Share

2. berubah

"Apa maksud mu, Mas?" Bella terlihat binggung mendengar pertanyaan Keenan.

Melihat raut wajah binggung Bella, Keenan langsung tersadar apa yang baru saja dia ucapkan.

"M-maksudku, ini bener punyamu?" Keenan terlihat gugup dan Bella menyadari itu.

"Iya, Mas. Ini punyaku." Bella menatap manik mata Keenan yang tidak mau bersitatap.

"Aku mengeceknya lima hari yang lalu, awalnya aku pun tak percaya, tapi aku mengeceknya berulangkali dan hasilnya sama," lanjutnya.

Keenan menatap Bella, kemudian menghela napas panjang.

"Terima kasih, Sayang." Keenan langsung memeluk Bella erat, yang di balas tak kalah erat oleh Bella.

Entah kenapa Bella malah menangis, raut wajah Keenan yang seperti meragukan kandungannya, terekam jelas di ingatan Bella.

Menyadari Bella menangis, Keenan melerai pelukan mereka. "Kenapa menangis, hm?" Keenan menangkup wajah Bella dengan kedua tangan kekarnya.

Bella menggeleng. "Ini tangisan bahagia, Mas. Kamu bahagia kan, Mas?"

Keenan tidak langsung menjawab melainkan mengecup terlebih dahulu kening dan juga pipi Bella yang basah.

"Bella, kau tak perlu menanyakan hal yang sudah pasti jawabannya," jawab Keenan. Dia menarik kembali Bella kedalam pelukannya.

Mendengar itu, air mata Bella semakin mengalir deras, dia tau Keenan bukan tipe orang yang seperti ini. Jika ditanya sesuatu, Keenan pasti akan menjawab langsung jawaban yang dia rasakan, bukan jawaban seperti ini.

Entah karena hormon kehamilan, atau memang perasaan Bella saja, dia merasa Keenan tidak sebahagia dirinya.

Merasa Bella sudah tidak menangis, Keenan melerai kembali pelukan mereka. "Ini sudah malam, sebaik kita masuk, Sayang. Angin malam tak bagus untukmu."

"Tapi, Mas. Itu kuenya belum di makan." Bella menatap kue yang masih utuh.

"Besok kita makan, kamu pasti capek, sekarang kita tidur," ucap Keenan dengan lembut.

Bella mengangguk, Keenan langsung menggendong Bella dengan perlahan membawanya masuk kedalam kamar.

Keenan membaringkan tubuh Bella perlahan. "Kamu tidur duluan saja, Mas mau mandi dulu."

Bella yang memang merasa malam ini sangat lelah, mengangguk. Kemudian memejamkan matanya menyelusuri Alam mimpi.

Merasa Bella sudah tidur dengan pulas, Keenan menatap kearah perut Bella, dia dengan perlahan membawa tangannya untuk mengelus perut itu.

"Ini bener nyata?" gumamnya.

"Kau benar benar, benih dariku?"

"Apakah mungkin?"

Keenan memejamkan matanya, merasa pusing dengan asumsi pemikirannya sendiri. Dengan perlahan dia mendekat wajahnya ke arah perut Bella.

"Semoga, kau tidak mengecewakanku." Keenan mengecup perut itu, kemudian mengecup seluruh wajah sang istri yang sudah terlihat sangat pulas.

Keenan kemudian beranjak dari sana, membawa langkahnya ke arah kamar mandi, sepertinya dia membutuhkan air dingin untuk menjernihkan pikirannya.

* * * *

Cahaya matahari masuk kedalam kamar, membangunkan sosok perempuan yang sedari malam tertidur pulas.

Bella menggeliatkan tubuhnya, melirik ke samping, terlihat binggung karena tidak melihat sosok Keenan di sampingnya.

"Mas," panggilnya lumayan keras.

Merasa tidak ada sahutan, Bella beranjak dari sana, mencari Keenan ke dalam kamar mandi yang ternyata kosong, dia berjalan ke lantai bawah, mencari ke setiap ruangan dan tidak menemukan Keenan.

Dengan perasaan yang tak karuan, Bella berjalan cepat kembali ke kamarnya, sampainya di sana, dia langsung mengambil ponsel untuk menghubungi Keenan.

Panggilan pertama tidak ada jawaban, membuat badan Bella terlihat sedikit bergetar karena panik, hingga panggilan ke lima, Keenan mengangkatnya.

"Hallo." Bella menghela nafas lega mendengar suara Keenan.

"Mas, kamu dimana? Aku cari kamu ke mana-mana tapi nggak ada, kamu kemana, Mas?" Bella bertanya dengan nafas yang masih naik turun.

"Maaf, Sayang. Aku sekarang lagi di kantor, ada rapat penting pagi ini yang gak bisa aku tunda," jelas Keenan.

"Bukankah hari ini, hari Minggu, Mas?" tanya Bella binggung.

"Iya, Sayang. Tapi ini bener bener gak bisa di tunda, jadi aku harus masuk hari ini."

