"Nuri, buka pintunya, kita perlu bicara!" Dika sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Begitu mendengar perkataan mamanya tentang gugatan cerai, Dika pun panik dan bersikeras harus bicara dengan Nuri malam ini juga. Hatinya berdebar tidak tenang dan dapat dipastikan ia tidak bisa tidur."Nuri, buka, aku janji tidak akan lama bicaranya," bujuk Dika lagi."Kamu pulang saja! Jangan ganggu Mama dan Nuri, malam ini biar Nuri tidur di sini." Bu Widya menarik lengan putranya agar menjauh dari pintu. Namun, Dika tidak mau."Dika gak mau pulang, Ma, Dika mau di sini saja. Gak papa kalau malam ini memang Nuri ingin menenangkan diri dulu. Mama bantu Dika untuk ....""Males! Udah tiada kesempatan kedua bagimu!" Bu Widya menatap sinis Dika, lalu masuk ke kamar. Dika tidak punya pilihan lain selain tidur di sofa ruang tengah. Willy pasti tidak akan menginjinkannya untuk tidur seranjang karena Willy pun pasti kecewa dengannya saat ini.Di dalam kamar, Nuri masih belum bisa memejamkan matanya. Wanita
"Mas pasti tidak bisa, karena yang ada di otak Mas itu adalah Nura, tetap Mas juga gak tega dengan yang namanya Tika. Oleh karena itu, sepertinya Mas memang lebih cocok dengan Tika. Karena Nura sebentar lagi akan menikah dengan Willy. Sudah, kita jangan berdebat di depan orang tua!" Nuri kini menoleh pada mertuanya. "Saya siap-siap dulu, Ma." Bu Widya mengangguk. Wanita itu berjalan cepat masuk ke dalam kamar, tanpa diketahui olehnya, Dika pun ikut di belakang Nuri."Saya mau ambil baju di dalam," alasannya saat Nuri hendak menutup pintu, lalu ditahan oleh lengannya. Terpaksa Nuri memberikan tempat dan juga waktu, tetapi ia tidak mau masuk ke dalam kamar yang sama dengan Dika. Lebih baik ia menjauh, karena ia sudah tidak mau berdekatan dengan Dika. "Nuri, apa hubungan ini tidak bisa diperbaiki?" tanya Dika lagi dengan wajah lesunya. "Gak bisa, Mas, batas sabar saya udah sampai di titik paling akhir. Kita jalani hidup masing-masing ya. Kita masih bisa berteman kok. Bagaimanapun kit
"Oh, baik Pak Dika. Saya sebagai kakak dari Tika meminta maaf kalau selama bekerja di sini, adik saya banyak kurangnya. Itu karena dia memang tidak sekolah dan jarang bergaul. Terima kasih sudah memberikan tempat untuk Tika mendapatkan pengalaman kerja lebih dari setahun." Pria bernama Budi itu menatap Dika dengan perasaan campur aduk. Perasaan malu yang lebih mendominasi karena kelakuan adiknya yang tidak tahu terima kasih."Gak papa, saya harap Tika bisa dapat kerjaan lebih baik setelah dari sini. Oh, iya, ini ada sedikit biaya untuk mengobati sakit Tika. Semoga cukup ya. Maaf, saya gak bisa kasih banyak juga, karena sekarang saya sudah punya istri. Pengeluaran yang tidak biasanya, tentu saja harus saya laporkan pada istri saya." Dika merasa kalimatnya sangat menggelikan. Sejak kapan pula ia begitu nampak manis dan bertanggung jawab terhadap pernikahannya, khususnya pada sang Istri. "Aamiin, makasih, Pak Dika. Kalau begitu saya dan Tika pamit dulu." Budi melihat ke depan rumah Dika
"Jadi, Tante Nuri beneran gak datang ya?" tanya Daniel pada putrinya saat mereka sudah berada di jalan raya menuju pulang. "Iya, Pa, padahal Tante Nuri itu gak pernah ijin sebelumnya. Mungkin memang lagi ada urusan dengan suaminya." Daniel mengangguk. Namun, ia tidak yakin urusan yang dimaksud oleh Nuri dan yang ditangkap oleh pemahaman anaknya. Nuri adalah wanita yang pandai menutupi kesulitannya. Ia wanita kuat dan tidak cengeng. Meskipun saat ini ia tengah menghadapi masalah, tidak mungkin Nuri mau bercerita. "Pa, kenapa dulu gak sama Tante Nuri sih?" tanya Luna penasaran. Sejak kemarin ia bertanya, tetapi jawaban papanya selalu ambigu. Tidak pernah mau menceritakan secara detail. "Pa, cerita dong! Luna penasaran tahu," desak Luna. Daniel menghela napas dengan pandangan masih fokus pada jalan raya di depannya. "Papa gak disetujui sama Mbah kamu. Karena Tantu Nuri dari keluarga sederhana. Mbah takut, Tante Nuri mau sama Papa karena uangnya saja. Apalagi saat itu Papa mahasiswa,
