Ponsel Fajar berdering. Membuat kami menoleh ke arahnya. Sejak tadi, hanya aku yang banyak bertanya, mengkhawatirkannya.
Apalagi kami memang membutuhkan bantuan Fajar sekali di sini. Aku mengusap dahi. Menghela napas pelan.
"Udah di mana, Ri?"
Fajar diam sejenak. Sesekali, dia melirik aku, kemudian tersenyum tipis.
"Oke. Aku langsung ke sana," katanya sambil mematikan telepon.
"Dia udah sampai. Aku ke sana dulu. Doain aja yang terbaik. Semoga gak terjadi apa-apa."
Ah, ini yang paling menyebalkan. Aku menghela napas kesal, mengusap wajah berkali-kali.
"Gak bisa aja ditunda dulu gitu?" tanyaku kembali takut.
"Gak bisa, Nin. Si Rian malah semakin curiga nanti. Cuma ketemu, ngobrol sebentar. Ngorek informasi. Selesai. Pulang."
Enak sekali dia bicara. Seolah tidak pu
"Apa untungnya aku jawab itu?" tanyanya sambil menatap Fajar.Aku dan Bang Tirta saling berpandangan. Apa yang akan dikatakan oleh Fajar?"Banyak. Kamu mau masuk ke penjara, kan? Kebetulan kami juga sudah dapat bukti soal Mamanya si Reno yang ikut terlibat.""Ikut terlibat?" Wajah Fajar tampak keheranan."Iya. Mamanya si Reno terlibat dalam kasus pembunuhan, kan? Di mana kamu dan dia bekerja sama. Bukankah begiu?"Beberapa detik terdiam, Fajar tertawa mendengar perkataan Fajar. Kami sampai saling berpandangan mendengar tawanya. Kenapa dia tertawa? Apakah ada yang lucu?"Kamu berapa tahun jadi pengacara, Jar? Kok gak bisa mikir dulu gitu."Eh? Itu sama saja menghina bukan?"Jelas. Ini videonya. Kamu bisa dengar sendiri rekamannya. Tolong jang
"Apa itu, Mbak?" tanya Kafka sambil mendekat padaku. Dia sepertinya penasaran dengan apa yang aku pegang."Foto." Aku menjawab pendek.Beberapa menit, aku berusaha mengingat tentang foto itu. Tentangku, juga seorang pria yang pernah mengisi hariku.Ah, namanya Angkasa. Pria tampan dulu di sekolahku. Namun, dia ternyata pergi lebih cepat.Entah kenapa, aku juga lupa dulu. Sudah lama sekali kejadiannya, apalagi masih remaja, labil. Yang pasti, aku ingat sekali. Bukan aku yang membuatnya meninggal."Kok mirip si Rian?" tanya Bang Tirta mengagetkan kami berdua.Aku menghela napas pelan, mengusap wajah berkali-kali.Angkasa memang mirip Rian. Sangat mirip, apa jangan-jangan ...."Siapa namanya, Nin? Bukan si Rian, kan?""Angkasa, Bang. Dia dulu teman satu SMP-k
"Maaf, siapa, ya?" tanyaku lumayan penasaran.Sebenarnya, aku tau siapa yang menelepon. Apalagi suaranya tidak asing di telinga. Juga bukan Fajar.Siapa lagi, pasti dia."Rian. Masa lupa.""Jangan basa-basi. Kita selesaikan nanti," kataku sambil mematikan telepon.Ketika aku menoleh, Bang Tirta dan Kafka menatapku penasaran. Aku nyengir saja, tidak menjawab pertanyaan mereka sama sekali."Siapa, sih, Mbak?" tanya Kafka penasaran."Kepo," kataku membuatnya mendelik.Aku sudah selesai. Membantu Kafka dan Bang Tirta yang masih terlihat sibuk."Udah selesai semua." Kafka menunjukkan barang-barang yang sudah selesai dirapikan. Aku menganggukkan kepala, melirik jam dinding. Sudah pukul segitu ternyata."Ayo, berangkat."
"Sudahlah. Ayo pulang."Tanganku langsung ditahan ketika mengajak Bang Tirta, juga Kafka untuk pulang. Aku menatap pria itu sambil melotot. Kenapa juga dia pegang-pegang tanganku?"Tunggu, Nin. Masih banyak yang perlu kita bahas.""Bahas apalagi? Udah jelas kamu itu pembunuh, tinggal lapor ke pihak berwajib. Semoga dapat hukuman setimpal. Apa kata kamu kemarin? Nyawa dibalas dengan nyawa? Semoga saja pihak berwajib memberikan hukuman itu.""Oke. Aku gak peduli mereka mau kasih hukuman apa, tapi tolong dengerin dulu. Masih banyak yang perlu dibahas."Aku tidak peduli. Sejak tadi berusaha melepaskan pegangan tangannya."Kita bahas tentang kematian Angkasa. Kamu dulu mencintainya, kan?"Kali ini, aku terdiam. Tidak memberontak sama sekali. Kafka menarik tanganku pelan, dia tersenyum. Menyuruh duduk.Ah,
"Ya. Mama dan Papamu. Aku minta maaf soal semuanya. Aku justru belum tau itu kemarin. Aku kira—" "Oke. Cukup. Aku ngerti perasaan kamu dan apa pun itu." Aku menghela napas pelan. Semua ini. Malah membuatku bingung akan maju untuk melaporkan Rian ke penjara atau tidak. Apalagi kronologinya seperti itu. Jelas saja dendam itu muncul. Siapa pelaku sebenarnya? "Tapi siapa pelaku sebenarnya, Ri?" tanyaku sambil menoleh pada pria itu. "Dua orang pria misterius itu. Orang suruhan Mama dan Papa kamu." Astaga. Jantungku langsung berdetak kencang, aku menoleh ke Kafka dan Bang Tirta yang sama terkejutnya. Kami benar-benar tidak menyangka kalau Mama dan Papa yang sebenarnya ada di balik semua ini. "Mereka tidak senang kamu dekat dengan Angkasa. Si anak kecil yang dekil dan miskin dulu."
"Masa tega banget mau laporin Mama sama Papa juga."Aku saling bertatapan dengan Kafka. Bang Tirta baru saja mengatakan itu. Membuat kami kembali berpusing ria.Memikirkan itu, hanya membuatku kembali pusing. Aku menghela napas pelan, menoleh ke Bang Tirta."Apa pun nanti hasilnya, kita perlu bicarain sama Mama dan Papa, Bang. Kita juga harus tau kronologi dari Mama dan Papa. Gak bisa hanya dari satu cerita, kan," kataku sambil tersenyum pada Bang Tirta."Betul. Ayo pulang. Kita harus tau kronologinya dari Mama dan Papa."Kafka menggenggam tanganku. Kami melangkah keluar dari restoran setelah mengambil kamera yang merekam percakapan kami.Sepanjang perjalanan, aku hanya diam. Sementara Kafka sibuk dengan kameranya dan Bang Tirta menyetir mobil.Banyak sekali pikiran di kepalaku. Apalagi membahas soal kematian Angkasa yan
"Haduh, kenapa kamu pakai acara injak kaki Mama, sih?"Kami buru-buru membuka pintu, mendapati Mama Mas Reno, juga anaknya. Ngapain mereka ada di sini?"Eh, Nina. Maaf, ya, tadi kita lagi bersih-bersih, terus gucci-nya pecah."Gucci yang diletakkan di sana memang pecah. Aku menggelengkan kepala, mereka selalu saja membuat ulah.Aku menghela napas pelan. Mereka pasti penasaran dengan apa yang terjadi di dalam. Beberapa detik aku terdiam, Kafka menepuk pundakku. Dia membisikkan sesuatu."Em, apa yang kalian dengar di dalam?""Gak dengar apa-apa, kok.""Jawab yang jujur atau gak ada jatah makan nanti malam. Buat gantiin gucci itu aja makannya.""Eh?" Mereka berdua terdengar terkejut. "Udah kayak ibu tiri di sinetron aja kamu, Nin."Tidak lucu sama sekali. Aku menggelengkan kepala, masih m
"Gimana caranya manfaatin mereka? Kayaknya mereka gak ada manfaatnya sama sekali."Terdengar tawa pelan dari adikku. Aku menoleh, menatapnya yang menarik turunkan alis."Nanti aku cerita sama Mbak.""Bang, ayo. Ke kamar."Bang Tirta menoleh. Kemudian menganggukkan kepala. Dia beranjak. Aku masih menatap Mas Reno yang sesekali melirik ke arah kami."Mana si Rini?""Hadir, Bang." Rini muncul di sebelahku. Dia kemudian melangkah mendekati Bang Tirta."Tolong awasi mereka. Apa pun yang kalian dnegar di kamar Mama dan Papa tadi, saya harap gak terjadi apa pun."Mereka tidak menjawab perkataan Bang Tirta sama sekali. Aku melangkah duluan ke kamar. Menyalakan ponsel milik Kafka."Mbak mau mandi dulu, gak?""Iya, deh. Sekalian nanti langsung ketemuan sama Fajar. Malas kalau nanti-nanti."Setidaknya, aku sudah sedikit lega sekarang. Kami bisa tahu s