Share

7. Sakit

"Saya rasa ini masalah rumah tangga yang harus diselesaikan oleh suami-istri. Kita orang luar tidak berhak ikut campur. Mari, Pak Dika, saya akan menunggu di luar saja." Dokter itu pun keluar dari kamar diikuti oleh Dika. Tinggal Udin yang berdiri di depan pintu dengan perasaan kesal.

"Saya laporin ibu ya?!" Ancam Udin. Sontak Nuri menggeleng kuat sambil meneteskan air mata.

"Orang mah nikah buat bahagia, Mbak. Kalau buat sengsara, tinggalin aja. Kek cuma dia makhluk Tuhan paling iya di muka bumi." Sindiran Udin membuat air mata Nuri semakin deras.

"Udah, Mbak, jangan nangis! Sabar deh ya. Saya pamit, gak bisa lama-lama. Kalau ada sesuatu yang membahayakan, telepon saya langsung." Nuri mengangguk dari kejauhan. Udin pun pergi dari depan kamarnya.

Nuri mengusap air mata. Ia harus kuat dan tetap semangat. Ia gak boleh cengeng dalam menghadapi Dika yang bersikap tidak peduli dengannya. Ia akan berusaha membuat suaminya melirik, mencintai, lalu menyentuhnya. Jika tidak berhasil juga, barulah ia pergi ke pengadilan agama.

Nuri memejamkan mata. Embusan napasnya berangsur normal setelah dua jam oksigen membantu melonggarkan rongga paru-parunya.

"Saturasinya sudah bagus. Semoga besok sudah lebih sehat ya  Pak Dika. Lain kali hati-hati. Jangan sampai istri ketinggalan lagi." Dokter berkaca mata itu tersenyum amat lebar. Ia merapikan semua alat periksanya untuk dimasukkan ke dalam tas seperti koper kecil. Nuri pun terbangun saat selang yang ada di hidungnya dilepas oleh dokter.

"Istirahat ya, Mbak, kalau masih ada sesak esok hari. Langsung ke rumah sakit saja, tapi insyaaallah udah sehat ya." Nuri mengangguk lemah, memberikan senyum tipisnya pada dokter itu.

Dika mengantar dokter sampai ke pintu rumah. Lalu pria itu masuk ke dalam kamar setelah mengunci semua pintu. Nuri sudah kembali terlelap. Kali ini ia tidur memunggungi suaminya. Derap langkah suaminya yang berjalan ke kamar mandi masih dapat ditangkap oleh telinganya. Nuri memutuskan tidak mau bicara apapun pada Dika malam ini karena hatinya masih begitu sakit.

"Maafkan saya, Nuri, saya kira kamu lagi apa di dapur gak langsung naik ke kamar. Rupanya malah ketinggalan di mobil. Coba kamu latihan untuk tidak tidur terlalu pulas. Saya sudah bangunkan kamu, tapi malah gak bangun juga. Kayak anak perawan saja, susah bangun! Hhm... ya sudah kalau begitu. Istirahat deh, aku juga ngantuk."

Nuri mendengar suaminya berbicara meminta maaf, tetapi intonasi pria itu tidaklah tulus. Seakan terpaksa karena ia malu dengan tetangga dan juga Udin. Tidur lebih baik dan berharap semua ini mimpi.

"Nuri, bangun! Ini udah siang!" Dika membangunkan istrinya.

"Nuri, bangun!" Dika mendekat pada telinga istrinya. Barulah Nuri bergerak dan membuka mata dengan perlahan.

"Aduh, pusing," lirih wanita itu saat mencoba bangun, hingga akhirnya tidur lagi.

"Mungkin kamu masih perlu istirahat ya. Ya sudah, aku berangkat ya. Nanti aku suruh Tika anter sarapan ke sini. Suami mau pergi keluar kota beberapa hari, istri malah sakit." Dika menggendong tas ransel dan juga tas laptop, lalu ia berjalan keluar dari kamar. Setiap perkataan yang meluncur dari bibir suaminya selalu saja membuatnya sakit hati. Namun, ia harus yakin, semakin banyak hal buruk yang dilakukan suaminya, jika ia sabar, maka Allah akan melipat gandakan pahala baginya.

Suara pintu terdengar diketuk. Tidak lama pintu terbuka dan Tika muncul di sana sambil membawa nampan.

"Kata Pak Dika, Ibu sakit. Ini saya buatkan air jahe biar badannya hangat. Buburnya saya masak dulu ya, Bu. Gak lama kok, paling lima belas menit lagi." Nuri mengangguk.

"Terima kasih, Tika."

"Sama-sama, Bu," jawab Tika ikut tersenyum juga.

"Jika Ibu mau saya kerokin, bilang aja ya. Saya jago ngerik, Bu. Pak Dika juga langganan kerikan sama saya. Lumayan dapat gocap kalau saya kerik, he he... buat Ibu mah gratis kalau mau saya kerok." Tika bercerita dengan wajah polosnya, tanpa memikirkan perasaan istri majikan. Nuri hanya bisa mengucap istighfar dalam hati. Bagaimana bisa suaminya mau saja dikerik yang artinya bersentuhan dengan Tika, sedangkan dengan istri sendiri ia enggan. Apa suaminya mempunyai hubungan di belakangnya dengan Tika?

"Terima kasih, Tika. Saya hanya masuk angin biasa saja. Terima kasih atas tawarannya." Tika pun mengangguk, lalu keluar dari kamar Nuri.

Ponselnya bergetar. Ada pesan masuk dari Nura.

Assalamu'alaikum, Mbak, hari ini ke rumahkan? Baby L aqiqah, Mbak. Saya dan ibu juga kangen.

Nuri membaca pesan yang muncul di layar depan, padahal ia belum buka kunci. Pesan dari Nura yang membuatnya sedih. Lekas ia menekan kontak Udin, tetapi bukan dari W******p.

"Halo, assalamu'alaikum, Mbak Nuri, ada apa? Dikunciin lagi di mobil?"

"Wa'alaykumussalam, Din. Bukan, gak boleh suudzon gitu."

"Tapi suara Mbak lemes banget. Pasti masih karena Pak Dika ya?"

Nuri tidak ingin menjawab pertanyaan Udin bukan karena ia malas, tetapi karena ia tidak mau masalah rumah tangganya tercium sampai keluar. Apalagi didengar oleh ibunya.

"Din, aku minta tolong, jangan bilang Ibu dan Nura kalau aku lagi sakit atau masalah aku terkunci di mobil. Tolong ya, Din."

"Iya, Mbak. Kali ini saya akan diam,  tapi kalau sampai saya dengar Mbak Nuri dikunciin lagi di mobil, saya bilang pada  Ibu dan Mbak Nura. Saya hari ini akan ke rumah Ibu karena Baby L mau aqiqah."

"Iya, Din. Makasih."

Panggilan itu pun ia putus. Suara pintu diketuk dua kali membuat Nuri menoleh ke asal suara.

"Mbak, saya Willy!" Suara renyah adik iparnya membuat Nuri mendadak mendapatkan ide.

"Kenapa, Wil?"

"Mau antar bubur. Kata Tika, Mbak sakit."

"Oh, ya sudah, buka aja pintunya." Willy menekan kenop pintu, lalu melongokan kepalanya dari balik pintu. Pemuda itu tersenyum tulus, sembari membuka lebar pintu kamar. Ia berjalan sambil membawa nampan berisi mangkuk bubur, kecap, dan juga sepiring kue.

"Ini, makan dulu!" Kata Willy sembari meletakkan nampan itu di atas meja kecil yang bisa ditarik mendekat pada ranjang Nuri.

"Makasih, Willy," ujar Nuri sambil memaksakan senyuman. Ia berusaha duduk, tetapi kepalanya semakin berputar. Willy dengan sigap menata bantal susun tiga, hingga Nuri bisa bersandar nyaman di sana untuk makan.

"Terima kasih, Willy," kata Nuri lagi sambil tersenyum.

"Sama-sama, Mbak. Mbak kenapa? Mas Dika berulah ya? Sabar ya, Mbak. Sejak lama saya mau beritahu, tetapi nanti saya dianggap ikut campur. Pokoknya Mbak Nuri harus sabar. Saya tahu Mas Dika itu sebenarnya baik dan bertanggung jawab. Hanya saja sedang bucin tidak tepat."

"Kamu tahu perihal perasaan Mas Dika d-dengan Nura?" Nuri tergagap. Ia mengira hanya Bu Widya saja yang mengetahui rahasia suaminya, tetapi juga Willy. Kenapa ia tidak diberitahu sejak awal? Batin Nuri sedih.

Pemuda itu mengangguk pasti.

"Maafkan saya, Mbak. Saya janji akan bantu Mbak Nuri, tetapi Mbak Nuri harus sabar ya. Saya sepertinya  tahu langkah apa yang harus saya lakukan pada Mbak Nura, agar Mas Dika berhenti memikirkan bahkan mengharapkan Mbak Nura."

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Gila bener2 iblis bgt tuh si dika anak org hampir lewat malah cuek2 aj. Bkn org lu
goodnovel comment avatar
Arif Zaif
pertolongan datang,,adik ipar terbaik, wily..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status