Bella terdiam. "Sayang," sahut Keenan di sebrang sana.

"Iya, Mas?"

"Sore ini aku pasti pulang, aku gak bakal terlalu lama di sini."

"Iya, Mas."

"Ya sudah, Mas mau lanjut rapat lagi, nanti Mas telpon lagi." Tanpa menunggu balasan dari Bella, Keenan langsung memutuskan sambungan telpon mereka.

Bella langsung melemparkan ponselnya ke sembarang arah, dia duduk di pinggir ranjangnya, melamun memikirkan sikap Keenan yang tidak biasa.

Dari awal pernikahan, Keenan tidak pernah meninggalkannya tanpa pamit seperti ini, biasanya jika ada rapat penting pun Keenan pasti akan membangunkannya terlebih dahulu, agar jika bangun nanti, Bella tidak kebingungan seperti tadi.

Dan lagi, Keenan tadi menutup langsung panggilan mereka, di mana hal itu tidak pernah Keenan lakukan sekali pun selama mereka menjalani pernikahan, dan ini yang pertama membuat Bella benar benar kebingungan.

Bella menghela napas, tidak tahu apa yang harus dia lakukan sekarang, dia kemudian merebahkan kembali tubuhnya di kasur, memejamkan mata agar pikirannya tidak membuat asumsi sendiri.

* * * *

Setelah memutuskan sambungan sepihak, Keenan mengacak rambutnya gusar, dia sendiri tidak tahu kenapa bisa seperti ini, semalaman dia tidak bisa tidur memikirkan segala sesuatu yang membuat dadanya sesak hingga sekarang.

Keenan termenung, dia tahu Bella pasti sekarang sedang kebingungan dengan sikapnya yang seperti ini. Dia mengambil kembali ponselnya, melihat foto Bella yang terpampang di layar ponsel membuat Keenan seketika merasa bersalah.

Baru kali ini Keenan berbohong kepada Bella, sebenernya dia ke kantor hanya untuk menenangkan pikirannya saja, di kantor bahkan tidak ada siapapun selain Zio sekertarisnya, karena hari ini semua karyawan libur.

Ketukan di pintu, membuat Keenan tersadar, dia melihat Zio yang sudah masuk keruangan nya.

"Ada apa?" tanyanya.

"Begini, Tuan. Tuan Edward menelepon saya, jika lusa tidak bisa datang ke sini, kebetulan penyakit jantungnya kambuh. Beliau berkata jika tuan Keenan berkenan, dia ingin tuan yang datang kesana," jelas Zio dengan sopan.

Keenan mengangguk paham, kerja sama kali ini sebenarnya tidak terlalu penting, karena tuan Edward pun masih sangat di bawahnya, tapi sepertinya pergi keluar negeri sebentar bisa membuat pikirannya sedikit lebih tenang.

"Bilang kepadanya, jika aku akan kesana, dan hari ini kita berangkat, kau urus semuanya." Zio mengangguk.

"Kalau begitu saya urus sekarang, Tuan," pamit Zio,

Baru saja Zio berbalik, Keenan kembali berucap.

"Tunggu," sahut Keenan.

Zio berbalik kembali, "Iya, Tuan?"

"Zio, aku juga punya satu tugas lagi untuk mu." Zio mengangguk menunggu perintah.

"Kau ...."

* * * *

Hari sudah siang tapi sampai sekarang Keenan belum juga menelpon Bella. Bella kini berada di dapur, memasak makanan kesukaan Keenan untuk nanti malam.

Bella dengan semangat memasak banyak menu, dia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan banyak hal, jadi dengan semangatnya Bella melakukan sesuatu untuk memperbaik suasana hatinya.

Hingga sore Bella baru selesai, dengan senyum yang terpancar di wajahnya dia berjalan ke atas untuk mandi agar nanti ketika menyambut Keenan Bella sudah fresh kembali.

Di kamar Bella mengecek ponselnya terlebih dahulu, yang ternyata tidak ada panggilan atau pun pesan masuk dari Keenan.

Menghela napas panjang Bella menaruh ponselnya, beranjak dari sana lalu melakukan kegiatan yang tadi sempat tertunda.

Selepas mandi, Bella menunggu Keenan di ruang tamu, pelayan jam segini sudah pulang semua, hanya ada satpam yang menjaga di luar.

Mendengar suara mobil, Bella dengan antusias berjalan cepat keluar.

Ekspresi wajahnya langsung berubah ketika melihat hanya Zio sekertaris Keenan yang datang.

"Mas Keenan dimana, Zio?" tanya Bella cepat.

"Tuan masih di kantor Nyonya, saya kesini di perintah oleh Tuan untuk mengambil baju, dan juga berkas."

Bella mengerutkan kening binggung. "Mengambil baju? Untuk apa?"

"Tuan akan pergi ke Jerman selama dua minggu Nyonya," jawab Zio.

"Ke Jerman? Untuk apa kesana?"

"Ada proyek di sana, yang mengharuskan tuan untuk pergi kesana."

"Kenapa dia tidak kesini?" Bella terlihat sudah berkaca- kaca.

"Tuan sedang sangat sibuk, kita baru saja mengadakan rapat penting nlNyonya, Tuan juga berkata untuk tidak perlu mencemaskannya," jelas Zio.

"Perusahaan sedang dalam masalah?"

"Bisa dikatakan seperti itu, tapi Nyonya tidak perlu khawatir, Tuan akan segera pulang jika urusan di sana sudah selesai."

"Ambillah apa yang di perlukan, aku akan mengemas bajunya."

Bella langsung berjalan ke kamar dengan pandangan yang kosong, pikirannya kali ini sedang berkenala kemana- mana, tapi dia berusaha untuk berpikir positif.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, Bella mengemas baju Keenan kedalam koper, air mata mengalir begitu saja, tidak bisa dia tahan, mau sekuat apapun mencoba Bella tetap tidak bisa untuk tidak memikirkan ini.

Mendengar ruangan kerja sang suami yang terbuka, membuat Bella cepat cepat mengemas, agar Zio tidak menunggu terlalu lama.

Bella hanya mengemas beberapa baju saja, tidak terlalu banyak, karena dia ingin Keenan tahu jika dia tidak ingin Keenan pergi terlalu lama.

Sudah selesai semua Bella kemudian keluar, Zio terlihat menunggu di dekat tangga.

"Zio, tolong bilang ke Mas Keenan, untuk segera menelpon ku." Zio mengangguk cepat.

"Akan saya sampaikan Nyonya, kalau begitu saya langsung pamit, kita akan berangkat penerbangan jam tujuh malam."

Bella hanya mengangguk, dilihatnya Zio yang sudah pergi dengan lumayan tergesa.

Bella menghela napas lelah. "Sepertinya memang sedang ada masalah di perusahaan," gumamnya.

Bella turun kembali, berjalan ke arah meja makan, menatap satu persatu masakan yang tadi dia buat, dan kini pasti tidak akan termakan semua.

Dia memutuskan untuk menyuruh satpam untuk membagikan makanan itu kepada anak anak jalanan, agar tidak terbuang sia-sia.

Malam harinya Bella tidak bisa tidur, Keenan belum juga menelponnya, dia bergerak gelisah di atas kasur dengan sesekali melihat ponselnya.

Bella tiba tiba saja menangis, dia pun sampai heran, karena hari ini merasa sudah beberapa kali menangis.

Mendengar ponselnya berdering, Bella seketika langsung terduduk, mengambil ponsel dengan tergesa.

Kekecewaan langsung dirasakan ketika melihat nama sang mertua yang tertera, tapi meskipun begitu Bella langsung mengangkatnya.

"Bella," panggil Alea di sebrang sana.

"Iya, Bunda?"

"Kamu udah tidur, Sayang?"

"Belum, Bunda. Kenapa Bun?"

"Bella, karena Keenan sedang berada di Jerman, gimana kalau besok Bunda jemput kamu, kita pergi keluar berbelanja?" Alea terlihat antusias berbeda dengan Bella yang binggung.

"Bunda tau Mas Keenan ke Jerman?"

"Iyah, dia nelpon Bunda, katanya gak usah bikin acara lagi untuknya, karena dia sedang ada urusan di Jerman," jelas Bunda yang membuat tubuh Bella membeku seketika.

"Dia nelpon jam berapa, Bun?" tanyanya. Bella sekuat tenaga untuk tidak kembali menangis.

"Mungkin satu jam yang lalu."

Ponsel di genggaman Bella langsung terjatuh ke kasur, dia menggelengkan kepala dengan cepat mengusir pikiran yang kini membuatnya terasa sesak.

"Bella?" Suara Bunda terdengar, membuat Bella tersadar kemudian pamit kepada Alea dengan alasan ingin buang air besar.

Sesudah sambungan terputus, yang tadinya Bella menangis dalam diam, sekarang dia keluarkan, dia menangis dengan suara yang kencang, menarik bantal dengan kasar untuk melampiaskan rasa sesak di dadanya.

Bella semakin tidak mengerti dengan sikap Keenan yang seperti ini, dia tidak tahu apa yang salah darinya hingga membuat Keenan menjauhinya seperti.

Teringat sesuatu, tubuh Bella langsung membeku. "Apakah karena Mas Keenan, tidak ingin aku hamil?"

"Tapi, bagaimana mungkin?" Tangisan Bella kini semakin kencang.

"Mas, kenapa kamu berubah, Mas." Bella menangis tersedu-sedu, wajahnya sudah memerah, terutama hidung dan kelopak mata Bella.

"Apa sebenarnya yang terjadi?" Bella kemudian merebahkan tubuhnya, karena efek kelelahan, dia tertidur. Bukan hanya tubuhnya yang lelah, tetapi pikiran dan batinnya pun kini merasa sangat lelah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status