"Saya rasa ini masalah rumah tangga yang harus diselesaikan oleh suami-istri. Kita orang luar tidak berhak ikut campur. Mari, Pak Dika, saya akan menunggu di luar saja." Dokter itu pun keluar dari kamar diikuti oleh Dika. Tinggal Udin yang berdiri di depan pintu dengan perasaan kesal.
"Saya laporin ibu ya?!" Ancam Udin. Sontak Nuri menggeleng kuat sambil meneteskan air mata."Orang mah nikah buat bahagia, Mbak. Kalau buat sengsara, tinggalin aja. Kek cuma dia makhluk Tuhan paling iya di muka bumi." Sindiran Udin membuat air mata Nuri semakin deras."Udah, Mbak, jangan nangis! Sabar deh ya. Saya pamit, gak bisa lama-lama. Kalau ada sesuatu yang membahayakan, telepon saya langsung." Nuri mengangguk dari kejauhan. Udin pun pergi dari depan kamarnya.Nuri mengusap air mata. Ia harus kuat dan tetap semangat. Ia gak boleh cengeng dalam menghadapi Dika yang bersikap tidak peduli dengannya. Ia akan berusaha membuat suaminya melirik, mencintai, lalu menyentuhnya. Jika tidak berhasil juga, barulah ia pergi ke pengadilan agama.Nuri memejamkan mata. Embusan napasnya berangsur normal setelah dua jam oksigen membantu melonggarkan rongga paru-parunya."Saturasinya sudah bagus. Semoga besok sudah lebih sehat ya Pak Dika. Lain kali hati-hati. Jangan sampai istri ketinggalan lagi." Dokter berkaca mata itu tersenyum amat lebar. Ia merapikan semua alat periksanya untuk dimasukkan ke dalam tas seperti koper kecil. Nuri pun terbangun saat selang yang ada di hidungnya dilepas oleh dokter."Istirahat ya, Mbak, kalau masih ada sesak esok hari. Langsung ke rumah sakit saja, tapi insyaaallah udah sehat ya." Nuri mengangguk lemah, memberikan senyum tipisnya pada dokter itu.Dika mengantar dokter sampai ke pintu rumah. Lalu pria itu masuk ke dalam kamar setelah mengunci semua pintu. Nuri sudah kembali terlelap. Kali ini ia tidur memunggungi suaminya. Derap langkah suaminya yang berjalan ke kamar mandi masih dapat ditangkap oleh telinganya. Nuri memutuskan tidak mau bicara apapun pada Dika malam ini karena hatinya masih begitu sakit."Maafkan saya, Nuri, saya kira kamu lagi apa di dapur gak langsung naik ke kamar. Rupanya malah ketinggalan di mobil. Coba kamu latihan untuk tidak tidur terlalu pulas. Saya sudah bangunkan kamu, tapi malah gak bangun juga. Kayak anak perawan saja, susah bangun! Hhm... ya sudah kalau begitu. Istirahat deh, aku juga ngantuk."Nuri mendengar suaminya berbicara meminta maaf, tetapi intonasi pria itu tidaklah tulus. Seakan terpaksa karena ia malu dengan tetangga dan juga Udin. Tidur lebih baik dan berharap semua ini mimpi."Nuri, bangun! Ini udah siang!" Dika membangunkan istrinya."Nuri, bangun!" Dika mendekat pada telinga istrinya. Barulah Nuri bergerak dan membuka mata dengan perlahan."Aduh, pusing," lirih wanita itu saat mencoba bangun, hingga akhirnya tidur lagi."Mungkin kamu masih perlu istirahat ya. Ya sudah, aku berangkat ya. Nanti aku suruh Tika anter sarapan ke sini. Suami mau pergi keluar kota beberapa hari, istri malah sakit." Dika menggendong tas ransel dan juga tas laptop, lalu ia berjalan keluar dari kamar. Setiap perkataan yang meluncur dari bibir suaminya selalu saja membuatnya sakit hati. Namun, ia harus yakin, semakin banyak hal buruk yang dilakukan suaminya, jika ia sabar, maka Allah akan melipat gandakan pahala baginya.Suara pintu terdengar diketuk. Tidak lama pintu terbuka dan Tika muncul di sana sambil membawa nampan."Kata Pak Dika, Ibu sakit. Ini saya buatkan air jahe biar badannya hangat. Buburnya saya masak dulu ya, Bu. Gak lama kok, paling lima belas menit lagi." Nuri mengangguk."Terima kasih, Tika.""Sama-sama, Bu," jawab Tika ikut tersenyum juga."Jika Ibu mau saya kerokin, bilang aja ya. Saya jago ngerik, Bu. Pak Dika juga