Share

5. Alvin

"Alvin, om Keenan harus pulang Sayang. Nanti kita pasti bakal bertemu lagi kok Sayang," ucap seorang wanita dengan sangat lembut.

Pria yang disebut Alvin itu menggeleng dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Ndak mau mommy, avin mau sama Enan." Seseorang yang disebut Alvin adalah anak dari Amanda.

Amanda menghela nafas lelah, sudah satu jam Alvin merengek terus tidak ingin di tinggalkan oleh Keenan yang sudah harus pulang ke negaranya.

Keenan yang menjadi tahanan sedari tadi, kini menunduk mensejajarkan tubuhnya dengan bocah kecil yang berusia dua tahun itu.

"Alvin, Om harus kerja dulu Sayang, nanti kalo ada waktu om pasti kesini lagi, oke." Keenan dengan lembut mengusap puncak kepala Alvin.

Alvin menggeleng lagi. "Alvin ndak mau ditinggal Enan, Avin mau sama Enan." Alvin kini malah memeluk Keenan dengan erat.

Amanda yang melihat itu menatap Keenan dengan merasa bersalah. Tak dipungkiri dia pun merasa bersedih Keenan akan kembali, satu bulan ini Keenan selalu bersama mereka berdua, menggantikan peran seorang Ayah bagi Alvin yang sedari kecil tidak merasakan itu, oleh karena itu ketika Keenan akan pulang Alvin sedari tadi tidak mengizinkan Keenan untuk pergi.

"Mommy, Avin mau ikut Enan aja." Bocah laki-laki itu menatap Amanda dengan mata yang sudah sembab.

Keenan dan Amanda saling tatap, kemudian Amanda menggeleng tegas.

"Alvin, denger mommy sekarang. Om Keenan harus kerja, dia tidak bisa selalu menemani Alvin Sayang, nanti kalo kerjaan om Keenan sudah selesai kita bisa bertemu lagi." Amanda kini berucap sedikit tegas, agar Alvin mengerti maksudnya.

Mendengar ucapan sang mommy, Alvin malah tambah menangis dia memeluk kembali Keenan, tangisannya kini lebih kencang.

"Amanda jangan terlalu keras berbicara dengan Alvin, dia masih kecil. Hatinya masih sangat lembut." Keenan sangat tidak tega melihat Alvin yang kini menangis sangat kencang. Dia sendiri sudah menganggap Alvin anaknya sendiri, bahkan satu bulan ini dia selalu memanjakan Alvin dengan segala hal.

Amanda menatap pemandangan didepannya dengan sesak, andai saja Arka masih ada mungkin saja sang anak tidak akan seperti ini, yang membutuhkan sosok ayah.

Amanda dengan perlahan membawa langkahnya mendekat ke arah Keenan yang sedang menengkan Alvin.

"Biar sini aku saja. Kamu sebaiknya segera pergi Keenan, sebentar lagi jam penerbanganmu." Amanda mengambil Alvin yang masih menangis kedalam gendongannya.

Keenan menggeleng. "Aku tidak akan tenang jika meninggalkan Avin dalam keadaan seperti ini."

Meskipun Keenan melihat Alvin yang sepertinya akan tertidur, terlihat dari kata bocah itu yang sudah terpejam tapi masih mengeluarkan sedikit tangisan.

"Alvin tidak akan kenapa-kenapa, meskipun nanti akan sedikit sulit membujuknya, tetapi dia pasti akan segera mengerti."

Keenan menatap Alvin yang sedikit lagi akan tertidur pulas, dia mendekat kemudian mengecup kening Alvin.

"Kalo begitu aku akan pergi sekarang, terima kasih Manda, untuk satu bulan ini." Keenan kini mengelus lembut puncak kepala Amanda.

"Aku yang seharusnya berterima kasih kepadamu Keenan, karena kamu Alvin bisa merasakan sosok Ayah darimu, aku sangat berterima kasih untuk itu."

Keenan terkekeh. "Kau tau perlu berterima kasih, aku sudah menganggap Alvin anakku sendiri, kalian kini adalah bagian dalam hidupku juga," ucapnya dengan sangat lembut.

Amanda terpaku, dia menatap Keenan dengan lekat yang dibalas juga oleh Keenan. Pandangan keduanya bertemu, Keenan segera memutuskan pandangannya melirik ke arah Alvin yang sudah tertidur.

"Aku pergi sekarang," pamit Keenan.

Amanda mengangguk. "Maaf aku tidak mengantarkanmu ke bendara." Amanda menatap Keenan dengan perasaan bersalah.

"Tidak apa-apa, kau tau perlu merasa bersalah Manda." Keenan kembali mengelus puncak kepala Amanda.

"Kalau begitu aku pergi sekarang yah. Zio sudah menungguku di bawah," lanjutnya.

Amanda mengantar Keenan keluar dari apartemennya dengan Alvin yang masih berada digendongan nya.

Sebelum pergi Keenan mencium kembali kening Alvin, kemudian segera pergi tak lupa melambaikan tangan kepada Amanda.

Sesudah melihat Keenan yang sudah memasuki lift, Amanda membawa Alvin masuk, menidurkan dikamarnya.

Dengan perlahan dia membaringkan sang anak dengan pelan, tangannya mengusap lembut jejak air mata yang masih terlihat diantara kelopak mata sang anak.

Amanda menatap sedih kearah Alvin yang kini tertidur pulas. Dia kemudian mengecup seluruh permukaan Alvin dengan lembut.

"Kamu tenang saja Sayang. Sebentar lagi takdir akan memihak kepada kita."

Amanda kemudian keluar dari kamar sang anak, menuju ke ruang kerjanya untuk mengerjakan pekerjaan yang belum selesai.

* * * *

Zio yang sedang menunggu Tuannya di basemen, segera berdiri ketika melihat sosok Keenan.

"Tuan," sapanya.

"Kita berangkat sekarang." Keenan berjalan terlebih dahulu di ikuti oleh Zio.

Zio menatap punggung tegap Keenan dengan tatapan yang sulit diartikan, dia sendiri tidak tahu kenapa Keenan bisa menjadi seperti ini, semenjak satu bulan yang lalu sifat Keenan sangat berubah, jika biasanya Keenan selalu tersenyum ramah kepada siapapun, kini tidak ada lagi, yang ada hanyalah raut datar yang tidak terbaca.

Dan juga Zio tidak mengerti kenapa Tuannya bisa berlama lama seperti ini di negara ini. Karena tadinya mereka hanya akan seminggu saja, tetapi Keenan memutuskan untuk lebih lama lagi.

sepertinya jika tidak ada urusan mendesak di kantor Keenan tidak akan pulang sekarang.

"Zio kapan ayahku datang ke perusahaan?"

Zio yang sedang berjalan di belakang Keenan segera mensejajarkan langkahnya dengan Keenan.

"Dua hari yang lalu Tuan," jawabnya cepat.

"Apa saja yang dia lakukan?" tanya Keenan lagi.

"Tuan Andre hanya sebentar saja sana di sana, beliau hanya sekedar mengecek dan juga menanyakan kenapa Tuan tidak pulang-pulang."

Keenan menghentikan langkahnya. "Terus apa yang kau jawab?"

"Saya menjawab jika Tuan mempunyai proyek baru bersama Tuan Edward, yang mengharuskan untuk berlama di sini," jawab Zio cepat.

Memang hanya Keenan saja yang satu bulan di Jerman, Zio hanya satu minggu saja. Sesudah itu dia kembali untuk mengerjakan pekerjaan Tuannya yang sudah menumpuk, dan malam kemarin dia kembali ke Jerman untuk menjemput Keenan.

"Bagus, saya akan menambahkan bonus untukmu bulan ini." Keenan kembali berjalan memasuki mobilnya yang sudah terparkir disana.

Zio terpekik senang, segera menyusul Keenan kemudian mereka segera melesat ke bendara untuk kembali ke negara mereka.

* * * *

Setelah melakukan perjalanan selama enam belas jam di pesawat kini mereka berdua sudah tiba di negara mereka, Keenan dengan tubuh yang terasa sangat lelah menyandarkan tubuhnya di sandaran mobil.

Meskipun hanya berdiam diri saja di dalam pesawat, tetapi tubuhnya saat ini terasa sangat lemas.

Keenan menatap ke arah jendela kemudian segera terduduk tegak ketika melihat jalan yang dibawa oleh supir ke arah rumahnya.

"Zio kita akan kemana?" Meskipun dia tau jawabannya tapi Keenan tetep menanyakan kepada Zio.

Zio menatap Keenan dengan binggung. "Tentu saja kerumah anda Tuan."

Keenan menghela napas kasar kemudian menatap Zio dengan datar. "Bukan kah keu bilang di perusahaan ada hal yang sangat penting."

Zio menjadi kikuk. "I-iya Tuan. Tetapi bukankah sebaiknya Tuan istirahat terlebih dahulu," ujarnya menjadi gugup.

Kini Keenan menatap Zio lebih tajam. "Kau sangat bodoh."

"Pak, tolong putar balik ke arah perusahaan," sahutnya kembali kepada supir yang membawa mereka.

Supir langsung menurut, Keenan kembali menyandarkan tubuhnya. Meskipun tubuhnya sangat lelah tetapi dia masih tidak ingin untuk pergi kerumah, lebih baik dia beristirahat di kantornya saja.

Zio menatap Keenan yang kini sudah memejamkan matanya dengan takut, dia tau tubuh sang Tuan sudah sangat lelah oleh karena itu dia berinisiatif untuk langsung membawa Keenan untuk pulang, lagi pula memang biasanya seperti itu, jika Keenan sudah melakukan perjalanan bisnis beberapa hari, pasti langsung akan pulang terlebih dahulu, bahkan sering untuk mengambil cuti sesudah pergi dari luar negeri.

Keenan sendiri tidak tertidur, dia hanya memejamkan mata saja untuk merilekskan pikiran yang sedari tadi bermunculan dipikirannya.

Sampai di perusahaan Keenan langsung menuju keruangannya, dengan gagahnya dia membawa langkah ke arah kursi kebesarannya.

"Ambil semua berkas yang harus saya tanda tangani," perintahnya kepada Zio yang langsung dituruti.

Sesudah Zio keluar, Keenan terlebih dahulu mengecek ponselnya yang memang sedari tadi belum dia aktifkan.

Sesudah menyala ponsel itu langsung berbunyi notifikasi dari pesan dan juga telpon dan Keenan tahu siapa yang menelepon dan mengirim pesan sebanyak ini kepada dirinya, tetapi dia memilih abai, tangannya mengulir ke arah pesan bernama Manda di kontaknya.

Tertulis di sana sebuah pesan yang mengatakan Alvin terus merengek ingin melihat dirinya, dan juga beberapa panggilan video tak terjawab.

Keenan melihat baru beberapa menit yang lalu Amanda menelponnya, dia langsung menelpon kembali Amanda, tetapi sudah beberapa kali tidak juga di angkat.

Keenan kemudian membuka pesan dari Bella, yang sudah satu Minggu ini tidak dia lihat, terlihat ratusan pesan yang Bella kirim kepadanya. Jika dilihat-lihat Bella hampir tiap jam menghubunginya.

Matanya kemudian terfokus melihat pesan yang terakhir Bella kirim, yaitu waktu pagi hari, sedangkan sekarang sudah malam hari tetapi Bella belum mengirimkan pesannya lagi.

Seringai tipis terlihat di raut wajah Keenan yang kini menampilkan raut datar.

"Sepertinya tak lama lagi sifatmu akan segera terbongkar, Sayang." Keenan terkekeh tetapi sangat terlihat jika dia sedang menahan emosinya.

Ketukan di pintu mengalihkan Keenan, dia segera memerintah orang itu masuk.

"Ini Tuan." Zio memberikan berkas yang lumayan banyak.

"tetapi sebaiknya ini di kerjakan besok saja Tuan. Ini sudah malam ada baiknya Tuan segera beristirahat." Zio mengatakan itu karena melihat raut wajah Keenan yang terlihat lemas.

Keenan mengangguk. "Kau benar sebaiknya memang aku harus istirahat terlebih dahulu."

"Tetapi sebelum itu, aku mempunyai tugas untukmu," lanjut Keenan.

Zio segera mengangguk.

"Mulai besok kau perintahkan seseorang untuk mengawasi wanita Jalang itu."

Zio terdiam menatap Keenan, dia tidak mengerti siapa yang dimaksud oleh Keenan.

"Mohon maaf, Tuan. Bolehkah saya tau siapa sebenarnya wanita itu, karena memang saya tidak tahu siapa dia," ujar Zio dengan kepala menunduk.

Keenan tertawa kecil. "Haha, saya belum memberitahu soal ini kepadamu ya." Zio langsung mengangguk, memang dia belum tahu masalah ini.

"Kau pasti akan sangat terkejut Zio, karena dia adalah ...."

Zio menatap Tuanya dengan raut tak sabar.

"Bella, istriku."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status