Share

Bab 8

last update Last Updated: 2022-07-08 20:08:15

Part 8

Tak terasa sudah tujuh hari aku di rumah Abah. Luka di lutut Azkia juga sudah mengering. Selama tujuh hari ini, tak ada mendengar kabar dari Mas Bima. Entah ia masih hidup atau tidak, aku juga tak tahu. Masalah leasing motor itu pun aku juga tak tahu.

Selama tujuh hari ini juga, aku mencari pekerjaan. Susah juga ternyata, tapi aku tetap semangat. Karena aku yakin, aku pasti bisa mendapatkan pekerjaan yang layak.

Pagi ini aku membantu Emak memasak. Abah sudah ke kebun. Beliau sedang menanam timun dan masih perawatan.

"Hari ini mau kemana?" tanya Emak, sambil mengupas bawang merah.

"Cari pekerjaan, Mak!" jawabku. Emak terlihat menghela napas panjang.

"Cari kerjaan susah, Tih. Mending buka usaha sendiri aja!" saran Emak.

"Usaha apa Emak? Lagian nggak ada modal!" balasku.

"Usaha apa yang kamu bisa. Tapi, memang semua tak lepas dari dana," sahut Emak. Aku mengangguk pelan.

"Iya, Mak. Makanya Ratih cari kerjaan dulu. Cari modallah istilahnya," balasku.

"Emak hanya bisa bantu doa, Nduk! Emak nggak bisa bantu apa-apa," ucap Emak. Ucapan Emak barusan terasa menyentuh di dalam sini.

"Doa Emak itu yang membuat Ratih semangat dan kuat. Dan doa Emak itu yang Ratih harapkan!" balasku. Emak terlihat meneguk ludah. Kemudian mengiris tipis bawang merah yang telah beliau kupas.

"Semoga hari ini kamu dapat kerjaan, ya, Nduk! Biar bisa membungkam mulut Bima!" harap Emak.

"Aamiin!" balasku singkat.

"Owh, ya, Emak nanti mau ke rumah Bu Harun. Mau ikut nggak?" tanya Emak.

"Emm, ada urusan apa Mak sama Bu Harun?" tanyaku balik.

"Biasalah ibu-ibu PKK," jawab Emak.

"Nggaklah, Mak! Ratih agak siangan nanti mau keluar cari kerjaan aja. Siapa tahu rejeki hari ini," balasku.

"Owh, yaudahlah! Kalau gitu nanti Azkia biar Emak bawa," ucap Emak.

"Iya, Mak. Sekali lagi, maaf, ya, Mak, ngerepotin," ucapku. Emak terlihat menggeleng.

"Nggak ada ngerepotin. Emak malah seneng kalian di sini. Jadi Emak dan Abah ada kawannya. Nggak hanya berdua. Nampaknya punya anak tiga. Giliran di masa tua kayak gini, hidup berdua lagi, heeemmm," ucap Emak.

"Iya, ya, Mak, punya anak tiga padahal," balasku.

"Makanya ... giliran udah tua gini, kayak nggak punya anak saja! Nasib! Nasib!" balas Emak. Hingga akhirnya kami tertawa lirih.

"Nanti sebelum kamu keluar, antar makanan Abah dulu, ya, ke kebun!" titah Emak.

"Iya, Mak. Pasti!" balasku. Emak terlihat menyunggingkan senyum.

Abah memang sudah berangkat ke kebun. Hanya minum kopi dan camilan ringan saja. Untuk sarapan nasinya, Abah suka di kirim. Karena kata Abah lebih terasa nikmat.

**********

"Assalamualaikum!" terdengar suara salam. Aku masih di dalam kamar. Bersiap mau keluar cari pekerjaan. Sarapan Abah juga sudah aku antar. Emak dan Azkia sudah berangkat ke rumah Bu Harun.

"Walaikum salam!" jawabku masih di dalam kamar, karena masih merapikan diri.

Aku segera keluar dari kamar. Melihat siapa yang datang.

"Owalaahh ... Mbak Luna," ucapku.

"Loh, kok, kamu masih di sini?" tanya Mbak Luna seolah terkejut melihatku.

"Emang kenapa kalau aku masih di sini? Lagian rumah orang tuaku ini," tanyaku balik. Mbak Luna terlihat memainkan bibirnya.