langganan kerikan sama saya. Lumayan dapat gocap kalau saya kerik, he he... buat Ibu mah gratis kalau mau saya kerok." Tika bercerita dengan wajah polosnya, tanpa memikirkan perasaan istri majikan. Nuri hanya bisa mengucap istighfar dalam hati. Bagaimana bisa suaminya mau saja dikerik yang artinya bersentuhan dengan Tika, sedangkan dengan istri sendiri ia enggan. Apa suaminya mempunyai hubungan di belakangnya dengan Tika?"Terima kasih, Tika. Saya hanya masuk angin biasa saja. Terima kasih atas tawarannya." Tika pun mengangguk, lalu keluar dari kamar Nuri.Ponselnya bergetar. Ada pesan masuk dari Nura.Assalamu'alaikum, Mbak, hari ini ke rumahkan? Baby L aqiqah, Mbak. Saya dan ibu juga kangen.Nuri membaca pesan yang muncul di layar depan, padahal ia belum buka kunci. Pesan dari Nura yang membuatnya sedih. Lekas ia menekan kontak Udin, tetapi bukan dari W******p."Halo, assalamu'alaikum, Mbak Nuri, ada apa? Dikunciin lagi di mobil?""Wa'alaykumussalam, Din. Bukan, gak boleh suudzon gitu.""Tapi suara Mbak lemes banget. Pasti masih karena Pak Dika ya?"Nuri tidak ingin menjawab pertanyaan Udin bukan karena ia malas, tetapi karena ia tidak mau masalah rumah tangganya tercium sampai keluar. Apalagi didengar oleh ibunya."Din, aku minta tolong, jangan bilang Ibu dan Nura kalau aku lagi sakit atau masalah aku terkunci di mobil. Tolong ya, Din.""Iya, Mbak. Kali ini saya akan diam, tapi kalau sampai saya dengar Mbak Nuri dikunciin lagi di mobil, saya bilang pada Ibu dan Mbak Nura. Saya hari ini akan ke rumah Ibu karena Baby L mau aqiqah.""Iya, Din. Makasih."Panggilan itu pun ia putus. Suara pintu diketuk dua kali membuat Nuri menoleh ke asal suara."Mbak, saya Willy!" Suara renyah adik iparnya membuat Nuri mendadak mendapatkan ide."Kenapa, Wil?""Mau antar bubur. Kata Tika, Mbak sakit.""Oh, ya sudah, buka aja pintunya." Willy menekan kenop pintu, lalu melongokan kepalanya dari balik pintu. Pemuda itu tersenyum tulus, sembari membuka lebar pintu kamar. Ia berjalan sambil membawa nampan berisi mangkuk bubur, kecap, dan juga sepiring kue."Ini, makan dulu!" Kata Willy sembari meletakkan nampan itu di atas meja kecil yang bisa ditarik mendekat pada ranjang Nuri."Makasih, Willy," ujar Nuri sambil memaksakan senyuman. Ia berusaha duduk, tetapi kepalanya semakin berputar. Willy dengan sigap menata bantal susun tiga, hingga Nuri bisa bersandar nyaman di sana untuk makan."Terima kasih, Willy," kata Nuri lagi sambil tersenyum."Sama-sama, Mbak. Mbak kenapa? Mas Dika berulah ya? Sabar ya, Mbak. Sejak lama saya mau beritahu, tetapi nanti saya dianggap ikut campur. Pokoknya Mbak Nuri harus sabar. Saya tahu Mas Dika itu sebenarnya baik dan bertanggung jawab. Hanya saja sedang bucin tidak tepat.""Kamu tahu perihal perasaan Mas Dika d-dengan Nura?" Nuri tergagap. Ia mengira hanya Bu Widya saja yang mengetahui rahasia suaminya, tetapi juga Willy. Kenapa ia tidak diberitahu sejak awal? Batin Nuri sedih.Pemuda itu mengangguk pasti."Maafkan saya, Mbak. Saya janji akan bantu Mbak Nuri, tetapi Mbak Nuri harus sabar ya. Saya sepertinya tahu langkah apa yang harus saya lakukan pada Mbak Nura, agar Mas Dika berhenti memikirkan bahkan mengharapkan Mbak Nura."Begitu sedih hatinya saat tidak mendapatkan ijin untuk melihat keponakan pertamanya aqiqah. Memang tubuhnya masih lemas, tetapi jika dipaksakan, pasti ia bisa berkumpul di sana dan siapa tahu saja dengan bertemu dan berkumpul dengan keluarganya, sakitnya bisa segera sembuh. Namun, lagi-lagi wajah tegang suaminya berputar di kepala, sehingga ia tidak mau membuat masalah baru dengan tidak patuh pada suaminya. Ponsel ia matikan. Lalu remot TV ia tekan untuk menyalakan televisi. Mungkin dengan menonton film drama atau film horor, rasa bosan dan sedihnya akan hilang. Tidak ada acara yang menarik, hanya ada satu channel TV luar yang sedang menayangkan acara Paris Fashion Week. Nuri menonton acara tersebut dengan sangat fokus. Sesekali ia berdecak kagum dengan model catwalk yang tinggi kurus, jalannya juga keren. Ditambah dengan pakaian yang mereka kenalan, membuat penampilan mereka semakin keren. Masih dengan TV yang menyala, Nuri mencari kertas dan alat tulis di meja kerja suaminya. Pe
