"Wa'alaykumussalam, Pak Hendri. Wah cepat sekali, Pak. Alhamdulillah, terima kasih atas bantuan Bapak.""Sama-sama, Bu, kami yang terima kasih karena sudah diinformasikan bahwa ada pasangan bukan muhrim tinggal dalam satu rumah.""Ya, Pak, sama-sama. Semoga Tika tidak nekat kembali lagi ya, Pak. Saya titip mantan suami saya, Pak. Meskipun sudah mantan, tapi saya dan Dika masih silaturahmi.""Baik, Bu Nuri, saya akan pastikan Mbak Tika gak akan kembali ke rumah Pak Dika sebelum mereka halal.""Baik, Pak, sekali lagi terima kasih."Nuri tersenyum puas setelah menutup panggilan dari Pak Hendri. Akhirnya malam ini ia bisa tidur nyenyak karena Tika sudah tidak berada di rumah Dika. Cemburu? Aku cemburu? Ya ampun, bukan itu. Aku tahu Tika itu orang yang nekat dan terakhir kali insiden Dika hampir mengambil kegadisanku, pria itu begitu liat dan tidak terkendali. Ia sempat menuduh aku yang kasih obat perangsang pada minumannya, padahal aku ini wanita sederhana yang amat bolos dengan hati dan
Nuri sampai menahan napas cukup lama saat Bu Widya mencicipi baso buatannya. Wanita paruh baya itu mengunyah pelan dan nampak begitu menikmati. Bu Widya mengangkat wajahnya menatap Nuri, tapi tanpa berkata-kata. Wanita itu menyantap baso tanpa gangguan dan tanpa komentar. Nuri menunggu dengan sabar sampai isi mangkuk habis, berikut dengan kuahnya. "Nuri ini.... " wajah Nuri mulai pias. Apakah masakannya tidak enak? Apakah gagal? Apa yang harus ia lakukan jika gagal? Bu Widya mengulurkan mangkuk baso kosong pada Nuri. "Ma, maaf kalau tidak enak." Nuri sekuat tenaga menahan tangis. "Kata siapa tidak enak? Justru Mama mau minta tambah. Satu mangkuk lagi ya!" Nuri terdiam dengan mulut setengah terbuka. Ia tidak percaya Bu Widya malah minta nambah. "Eh, kenapa bengong? Ayo, cepat, Mama mau makan lagi basonya. Kalau kamu masak banyak, Mama beli deh, bungkusin dua belas. Masing-masing baso empat biji saja kalau cukup. Mama mau latihan qosidah nanti malam, biar Mama bawakan untuk teman-t
"Mas pokoknya harus cerita hari ini sama Bu Widya kalau Mas sedang dekat dengan saya!" "Iya, Tika, setelah meeting, saya akan ke rumah mama untuk bercerita tentang hubungan kita.""Bagus, terima kasih, Mas. Saya tunggu kabar baik dari, Mas. Hati-hati di jalan ya.""Oke." Dika memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Ia pun naik ke atas motor dan siap berkendara menuju rumah sang Mama. Ia baru saja selesai meeting sore di sebuah restoran yang sangat kebetulan sekali berjarak tidak jauh dari rumah Bu Widya. Rumah mamanya sedang ramai orang. Ia bisa melihat dari kejauhan pintu gerbang yang terbuka, serta pukulan pada alat musik rebana yang mengalun merdu serta nyaring berasal dari rumahnya. Merasa sungkan karena mamanya sedang banya tamu, Dika melewati begitu saja rumah orang tuanya. Motornya malah diarahkan rumah Nura. Ia akan numpang beristirahat sejenak di sana sambil menunggu acara mamanya selesai. Namun, Dika terkejut saat mendapati di depan rumah Nura, ada tumpukan pasir, sert
Saat adzan subuh berkumandang, Bu Widya membangunkan Dika. Emosi tadi malam belum tuntas, justru api amarah itu masih menumpuk di dadanya. Ia harus meminta penjelasan detail dari Dika, tentang hubungan putranya itu dengan Tika. Tidak akan bisa tidur nyenyak dirinya jika Dika benar-benar terjerat Tika. "Dika, bangun! Solat subuh dulu!" Bu Widya mengguncang tubuh Dika. Pria itu bukannya membuka mata, malah ia berbalik badan dan semakin erat memeluk guling. "Dika, bangun!" Kali ini diiringi tepukan di lengan putranya. Dika membuka mata dengan terkejut. "Ada apa, Ma? Udah siang ya?" tanya Dika sambil menggosok matanya. "Masih subuh. Bangun, mandi, dan solat. Kamu semalam tidur masih dalam keadaan kotor dari pulang kerja. Mandi dan solat subuh dulu!" Titah Bu Widya dengan setengah memaksa. Ya, dirinya harus memaksa Dika untuk bersujud pada Tuhannya agar jika memang ada sihir yang mempengaruhi alam bawah sadar putranya, sihir itu bisa segera pergi. "Ayo!" Bu Widya menarik tangan anakny
