Share

6. Nuri yang Malang

"Kamu mau pesan makan apa?" tanya Dika pada Nuri saat keduanya sudah memegang buku menu. 

"Beneran boleh pesan makanan apa saja?" tanya Nuri balik karena ia harus memastikan suaminya tidak marah padanya jika ia memesan yang aneh. Dika tentu saja mengangguk yakin. 

"Mas, saya pesan menu di restoran ini yang paling mahal dan paling enak ya." Nuri tersenyum pada pelayan yang siap mencatat pesanannya. Dika menoleh pada Nuri dan pelayan itu bergantian. 

"Memangnya apa menu paling mahal dan enak di sini?" tanya Dika. 

"Kalkun panggang dengan saus Inggris."

"Oh, pantes, pasti ongkirnya mahal banget." Nuri berkomentar. Pelayan menyeringai, sedangkan Dika tertawa. 

"Ya sudah, gak papa. Pesan itu saja." 

Pelayan mencatat menu makanan dan minuman pesanan sepasang pengantin itu, lalu ia beranjak dari sana untuk memberikan list pesanan pada chef yang bertugas. Nuri tidak bicara lagi, apalagi menanyakan sesuatu. Ia sibuk dengan belanjaannya yang sangat banyak dan merasa bersyukur di balik sikap angkuh dan dingin suaminya, tetapi dompet suaminya itu tetap hangat. Jadi, dimanfaatkan saja. Sekian puluh tahun hidup dalam keadaan ekonomi sulit selepas ayahnya meninggal, tentu saja ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. 

Kurang lebih lima belas menit menunggu, makanan yang dipesan pun siap dihidangkan di meja mereka. Nuri tidak sabar untuk mencicipi makanan paling mahal yang ada di depannya. Beda ekspresi dengan Dika yang datar. Pria itu bersikap seolah-olah ia sedang makan malam sendiri. Tanpa menoleh pada Nuri, ia pun sibuk menikmati hidangannya. 

Suara tawa di samping meja mereka, membuat keduanya menoleh. Sepasang suami-istri tengah tertawa karena saat itu mereka sedang suap-suapan. Sungguh momen yang sangat romantis.

"Mas, meja di sebelah pengantin baru kayaknya. Itu di tangan ceweknya ada hyena kayak punya saya." Nuri menunjukkan tangannya yang hampir bersih dengan hiasan hyena. Sudah empat hari berlalu, tentu saja hiasan itu mulai hilang. Dika menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada piringnya. 

"Mas gak mau kayak mereka gitu? Suap-suapan sama saya?" Dika tertawa remeh. Pria itu meletakkan sendoknya, lalu sorot matanya menatap Nuri dengan tajam. 

"Jangan rusak mood saya makan dengan ocehan kamu yang tidak jelas! Paham?!" Nuri mengangguk. Baiklah, ia tidak akan mengoceh lagi. 

Wanita itu berusaha menghabiskan makanannya, walau sulit. Setiap kalimat yang dilontarkan Dika sangat membuat hatinya terluka, tapi ia tidak boleh menyerah. Suaminya mungkin sedang khilaf dan tugasnya adalah untuk menyadarkan pria itu kembali. 

Willy. Ya, mungkin Willy bisa membantunya. Nuri tidak sabar untuk segera pulang. Ia akan menelpon adik iparnya itu untuk meminta bantuan. Ia tidak akan bisa melakukan semuanya sendiri karena Dika begitu menjaga jarak dengannya. 

Nuri memilih tidur di mobil. Ia mengunci rapat mulutnya saat mereka dalam perjalanan pulang. Sebenarnya wanita itu tidak benar-benar tidur, hanya saja ia tidak mau mendengar kalimat ketus yang dilontarkan suaminya lagi. 

"Nuri, bangun, kita sudah sampai." Dika menepuk pundak istrinya, lalu ia berjalan turun keluar mobil tanpa menoleh lagi ke belakang, sedangkan Nuri terlelap di dalam mobil. Dika hanya membangunkan istrinya sekilas, tidak sampai wanita itu benar-benar terbangun. 

"Ck, dasar lambat!" Gumam Dika saat ia tidak kunjung mendapati Nuri masuk ke kamar. Ini sudah malam dan istrinya pasti sibuk di dapur, batin Dika. Pria itu tidak tahu saja, bahwa istrinya tengah sesak napas di dalam mobil. Nuri lemas hampir kehabisan oksigen. Wanita itu mengetuk-ngetuk jendela mobil, tetapi tidak ada yang mendengarkannya. Ponselnya pun tidak ada sinyal, sehingga wanita itu hanya bisa menangis. 

"Mas, bukain! Tolong! Tolong!" 

"Astaghfirullah, Mbak Nuri! Waduh, kenapa?"

"Udin, tolong!" Pemuda itu kebingungan harus bagaimana untuk menolong Nuri. Ia pun terkejut saat pulang dari mengantar kekasihnya yang ternyata satu komplek dengan rumah Pak Dika, malah melihat Nuri tengah kesulitan bernapas di dalam mobil. 

Udin menekan bel berkali-kali. 

"Buka! Pak Dika! Tolong! Mbak Nuri terkunci di mobil. Buka! Woy! Cepat! Pak Dika!" Tangan Udin gemetar merogoh saku celananya untuk mencari kontak Dika. Ketukannya yang keras sama sekali tidak membangunkan satu pun penghuni rumah, tentu saja ia semakin panik. 

"Halo, siapa ini?"

"Pak Dika, saya Udin, ini Mbak Nuri ada di dalam mobil, terkunci, cepat!"

"Apa? Terkunci?" Dika menoleh pada jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Itu tandanya sudah satu jam ia tidur dan Nuri terkunci di mobil. Lekas Dika melompat dari tempat tidur, lalu berlari menuruni anak tangga. Tak lupa kunci mobil ia raih kasar dari gantungan yang ada di ruang tamu. 

"Waduh, gimana sih, Pak Dika? Istri di dalam mobil gak tahu! Wah, gak beres ini." Udin bergumam kesal. Ia terus memandangi Dika yang tengah menarik kenop pintu mobil untuk mengeluarkan Nuri dari dalam. 

"Din, bantuin! Kenapa bengong?!" Teriak Dika hingga membuat Udin pun sigap menggotong Nuri keluar dari mobil dan diletakkan di kursi teras. 

"Pak, masuk ke dalam dong! Istri Bapak ini hampir mati di dalam mobil lho, masa direbahin di luar!" Udin yang tidak sabar dengan Dika, langsung saja menggendong Nuri. Udin membawanya masuk ke dalam rumah, dan meletakkan wanita itu ke sofa. 

"Mbak, bangun! Pak, telepon dokter!" Teriak Udin pada Dika karena lelaki itu masih tergugu bingung di depan pintu rumah. Nuri masih terus saja terengah-engah sambil menatap Udin dengan air mata yang sudah mengalir deras. Jika tidak ada Udin, maka ia akan benar-benar menjadi almarhumah. 

"Pak, telepon dokter!" Teriak Udin sekali lagi, barulah Dika tersentak dan langsung menggunakan telepon rumahnya untuk menelepon dokter terdekat. 

Sepuluh menit berlalu, dokter panggilan sudah datang dan kini tengah memeriksa Nuri. Bahkan ia memasangkan oksigen pada wanita itu karena memang ia selalu sedia alat medis urgen itu di rumah. Setelah mendengar keluhan pasien, dokter itu pun membawa alat bantu pernapasan itu ke rumah Dika. 

"Tunggu sampai benar-benar reda ya, Pak, baru dilepas oksigennya," kata dokter itu pada Dika. 

"Baik, Dok, tapi istri saya tidak apa-apa, kan?"

Gak papa gimana, orang mau mati masih dibilang gak papa. Laki bini mah habis jalan-jalan itu pulangnya pasti gandengan tangan. Apalagi pengantin baru. Ini dia malah pules duluan, istri ditinggal di mobil. Pak Dika ini gak lucu dan ini kejahatan. Kalau saya lapor polisi, Pak Dika bisa ditangkap karena kelalaian.

Sayang sekali, kalimat teguran keras itu hanya mampu diteriakkan Udin di hatinya. Tidak mungkin juga ia nekat memenjarakan Pak Dika, bisa-bisa ia dipecat Willy dan Bu Widya. Belum lagi pasti Mbak Nuri akan sedih bila ia melakukan hal itu. Udin hanya bisa berdiri pasrah di dekat pintu rumah, mendengarkan perbincangan antara Dika dan dokter yang memeriksa Nuri.

"Pasien mengalami syok. Kalau boleh tahu, Kira-kira berapa lama Mbak ini tertinggal di dalam mobil?" tanya dokter itu sambil memperhatikan Dika. 

"Mungkin lima belas menitan, Dok," jawab Dika berbohong. Tidak mungkin ia katakan yang sejujurnya bahwa dari ia masuk ke kamar, mandi, lalu tidur, istrinya terkunci di mobil selama satu jam setengah. 

Udin mengepalkan tangan. Sepertinya suami Mbak Nuri lebih mengerikan dari almarhum Dadang atau bisa jadi mereka adalah teman seperguruan para suami gak punya belas kasihan. Batinnya. 

"Yakin, Pak? Kalau hanya lima belas menit, tidak mungkin saturasinya kacau. Jika masih sesak sampai satu jam ke depan, saya sarankan dibawa ke IGD ya." 

"Dok, maaf, kalau istri di dalam mobil terkunci tanpa diketahui oleh suaminya padahal baru saja pergi bersama suaminya, apakah ini bisa dikatakan KDRT? Bisa dilaporkan ke polisi tidak?"

Udin akhirnya melontarkan kalimat yang membuat Dika terperanjat dengan wajah pias. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Arif Zaif
hampir nyawanya nuri melayang ,,jelas2 ni kdrt,,
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status