"Matiin, Mbak. Matiin."
Aku langsung mematikan telepon. Menghapus riwayatnya. Kemudian meletakkan ponsel itu ke atas meja, bertepatan dengan Mas Reno yang kembali dari kamar.
"Ayo, berangkat sekarang." Mas Reno menoleh padaku. Aku menoleh ke jam dinding, kemudian menganggukkan kepala.
"Ini kunci mobilnya." Aku memberikan kunci mobil ke Mas Reno.
"Aku ke mobil duluan, manasin mesin," katanya sambil melangkah keluar rumah.
Setelah Mas Reno tidak kelihatan lagi, aku menoleh ke Kafka yang terdiam. Dia seperti sedang berpikir.
"Mikirin apa?" tanyaku sambil menyenggol lengannya.
Adikku itu duduk di sofa. Dia menoleh padaku. Kemudian mengangguk-anggukkan kepala.
"Kayaknya Mbak harus cari tahu siapa wanita itu. Nanti malam kalau bisa Mbak salin nomornya."
Tadi, ja
"Eh?" Wajah Mas Reno kelihatan sekali gugupnya. "Kamu ngapain di sini, Nin? Bukannya tadi—""Pengen aja."Tatapanku beralih ke wanita yang tadi mengobrol dengan Mas Reno. Dia mirip sekali dengan foto yang tadi dikirimkan oleh Gita.Dia adalah Delia. Wanita yang katanya akan menikah dengan Mas Reno.Ah, ini menarik sekali."Kayaknya di sekolah dulu kita gak pernah kenalan." Dia mengulurkan tangan. "Kenalin, aku Delia."Aku melirik Mas Reno sebelum balas menjabat tangannya."Nina. Panggil gitu aja.""Ah, siapanya Reno? Kayaknya kamu datang, Reno langsung diam." Delia penasaran sekali denganku."Istrinya. Kamu gak kenalin aku sama Delia, Mas? Wah, pantas kita belum kenal."Ada keterkejutan di wajah Delia. Juga kepanikan di wajah Mas Reno. Aku t
"Emang suami kamu ngapain?" tanya Gita penasaran.Belum waktunya orang lain tahu. Aku tidak mempercayai siapapun kecuali Kafka, Mama, dan Papa untuk saat ini. Aku menggelengkan kepala ke Gita."Aku gak bisa kasih tau sekarang. Tentang semua rencana aku. Tentang semua perlakuan Mas Reno sama aku.""Aku ngerti." Gita mengangguk-anggukkan kepala."Yaudah. Apa pun itu, kita cerita lagi kapan-kapan. Kamu hubungin aku aja."Gita mengangguk. Aku tersenyum padanya, kemudian berbalik.Wow. Lihatlah, Mas Reno sedang berpelukan dengan Delia. Mereka seperti manusia tidak tahu malu. Aku mengangguk-anggukkan kepala. Mereka memang tidak punya malu sepertinya.Dengan cepat, aku mengeluarkan ponsel, kemudian memfoto aksi mereka itu. Benar-benar di luar dugaan sebenarnya, tapi biarlah. Itu bukti kalau Mas Reno sudah berm
"Mbak gak percaya, kan? Sama, Kafka juga.""Terus gimana?" tanyaku pelan.Meskipun aku masih kesal dengan keluarga Mas Reno, tapi aku juga tidak bisa membiarkan Rini dalam jurang yang salah. Anak itu tidak bisa dibiarkan.Kafka mengangkat bahu, membuatku ingin melemparkan sesuatu padanya. Aku kesal sekali dengan Kafka."Gak gimana-gimana. Biarin ajalah. Dia yang mau kerja kayak gitu, kenapa kita yang repot?"Astaga, Rini bekerja itu untuk apa? Disuruh Mama Mas Reno? Atau bagaimana?Aku justru merasa bersalah sekarang. Ah, ini benar-benar tidak lucu. Aku menggigit bibir. Kenapa juga tadi aku mengantarkan si Rini ke gedung itu? Harusnya aku tidak menebenginya tadi."Kenapa, sih, Mbak? Kayak cacing kepanasan. Gerah lihatnya."Mataku melirik jam dinding. Sudah hampir pukul dua belas malam. Namun, M
"Hamil? Kamu hamil?" tanyaku tersentak.Aku menelan ludah, memperhatikan tubuh Rini yang memang sudah terlihat berubah. Sungguh, dia terlihat tidak sama seperti dulu."Cuma Mbak yang tau. Gak ada yang tau selain Mbak." Rini terisak. Dia berusaha memelukku.Apa yang aku takuti terjadi juga. Soal pekerjaan Rini beberapa minggu lalu. Padahal, aku sedang menunggu surat pembalikan aset keluar.Keluarga Mas Reno memang benar-benar. Kalau aku tebak, mereka pasti menghabiskan uang yang dihasilkan oleh pekerjaan Rini. Pekerjaan yang aku tentang habis-habisan.Rini masuk ke kamarnya. Aku hanya memperhatikan, tidak sanggup mengatakan apa pun."Ini hasil tes kehamilan Rini, Mbak. Mbak jangan bilang siapa-siapa, ya. Rini mohon." Dia menyandarkan punggungnya ke dinding, masih terisak."Terus?" tanyaku pelan. Ma
