Part 6
Mas Bima sudah duduk tak jauh dari Abah. Pun aku juga ikut duduk. Penasaran juga, apa yang ingin Abah sampaikan kepada Mas Bima.
Mas Bima terlihat menundukan pandang. Seperti itulah lelaki ini. Bermuka dua kalau aku bilang. Karena dia selalu terlihat manis jika di depan semua orang, terutama orang tuaku. Tapi terlihat menyebelkan jika di hadapanku sendiri.
Abah terlihat menatap tajam ke arah Mas Bima. Tatapan tajam Abah itu, terlihat cukup membuat Mas Bima gerogi. Terbukti ia terlihat tak nyaman duduknya Berkali-kali membenahi posisi.
Sebenarnya aku juga merasa tak nyaman. Karena aku sendiri faham betul watak lelaki bergelar suamiku ini. Bisa saja dia berbalik kata, seolah aku yang salah. Hemm ... tapi aku percaya sama Abah. Karena Abah bukan tipikal orang yang gampang percaya. Bukan orang yang menelan mentah-mentah apa yang beliau dengar.
Aku lihat Emak keluar dari dapur. Kemudian mengarah kepada kami. Matanya terlihat menyipit. Kemudian memutuskan untuk melangkah mendekat. Duduk di sebelah Abah. Sedangkan Azkia, dia bermain di luar. Karena di sini, ia memiliki teman yang seusianya. Cucunyanya Bulek Tarmi. Tetangga Emak sebelah rumah.
"Kalian ada masalah?" tanya Abah, yang seolah tak tahu apa-apa. Padahal aku sudah cerita semuanya. Mas Bima melirikku, begitupun aku. Jadi kami saling melirik.
"Kalau ada masalah itu diselesaikan baik-baik. Itu pun kalau bisa. Kalau nggak bisa setidaknya jangan terlantarkan anak orang!" sahut Emak, yang mana raut wajahnya, semenjak Mas Bima datang, sudah terlihat tak suka.
"Bima, bisa jawab?" tanya Abah. Mas Bima terlihat menegakan kepala dan membalas tatapan Abah.
"Kami memang lagi ada sedikit masalah, Bah!" jawab Mas Bima pelan.
Sedikit? Sedikit ia bilang? Benar-benar keterlaluan lelaki ini.
"Kalau sedikit, kenapa anak istrimu sendirian datang ke sini?" tanya Abah lebih menekan. Mas Bima terlihat meneguk ludah.
"Saya lagi banyak kerjaan. Jadi nggak bisa mengantar Ratih," jawabnya.
"Banyak kerjaan, nafkah yang sampai ke Ratih harusnya banyak donk!" sungut Emak. Mas Bima sedikit menoleh ke arah Emak.
"Maksud Emak apa, ya? Apa Ratih sudah ngadu hal-hal yang nggak penting?" tanya balik Mas Bima.
Hah? Nggak penting katanya? Hati ini rasanya bergemuruh hebat.
"Emmm ...."
"Ratih nggak ada cerita apa-apa. Tapi dia datang ke sini dengan tangan kosong. Emak kenal Ratih. Kalau dia kamu kasih uang lebih, nggak mungkin ia datang kosongan, walau hanya jeruk setengah kilo pasti ia bawa. Itu saja sudah menceritakan semuanya! Sudah menceritakan bagaimana keadaan kalian. Padahal kamu lelaki bergaji!" ucap Emak, memotong ucapanku.
Hanya uang dua ratus ribu yang Mas Bima berikan. Hanya cukup untuk biaya travel, berdua dengan Azkia. Biasaya aku selalu membawa gula, kopi dan jajan-jajan, itu pun hasil aku menyisihkan uang belanja. Biar Emak dan Abah tahunya aku banyak duit. Karena menutupi aib Mas Bima juga. Tapi, yang di tutup-tutupi malah semakin menjadi dan keenakan.
"Saya belum gajian saat Ratih ke sini. Tapi kan saya sudah bawa oleh-oleh banyak!" bela Mas Bima.
Belum gajian? Pintar sekalo ia ngomong. Jelas-jelas sudah gajian, tapi uang gaji berbagi ke ibunya. Bahkan lebih banyak ke Ibu dari pada ke aku istrinya.
"Sebenarnya, kami tak menginginkan oleh-oleh dari anak. Tapi itu bisa kami nilai. Dan kamu datang ke sini, bukan demi anak dan istrimu, tapi demi warisan yang kamu dengar dari Luna kan?" ucap Abah. Mas Bima terlihat menyeka dahinya.
"Bukan seperti itu, Bah!" sahut Mas Bima. teelihat masih ingin membela diri.
"Lalu seperti apa?" tanya Abah lagi.
Mas Bima terlihat menghela panjang napasnya.
"Saya yakin kalian sudah di aduin oleh Ratih! Jadi apapun yang akan saya katakan, seolah percuma," ucap Mas Bima.
"Abah bukan orang yang gampang percaya dan menelan mentah-mentah informasi yang Abah dengar. Dan kamu tahu itukan? Sudah berapa tahun kamu menjadi menantu Abah, harusnya kamu tahu itu!" balas Abah. Mas Bima terlihat menunduk lagi.