"Halo, assalamu'alaikum, kamu sedang apa, Nuri?""Wa'alaykumussalam, Mas, saya sedang memotong bahan baju. Saya mau buatkan sample baju untuk Tika.""Wah, bagus itu. Ya sudah kalau kamu sibuk, saya tutup.""Tapi saya gak.... "Sambungan itu terlanjur diputus suaminya, padahal pria itu belum benar-benar mendengar jawaban darinya. Nuri hanya bisa menghela napas panjang. Meteran baju yang ada di tangannya, ia masukkan kembali ke dalam kotak kecil. Hilang sudah semangatnya untuk memotong bahan, ketika suaminya lagi-lagi menganggapnya seadanya dan tidak begitu penting. Padahal saat tadi mengetahui nomor suaminya yang menelepon, hatinya sangat gembira. Nuri keluar dari kamar kerjanya. Jika ia nekat pergi ke rumah ibu untuk melihat keluarganya, ia khawatir Dika akan marah, sedangkan di rumah ia merasa bosan. Ditambah sikap acuh suaminya. Masih dua hari lagi suaminya pulang dan dua hari pun mungkin ia tidak akan ditelepon lagi. "Baik, Pak, apa lagi? Banyak amat pesannya. Tangan saya cuma du
"Saya anggap kamu tidak pernah mengeluarkan kalimat aneh seperti itu." Dika keluar dari kamar. Meninggalkan Nuri yang menggeram sendiri. Ia mengucap istighfar berkali-kali karena sudah bermain-main dengan kalimat yang ia sendiri tidak suka mendengarnya. Cukuplah Nura yang sudah sempat mengajukan gugatan perceraian pada almarhum Dadang, ia tidak mau mengikuti jejak adiknya. Bisa-bisa ibunya kena serangan jantung jika ia benar bercerai dari Dika. Dua orang yang berbeda karakter, tinggal dalam satu rumah tangga, tentu saja tidak mudah. Apalagi kedua belah pihak belum sama-sama ikhlas dengan statusnya. Bukan seorang Nuri yang belum ikhlas, tetapi Dika. Ada banyak teka-teki dalam diri suaminya yang sampai saat ini ia tidak mengetahui apakah itu. Jika memang suaminya tidak mencintainya, kenapa harus menikahinya? Kenapa selalu royal padanya? Apakah hidup berumah tangga cukup dengan uang saja? Sikap acuh, ketus, egois, bahkan tidak memberi nafkah batin apakah termasuk di dalamnya? Malam ti
"Mama tidak akan setuju. Mama pernah bilang kalau tidak akan ada pernikahan kakak dengan kakak, adik dengan adik. Jika kakak si perempuan menikah dengan kakak si lelaki, maka tidak ada pernikahan antara adiknya. Mama tidak akan menerima hal konyol seperti itu." Nuri tersenyum miris. Jelas sekali terlihat suaminya cemburu pada Willy. Berarti dengan Tika suaminya tidak ada hubungan. Bisa saja Tika yang selalu over PD memperlihatkan betapa ia dekat dengan majikannya. Mengalahkan istri majikan sendiri. Ini sudah jelas, bahwa Dika cemburu dan tidak suka kabar Willy akan menikahi Nura. Nuri yang tadinya duduk di depan suaminya, kini berdiri. Ia berpindah duduk menjadi di samping suaminya. "Mas cemburu?" bisik Nuri dengan ekspresi santai. Dika terkejut dengan sindiran Nuri yang tiba-tiba. Wajah pria itu kembali tegang dengan butiran keringat mulai membasahi dahinya. "Cemburu apa?" tanya Dika tak paham. "Jangan mengelak lagi, Mas. Mas itu menyukai Nuri, adik saya, tetapi Mas malah menik
"Tika, saya risih dengan pakaian pendek kamu hari ini. Apa kamu sudah kehabisan baju yang lebih panjang?" tegur Nuri saat memperhatikan Tika yang bolak-balik memakai baju terus pendek sepaha. Ditambah tanpa lengan. "Bu, saya lagi gerah banget. Biasanya juga saya gak pakai baju begini'kan?" Nuri menghela napas sambil menggelengkan kepalanya. "Ini sudah sore, sebentar lagi Mas Dika pulang, saya harap kamu sudah mengganti pakaian kamu dengan yang lebih sopan." Tika cemberut, kemudian gadis itu mengangguk tidak ikhlas. Nuri melanjutkan kegiatan memasang kancing baju di depan televisi, sambil menahan kesal pada Tika. Tidak lama berselang, suara motor suaminya berhenti di depan rumah. Nuri merapikan semua alat jahatnya dengan cepat. Ia tidak ingin suaminya cemberut karena melihat dirinya masih sibuk dengan alat jahit setelah di rumah. "Eh, sudah pulang, Pak," suara renyah Tika membuat Nuri menggeram. Ia pergi menyusul Tika yang sudah di depan pintu menyambut suaminya masih dengan pakaia
Dika menghabiskan cepat mi rebusnya. Ia tidak mau sampai Tika keluar lagi dari kamarnya dengan pakaian mengerikan. Gara-gara tanpa sengaja melihat belahan dada pembantunya, senjatanya bereaksi. Ia normal dan ia pun butuh, tetapi karena perasaannya pada Nuri belum tumbuh, makanya ia tidak bisa menyentuh istrinya itu. Bagi seorang Dika, haram hukumnya bercinta jika tidak didasari oleh cinta. Oleh karena itu, melihat Tika yang berlebihan seperti tadi, membuatnya ngeri sendiri. Setelah isi mangkuk habis, begitu juga dengan gelas air putih yang sudah ia bikin kosong. Kini Dika naik kembali ke kamarnya. Pria itu menekan kenop pintu. Ia mendapati lampu kamar sudah mati, itu pertanda Nuri sudah tidur. Dika masuk dan langsung naik ke ranjang, tetapi ia tidak berbaring karena baru saja makan. Bisa-bisanya perutnya yang rata, terdorong ke depan jika ia tidur sehabis makan. Apalagi malam malam. Lemak dan penyakit aka senang berdiam diri dalam tubuhnya. "Mas, saya masuk angin. Kerokin ya?""Ad
"Nuri, maaf, ya Tuhan, apa yang sudah saya lakukan? Maafkan saya, Nuri." Dika panik setelah menyadari apa yang baru saja ia lakukan pada istrinya. Tika tersenyum penuh kemenangan, berdiri di dekat majikannya tanpa berniat ikut campur. Hari ini ia sudah cukup puas melihat majikan perempuannya ditampar oleh Dika. "Tika! Eh, malah bengong! Cepat bawakan air es di baskom!" Sentak Dika, membuat Tika berjengkit kaget. "Oh, i-iya, Pak, sebentar!" Tika cemberut, tetapi karena ini adalah perintah Dika, maka ia melakukannya dengan senang hati. "Maafin saya, Nuri, astaghfirullah apa yang saya lakukan." Nuri menepis tangan suaminya. Ia ingin sekali berteriak memaki, tetapi lidahnya begitu kelu. Ia bukanlah wanita yang gampang mengumpat karena keluarganya tidak pernah mengajarkan atau mencontohkan mengumpat kalimat kasar. Ia ingin menangis, tetapi tidak bisa karena air matanya yang tidak mau keluar. Ia menahan sesak di dada, tetapi tidak bisa ia keluarkan dalam bentuk air mata. Tangannya masih
Dika masuk ke kamar. Ini sudah jam sepuluh malam. Nuri biasanya sudah tidur, tetapi malam ini istrinya masih fokus di depan ponsel, serta ada kertas dan juga pensil di atas pangkuannya. Nuri seperti tengah mengikuti gambar yang ada di ponsel. Karena terlalu asik, Nuri tidak menyadari kehadiran suaminya. Dika meletakkan bokongnya di ranjang, pada saat itulah Nuri menoleh dan menyadari ada Dika di sampingnya. "Mau tidur, Mas?" tanya Nuri sambil meletakkan alat tulis dan kertasnya tadi di atas meja. "Iya, kamu juga tidur, lanjut besok saja," kata Dika yang sudah berbalik badan memunggungi istrinya. Nuri kembali menghela napas. Ia turun dari tempat tidur untuk memastikan lampu kamar. "Mas sepertinya sedang kesal. Apa karena Tika dan saya bertengkar tadi?" tanya Nuri saat ia sudah berada dalam selimut yang sama dengan suaminya. "Bukan, " jawab Dika singkat. "Kalau begitu, apa karena Nura dan Willy? Saya dapat WA dari Nura, mereka sedang memilih kartu undangan, meskipun masih dua bula