PART 7
"Astagfirullah ... kok pada ribut! Itu Azkia jatuh!" ucap Bulek Tarmi. Seketika aku menoleh ke asal suara.
"Hah? Azkia jatuh?" teriaku mengulang kata itu. Menghentikanku memukuli Mas Bima. Aku segera melangkah keluar. Ingin melihat kondisi Azkia. Tak kupedulikan semuanya.
"Hu hu hu, Mama!" tangis Azkia.
"Astagfirullah!" ucapku. Lutut Azkia terlihat berdarah. Segera aku menggendongnya masuk ke dalam rumah. Ternyata Abah, Emak dan Mas Bima mengikuti dan semua ikut masuk ke dalam rumah lagi.
"Emak punya bertadin, bentar, Emak ambilkan!" ucap Emak. Aku segera berlalu menuju ke dapur. Mengambilkan air dan kain. Untuk membersihkan darahnya.
"Sakit, Ma ...." isak Azkia.
"Sabar, ya, Nak! Tahan, ya! Nggak begitu sakit kok," ucapku menguatkan anak perempuan. Seraya membersihkan luka baru itu.
"Nggak becus kamu ngurus anak!" sungut Mas Bima. Segera aku menoleh ke arahnya.
"Kalau aku nggak becus, apalagi kamu!" balasku. Mas Bima terlihat sedikit terkejut. Mungkin ia pikir aku berani melawan sekarang. Kalau dulu, aku hanya menahan makian yang ia lontarkan.
"Kalau kamu becus, anak nggak akan luka seperti ini!" ucap Mas Bima.
"Sudah! Stop! sama-sama nggak becus kalian! Dan kamu, Bima! Orang dari tadi sama-sama bertengkar di sini, bisa-bisanya bilang Ratih nggak becus ngurus anak!" sungut Emak.
"Bima, pulanglah!" ucap Abah. Mas Bima menoleh ke arah Abah.
"Abah ngusir Bima?" tanya Mas Bima.
"Kalau kamu mikirnya seperti itu terserah! Abah hanya mau anak dan cucu Abah hidup tenang. Karena Abah lihat rumah tangga kalian sudah tak sehat!" jawab Abah. Aku kembali memberikan betadin kepada lutut Azkia.
"Kita ke kamar, ya, Nduk!" ajak Emak.
"Iya, Nek!" balas Azkia. Akhirnya, Azkia di gendong Emak untuk menuju ke kamar. Lebih baik seperti itu, agar Azkia tak mendengar cekcok kami.
"Bima, Emak dan Abah masih sanggup mengurus mereka. Emak percaya dengan Ratih. Emak lihat banyak sekali kebohongan di sorot matamu!" ucap Ema dengan menekan kata 'matamu', setelah itu baru melangkah menuju ke kamar.
Mas Bima terlihat diam. Mendengar ucapan Emak, hati ini sedikit lega. Semoga memang beneran percaya denganku.
"Ya, Abah kenal bagaimana sifat Ratih. Ia tak pandai berbohong. Walau sebelumnya ia pandai menutupi aibmu, tapi Abah sebenarnya tahu. Cuma karena Ratih masih memilihmu, jadi Abah tak ikut campur. Tapi kali ini, Abah harus ikut campur karena Ratih sudah menyerah. Dari pada Ratih gila hidup bersamamu!" jelas Abah.
Alhamdulillan, ternyata Abah dan Emak tetap percaya denganku. Syukurlah.
"Sudah aku duga, jelas kalian percaya dengan anak kandung kalian. Dari pada denganku yang hanya anak mantu!" ucap Mas Bima. Yang seolah masih pembelaan diri.
"Owh, jelas. Sama seperti orang tuamu bukan? Jelas lebih percaya denganmu, dari pada dengan anak menantunya bukan?" balas Abah.
Mas Bima terdiam. Seolah mati kutu. Mendengar ucapan Abah, hati ini semakin lega.
"Mental Ratih, Abah lihat sudah kena. Kalau terus-terus bersamamu, nggak bisa Abah bayangin! Abah menyesal telah memberikan anak Abah untukmu!" ucap Abah terdengar jelas dan cukup menggetarkan hati. Mas Bima terlihat memainkan bibirnya.
"Tih ... kamu yakin tak ingin pulang bersamaku?" tanya Mas Bima. Masih berani dia tanya.
"Yakin! Aku juga tak mau gila jika terus-terusan hidup bersamamu!" balasku.
"Ok! Aku pastikan kalian akan menyesal telah memperlakukan ini padaku!" sungut Mas Bima. Seolah mengancam.
"Kamu mengancam? Aku tak peduli!" sungutku.
"Ok! Aku terima tantanganmu! Siapa yang akan lebih sukses hidupnya!" ucap Mas Bima.
"Memang itu yang aku inginkan! Kamu menerima tantanganku!" balasku.
"Baiklah! Kita lihat saja! Karena tak akan ada kata maaf, karena sebelumnya, aku sudah memintamu untuk kembali!" ancam Mas Bima. Masih sempat ia mengancamku.
"Juga tak ada kata maaf untukmu! Apalagi kalau aku sudah sukses dan move on darimu!" balasku.
"Silahkan urus orang tuamu! Aku yakin ujung-ujungnya tak ada warisan. Karena pasti akan di shodaqohkan!" ucap Mad Bima, berbisik di telingaku. Terdengar menyindir di telinga ini. Kemudian ia langsung neloyor begitu saja. Tanpa pamit dengan Abah.
Entahlah, Abah dengar atau tidak. Semoga tidak. Kalaupun mau mengurus masa tua orang tua, tak sedikit pun aku mengharapkan warisan dari mereka. Karena hanya itu bukti sayangku kepada mereka.
Saat kupastikan Mas Bima benar-benar sudah keluar dari rumah Abah, tangisku semakin tumpah. Isakku semakin menjadi. Hidupku terasa hancur. Perjuanganku atas dirinya, seolah sudah tak ia ingat lagi.
"Sabar, Tih!" ucap Emak, yang entah dari kapan ia datang lagi. Kemudian menenggelamkan kepalaku di dadanya. Seolah menguatkan dan menenangkanku.
"Terimakasih, Mak! Terimakasih, Bah! Kalian percaya dengan Ratih. Tak termakan ucapan Mas Bima," ucapku.
"Kalau bukan kami orang tuamu, siapa lagi yang akan menolongmu?" tanya Abah. Ucapan Abah barusan semakin membuatku terenyuh.
Kutarik pelan badanku dari pelukan Emak. Menyeka pelan air mataku.
"Bah, jujur saja, Ratih lega, kalian tak jadi bagi warisan!" ucapku lirih. Masih ada sedikit isakan.
"Abah sebenarnya memang berniat membagi warisan. Tapi melihat istri Budi dan suamimu, jadi Abah urungkan saja! Setidaknya dari sini Abah bisa menilai mereka!" jelas Abah.
"Iya, punya mantu kok kayak gitu. Dan Budi, ya Allah ... segitu nurutnya sama Luna. Entah apa yang Luna berikan, hingga Budi senurut itu," ucap Emak.
"Entahlah! Selama anak kita masih suka, biarkan saja. Kita nggak usah ikut campur. Tapi kalau dia sudah mau bercerita, barulah kita memberikan saran dan arahan," balas Abah.
"Iya," lirih Emak.
"Azkia masih di kamar, Mak?" tanyaku. Emak mengangguk.
"Iya, udah tidur dia. Mungkin kecapekan nangis!" jawab Emak.
"Syukurlah kalau sudah tidur. Pasti masih terasa sakit cenut-cenut itu!" balasku. Emak terlihat mengangguk.
Dreet dreet dreet ....
Gawaiku terasa bergetar. Tak berselang lama berbunyi.
"Siapa?" tanya Emak. Aku mengerutkan kening, melihat layar ponselku.
"Nggak tahu, Mak, nomor baru!" balasku.
"Angkat saja, siapa tahu penting!" titah Emak. Aku segera mengangguk.
"Hallo ...." ucapku mendahului.
"Iya, hallo ... Maaf, dengan Bu Ratih, istrinya Pak Bima?" tanya balik dengan suara lelaki dari seberang. Segera aku meloundspeaker gawaiku. Agar Abah dan Emak mendengarnya juga.
"Iya, ini siapa?" tanyaku.
"Ini kami dari leasing motor, Bu. Suami Ibu belum membayar angsuran tiga bulan ini. Kami telpon tak di angkat! Ini gimana, Bu?" tanya lelaki itu.
"Maaf, Pak, kok, Bapak tahu nomor saya?" tanyaku.
"Karena Pak Bima saat peminjaman, ia mencantumkan nomor Ibu juga," jawab lelaki itu.
"Maaf, Pak. Pak Bima tak ada ijin dengan saya masalah meminjam uang. Jadi saya nggak tahu!" ucapku.
"Terus ini gimana, Bu?" tanyanya balik.
"Kalau udah tiga bulan tak bayar, tarik aja motornya!" jawabku asal.
"Iya, Bu. Memang seperti itu prosedurnya. Tapi kami masih memberikan peringatan, siapa tahu bisa membayar walau hanya satu angsuran," jelas lelaki itu.
"Maaf, Pak. Saya dan Pak Bima sudah pisah. Jadi saya tak mau tahu urusan dia lagi," ucapku.
"Owh, maaf, Bu. Kami tak tahu. Kalau gitu nanti biar kami datangi rumahnya dan mengambil motor itu!" balas lelaki dari seberang itu.
"Iya, terserah Bapak!" ucapku.
"Yaudah kalau begitu, Bu! Maaf mengganggu!" pamitnya.
"Iya," balasku.
Tit. Komunikasi terputus.
"Bima minjam uang tanpa sepengetahuanmu?" tanya Emak, setelah gawai ini benar-benar sudah terputus.
"Iya, Mak!" balasku singkat.
"Keterlaluan dia! Untuk apalah uangnya itu?" ucap Emak.
"Setidaknya Allah sudah menunjukan satu titik, bahwa pilihan yang kita ambil benar," ucap Abah. Aku mengangguk dengan cepat.
"Iya, Bah! Abah benar!" ucapku.
Ya Allah ... uang leasing motor ia gunakan untuk apa? Dan aku sama sekali tak tahu dan tak ada dia ijin denganku. Berarti aku sudah tak ia anggap selama ini. Syukurlah aku memilih lepas darinya.
Mas Bima, kita lihat saja! Bahkan kamu belum sampai rumah, Allah sudah menunjukan kalau pilihanku tepat.
Aku yakin, aku bisa bangkit walau keluar dari hidupmu, hanya modal uang dua ratus ribu itu, yang sekarang udah habis untuk bayar travel. Dan kamu, aku yakin akan terkikis perlahan.
***********
"Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam
"Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku
Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar
Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke
"Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,
"Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua