*Happy reading*
"Nur, Masuk?!"
Aku langsung berjengit kaget, saat mendengar seruan Bang Al yang lantang sekali, di sertai tatapan garang disela kegiatannya mencengkram kerah kemeja Ammar.
Ya, Allah. Aku salah apalagi ya? Perasaan aku gak ngapa-ngapain, lho. Cuma pulang dari Rumah sakit, dan ini pum belum jam sepuluh malam. Kenapa Abangku semarah itu? Salahku di mana?
"Nur?!"
Sekali lagi Bang Al berseru tegas. Saat belum mendapat jawaban dariku.
"Masuk ke Rumah se-ka-rang!" Seakan aku tidak mengerti titahnya, dia pun mengulanginya, bahkan dengan baik mengejanya.
Duh, gusti. Abang aku salah makan kali, ya?
"Nur?!"
"I-iya, Bang."
Sebelum aku kena amukan Bang Al juga, aku pun segera menyahut meski sambil tergagap.
"Ta-tapi, itu Pak Ammar ja-jangan di apa-apain, Bang. Kasian," imbuhku tanpa sadar, sukses mendapat delikan tajam dari Bang Al setelahnya.
"Kamu belain dia, Nur?!"
Aduh Gusti, salah ngom
*Happy Reading*"Apa?!"Aku langsung menutup telingaku. Saat Mak Kanjeng berseru lantang setelah mendengar pengakuan Ammar barusan.Et, dah! Itu suara apa toak masjid, ya?"Jadi? Elo yang bikin si Ammar ghosting gue, Al?"Hah? Apaan? Ghosting? Ya ampun ... bukan begitu kali, Mak!"Ghosting?" beo Bang Al bingung.Nah, kan? Bang Al yang pinternya kebangetan aja. Sampe bingung denger ucapan Mak Kanjeng. Soalnya ... gak sinkron, gaes!"Iya, abis nih bocah janji mau dateng minta si Nur dengan cara layak. Eh, nih bocah malah ngilang tanpa kabar. Itu bukannya sama aja dia ghosting Emak. Iya kan?"Uhm ... Ada benarnya juga, sih. Yee kan? Kasusnya sama."Ternyata elo sebabnya, Al?" Mak kanjeng masih mengomeli Bang Al dengan menggebu.Entah karena tidak bisa menjawab, atau kesulitan mencerna ucapan Mak Kanjeng. Bang Al pun menggaruk tengkuknya dengan kening berlipat dalam."Kenapa sih,
*Happy Reading*"Ya ... ya ... kalau Nur sih ... terserah Abang sama Emak."Pletak!"Aduh!"Seketika aku pun mengaduh, saat mendapat jitakan pedas dari Mak Kanjeng, sedetik setelah aku menjawab.Duh, gusti ... punya emak begini banget, ya? Tangannya ringan banget kek permen kapas."Bener-bener lo, ya? Udah gue bela-belain biar lo dapet suara. Eh, jawaban lo malah kek gitu. Bikin usaha gue sia-sia aja lo! Dasar, oneng!"Ingat, ya! Ucapan seorang ibu itu adalah doa. Jadi ... sekarang kalian tahu kan, kenapa aku bisa se-oon ini? Lah, Emak aku sendiri ngomongnya begitu terus. Gimana gak beneran kejadian, coba?"Ya, terus, Nur harus jawab apa, Mak? Nur sendiri bingung harus jawab apa?" akuku kemudian, setengah kesal sama Mak Kanjeng."Bingung kenapa, lo? Bingung pilih yang mana? Ih, sok laku lo. Yang ngelamar aja cuma sebiji gini, masih aja bingung. Tinggal jawab ya atau enggak aja, repot banget lo Nur. Mu
*Happy Reading* Akhirnya, karena tahu tidak akan bisa melawan titah Mak Kanjeng. Aku pun pasrah dengan segala mau Emak-Emak doyan jitak itu. Daripada benjol, yee kan? Mending turuti aja udah. Nikah, nikah dah sama Ammar. Toh, gak ada ruginya ini. Malah lebihnya over load. Palingan Bang Al doang yang masih uring-uringan, karena masih gak rela nyerahin aku sama playboy cem si Ammar itu. Mungkin karena itu juga, akhirnya Mak Kanjeng pun mengubah keputusannya, yaitu memberi aku dan Ammar waktu lagi untuk saling mengenal. Kalau kata Emak sih, namanya taaruf. Tapi untukku, sama aja kayak pacaran. Orang jadinya aku sama Ammar sering banget berduaan kek orang pacaran. Bahkan, kadang di beberapa kesempatan, pergi berdua hingga malam. Nah, ini yang aku maksud di bab sebelumnya. Tentang salah kaprah arti dari taaruf di jaman sekarang. Untungnya, Ammar tidak se
*Happy Reading*"Alhamdulilah Ya Allah. Akhirnya lo sadar juga, Nur," seru Mak Kanjeng heboh, ketika melihat aku akhirnya membuka mata.Di mana aku?Sepertinya, aku tidak mengenal tempat ini. Tapi, bau antiseptic yang menyengat membuat aku yakin, jika saat ini aku pasti tengah berada di Rumah sakit, atau tempat medis sejenisnya.Aku kenapa?"Nur, apa yang kamu rasain? Ada sakit atau rasa gak nyaman? Ngomong coba sama Abang." Kali ini Bang Al yang bertanya, dengan raut wajah yang syarat akan kekhawatiran.Aku mengerjap sejenak, meredakan rasa pusing yang sebenarnya masih sedikit menggelayuti kepalaku. Seraya menatap Mak Kanjeng dan Bang Al secara bergantian.Aku baru sadar, ternyata mata Mak Kanjeng bengkak dan memerah. Apa Mak Kanjeng baru saja menangis hebat?"Nur?" Tak segera mendapat jawaban dariku. Bang Al kembali memanggil meminta ate
*Happy Reading*Sebenarnya, aku tidak terlalu punya banyak memory tentang Bapak. Bahkan, wajahnya saja, aku lupa.Entah itu karena aku tidak pernah melihat beliau selama ini. Atau, karena memang Mak Kanjeng dan Bang Al juga tak pernah menceritakan apapun soal Bapak padaku.Untuk alasannya sendiri. Jujur saja, aku tidak tahu, dan memang tidak pernah menanyakannya.Eh, pernah sih dulu. Dulu sekali saat aku masih sekolah dasar. Namun karena saat aku bertanya, raut wajah Mak Kanjeng langsung berubah sendu dan malah jadi sering menangis diam-diam. Aku pun jadi tidak berani bertanya lagi. Karena tak ingin melihat Mak Kanjeng sedih.Dulu, kukira itu karena Bapak Sebenarnya sudah tidak ada. Makanya Mak Kanjeng jadi sesedih itu. Tapi ternyata ....."Pergi dari sini, Pak! Jangan ganggu kami lagi! Khususnya Emak dan Nur. Karena Al gak akan biarin Bapak nyakitin mereka lagi!"
*Happy Reading*"Jadi itu alasan Emak selama ini, memaksa Nur nikah muda?""Iya, Al," jawab Mak Kanjeng, sambil menunduk dalam. "Emak cuma berharap, saat Bapak kalian keluar penjara, Nur sudah nikah dan di bawa sama suaminya. Hingga Bapak kalian tidak bisa menemukan Nur, dan tidak menyakiti Nur lagi. Emak bener-bener takut kejadian dulu terulang lagi, Al. Emak gak kuat liat Nur di sakiti lagi."Mak Kanjeng terisak setelah menceritakan alasan dibalik pemaksaannya menyuruh aku cepat menikah selama ini.Bang Al yang mendengar hal itupun langsung mengusap wajah dengan kasar, dan terlihat kecewa sekali pada Emak.Tentu saja dia kecewa, karena ternyata selama ini Mak Kanjeng menyembunyikan rahasia sebesar ini darinya. Padahal, sejak Bapak tidak bersama kami, Bang Al lah yang mengambil alih tanggung jawab sebagai kepala Rumah tangga.Sejak Bapak di penjara karena penganiayan terhadap Emak Kanjeng. Bang Al bekerja keras, banting tulang membant
*Happy Reading*"Bener, kamu sebenarnya juga suka sama Pak Ammar?"Aku langsung menghela napa panjang, saat akhirnya tanya itu benar-benar dilontarkan Bang Al Padaku."Udah gak usah ditanya lagi. Orang kayak adek lo ini, mana mau ngaku!" sambar Mak Kanjeng sok tahu.Tak ayal, ucapan Mak Kanjeng pun menghadirkan helaan napas dalam dari Bang Al, karena ...."Mak, yang Al tanya tuh, Nur. Emak bisa diem sebentar, gak?" ucap Bang Al, mencoba bersabar pada sifat emak yang memang kadang kek bensin eceran."Ngapain sih, Al, ditanya lagi? Kan, Emak udah jelasin semuanya sama elo tadi." Mak Kanjeng tak mau mengerti."Tapi itukan versi Emak. Versi si Nur, Al belum dengar," balas Bang Al. Masih mencoba tetap bersabar.Jangan heran. Segalak-galaknya Bang Al, emang paling gak bisa bentak Emak, atau pun aku. Malahan sangat menjaga sekali, dan untuk alasa
*Happy Reading*Kukira, setelah mendengar celetukan Mak Kanjeng. Bang Al akan ngamuk, atau minimal marah sama aku.Ternyata yang terjadi adalah, dia malah mengusap wajahnya pelan, sebelum kemudian menghela napas panjang dan menatapku intens.Ditatap seperti itu, otomatis aku pun menunduk, benar-benar tak berani membalas tatapan Bang Al yang memang tajam.Nah, coba itu. Di situasi biasa aja tatapan Bang Al selalu terlihat tajam. Apalagi di situasi aku sekarang. Rasanya seperti di intimidasi secara tidak langsung."Al, kamu tidak bisa menyalahkan Nur untuk perasaannya. Karena cinta itu kadang diluar logika."Entah karena merasa seorang pria yang wajib melindungi wanitanya, atau karena ingin cari muka. Ammar pun tiba-tiba buka suara. Mencoba untuk memberi pengertian pada Bang Al."Sekarang kamu tahu, kan? Kalau kami memang saling mencintai, jadi, saya mohon jangan halangi hubungan kami lagi." Ammar kembali bersuara.Se