"Ratih menantang Bima untuk ceria. Dan saya pantang untuk di tantang. Apalagi perempuan yang menantang!" ucap Mas Bima.
"Hah? Nggak kebalik?" sahutku. Mas Bima menoleh ke arahku, dengan tatapan mata yang mengerikan. Khas dia kalau lagi mau marah.
Biasaya kalau dia sudah menunjukan ekspresi ketidaksukaannya, hatiku selalu menciut. Tapi, tidak untuk kali ini. Karena cukup harga diri ini di injak-injak. Terlalu lama aku hanya menahan di dalam sini. Uneg-uneg ini siap aku ledakan.
"Ratih! Cukup! Tak usah banyak drama! Kamu itu memang pintar membolak balikan cerita! Menambahi dan memotong ucapan, itu kamu lebih pandai. Sehingga aku yang selalu dapat imbasnya!" ucap Mas Bima. Mataku mendelik, seolah ia memojokanku agar Abah dan Emak marah padaku.
"Hah? Kamu yang membolak balikan cerita. Bukan aku!" sungutku.
"Tuh kan, Bah, Mak! Padahal aku berbicara pelan, agar tak semakin melebarkan masalah. Dan kalian dengar sendiri, putri kalian menjawabnya dengan kasar. Dan selalu seperti ini. Mungkin ia bercerita ke orang-orang aku suami yang dzolim! Padahal kelakuan dia yang memancing diri ini untuk dzolim!" ucap Mas Bima.
Sungguh ia memang ular berbisa. Yang siap mematikan lawan, dan bisa membolak balikan keadaan.
"Mas! Jangan fitnah kamu! Yang ada selaman ini, aku terdzolimi!" sungutku, yang mana emosi ini semakin tak bisa terkontrol.
"Ratih! Cukup! Kalau kamu nggak mau aku ajak pulang, silahkan di sini sesukamu! Tapi setidaknya jangan menjelek-jelekan suami. Karena kamu bisa kualat!" ucap Mas Bima. Sungguh benar-benar menyulut emosiku.
"Abah, Emak! Aku nggak bohong! Apa yang aku sampaikan kepada kalian, Ratih nggak bohong. Ratih berani sumpah!" ucapku.
"Tuhkan, benar dugaanku. Kamu telah cerita masalah ribut kita, yang menurutku masih dalam tahap wajar. Gitu Emak ngakunya Ratih tak cerita apa-apa. Lalu siapa yang bohong di sini?" tanya Mas Bima.
Sialan! Aku terjebak dengan ucapan ini ternyata. Mas Bima benar-benar pandai mematikan lawan. Aku menoleh ke arah Emak. Beliau nampak tercengang.
"Cukup! Kamu keterlaluan! Kamu bolak balikan keadaan," sungutku.
"Sudahlah Ratih. Semakin kamu ngegas, semakin membuktikan kalau kamu memang salah. Tapi kalau kamu tak merasa apa yang telah aku lemparkan, harusnya kamu santai. Jadi terserah Emak dan Abah, kalian percaya sama siapa? Tapi, jelas lebih percaya sama Ratih lah. Secara ia anak kandung kalian. Aku apalah. Hanya menantu di sini! Jadi ucapan menantu jelas di kesampingkan!" jelas Mas Bima.
Ucapannya semakin membuat hati terasa remuk redam. Ingin sekali aku memukuli tubuhnya. Karena merasa tak terima dengan apa yang ia katakan. Semua fitnah.
"Bima permisi! Karena percuma juga saya lama-lama di sini. Karena keberadaan saya tak di anggap. Dan kalian telah percaya dengan Ratih," pamitnya.
Mas Bima terlihat menyalami Emak dan Abah. Walau raut wajah Emak dan Abah, terlihat bingung.
"Kamu Ratih! Pintu rumah selalu terbuka untukmu. Semoga kamu puas telah memfitnah dan menjelek-jelekan aku di depan orang tuamu, bahkan didepan semua orang. Tapi tenang saja. Aku tak marah. Karena kamu memang seperti itu dan aku tahu. Mungkin bagi yang tak tahu, aku selalu salah dan tega dengan istri. Tapi biarlah, suami memang tempatnya salah, walau sebenarnya istri yang melakukan kesalahan!" ucap Mas Bima. Semakin menarik emosi ini hingga ke ubun-ubun.
"Kelewatan kamu, Mas!!!" teriakku dan menonjoki badan lelaki pengec*t itu, sesukaku dan sekenaku.
"Ratih! Cukup!" teriak Emak.
Mas Bima semakin terlihat terdzolimi karena ia tak membalas. Tapi aku terus lakukan serangan. Karena kapan lagi bisa memukuli ia suka-suka seperti ini.
Terserah Abah dan Emak bagaimana menilaiku. Semoga Abah dan Emak masih percaya denganku.
"Cukup Ratih! Cukup! Aku sudah telalu lama ngalah sama kamu! Tapi kamu semakin keterlaluan. Semakin semena-mena sama suami!" ucap Mas Bima, yang mana semakin membuatku geram.
*********
"Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam
"Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku
Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar
Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke
"Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,
"Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua