"Kamu mau pesan makan apa?" tanya Dika pada Nuri saat keduanya sudah memegang buku menu.
"Beneran boleh pesan makanan apa saja?" tanya Nuri balik karena ia harus memastikan suaminya tidak marah padanya jika ia memesan yang aneh. Dika tentu saja mengangguk yakin.
"Mas, saya pesan menu di restoran ini yang paling mahal dan paling enak ya." Nuri tersenyum pada pelayan yang siap mencatat pesanannya. Dika menoleh pada Nuri dan pelayan itu bergantian.
"Memangnya apa menu paling mahal dan enak di sini?" tanya Dika.
"Kalkun panggang dengan saus Inggris."
"Oh, pantes, pasti ongkirnya mahal banget." Nuri berkomentar. Pelayan menyeringai, sedangkan Dika tertawa.
"Ya sudah, gak papa. Pesan itu saja."Pelayan mencatat menu makanan dan minuman pesanan sepasang pengantin itu, lalu ia beranjak dari sana untuk memberikan list pesanan pada chef yang bertugas. Nuri tidak bicara lagi, apalagi menanyakan sesuatu. Ia sibuk dengan belanjaannya yang sangat banyak dan merasa bersyukur di balik sikap angkuh dan dingin suaminya, tetapi dompet suaminya itu tetap hangat. Jadi, dimanfaatkan saja. Sekian puluh tahun hidup dalam keadaan ekonomi sulit selepas ayahnya meninggal, tentu saja ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
Kurang lebih lima belas menit menunggu, makanan yang dipesan pun siap dihidangkan di meja mereka. Nuri tidak sabar untuk mencicipi makanan paling mahal yang ada di depannya. Beda ekspresi dengan Dika yang datar. Pria itu bersikap seolah-olah ia sedang makan malam sendiri. Tanpa menoleh pada Nuri, ia pun sibuk menikmati hidangannya.
Suara tawa di samping meja mereka, membuat keduanya menoleh. Sepasang suami-istri tengah tertawa karena saat itu mereka sedang suap-suapan. Sungguh momen yang sangat romantis.
"Mas, meja di sebelah pengantin baru kayaknya. Itu di tangan ceweknya ada hyena kayak punya saya." Nuri menunjukkan tangannya yang hampir bersih dengan hiasan hyena. Sudah empat hari berlalu, tentu saja hiasan itu mulai hilang. Dika menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada piringnya.
"Mas gak mau kayak mereka gitu? Suap-suapan sama saya?" Dika tertawa remeh. Pria itu meletakkan sendoknya, lalu sorot matanya menatap Nuri dengan tajam.
"Jangan rusak mood saya makan dengan ocehan kamu yang tidak jelas! Paham?!" Nuri mengangguk. Baiklah, ia tidak akan mengoceh lagi.Wanita itu berusaha menghabiskan makanannya, walau sulit. Setiap kalimat yang dilontarkan Dika sangat membuat hatinya terluka, tapi ia tidak boleh menyerah. Suaminya mungkin sedang khilaf dan tugasnya adalah untuk menyadarkan pria itu kembali.
Willy. Ya, mungkin Willy bisa membantunya. Nuri tidak sabar untuk segera pulang. Ia akan menelpon adik iparnya itu untuk meminta bantuan. Ia tidak akan bisa melakukan semuanya sendiri karena Dika begitu menjaga jarak dengannya.
Nuri memilih tidur di mobil. Ia mengunci rapat mulutnya saat mereka dalam perjalanan pulang. Sebenarnya wanita itu tidak benar-benar tidur, hanya saja ia tidak mau mendengar kalimat ketus yang dilontarkan suaminya lagi.
"Nuri, bangun, kita sudah sampai." Dika menepuk pundak istrinya, lalu ia berjalan turun keluar mobil tanpa menoleh lagi ke belakang, sedangkan Nuri terlelap di dalam mobil. Dika hanya membangunkan istrinya sekilas, tidak sampai wanita itu benar-benar terbangun.
"Ck, dasar lambat!" Gumam Dika saat ia tidak kunjung mendapati Nuri masuk ke kamar. Ini sudah malam dan istrinya pasti sibuk di dapur, batin Dika. Pria itu tidak tahu saja, bahwa istrinya tengah sesak napas di dalam mobil. Nuri lemas hampir kehabisan oksigen. Wanita itu mengetuk-ngetuk jendela mobil, tetapi tidak ada yang mendengarkannya. Ponselnya pun tidak ada sinyal, sehingga wanita itu hanya bisa menangis.
"Mas, bukain! Tolong! Tolong!"
"Astaghfirullah, Mbak Nuri! Waduh, kenapa?"
"Udin, tolong!" Pemuda itu kebingungan harus bagaimana untuk menolong Nuri. Ia pun terkejut saat pulang dari mengantar kekasihnya yang ternyata satu komplek dengan rumah Pak Dika, malah melihat Nuri tengah kesulitan bernapas di dalam mobil.Udin menekan bel berkali-kali.
"Buka! Pak Dika! Tolong! Mbak Nuri terkunci di mobil. Buka! Woy! Cepat! Pak Dika!" Tangan Udin gemetar merogoh saku celananya untuk mencari kontak Dika. Ketukannya yang keras sama sekali tidak membangunkan satu pun penghuni rumah, tentu saja ia semakin panik.
"Halo, siapa ini?"
"Pak Dika, saya Udin, ini Mbak Nuri ada di dalam mobil, terkunci, cepat!"
"Apa? Terkunci?" Dika menoleh pada jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Itu tandanya sudah satu jam ia tidur dan Nuri terkunci di mobil. Lekas Dika melompat dari tempat tidur, lalu berlari menuruni anak tangga. Tak lupa kunci mobil ia raih kasar dari gantungan yang ada di ruang tamu.
"Waduh, gimana sih, Pak Dika? Istri di dalam mobil gak tahu! Wah, gak beres ini." Udin bergumam kesal. Ia terus memandangi Dika yang tengah menarik kenop pintu mobil untuk mengeluarkan Nuri dari dalam.
"Din, bantuin! Kenapa bengong?!" Teriak Dika hingga membuat Udin pun sigap menggotong Nuri keluar dari mobil dan diletakkan di kursi teras.
"Pak, masuk ke dalam dong! Istri Bapak ini hampir mati di dalam mobil lho, masa direbahin di luar!" Udin yang tidak sabar dengan Dika, langsung saja menggendong Nuri. Udin membawanya masuk ke dalam rumah, dan meletakkan wanita itu ke sofa.
"Mbak, bangun! Pak, telepon dokter!" Teriak Udin pada Dika karena lelaki itu masih tergugu bingung di depan pintu rumah. Nuri masih terus saja terengah-engah sambil menatap Udin dengan air mata yang sudah mengalir deras. Jika tidak ada Udin, maka ia akan benar-benar menjadi almarhumah.
"Pak, telepon dokter!" Teriak Udin sekali lagi, barulah Dika tersentak dan langsung menggunakan telepon rumahnya untuk menelepon dokter terdekat.
Sepuluh menit berlalu, dokter panggilan sudah datang dan kini tengah memeriksa Nuri. Bahkan ia memasangkan oksigen pada wanita itu karena memang ia selalu sedia alat medis urgen itu di rumah. Setelah mendengar keluhan pasien, dokter itu pun membawa alat bantu pernapasan itu ke rumah Dika.
"Tunggu sampai benar-benar reda ya, Pak, baru dilepas oksigennya," kata dokter itu pada Dika.
"Baik, Dok, tapi istri saya tidak apa-apa, kan?"
Gak papa gimana, orang mau mati masih dibilang gak papa. Laki bini mah habis jalan-jalan itu pulangnya pasti gandengan tangan. Apalagi pengantin baru. Ini dia malah pules duluan, istri ditinggal di mobil. Pak Dika ini gak lucu dan ini kejahatan. Kalau saya lapor polisi, Pak Dika bisa ditangkap karena kelalaian.
Sayang sekali, kalimat teguran keras itu hanya mampu diteriakkan Udin di hatinya. Tidak mungkin juga ia nekat memenjarakan Pak Dika, bisa-bisa ia dipecat Willy dan Bu Widya. Belum lagi pasti Mbak Nuri akan sedih bila ia melakukan hal itu. Udin hanya bisa berdiri pasrah di dekat pintu rumah, mendengarkan perbincangan antara Dika dan dokter yang memeriksa Nuri.
"Pasien mengalami syok. Kalau boleh tahu, Kira-kira berapa lama Mbak ini tertinggal di dalam mobil?" tanya dokter itu sambil memperhatikan Dika.
"Mungkin lima belas menitan, Dok," jawab Dika berbohong. Tidak mungkin ia katakan yang sejujurnya bahwa dari ia masuk ke kamar, mandi, lalu tidur, istrinya terkunci di mobil selama satu jam setengah.
Udin mengepalkan tangan. Sepertinya suami Mbak Nuri lebih mengerikan dari almarhum Dadang atau bisa jadi mereka adalah teman seperguruan para suami gak punya belas kasihan. Batinnya.
"Yakin, Pak? Kalau hanya lima belas menit, tidak mungkin saturasinya kacau. Jika masih sesak sampai satu jam ke depan, saya sarankan dibawa ke IGD ya."
"Dok, maaf, kalau istri di dalam mobil terkunci tanpa diketahui oleh suaminya padahal baru saja pergi bersama suaminya, apakah ini bisa dikatakan KDRT? Bisa dilaporkan ke polisi tidak?"
Udin akhirnya melontarkan kalimat yang membuat Dika terperanjat dengan wajah pias.
"Saya rasa ini masalah rumah tangga yang harus diselesaikan oleh suami-istri. Kita orang luar tidak berhak ikut campur. Mari, Pak Dika, saya akan menunggu di luar saja." Dokter itu pun keluar dari kamar diikuti oleh Dika. Tinggal Udin yang berdiri di depan pintu dengan perasaan kesal. "Saya laporin ibu ya?!" Ancam Udin. Sontak Nuri menggeleng kuat sambil meneteskan air mata. "Orang mah nikah buat bahagia, Mbak. Kalau buat sengsara, tinggalin aja. Kek cuma dia makhluk Tuhan paling iya di muka bumi." Sindiran Udin membuat air mata Nuri semakin deras. "Udah, Mbak, jangan nangis! Sabar deh ya. Saya pamit, gak bisa lama-lama. Kalau ada sesuatu yang membahayakan, telepon saya langsung." Nuri mengangguk dari kejauhan. Udin pun pergi dari depan kamarnya. Nuri mengusap air mata. Ia harus kuat dan tetap semangat. Ia gak boleh cengeng dalam menghadapi Dika yang bersikap tidak peduli dengannya. Ia akan berusaha membuat suaminya melirik, mencintai, lalu menyentuhnya. Jika tidak berhasil juga,
Begitu sedih hatinya saat tidak mendapatkan ijin untuk melihat keponakan pertamanya aqiqah. Memang tubuhnya masih lemas, tetapi jika dipaksakan, pasti ia bisa berkumpul di sana dan siapa tahu saja dengan bertemu dan berkumpul dengan keluarganya, sakitnya bisa segera sembuh. Namun, lagi-lagi wajah tegang suaminya berputar di kepala, sehingga ia tidak mau membuat masalah baru dengan tidak patuh pada suaminya. Ponsel ia matikan. Lalu remot TV ia tekan untuk menyalakan televisi. Mungkin dengan menonton film drama atau film horor, rasa bosan dan sedihnya akan hilang. Tidak ada acara yang menarik, hanya ada satu channel TV luar yang sedang menayangkan acara Paris Fashion Week. Nuri menonton acara tersebut dengan sangat fokus. Sesekali ia berdecak kagum dengan model catwalk yang tinggi kurus, jalannya juga keren. Ditambah dengan pakaian yang mereka kenalan, membuat penampilan mereka semakin keren. Masih dengan TV yang menyala, Nuri mencari kertas dan alat tulis di meja kerja suaminya. Pe
"Halo, assalamu'alaikum, kamu sedang apa, Nuri?""Wa'alaykumussalam, Mas, saya sedang memotong bahan baju. Saya mau buatkan sample baju untuk Tika.""Wah, bagus itu. Ya sudah kalau kamu sibuk, saya tutup.""Tapi saya gak.... "Sambungan itu terlanjur diputus suaminya, padahal pria itu belum benar-benar mendengar jawaban darinya. Nuri hanya bisa menghela napas panjang. Meteran baju yang ada di tangannya, ia masukkan kembali ke dalam kotak kecil. Hilang sudah semangatnya untuk memotong bahan, ketika suaminya lagi-lagi menganggapnya seadanya dan tidak begitu penting. Padahal saat tadi mengetahui nomor suaminya yang menelepon, hatinya sangat gembira. Nuri keluar dari kamar kerjanya. Jika ia nekat pergi ke rumah ibu untuk melihat keluarganya, ia khawatir Dika akan marah, sedangkan di rumah ia merasa bosan. Ditambah sikap acuh suaminya. Masih dua hari lagi suaminya pulang dan dua hari pun mungkin ia tidak akan ditelepon lagi. "Baik, Pak, apa lagi? Banyak amat pesannya. Tangan saya cuma du
"Saya anggap kamu tidak pernah mengeluarkan kalimat aneh seperti itu." Dika keluar dari kamar. Meninggalkan Nuri yang menggeram sendiri. Ia mengucap istighfar berkali-kali karena sudah bermain-main dengan kalimat yang ia sendiri tidak suka mendengarnya. Cukuplah Nura yang sudah sempat mengajukan gugatan perceraian pada almarhum Dadang, ia tidak mau mengikuti jejak adiknya. Bisa-bisa ibunya kena serangan jantung jika ia benar bercerai dari Dika. Dua orang yang berbeda karakter, tinggal dalam satu rumah tangga, tentu saja tidak mudah. Apalagi kedua belah pihak belum sama-sama ikhlas dengan statusnya. Bukan seorang Nuri yang belum ikhlas, tetapi Dika. Ada banyak teka-teki dalam diri suaminya yang sampai saat ini ia tidak mengetahui apakah itu. Jika memang suaminya tidak mencintainya, kenapa harus menikahinya? Kenapa selalu royal padanya? Apakah hidup berumah tangga cukup dengan uang saja? Sikap acuh, ketus, egois, bahkan tidak memberi nafkah batin apakah termasuk di dalamnya? Malam ti
"Mama tidak akan setuju. Mama pernah bilang kalau tidak akan ada pernikahan kakak dengan kakak, adik dengan adik. Jika kakak si perempuan menikah dengan kakak si lelaki, maka tidak ada pernikahan antara adiknya. Mama tidak akan menerima hal konyol seperti itu." Nuri tersenyum miris. Jelas sekali terlihat suaminya cemburu pada Willy. Berarti dengan Tika suaminya tidak ada hubungan. Bisa saja Tika yang selalu over PD memperlihatkan betapa ia dekat dengan majikannya. Mengalahkan istri majikan sendiri. Ini sudah jelas, bahwa Dika cemburu dan tidak suka kabar Willy akan menikahi Nura. Nuri yang tadinya duduk di depan suaminya, kini berdiri. Ia berpindah duduk menjadi di samping suaminya. "Mas cemburu?" bisik Nuri dengan ekspresi santai. Dika terkejut dengan sindiran Nuri yang tiba-tiba. Wajah pria itu kembali tegang dengan butiran keringat mulai membasahi dahinya. "Cemburu apa?" tanya Dika tak paham. "Jangan mengelak lagi, Mas. Mas itu menyukai Nuri, adik saya, tetapi Mas malah menik
