"Buang, Nuri!""Tidak mau, Mas Dika!" Nuri melebarkan bola matanya, lalu bergerak turun dari ranjang. Wanita itu mengambil bunga mawar yang sudah rapi ia tata di atas meja rias, lalu ia bawa keluar kamar. Satu-satunya tempat yang paling aman ia menaruh bunga itu adalah di kamar kerjanya. Dika hanya bisa berdecak kesal melihat Nuri tergolong keluar dari kamar. "Kamu baik-baik di sini dulu ya. Pak Bos lagi datang bulan, jadi labil." Nuri bicara pada bunga mawar yang sudah berada di atas meja kerjanya. Nuri kembali mengunci pintu kamar kerja itu, lalu bergegas ke dapur untuk menghangatkan sayur yang pagi tadi ia masak. Lalu ia juga menyiapkan teh untuk suaminya. Meskipun Dika bersikap semaunya, tetapi sebagai istri, ia harus tetap melayani. "Mas mau langsung makan atau mau mandi dulu?" tanya Nuri sambil membawakan teh ke dalam kamar. "Di mana kamu taruh bunga itu? Sudah kamu buangkan?" hanya Dika lagi. "Saya simpan. Sayang bunga mahal kalau dibuang. Apalagi yang ngasihnya tulus. Suda
"Oke, kalau Mas gak mau jawab, berarti saya yang harus mengalah di sini." Nuri berlari naik ke kamarnya. Ia mengunci pintu agar suaminya tidak bisa masuk ke dalam kamar. Segera ia berkemas memasukkan pakaian lamanya, bukan pakaian yang dibelikan oleh suaminya atau pakaian yang ia beli dengan uang suaminya. Perhiasan, buku nikah, buku tabungan, dan uang simpanan ia bawa. Tidak ada air mata yang tumpah, karena hatinya seakan mati untuk merasakan kesedihan. Dika sudah membuat semua cinta dalam dirinya pergi begitu saja. Setelah semua yang ia perlukan masuk ke dalam tas, Nuri melemparkan tasnya dari balkon kamar. Dengan gagah, Nuri ikut lompat dari balkon. Jaman di kampung, ia senang memanjat pohon tinggi, lalu melompat dari atas pohon tersebut. Ia juga suka lompat dari jembatan, lalu tercebur ke sungai. Jadi, tidak masalah baginya untuk lompat dari balkon lantai dua rumah suaminya, karena ia sudah terbiasa. Hanya luka lecet pada telapak tangan saja.Nuri menunggu ojek online di dekat po
Jadi berputar-putar di sekeliling komplek sampai dengan perempatan jalan besar rumahnya, tetapi tetap tidak menemukan Nuri. Ia mengira, Nuri akan berjalan seorang diri sambil membawa tas, tanpa tahu arah tujuan, seperti kebanyakan wanita-wanita melow di drama yang pernah ia saksikan, tetapi sepertinya Nuri berbeda, sudah jauh ia mengendarai motor, malam pun semakin pekat, tetapi ia belum menemukan istrinya. Dika memutuskan menepikan motor di sebuah cafe kopi untuk membeli minuman kopi dingin. Tenggorokannya kering dan juga angin malam tak mampu menghilangkan rasa gerahnya. Dika memesan kopi dingin cappucino untuk melegakan tenggorokan, sekaligus menenangkan pikirannya. Sambil menunggu, Dika memeriksa ponselnya. Ia menekan kontak Nuri untuk menelepon istrinya, tetapi hanya nada sambung saja yang terdengar, tetapi tidak diangkat. Sampai dengan kopi selesai diracik, Nuri tidak kunjung mengangkat teleponnya. Kamu ke mana, Nuri? Apa kamu pulang ke rumah orang tua kamu? Batin Dika. Pria
"Nuri, buka pintunya, kita perlu bicara!" Dika sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Begitu mendengar perkataan mamanya tentang gugatan cerai, Dika pun panik dan bersikeras harus bicara dengan Nuri malam ini juga. Hatinya berdebar tidak tenang dan dapat dipastikan ia tidak bisa tidur."Nuri, buka, aku janji tidak akan lama bicaranya," bujuk Dika lagi."Kamu pulang saja! Jangan ganggu Mama dan Nuri, malam ini biar Nuri tidur di sini." Bu Widya menarik lengan putranya agar menjauh dari pintu. Namun, Dika tidak mau."Dika gak mau pulang, Ma, Dika mau di sini saja. Gak papa kalau malam ini memang Nuri ingin menenangkan diri dulu. Mama bantu Dika untuk ....""Males! Udah tiada kesempatan kedua bagimu!" Bu Widya menatap sinis Dika, lalu masuk ke kamar. Dika tidak punya pilihan lain selain tidur di sofa ruang tengah. Willy pasti tidak akan menginjinkannya untuk tidur seranjang karena Willy pun pasti kecewa dengannya saat ini.Di dalam kamar, Nuri masih belum bisa memejamkan matanya. Wanita
"Mas pasti tidak bisa, karena yang ada di otak Mas itu adalah Nura, tetap Mas juga gak tega dengan yang namanya Tika. Oleh karena itu, sepertinya Mas memang lebih cocok dengan Tika. Karena Nura sebentar lagi akan menikah dengan Willy. Sudah, kita jangan berdebat di depan orang tua!" Nuri kini menoleh pada mertuanya. "Saya siap-siap dulu, Ma." Bu Widya mengangguk. Wanita itu berjalan cepat masuk ke dalam kamar, tanpa diketahui olehnya, Dika pun ikut di belakang Nuri."Saya mau ambil baju di dalam," alasannya saat Nuri hendak menutup pintu, lalu ditahan oleh lengannya. Terpaksa Nuri memberikan tempat dan juga waktu, tetapi ia tidak mau masuk ke dalam kamar yang sama dengan Dika. Lebih baik ia menjauh, karena ia sudah tidak mau berdekatan dengan Dika. "Nuri, apa hubungan ini tidak bisa diperbaiki?" tanya Dika lagi dengan wajah lesunya. "Gak bisa, Mas, batas sabar saya udah sampai di titik paling akhir. Kita jalani hidup masing-masing ya. Kita masih bisa berteman kok. Bagaimanapun kit
"Oh, baik Pak Dika. Saya sebagai kakak dari Tika meminta maaf kalau selama bekerja di sini, adik saya banyak kurangnya. Itu karena dia memang tidak sekolah dan jarang bergaul. Terima kasih sudah memberikan tempat untuk Tika mendapatkan pengalaman kerja lebih dari setahun." Pria bernama Budi itu menatap Dika dengan perasaan campur aduk. Perasaan malu yang lebih mendominasi karena kelakuan adiknya yang tidak tahu terima kasih."Gak papa, saya harap Tika bisa dapat kerjaan lebih baik setelah dari sini. Oh, iya, ini ada sedikit biaya untuk mengobati sakit Tika. Semoga cukup ya. Maaf, saya gak bisa kasih banyak juga, karena sekarang saya sudah punya istri. Pengeluaran yang tidak biasanya, tentu saja harus saya laporkan pada istri saya." Dika merasa kalimatnya sangat menggelikan. Sejak kapan pula ia begitu nampak manis dan bertanggung jawab terhadap pernikahannya, khususnya pada sang Istri. "Aamiin, makasih, Pak Dika. Kalau begitu saya dan Tika pamit dulu." Budi melihat ke depan rumah Dika
"Jadi, Tante Nuri beneran gak datang ya?" tanya Daniel pada putrinya saat mereka sudah berada di jalan raya menuju pulang. "Iya, Pa, padahal Tante Nuri itu gak pernah ijin sebelumnya. Mungkin memang lagi ada urusan dengan suaminya." Daniel mengangguk. Namun, ia tidak yakin urusan yang dimaksud oleh Nuri dan yang ditangkap oleh pemahaman anaknya. Nuri adalah wanita yang pandai menutupi kesulitannya. Ia wanita kuat dan tidak cengeng. Meskipun saat ini ia tengah menghadapi masalah, tidak mungkin Nuri mau bercerita. "Pa, kenapa dulu gak sama Tante Nuri sih?" tanya Luna penasaran. Sejak kemarin ia bertanya, tetapi jawaban papanya selalu ambigu. Tidak pernah mau menceritakan secara detail. "Pa, cerita dong! Luna penasaran tahu," desak Luna. Daniel menghela napas dengan pandangan masih fokus pada jalan raya di depannya. "Papa gak disetujui sama Mbah kamu. Karena Tantu Nuri dari keluarga sederhana. Mbah takut, Tante Nuri mau sama Papa karena uangnya saja. Apalagi saat itu Papa mahasiswa,
"Sudah terlambat, Mas." Nuri bangun dari duduknya dengan cepat, lalu berjalan masuk ke dalam kamar. Namun, Dika berhasil menahan lengan istrinya, hingga Nuri belum sempat masuk ke dalam kamar. "Bisa kita bicara baik-baik, Nuri? Oke, selama ini saya sudah banyak salah sama kamu dan saya benar-benar minta maaf. Apakah tidak ada satu kesempatan lagi untuk kita? Saya tidak akan menceraikan kamu. Saya tidak akan menalak kamu." Dika masih berusaha membujuk istrinya dengan wajah memelas. Namun, bagi Nuri, ia sudah lelah. Meskipun ia rujuk, hati Dika tetap untuk Nura. Apa itu kuat menjalani rumah tangga hanya sebagai istri jadi-jadian saja? Tentu tidak. "Selagi di hati kamu masih ada Nura, maka tidak ada tempat bagi wanita lain Meskipun itu saya." Nuri berhasil melepas cengkeraman tangan Dika yang memang tidak terlalu kuat di lengannya. Blam!Pintu tertutup, lalu anak kunci diputar dua kali. Bu Widya hanya bisa menghela napas sambil memijat pangkal hidungnya. Punya dua anak lelaki, dua-dua