"Punya satu Harison saja sudah cukup merepotkan, kalau ditambah Devon juga, aku takut Alin nggak akan sanggup. Oh, ya, katanya Devon disuruh Tuan Besar Rekasa jadi asistennya Harison.""Dengan sikap Devon yang seperti itu, disuruh jadi asisten jauh lebih menyakitkan daripada langsung diusir dari perusahaan. Sepertinya dia malu, makanya nggak cerita apa-apa ke Alin."Arifin bergumam, tidak menyadari ekspresi ibunya yang makin suram."Sudah, jangan ngomong lagi."Imelda menyikut Arifin sambil tersenyum ke arah tangga. "Alin, kenapa turun?"Mendengar itu, Arifin langsung panik. Dia duduk tegak dan mengikuti arah pandangan ibunya. Dia tersenyum canggung. "Alin, sejak kapan kamu ….""Saat kamu mulai bahas skandal Devon."Alina turun perlahan. "Sebenarnya aku sudah tahu dari dulu kalau dia nggak jujur. Dia terus menunda-nunda dan nggak pernah kasih penjelasan. Waktu itu aku sudah kecewa.""Kalian nggak perlu khawatir. Aku bukan diriku yang tiga tahun lalu. Aku nggak mudah terluka lagi. Kita
Panti jompo.Setelah memastikan Rekasa nyaman, Alyana menyerahkan perawatannya pada kepala pelayan, lalu keluar dari kamar dan melihat Nathan sedang berbincang dengan dokter di lorong.Mungkin karena menyadari pandangannya, Nathan menoleh sekilas padanya, lalu mengakhiri pembicaraannya dengan dokter.Saat melihat dokter itu pergi, Alyana pun mendekatinya. "Tadi kalian ngobrol apa?""Jacob menitipkan catatan medis Rekasa padaku untuk diserahkan ke dokter di sini, supaya mereka bisa lebih mudah merawatnya."Saat berbicara, pandangan Nathan melewati Alyana, menatap ke arah kamar. "Apa Tuan Besar Rekasa baik-baik saja?"Alyana menahan tawanya dan pura-pura marah sambil melotot padanya. "Baru sekarang kamu peduli soal kondisi mental Kakek Rekasa? Waktu menyuruh orang ribut di depan rumah Keluarga Gandhi, kenapa nggak mikir dulu?""Kakek Rekasa sudah menjaga nama baik Keluarga Gandhi seumur hidupnya, tapi kamu malah buat dia nggak bisa tinggal di rumah itu. Menurutmu, perasaannya akan baik-b
"Nggak, Nak, mana mungkin kamu nggak berguna? Ini salah Ibu yang ….""Sudahlah, jangan bicara lagi."Harison melihat ke arah Gino yang baru saja pergi, sorot matanya sulit ditebak. "Segala sesuatu yang menjadi milikku, nggak akan aku lepaskan. Nanti, aku akan buat Ibu bisa berjalan dengan kepala tegak di keluarga ini."Janet memandang hasrat dan ambisi yang mulai bangkit di mata Harison, hatinya dipenuhi kebanggaan. "Oke, Ibu percaya padamu."...Keesokan paginya, suara pelayan yang sibuk mengangkat koper membangunkan semua penghuni rumah lama itu.Gino segera menarik sang kepala pelayan dan bertanya, "Kalian sedang apa?""Tuan Besar Rekasa ingin pergi ke tempat lain untuk pemulihan.""Ke mana?" Gino lanjut bertanya."Aku belum tahu, tergantung arahan Pak Nathan."Mendengar itu, hati Gino langsung mencelos. Dalam situasi seperti ini, kenapa Nathan harus ikut campur?Tidak bisa! Rekasa tak boleh meninggalkan rumah ini!Kalau sampai pergi dan tak ada kesempatan bertemu lagi, bukankah mas
"Devon akan jadi asistenmu!"Janet dan Cecilia pulang agak telat. Mereka tak sempat menyaksikan langsung keributan tadi. Semua kejadian itu mereka ketahui dari cerita kepala pelayan.Saat ini, Janet mencengkeram lengan Harison erat-erat. "Harison, kamu akhirnya bisa bernapas lega. Kali ini Devon buat Tuan Besar Rekasa marah. Dalam waktu dekat, kecil kemungkinan dia bisa ambil hatinya lagi.""Kita tinggal manfaatkan kesempatan ini untuk tampil baik di depan beliau. Posisi pewaris Keluarga Gandhi akan aman di tangan kita!"Ucapan Janet itu tak luput dari telinga Gino.Baru saja dia kembali dari halaman setelah menelepon, karena ponsel Devon tak bisa dihubungi, dia sudah menyuruh pengawal mencari Devon agar tak terjadi hal buruk lagi.Tadinya Gino sudah cukup stres, kini mendengar ucapan itu justru membuatnya makin kesal."Mimpi!"Suara Gino terdengar tiba-tiba dan membuat Janet terkejut.Harison menatap dingin ke arahnya, bahkan enggan memanggilnya ayah. Harison hanya menatap pria itu ta
Rekasa tampak sangat kecewa. "Devon, Kakek tahu hidupmu nggak mudah. Karena itu, apa pun cara ayahmu memanjakanmu, aku nggak pernah ikut campur.""Tapi, aku nggak menyangka dia bisa sebegitu kelewat batas sampai membuatmu tumbuh jadi anak kurang ajar dan nggak tahu aturan!""Kakek, aku benaran ….""Cukup."Gino menghentikan Devon, sudah bisa menangkap maksud Rekasa.Kalau gadis itu tak diberi penjelasan yang memuaskan hari ini, kapan pun dia bisa mengorbankan Devon demi menjaga nama baik Keluarga Gandhi.Gino menatap ayahnya dan berkata dengan nada serius, "Ayah, terserah bagaimana Ayah ingin menangani Devon. Aku nggak akan menghalangi.""Ayah!"Devon berseru panik, tetapi langsung terdiam saat melihat tatapan peringatan dari Gino.Suasana di dalam ruangan terasa mencekam.Suara Rekasa terdengar serak, "Nak, keluarga kami akan memberimu kompensasi. Lalu, anak nakal ini akan diturunkan jabatannya jadi asisten manajer umum. Aku yakin adiknya bisa mengawasinya dengan baik.""Kakek!"Devon
Mendengar teriakan lantang Devon yang begitu yakin, tubuh gadis itu gemetar makin hebat. Air matanya jatuh tanpa henti seperti untaian mutiara yang putus."Kamu ... Bagaimana bisa memutarbalikkan fakta seperti itu?"Gadis itu menggigit bibir kuat-kuat, matanya yang merah menatap tajam ke arah Devon."Aku memutarbalikkan fakta?"Devon sama sekali tak merasa bersalah. "Kamu jelas-jelas mendekatiku supaya bisa jadi karyawan tetap. Masih muda, tapi otaknya licik, aku benar-benar tertipu! Kukira kamu polos, ternyata kamu lebih ambisius dari siapa pun!""Kamu datang ke depan kakekku hari ini dan ngomong sembarangan, semua itu demi uang, 'kan?""Oh, ya, aku ingat! Ibumu 'kan dirawat di rumah sakit dan butuh biaya! Kalau kamu butuh uang, tinggal bilang sama aku! Tapi, kamu malah pakai cara begini buat memeras! Percaya nggak, aku bisa laporkan kamu ke polisi biar kamu ditangkap atas tuduhan pencemaran nama baik?""Silakan!"Gadis itu berteriak dengan lantang sambil mengangkat kedua tangan, seol