"Tika, saya risih dengan pakaian pendek kamu hari ini. Apa kamu sudah kehabisan baju yang lebih panjang?" tegur Nuri saat memperhatikan Tika yang bolak-balik memakai baju terus pendek sepaha. Ditambah tanpa lengan. "Bu, saya lagi gerah banget. Biasanya juga saya gak pakai baju begini'kan?" Nuri menghela napas sambil menggelengkan kepalanya. "Ini sudah sore, sebentar lagi Mas Dika pulang, saya harap kamu sudah mengganti pakaian kamu dengan yang lebih sopan." Tika cemberut, kemudian gadis itu mengangguk tidak ikhlas. Nuri melanjutkan kegiatan memasang kancing baju di depan televisi, sambil menahan kesal pada Tika. Tidak lama berselang, suara motor suaminya berhenti di depan rumah. Nuri merapikan semua alat jahatnya dengan cepat. Ia tidak ingin suaminya cemberut karena melihat dirinya masih sibuk dengan alat jahit setelah di rumah. "Eh, sudah pulang, Pak," suara renyah Tika membuat Nuri menggeram. Ia pergi menyusul Tika yang sudah di depan pintu menyambut suaminya masih dengan pakaia
Dika menghabiskan cepat mi rebusnya. Ia tidak mau sampai Tika keluar lagi dari kamarnya dengan pakaian mengerikan. Gara-gara tanpa sengaja melihat belahan dada pembantunya, senjatanya bereaksi. Ia normal dan ia pun butuh, tetapi karena perasaannya pada Nuri belum tumbuh, makanya ia tidak bisa menyentuh istrinya itu. Bagi seorang Dika, haram hukumnya bercinta jika tidak didasari oleh cinta. Oleh karena itu, melihat Tika yang berlebihan seperti tadi, membuatnya ngeri sendiri. Setelah isi mangkuk habis, begitu juga dengan gelas air putih yang sudah ia bikin kosong. Kini Dika naik kembali ke kamarnya. Pria itu menekan kenop pintu. Ia mendapati lampu kamar sudah mati, itu pertanda Nuri sudah tidur. Dika masuk dan langsung naik ke ranjang, tetapi ia tidak berbaring karena baru saja makan. Bisa-bisanya perutnya yang rata, terdorong ke depan jika ia tidur sehabis makan. Apalagi malam malam. Lemak dan penyakit aka senang berdiam diri dalam tubuhnya. "Mas, saya masuk angin. Kerokin ya?""Ad
"Nuri, maaf, ya Tuhan, apa yang sudah saya lakukan? Maafkan saya, Nuri." Dika panik setelah menyadari apa yang baru saja ia lakukan pada istrinya. Tika tersenyum penuh kemenangan, berdiri di dekat majikannya tanpa berniat ikut campur. Hari ini ia sudah cukup puas melihat majikan perempuannya ditampar oleh Dika. "Tika! Eh, malah bengong! Cepat bawakan air es di baskom!" Sentak Dika, membuat Tika berjengkit kaget. "Oh, i-iya, Pak, sebentar!" Tika cemberut, tetapi karena ini adalah perintah Dika, maka ia melakukannya dengan senang hati. "Maafin saya, Nuri, astaghfirullah apa yang saya lakukan." Nuri menepis tangan suaminya. Ia ingin sekali berteriak memaki, tetapi lidahnya begitu kelu. Ia bukanlah wanita yang gampang mengumpat karena keluarganya tidak pernah mengajarkan atau mencontohkan mengumpat kalimat kasar. Ia ingin menangis, tetapi tidak bisa karena air matanya yang tidak mau keluar. Ia menahan sesak di dada, tetapi tidak bisa ia keluarkan dalam bentuk air mata. Tangannya masih