Share

Bab 8

Part 8

Tak terasa sudah tujuh hari aku di rumah Abah. Luka di lutut Azkia juga sudah mengering. Selama tujuh hari ini, tak ada mendengar kabar dari Mas Bima. Entah ia masih hidup atau tidak, aku juga tak tahu. Masalah leasing motor itu pun aku juga tak tahu.

Selama tujuh hari ini juga, aku mencari pekerjaan. Susah juga ternyata, tapi aku tetap semangat. Karena aku yakin, aku pasti bisa mendapatkan pekerjaan yang layak.

Pagi ini aku membantu Emak memasak. Abah sudah ke kebun. Beliau sedang menanam timun dan masih perawatan.

"Hari ini mau kemana?" tanya Emak, sambil mengupas bawang merah.

"Cari pekerjaan, Mak!" jawabku. Emak terlihat menghela napas panjang.

"Cari kerjaan susah, Tih. Mending buka usaha sendiri aja!" saran Emak.

"Usaha apa Emak? Lagian nggak ada modal!" balasku.

"Usaha apa yang kamu bisa. Tapi, memang semua tak lepas dari dana," sahut Emak. Aku mengangguk pelan.

"Iya, Mak. Makanya Ratih cari kerjaan dulu. Cari modallah istilahnya," balasku.

"Emak hanya bisa bantu doa, Nduk! Emak nggak bisa bantu apa-apa," ucap Emak. Ucapan Emak barusan terasa menyentuh di dalam sini.

"Doa Emak itu yang membuat Ratih semangat dan kuat. Dan doa Emak itu yang Ratih harapkan!" balasku. Emak terlihat meneguk ludah. Kemudian mengiris tipis bawang merah yang telah beliau kupas.

"Semoga hari ini kamu dapat kerjaan, ya, Nduk! Biar bisa membungkam mulut Bima!" harap Emak.

"Aamiin!" balasku singkat.

"Owh, ya, Emak nanti mau ke rumah Bu Harun. Mau ikut nggak?" tanya Emak.

"Emm, ada urusan apa Mak sama Bu Harun?" tanyaku balik.

"Biasalah ibu-ibu PKK," jawab Emak.

"Nggaklah, Mak! Ratih agak siangan nanti mau keluar cari kerjaan aja. Siapa tahu rejeki hari ini," balasku.

"Owh, yaudahlah! Kalau gitu nanti Azkia biar Emak bawa," ucap Emak.

"Iya, Mak. Sekali lagi, maaf, ya, Mak, ngerepotin," ucapku. Emak terlihat menggeleng.

"Nggak ada ngerepotin. Emak malah seneng kalian di sini. Jadi Emak dan Abah ada kawannya. Nggak hanya berdua. Nampaknya punya anak tiga. Giliran di masa tua kayak gini, hidup berdua lagi, heeemmm," ucap Emak.

"Iya, ya, Mak, punya anak tiga padahal," balasku.

"Makanya ... giliran udah tua gini, kayak nggak punya anak saja! Nasib! Nasib!" balas Emak. Hingga akhirnya kami tertawa lirih.

"Nanti sebelum kamu keluar, antar makanan Abah dulu, ya, ke kebun!" titah Emak.

"Iya, Mak. Pasti!" balasku. Emak terlihat menyunggingkan senyum.

Abah memang sudah berangkat ke kebun. Hanya minum kopi dan camilan ringan saja. Untuk sarapan nasinya, Abah suka di kirim. Karena kata Abah lebih terasa nikmat.

**********

"Assalamualaikum!" terdengar suara salam. Aku masih di dalam kamar. Bersiap mau keluar cari pekerjaan. Sarapan Abah juga sudah aku antar. Emak dan Azkia sudah berangkat ke rumah Bu Harun.

"Walaikum salam!" jawabku masih di dalam kamar, karena masih merapikan diri.

Aku segera keluar dari kamar. Melihat siapa yang datang.

"Owalaahh ... Mbak Luna," ucapku.

"Loh, kok, kamu masih di sini?" tanya Mbak Luna seolah terkejut melihatku.

"Emang kenapa kalau aku masih di sini? Lagian rumah orang tuaku ini," tanyaku balik. Mbak Luna terlihat memainkan bibirnya.