"Gak mungkin gimana? Kamu cek sana ke dokter. Jangan cuma mau uang aja."Aku beranjak. Malas berbicara dengannya lagi. Ketika baru masuk, aku berpapasan dengan Rini yang tampak pucat. Sebal juga lama-lama mengurusi keluarga Mas Reno.Sungguh, aku tidak peduli. Aku melewati Rini begitu saja. Tidak peduli."Mbak bilang ke kakak?" tanyanya sukses membuatku menghentikan langkah."Kenapa?""Jangan sok peduli denganku, Mbak.""Terserah.""Aku gak butuh dikasihani, Mbak. Kasian Kak Reno dan Mama gak ada uang untuk makan. Juga gak ada uang buat belanja. Kasian." Rini mengatakan itu, membuatku sedikit terhenyak mendengar perkataannya tadi.Apakah dia hanya memikirkan keluarganya? Sementara ada janin tidak bersalah di sana. Ah, aku tidak peduli lagi. Sungguh.Biarkan keluarga a
"Buset. Ini serius?" tanyaku pelan."Betulan. Aku lagi nyuruh temanku yang dikasih undangannya kesini, sih. Ngecek keaslian undangan itu. Kalo bohong, mungkin si Delia lagi bohongin kita."Aku mengetuk-ngetukkan jemari ke meja. Menganggukkan kepala, tapi entah kenapa menurutku undangan itu asli.Ponsel Gita berdering. Aku diam, menunggu Gita mengangkay teleponnya."Oke. Aku buka pintu sekarang.""Gimana?" tanyaku padanya."Aman. Dia mau bukain pintu. Eh, kamu beneran harus lihat undangannya nanti. Tenang aja, dia gak bakalan kasih tau ke siapa-siapa, kok. Ada di pihak kita."Gita berdiri. Dia melangkah membukakan pintu."Nah, ini namanya Nina. Dia sebenarnya istri Reno. Orang yang undangannya kamu kirim tadi."Wajah teman Gita tampak terkejut. Aku beranjak, meny
"Hah?! Serius? Buset, kabar yang gak pernah kepikiran, sih."Aku menoleh ke Kafka yang melongo. Beberapa detik, Kafka terpingkal. Aku dan Bang Tirta saling berpandangan. Sepertinya, dia kemasukan atau apa.Kenapa Kafka malah tertawa? Memangnya ada yang lucu dengan kalimatku tadi?"Ngapain ketawa gitu? Gak ada yang lucu." Aku melotot ke Kafka."Ya, lucu aja, Mbak." Tawa Kafka perlahan terhenti. "Dia sok-sokan mau nikah dua kali? Yang ini aja gak dinafkahi. Apalagi yang satunya."Benar juga. Aku menganggukkan kepala. Perkataan Kafka barusan masuk akal sekali."Kamu tau dari mana dia mau nikah?" tanya Bang Tirta sambil menoleh ke aku.Dengan cepat, aku mengeluarkan undangan dari dalam tas. Adik dan Abangku langsung melihat undangan itu. Mereka saling tatap-tatapan."Buset, dua hari lagi." Kafka ge
"Enggak. Undangan apa? Memangnya ada undangan di atas meja tadi, Bang?" tanyaku sambil menoleh ke Bang Tirta."Gak ada undangan apa pun." Bang Tirta menggelengkan kepala."Bagus, deh." Suara Mas Reno terdengar lega. Aku tersenyum tipis, menoleh ke Bang Tirta mengacungkan kedua jempolnya."Kamu cuma mau bilang itu?""Iya. Hati-hati di jalan, Sayang. Dah."Aku mematikan telepon. Menoleh ke Bang Tirta yang tertawa pelan. Kalau kami kompak begini terus, semuanya akan selesai dengan cepat.Mobil terus melaju. Aku menatap ponsel, foto Mas Reno dan Delia bertebaran di sini. Mereka memang harusnya lebih pintar lagi."Kamu mau tau gak, Nin. Tadi pas Abang baru datang, wajah si Reno itu kayak minta ditinju."Mendengarnya, aku tertawa. Bang Tirta memegang lenganku dengan sebelah tangannya yang bebas