"Sudah terlambat, Mas." Nuri bangun dari duduknya dengan cepat, lalu berjalan masuk ke dalam kamar. Namun, Dika berhasil menahan lengan istrinya, hingga Nuri belum sempat masuk ke dalam kamar. "Bisa kita bicara baik-baik, Nuri? Oke, selama ini saya sudah banyak salah sama kamu dan saya benar-benar minta maaf. Apakah tidak ada satu kesempatan lagi untuk kita? Saya tidak akan menceraikan kamu. Saya tidak akan menalak kamu." Dika masih berusaha membujuk istrinya dengan wajah memelas. Namun, bagi Nuri, ia sudah lelah. Meskipun ia rujuk, hati Dika tetap untuk Nura. Apa itu kuat menjalani rumah tangga hanya sebagai istri jadi-jadian saja? Tentu tidak. "Selagi di hati kamu masih ada Nura, maka tidak ada tempat bagi wanita lain Meskipun itu saya." Nuri berhasil melepas cengkeraman tangan Dika yang memang tidak terlalu kuat di lengannya. Blam!Pintu tertutup, lalu anak kunci diputar dua kali. Bu Widya hanya bisa menghela napas sambil memijat pangkal hidungnya. Punya dua anak lelaki, dua-dua
Nuri, kamu lagi apa? Tadi saya pergi menjenguk ibu. SendMeskipun ia tahu, pesannya tidak akan dibalas oleh istrinya, tetapi Dika tetap mengirimkan pesan tersebut. Langit sampai berubah gelap, pesannya hanya dibaca saja. Masih lebih baik, dari pada nomornya diblokir oleh Nuri. Pria itu memandangi seluruh isi rumah yang bisa dibilang sangat baik. Dari segi pendapatan bulanan, ia bisa membeli rumah, berikut perabot, serta sempat mempekerjakan ART. Semua memang sengaja ia siapkan untuk istrinya kelak. Wanita yang ia cintai dengan sepenuh hatinya, tetapi takdir malah mempermainkan hatinya dan juga jodohnya. Semua menjadi kacau saat ia memutuskan untuk menikahi Nuri, padahal gadis itu tidak tahu apa-apa. Tok! Tok"Assalamu'alaikum." Suara salam di luar sana membuat Dika yang tengah berada di kursi makan, bangun dari duduknya, dan langsung berjalan untuk melihat siapa tamunya. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaykumussalam, tunggu sebentar." Dika memutar anak kunci, lalu menekan kenop pintu den
"Tidak, kami baik-baik saja, Nura. Mas Dika keluar kota untuk dua minggu, ada urusannya. Jadi, selama dua minggu saya nginep di sini saja." Nuri mengambil gelas teh yang baru saja dihidangkan oleh adiknya. "Enak banget pembantu Mbak, gak ada majikan di rumah. Nanti ranjang kalian ditiduri oleh pembantu laknat itu." Nura nampak emosi. Nuri hanya tertawa, ia memang belum sempat memberitahu keluarganya, khususnya Nura, bahwa Tika sudah tidak bekerja lagi di rumahnya. "Duh, emangnya Mbak gak takut?" Nuri menggeleng. "Takut sama siapa? Tika sudah pulang kampung. Jadi, beberapa hari lalu, dia kepleset di kamar mandi. Gak bisa ngapa-ngapain. Jadinya buat apa tetap dipakai kalau ke kamar mandi saja, dia butuh bantuan orang lain. Jadinya, Tika sudah dijemput kakaknya." Nuri menatap takjub Bayi Liam yang tampan. Perpaduan wajah Dadang dan Nura. Meskipun almarhum adik iparnya itu mengesalkan, tetapi kalau dari wajah, Dadang memang tampan. Sedikit aneh di mata Bayi Liam, karena sipit seperti W
"Ayo, Tante, temani Luna makan baso. Setelah ini, Luna dan papa janji akan langsung antar Tante pulang. Gimana?" Nuri sebenarnya enggan, karena ia tidak mau ada orang lain yang melihatnya, kemudian menjadi salah paham. Namun, ia sendiri merasa perlu menikmati waktu setelah semua yang ia lalui bersama Dika. "Jauh gak tempat makan basonya?" tanya Nuri ragu. "Deket kok." Luna dan Daniel menjawab serempak, hingga membuat Nuri tertawa, kemudian menyerah. Daniel mengendarai mobilnya dengan semangat, menuju restoran yang pasti sangat disukai oleh Nuri. Jika untuk makan berdua saja, Nuri sudah pasti jelas menolak, untuk itu, ia bersyukur ada Luna yang dengan dengan Nuri dan bisa membujuk mantan kekasihnya itu. "Mas masih cuti ya?" tanya Nuri membuka percakapan. Saat ini dirinya tengah duduk di depan menemani Daniel mengemudi. "Ya, hari ini terakhir. Makanya mau traktir kamu. Besok udah mulai sibuk lagi." Daniel tersenyum dengan sangat manis, membuat getar tersendiri di hati Nuri yang sud