"Hemm ... pasti kamu mengincar warisan Abah, ya?" tuduh Mbak Luna.

"Astagfirullah!" lirihku.

"Kan Abah dulu itu memutuskan, siapa yang mau merawat Abah dan Emak sampai mereka tiada, maka warisannya akan jatuh ke orang itu. Pasti kamu ingin itukan!" terka Mbak Luna, seraya duduk di kursi.

"Suka-suka kamu lah, Mbak, mau ngomong apa! Yang penting kamu senang!" balasku.

Mbak Luna terlihat mengedarkan pandang. Ia datang seorang diri.

"Abah sama Emak kemana?" tanyanya.

"Kepo!" balasku. Mbak Luna terlihat mencebikan mulutnya.

"Ditanya baik-baik juga!" balasnya tanpa merasa bersalah, apalagi merasa berdosa. Blasss ... nggak merasa.

"Eh, kamu pasti berantem kan sama Bima? Makanya kamu masih di sini!" tanya Mbak Luna lagi.

"Kepo!" kujawab gitu lagi. Kulihat ekspresi mukanya semakin tak suka.

"Demi mendapatkan warisan. Ampe segitunya kamu Tih!" ucap Mbak Luna. Yang seolah ingin memancing emosiku.

"Anak kandung mah wajar ngarep warisan. Yang nggak wajar anak mantu yang ngarep warisan," balasku seraya memasang kaos kaki. Matanya terlihat menyalang tajam menatapku.

"Apa maksudmu ngomong kayak gitu?" tanya Mbak Luna seolah memastikan.

"Pikir aja ndiri!" balasku. Berhadapan dengan orang kayak Mbak Luna gini, tak perlu menggunakan otot. Karena hanya bikin darah tinggi saja.

"Lama-lama kamu itu nggak ada sopan-sopannya, ya, ngomong sama Ipar!" sungut Mbak Luna. Nampaknya dia yang tersulut emosinya.

"Tergantung iparnya juga, sih!" balasku semakin santai. Kuamati badan iparku itu. Mata ini melihat ada kresek hitam yang ia bawa.

Aku segera mendekati, karena penasaran isi kresek hitam itu.

"Mau nyogok Abah Emak, ya! Bawa-bawaan ginian?" ledekku gantian. Aku lihat isi kresek itu berisi sembako.

"Jangan asal nuduh kamu!" sungutnya.

"Emm, kalau gitu Mbak Luna juga jangan asal nuduh dong! Nggak enakan dibilang kayak gitu!" balasku semakin santai. Mbak Luna terlihat membuang muka.

"Mana kesininya sendirian lagi. Pasti mau carmuk, ya, sama Abah Emak!" ledekku lagi.

"Heeh ... ati-ati kalau ngomong! Mikir bikin orang sakit ati apa nggak!" sungut Mbak Luna. Nampak sekali tak terima mendengar ucapanku.

"Owwhh ... sakit hati, to! Syukurlah kalau masih punya hati! Makanya Mbak Luna juga kalau ngomong juga di pikir! Nggak enakan rasanya di gituin orang!" balasku.

"Huufft ... Ya Allah ... nggimpi apa aku tadi malam, kok, bisa-bisanya ketemu kamu! Jadi nyesel ke sini!" sungut Mbak Luna.

"Ha ha ha, pasti mimpi buruk! Ha ha ha," sengaja kuledakan tawa. Karena itu pasti akan membuatnya semakin kesal.

"Udahlah! Karena ketahuan aku pulang saja! Nyesel ke sini!" sungutnya.

"Ketahuan? Ketahuan apa? Ketahuan mau nyogok?" tanyaku. Mbak Luna terlihat membungkam reflek mulutnya.

"Eh, maksudku, karena ketemu kamu aku pulang saja. Bukan karena ketahuan. Salah ngomong! Gara-gara ketemu kamu, jadi gelepotan aku ngomong! Bay!" jelasnya, yang menurut ngasal dia.

"Ha ha ha," semakin aku ledakan tawa ini, terlihat Mbak Luna bergegas keluar dari rumah Abah dan bawaan yang ia bawa, ia bawa pulang lagi.

"Kalau memang nggak untuk nyogok Abah dan Emak, ditinggal dong bawaannya!" ledekku.

