siapa, kok. Ada di pihak kita."
Gita berdiri. Dia melangkah membukakan pintu.
"Nah, ini namanya Nina. Dia sebenarnya istri Reno. Orang yang undangannya kamu kirim tadi."
Wajah teman Gita tampak terkejut. Aku beranjak, meny
"Hah?! Serius? Buset, kabar yang gak pernah kepikiran, sih."Aku menoleh ke Kafka yang melongo. Beberapa detik, Kafka terpingkal. Aku dan Bang Tirta saling berpandangan. Sepertinya, dia kemasukan atau apa.Kenapa Kafka malah tertawa? Memangnya ada yang lucu dengan kalimatku tadi?"Ngapain ketawa gitu? Gak ada yang lucu." Aku melotot ke Kafka."Ya, lucu aja, Mbak." Tawa Kafka perlahan terhenti. "Dia sok-sokan mau nikah dua kali? Yang ini aja gak dinafkahi. Apalagi yang satunya."Benar juga. Aku menganggukkan kepala. Perkataan Kafka barusan masuk akal sekali."Kamu tau dari mana dia mau nikah?" tanya Bang Tirta sambil menoleh ke aku.Dengan cepat, aku mengeluarkan undangan dari dalam tas. Adik dan Abangku langsung melihat undangan itu. Mereka saling tatap-tatapan."Buset, dua hari lagi." Kafka ge
"Enggak. Undangan apa? Memangnya ada undangan di atas meja tadi, Bang?" tanyaku sambil menoleh ke Bang Tirta."Gak ada undangan apa pun." Bang Tirta menggelengkan kepala."Bagus, deh." Suara Mas Reno terdengar lega. Aku tersenyum tipis, menoleh ke Bang Tirta mengacungkan kedua jempolnya."Kamu cuma mau bilang itu?""Iya. Hati-hati di jalan, Sayang. Dah."Aku mematikan telepon. Menoleh ke Bang Tirta yang tertawa pelan. Kalau kami kompak begini terus, semuanya akan selesai dengan cepat.Mobil terus melaju. Aku menatap ponsel, foto Mas Reno dan Delia bertebaran di sini. Mereka memang harusnya lebih pintar lagi."Kamu mau tau gak, Nin. Tadi pas Abang baru datang, wajah si Reno itu kayak minta ditinju."Mendengarnya, aku tertawa. Bang Tirta memegang lenganku dengan sebelah tangannya yang bebas
"Kayaknya si Delia suka sama Abang, deh, Nin."Eh? Aku menoleh ke Bang Tirta, mengerjapkan mata mendengar perkataannya barusan. Apa katanya? Delia menyukainya?Apakah Bang Tirta sedang bergurau?"Enggak. Ini serius," katanya setelah melirikku.Kami sedang di perjalanan pulang. Aku mengusap dahi, kemudian kembali menoleh ke dia. Apa maksudnya tadi? Si Delia suka?"Bisa kelihatan dari wajah dan sikap dia tadi. Kelihatan banget, kan?" tanya Bang Tirta.Memang benar, tadi si Delia terlihat malu-malu begitu, tapi kenapa dia memilih Mas Reno untuk menjadi pasangannya menikah?Kalau aku lihat-lihat, sepertinya sejak dulu Delia menyukai Bang Tirta. Entahlah, ini cukup aneh."Nah, kapan-kapan kita coba lagi. Kita harus persiapan buat datang ke acara pernikahan mereka. Ini pasti bakalan seru banget
"Mau kemana?" tanyaku pada Mas Reno yang sudah siap.Dia terlihat rapi sekali, sepertinya karena mau bertemu dengan calon mertuanya. Aku menatapnya yang terlihat gugup."Emm, aku mau ke—""Ayo, Reno."Kami menoleh ke Mama Mas Reno yang sedang mencari sesuatu di dalam tasnya. Dia langsung menatapku, tapi kemudian berpindah pandangan ke Mas Reno."Mana Rini, Ma?""Rini di rumah aja, deh. Lagi gak enak badan.""Ah, banyak alasan aja kamu itu." Mas Reno seperti memberi kode. "Cepat siap-siap."Rini terlihat berdecak, aku tahu, dia pasti sedang berusaha menyembunyikan mualnya. Aku menoleh ke Mas Reno. Kemudian melangkah masuk ke kamar."Gimana? Betulan jadi pergi mereka?"Aku mengangguk mendengar pertanyaan Bang Tirta. Mengambil pakaian, kemudian
"Habis dari mana? Lama banget." Mas Reno berdiri dari kursi ketika aku keluar dari mobil.Kami baru saja kembali dari rumah Mama dan Papa. Membahas banyak soal rencana untuk besok. Aku menatap Mas Reno, Mamanya, dan si Rini yang sudah tidur di kursi."Bukan urusanmu." Aku menjawab pendek.Aku membuka pintu rumah, menyuruh Kafka langsung membawa Raja ke kamar. Sementara Bang Tirta masih diam di mobil."Bangunin Mama dulu." Mas Reno menahan tanganku."Kok aku?""Iyalah. Siapa lagi, coba kamu gak pergi atau kunci rumah gak dibawa. Pasti kita bisa masuk, gak tidur di luar kayak gini."Hampir saja aku tertawa, konyol."Terus? Bangunin sendiri."Setelah mengatakan itu, aku langsung masuk ke dalam rumah. Enak saja dia menyuruhku untuk membangunkan keluarganya. Lebih ba
"Mereka udah bangun?" tanya Bang Tirta sambil menoleh ke aku.Kami sudah siap-siap. Aku menggelengkan kepala. Mereka belum bangun sama sekali. Ini juga sudah siang.Aku melirik jam di dinding. Ponselku, berdering. Dari Gita. Kenapa dia menelepon pagi-pagi?"Kamu di mana, Nin? Kok belum keliatan gerak di sini. Eh, katanya suami kamu belum kelihatan sampai sekarang. Kemana? Kok belum datang? Tamunya udah nunggu semua.""Masih tidur," jawabku singkat."Eh? Seriusan? Gak pake alarm? Kok kayak pikun gitu."Mendengar itu, aku tertawa pelan, kemudian menggelengkan kepala. "Ada, deh. Kamu di saja juga?""Iya. Minta undangan sama si Mawar. Udah di sini.""Oke."Terdengar keributan di depan. Sepertinya, Mas Reno dan sekeluarga sudah bangun. Aku melirik Bang Tirta yang menganggukkan kepala.
"Mana mobilnya?" tanya Bang Tirta sambil menoleh sejak tadi.Aku juga harap-harap cemas. Jangan sampai kami datang terlambat. Itu sepertinya tidak lucu."Sebentar lagi. Sabar aja." Suara Mawar juga terdengar gelisah."Nah itu." Bang Tirta menunjuk mobil pick up yang membawa kue pernikahan. Aku menganggukkan kepala. Yang membawa mobil itu adalah teman Mawar. Kami bisa menebeng di sana.Buru-buru Bang Tirta keluar dari mobil. Menyetop mobil itu, membawa ponselku juga."Ayo, angkut, Nin."Aku mengangguk, Kafka membantuku membawa beberapa barang masuk ke dalam pick up itu. Kami akan sedikit aman nanti."Abang ngomong apa tadi?" tanyaku sambil menolehnya."Mawar yang ngomong."Kami melewati pemeriksaan sebenarnya, tapi karena mobil sudah terlambat, jadi dibebaskan. Aku menganggukkan kepala, ini lebih seru."Asik gak, Nin?" tanya Bang Tirt
"Oalah, jadi yang mau dinikahin itu istri kedua?""Astaga, Nina berani banget. Salut sama kehebatan dia.""Pasti malu itu. Kasih dulu karung atau apa, biar bisa nugupin malu."Beberapa tertawa sambil menggelengkan kepala melihat semua yang terjadi. Aku melipat kedua tangan di depan dada. Seolah menantang Mas Reno untuk semua ini.Tayangan video kembali terputar. Masa-masa kamu berdua dan ada foto bayiku juga. Sekarang, Mas Reno malah ingin menikah dengan wanita lain."Sebenarnya, dia itu pria miskin yang gak pernah sama sekali kasih nafkah ke saya. Sekarang, sok-sokan mau nikah sama wanita lain?"Aku menatap wajah Delia yang memerah. Namun, tatapannya juga terhenti ke Bang Tirta. Aku tahu, dia memang mencintai Bang Tirta.Sejak dulu. Pasti Delia menunggu Bang Tirta sejak dulu, tapi tidak kunjung datang. Akhir