"Hemm ... pasti kamu mengincar warisan Abah, ya?" tuduh Mbak Luna.

"Astagfirullah!" lirihku.

"Kan Abah dulu itu memutuskan, siapa yang mau merawat Abah dan Emak sampai mereka tiada, maka warisannya akan jatuh ke orang itu. Pasti kamu ingin itukan!" terka Mbak Luna, seraya duduk di kursi.

"Suka-suka kamu lah, Mbak, mau ngomong apa! Yang penting kamu senang!" balasku.

Mbak Luna terlihat mengedarkan pandang. Ia datang seorang diri.

"Abah sama Emak kemana?" tanyanya.

"Kepo!" balasku. Mbak Luna terlihat mencebikan mulutnya.

"Ditanya baik-baik juga!" balasnya tanpa merasa bersalah, apalagi merasa berdosa. Blasss ... nggak merasa.

"Eh, kamu pasti berantem kan sama Bima? Makanya kamu masih di sini!" tanya Mbak Luna lagi.

"Kepo!" kujawab gitu lagi. Kulihat ekspresi mukanya semakin tak suka.

"Demi mendapatkan warisan. Ampe segitunya kamu Tih!" ucap Mbak Luna. Yang seolah ingin memancing emosiku.

"Anak kandung mah wajar ngarep warisan. Yang nggak wajar anak mantu yang ngarep warisan," balasku seraya memasang kaos kaki. Matanya terlihat menyalang tajam menatapku.

"Apa maksudmu ngomong kayak gitu?" tanya Mbak Luna seolah memastikan.

"Pikir aja ndiri!" balasku. Berhadapan dengan orang kayak Mbak Luna gini, tak perlu menggunakan otot. Karena hanya bikin darah tinggi saja.

"Lama-lama kamu itu nggak ada sopan-sopannya, ya, ngomong sama Ipar!" sungut Mbak Luna. Nampaknya dia yang tersulut emosinya.

"Tergantung iparnya juga, sih!" balasku semakin santai. Kuamati badan iparku itu. Mata ini melihat ada kresek hitam yang ia bawa.

Aku segera mendekati, karena penasaran isi kresek hitam itu.

"Mau nyogok Abah Emak, ya! Bawa-bawaan ginian?" ledekku gantian. Aku lihat isi kresek itu berisi sembako.

"Jangan asal nuduh kamu!" sungutnya.

"Emm, kalau gitu Mbak Luna juga jangan asal nuduh dong! Nggak enakan dibilang kayak gitu!" balasku semakin santai. Mbak Luna terlihat membuang muka.

"Mana kesininya sendirian lagi. Pasti mau carmuk, ya, sama Abah Emak!" ledekku lagi.

"Heeh ... ati-ati kalau ngomong! Mikir bikin orang sakit ati apa nggak!" sungut Mbak Luna. Nampak sekali tak terima mendengar ucapanku.

"Owwhh ... sakit hati, to! Syukurlah kalau masih punya hati! Makanya Mbak Luna juga kalau ngomong juga di pikir! Nggak enakan rasanya di gituin orang!" balasku.

"Huufft ... Ya Allah ... nggimpi apa aku tadi malam, kok, bisa-bisanya ketemu kamu! Jadi nyesel ke sini!" sungut Mbak Luna.

"Ha ha ha, pasti mimpi buruk! Ha ha ha," sengaja kuledakan tawa. Karena itu pasti akan membuatnya semakin kesal.

"Udahlah! Karena ketahuan aku pulang saja! Nyesel ke sini!" sungutnya.

"Ketahuan? Ketahuan apa? Ketahuan mau nyogok?" tanyaku. Mbak Luna terlihat membungkam reflek mulutnya.

"Eh, maksudku, karena ketemu kamu aku pulang saja. Bukan karena ketahuan. Salah ngomong! Gara-gara ketemu kamu, jadi gelepotan aku ngomong! Bay!" jelasnya, yang menurut ngasal dia.

"Ha ha ha," semakin aku ledakan tawa ini, terlihat Mbak Luna bergegas keluar dari rumah Abah dan bawaan yang ia bawa, ia bawa pulang lagi.

"Kalau memang nggak untuk nyogok Abah dan Emak, ditinggal dong bawaannya!" ledekku.

"Bay!!!" balas Mbak Luna. Kemudian segera berlalu dengan motor maticnya. Karena rumah Mbak Luna, tak jauh. Hanya beda desa saja.

Astagfirullah ... Mas Budi dulu dapat dari mana, perempuan model begitu.

Karena Mbak Luna sudah berlalu, aku segera bersiap untuk keluar. Bismillah mencari pekerjaan lagi. Semoga rejeki hari ini bagus untukku.

***********

Matahari sudah tergelincir dan aku belum medapatkan pekerjaan. Ya Allah ... sungguh susah sekali.

Karena terik matahari lagi panas-panasnya, aku memilih membeli es kocok dipinggir jalan.

Kuedarkan pandang. Keadaan sangat ramai. Kendaraan memadati jalanan. Ya Allah ... kemana lagi aku harus mencari pekerjaan?

Tiiiinnnnn ....

Suara klakson mobil cukup mengagetkanku. Segera aku menoleh ke arah mobil itu. Tak berselang lama kaca mobil itu terbuka.

"Mas Bima?" lirihku. Ia nampak mengulas senyum. Kemudian ia terlihat turun dari mobil mewah itu. Entah mobil siapa yang ia pakai.

"Gimana pisah dengan aku? Pasti kamu nyesal kan? Pasti kamu susah cari kerjaan!" ledek Mas Bima. Kuusap pelan wajahku. Aku harus terlihat santai, dan jangan sampai tersulut emosi.

"Nyesal? Sama sekali nggak Pak Bima!" balasku santai. Ia terlihat menyunggingkan senyum menjatuhkan.

"Kamu dengar Ratih! Selama kamu ada di kota ini, kamu tak akan medapatkan pekerjaan yang layak. Kalau pun dapat pekerjaan, mungkin pekerjaan yang rendahan!" ucap Mas Bima. Aku harus terus mengontrol emosi ini.

"Iyakah? Tapi, aku tak mencari pekerjaan! Pekerjaan yang menghampiriku!" balasku asal. Mas Bima terlihat melipat keningnya.

"Pekerjaan apa yang menghampirimu?" tanyanya seolah ia sangat penasaran. Aku memandang ke arah mobil mewah yang ia pakai. Mata ini melihat ada sosok wanita di dalam mobil itu.

"Ehem ... yang jelas pekerjaanku tak seperti pekerjaanmu, yang bermain dengan tante-tante begituan!" balasku. Sorot matanya seketika mendelik, dan aku aku mengulas senyum.

"Kalau kamu tahu pekerjaanku, aku takut kamu mengejar-ngejarku lagi!" ucapku lagi dan semakin santai. Dengan senyum menjatuhkan, walau sebenarnya sama sekali belum mendapatkan pekerjaan apapun.

"Emmm, sana masuk mobil! Di tungguin tuh, ntar kena pecat lagi, sebagai simpenan tante-tante! Aku mau pulang, karena mau ngabari Abah, kalau sudah aku dapatkan pekerjaan yang sangat layak!" ucapku lagi. Aku lihat tangan Mas Bima mengepal, dan aku segera berlalu.

Ya Allah ... Engkau Maha Mengetahui. Aku sengaja berbicara bohong, karena lelaki itu memang harus di gitukan.

Astagfirullah ... semoga ada pekerjaan yang layak untukku.

"Ratih! Kamu tak mungkin mendapatkan pekerjaan. Kamu hanya bohong!" sungut Mas Bima. Tak aku tanggapi, aku terus berlalu.

Entahlah, apa maksunya dia ngomong seperti itu. Apa mungkin semua bos di kota ini, sudah ia hasut. Atau tante selingkuhannya itu orang ternama di kota ini? Ah, tapi aku yakin, aku pasti medapatkan pekerjaan yang layak.

Bismillah ....

Braaagghhh ....

Tiba-tiba secara kilat, badan ini bertumburan dengan seorang Ibu-ibu yang terlihat sangat kusut dan nampak ketakutan.

"Astagfirullah!" ucapku reflek. Karena badan ini tersungkur ke tanah.

"Maaf! maaf!" ucapnya gugup.

"Nggak apa-apa. Ibu baik-baik saja?" tanyaku memastikan.

"Tolong saya! Tolong saya!" ucapnya, cukup membuatku bingung.

**********

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   TAMAT

    "Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 41

    "Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 40

    Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 39

    Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 38

    "Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 37

    "Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 36

    "Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 35

    "Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 34

    "Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status