"Bay!!!" balas Mbak Luna. Kemudian segera berlalu dengan motor maticnya. Karena rumah Mbak Luna, tak jauh. Hanya beda desa saja.

Astagfirullah ... Mas Budi dulu dapat dari mana, perempuan model begitu.

Karena Mbak Luna sudah berlalu, aku segera bersiap untuk keluar. Bismillah mencari pekerjaan lagi. Semoga rejeki hari ini bagus untukku.

***********

Matahari sudah tergelincir dan aku belum medapatkan pekerjaan. Ya Allah ... sungguh susah sekali.

Karena terik matahari lagi panas-panasnya, aku memilih membeli es kocok dipinggir jalan.

Kuedarkan pandang. Keadaan sangat ramai. Kendaraan memadati jalanan. Ya Allah ... kemana lagi aku harus mencari pekerjaan?

Tiiiinnnnn ....

Suara klakson mobil cukup mengagetkanku. Segera aku menoleh ke arah mobil itu. Tak berselang lama kaca mobil itu terbuka.

"Mas Bima?" lirihku. Ia nampak mengulas senyum. Kemudian ia terlihat turun dari mobil mewah itu. Entah mobil siapa yang ia pakai.

"Gimana pisah dengan aku? Pasti kamu nyesal kan? Pasti kamu susah cari kerjaan!" ledek Mas Bima. Kuusap pelan wajahku. Aku harus terlihat santai, dan jangan sampai tersulut emosi.

"Nyesal? Sama sekali nggak Pak Bima!" balasku santai. Ia terlihat menyunggingkan senyum menjatuhkan.

"Kamu dengar Ratih! Selama kamu ada di kota ini, kamu tak akan medapatkan pekerjaan yang layak. Kalau pun dapat pekerjaan, mungkin pekerjaan yang rendahan!" ucap Mas Bima. Aku harus terus mengontrol emosi ini.

"Iyakah? Tapi, aku tak mencari pekerjaan! Pekerjaan yang menghampiriku!" balasku asal. Mas Bima terlihat melipat keningnya.

"Pekerjaan apa yang menghampirimu?" tanyanya seolah ia sangat penasaran. Aku memandang ke arah mobil mewah yang ia pakai. Mata ini melihat ada sosok wanita di dalam mobil itu.

"Ehem ... yang jelas pekerjaanku tak seperti pekerjaanmu, yang bermain dengan tante-tante begituan!" balasku. Sorot matanya seketika mendelik, dan aku aku mengulas senyum.

"Kalau kamu tahu pekerjaanku, aku takut kamu mengejar-ngejarku lagi!" ucapku lagi dan semakin santai. Dengan senyum menjatuhkan, walau sebenarnya sama sekali belum mendapatkan pekerjaan apapun.

"Emmm, sana masuk mobil! Di tungguin tuh, ntar kena pecat lagi, sebagai simpenan tante-tante! Aku mau pulang, karena mau ngabari Abah, kalau sudah aku dapatkan pekerjaan yang sangat layak!" ucapku lagi. Aku lihat tangan Mas Bima mengepal, dan aku segera berlalu.

Ya Allah ... Engkau Maha Mengetahui. Aku sengaja berbicara bohong, karena lelaki itu memang harus di gitukan.

Astagfirullah ... semoga ada pekerjaan yang layak untukku.

"Ratih! Kamu tak mungkin mendapatkan pekerjaan. Kamu hanya bohong!" sungut Mas Bima. Tak aku tanggapi, aku terus berlalu.

Entahlah, apa maksunya dia ngomong seperti itu. Apa mungkin semua bos di kota ini, sudah ia hasut. Atau tante selingkuhannya itu orang ternama di kota ini? Ah, tapi aku yakin, aku pasti medapatkan pekerjaan yang layak.

Bismillah ....

Braaagghhh ....

Tiba-tiba secara kilat, badan ini bertumburan dengan seorang Ibu-ibu yang terlihat sangat kusut dan nampak ketakutan.

"Astagfirullah!" ucapku reflek. Karena badan ini tersungkur ke tanah.

"Maaf! maaf!" ucapnya gugup.

"Nggak apa-apa. Ibu baik-baik saja?" tanyaku memastikan.

"Tolong saya! Tolong saya!" ucapnya, cukup membuatku bingung.

**********

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status