"Memangnya kamu sudah jadian sama Tika?" tanya Bu Widya "Iya, Ma." Dika menunduk malu. Bu Widya pun terbahak, merasa kecolongan dengan Tika. Jika saja sejak awal pembantu itu ada di rumah putranya dan ia keberatan, pasti tidak akan terjadi hal menjijikkan seperti ini."Ma, biar Dika yang jelaskan pada Tika. Mama jangan menemui Tika karena nanti malah jadi ramai. Mama percaya saya kan?" Dika memohon. "Nggak percaya. Kamu bilang ingin menikahi Nuri dengan alasan sudah jatuh cinta pada dia, tetapi apa, kamu masih tetap saja tidak bisa berpaling pada Nura. Padahal jelas Nura tidak mengetahui perasaan kamu. Lalu sekarang kamu menjalin hubungan dengan keset kamar mandi itu, terus bilang kamu mau beresin? Gak bakalan Mama percaya. Biar Mama yang beresin kesetnya. Pokoknya kamu tidak boleh memiliki hubungan dengan gadis itu, titik! Ayo, kita berangkat!" Bu Widya bergegas mengambil tas selempangnya di kamar. Dika pun akhirnya pasrah. Ia tidak bisa menghubungi Tika untuk memberitahu agar Tika
"Nuri, mulai sabtu besok, kamu pasti sibuk banget. Gimana kalau nanti malam, kamu saya ajak ke rumah? Luna juga sudah kangen katanya.""Oh, gitu, tapi gak lama kan, Mas? Karena saya harus prepare pembukaan warung dari sejak pagi.""Nggak, Nuri. Habis magrib kamu saya jemput. Mungkin jam sembilan saya antar lagi ke rumah. Mau ya?""Baiklah, Mas. Habis magrib ya." "Permisi, Mbak, basonya udah buka belum ya?!" Seru suara seorang wanita dari luar. Nuri yang berada di dapur, langsung bergegas menghampiri tamunya. "Eh, ya, Mbak, ada apa?" Nuri menghampiri sambil tersenyum ramah. "Warung basonya udah buka belum?" tanya wanita itu lagi sambil memperhatikan tempat makan baso milik Nuri. "Besok pagi jam sebelas siang bukanya, Mbak," jawab Nuri. "Oh, saya kirain udah buka. Makasih ya, besok saja kalau begitu.""Ya, Mbak, terima kasih. Besok jangan lupa mampir ya." Nuri melepas kepergian calon pembelinya dengan senyuman dan perasaan begitu senang. Besok adalah awal perjuangannya membuka usah
Nuri makan malam bersama di ruang makan besar rumah Daniel. Ada mama, tante, dan anak dari Daniel yang ikut bergabung di sana. Sesekali Luna bertanya tentang kegiatan Nuri selama sudah tidak kursus lagi. Remaja itu begitu ceria karena ada Nuri ikut makan malam di rumahnya. Daniel pun sama, ia senang dengan hadirnya Nuri malam ini, meskipun tatapan tidak suka mama dan tantenya begitu jelas terlihat. "Luna, selesaikan dulu makan kamu, baru kamu berbincang dengan Nuri!" Tegur Bu Cici pada cucunya. Luna terdiam, lalu menunduk malu. Ia tidak suka omanya selalu saja mengatur hidupnya. Apa yang boleh, apa yang tidak. Apa yang harusnya ia lakukan? Padahal papanya sendiri tidak banyak melarang. Dirinya juga tahu aturan karena ia sudah besar. Luna lebih senang jika omanya tidak terus-terusan tinggal di rumahnya karena omanya pun punya rumah sendiri. Oma Jamila yang diminta menemaninya di rumah juga melakukan hal yang sama denga Oma Cici-nya. Selalu saja sok mengatur. Wajah Nuri semakin tidak
Haruskah ia sedih dengan sambutan keluarga Daniel? Tentu saja tidak. Otaknya sedang tidak ingin dipaksa melow untuk keadaan yang belum pasti juga. Ia baru bertemu Daniel kembali setelah sekian tahun lamanya dan ia juga baru bercerai dari Dika. Jika ingin jujur, maka perasaannya pada Dika masih jauh lebih murni dari pada dengan Daniel, tetapi ia cukup tahu diri untuk tidak mempertahankan perasaan yang tidak berbalas. Untuk saat ini ia belum benar-benar merasakan jatuh cinta pada Daniel, karena hati dan pikirannya saat ini ada pada usaha yang mulai besok akan ia perjuangkan. Setelah mencuci wajahnya dan mengganti baju dengan piyama, Nuri pun nak ke tempat tidur untuk beristirahat. Ting!DanielNuri, aku benar-benar minta maaf soal mama dan Tante Mila. Oke, gak masalah, Mas. Saya mau istirahat dulu ya. SendSetelah membalas pesan Daniel. Nuri mematikan ponselnya, lalu mengisi daya alat komunikasinya tersebut. Padahal baru jam sembilan malam, tetapi bagi Nuri, ini sudah sangat malam.