Share

7. Sakit

last update Last Updated: 2022-11-16 10:54:51

"Saya rasa ini masalah rumah tangga yang harus diselesaikan oleh suami-istri. Kita orang luar tidak berhak ikut campur. Mari, Pak Dika, saya akan menunggu di luar saja." Dokter itu pun keluar dari kamar diikuti oleh Dika. Tinggal Udin yang berdiri di depan pintu dengan perasaan kesal.

"Saya laporin ibu ya?!" Ancam Udin. Sontak Nuri menggeleng kuat sambil meneteskan air mata.

"Orang mah nikah buat bahagia, Mbak. Kalau buat sengsara, tinggalin aja. Kek cuma dia makhluk Tuhan paling iya di muka bumi." Sindiran Udin membuat air mata Nuri semakin deras.

"Udah, Mbak, jangan nangis! Sabar deh ya. Saya pamit, gak bisa lama-lama. Kalau ada sesuatu yang membahayakan, telepon saya langsung." Nuri mengangguk dari kejauhan. Udin pun pergi dari depan kamarnya.

Nuri mengusap air mata. Ia harus kuat dan tetap semangat. Ia gak boleh cengeng dalam menghadapi Dika yang bersikap tidak peduli dengannya. Ia akan berusaha membuat suaminya melirik, mencintai, lalu menyentuhnya. Jika tidak berhasil juga, barulah ia pergi ke pengadilan agama.

Nuri memejamkan mata. Embusan napasnya berangsur normal setelah dua jam oksigen membantu melonggarkan rongga paru-parunya.

"Saturasinya sudah bagus. Semoga besok sudah lebih sehat ya  Pak Dika. Lain kali hati-hati. Jangan sampai istri ketinggalan lagi." Dokter berkaca mata itu tersenyum amat lebar. Ia merapikan semua alat periksanya untuk dimasukkan ke dalam tas seperti koper kecil. Nuri pun terbangun saat selang yang ada di hidungnya dilepas oleh dokter.

"Istirahat ya, Mbak, kalau masih ada sesak esok hari. Langsung ke rumah sakit saja, tapi insyaaallah udah sehat ya." Nuri mengangguk lemah, memberikan senyum tipisnya pada dokter itu.

Dika mengantar dokter sampai ke pintu rumah. Lalu pria itu masuk ke dalam kamar setelah mengunci semua pintu. Nuri sudah kembali terlelap. Kali ini ia tidur memunggungi suaminya. Derap langkah suaminya yang berjalan ke kamar mandi masih dapat ditangkap oleh telinganya. Nuri memutuskan tidak mau bicara apapun pada Dika malam ini karena hatinya masih begitu sakit.

"Maafkan saya, Nuri, saya kira kamu lagi apa di dapur gak langsung naik ke kamar. Rupanya malah ketinggalan di mobil. Coba kamu latihan untuk tidak tidur terlalu pulas. Saya sudah bangunkan kamu, tapi malah gak bangun juga. Kayak anak perawan saja, susah bangun! Hhm... ya sudah kalau begitu. Istirahat deh, aku juga ngantuk."

Nuri mendengar suaminya berbicara meminta maaf, tetapi intonasi pria itu tidaklah tulus. Seakan terpaksa karena ia malu dengan tetangga dan juga Udin. Tidur lebih baik dan berharap semua ini mimpi.

"Nuri, bangun! Ini udah siang!" Dika membangunkan istrinya.

"Nuri, bangun!" Dika mendekat pada telinga istrinya. Barulah Nuri bergerak dan membuka mata dengan perlahan.

"Aduh, pusing," lirih wanita itu saat mencoba bangun, hingga akhirnya tidur lagi.

"Mungkin kamu masih perlu istirahat ya. Ya sudah, aku berangkat ya. Nanti aku suruh Tika anter sarapan ke sini. Suami mau pergi keluar kota beberapa hari, istri malah sakit." Dika menggendong tas ransel dan juga tas laptop, lalu ia berjalan keluar dari kamar. Setiap perkataan yang meluncur dari bibir suaminya selalu saja membuatnya sakit hati. Namun, ia harus yakin, semakin banyak hal buruk yang dilakukan suaminya, jika ia sabar, maka Allah akan melipat gandakan pahala baginya.

Suara pintu terdengar diketuk. Tidak lama pintu terbuka dan Tika muncul di sana sambil membawa nampan.

"Kata Pak Dika, Ibu sakit. Ini saya buatkan air jahe biar badannya hangat. Buburnya saya masak dulu ya, Bu. Gak lama kok, paling lima belas menit lagi." Nuri mengangguk.

"Terima kasih, Tika."

"Sama-sama, Bu," jawab Tika ikut tersenyum juga.

"Jika Ibu mau saya kerokin, bilang aja ya. Saya jago ngerik, Bu. Pak Dika juga langganan kerikan sama saya. Lumayan dapat gocap kalau saya kerik, he he... buat Ibu mah gratis kalau mau saya kerok." Tika bercerita dengan wajah polosnya, tanpa memikirkan perasaan istri majikan. Nuri hanya bisa mengucap istighfar dalam hati. Bagaimana bisa suaminya mau saja dikerik yang artinya bersentuhan dengan Tika, sedangkan dengan istri sendiri ia enggan. Apa suaminya mempunyai hubungan di belakangnya dengan Tika?

"Terima kasih, Tika. Saya hanya masuk angin biasa saja. Terima kasih atas tawarannya." Tika pun mengangguk, lalu keluar dari kamar Nuri.

Ponselnya bergetar. Ada pesan masuk dari Nura.

Assalamu'alaikum, Mbak, hari ini ke rumahkan? Baby L aqiqah, Mbak. Saya dan ibu juga kangen.

Nuri membaca pesan yang muncul di layar depan, padahal ia belum buka kunci. Pesan dari Nura yang membuatnya sedih. Lekas ia menekan kontak Udin, tetapi bukan dari W******p.

"Halo, assalamu'alaikum, Mbak Nuri, ada apa? Dikunciin lagi di mobil?"

"Wa'alaykumussalam, Din. Bukan, gak boleh suudzon gitu."

"Tapi suara Mbak lemes banget. Pasti masih karena Pak Dika ya?"

Nuri tidak ingin menjawab pertanyaan Udin bukan karena ia malas, tetapi karena ia tidak mau masalah rumah tangganya tercium sampai keluar. Apalagi didengar oleh ibunya.

"Din, aku minta tolong, jangan bilang Ibu dan Nura kalau aku lagi sakit atau masalah aku terkunci di mobil. Tolong ya, Din."

"Iya, Mbak. Kali ini saya akan diam,  tapi kalau sampai saya dengar Mbak Nuri dikunciin lagi di mobil, saya bilang pada  Ibu dan Mbak Nura. Saya hari ini akan ke rumah Ibu karena Baby L mau aqiqah."

"Iya, Din. Makasih."

Panggilan itu pun ia putus. Suara pintu diketuk dua kali membuat Nuri menoleh ke asal suara.

"Mbak, saya Willy!" Suara renyah adik iparnya membuat Nuri mendadak mendapatkan ide.

"Kenapa, Wil?"

"Mau antar bubur. Kata Tika, Mbak sakit."

"Oh, ya sudah, buka aja pintunya." Willy menekan kenop pintu, lalu melongokan kepalanya dari balik pintu. Pemuda itu tersenyum tulus, sembari membuka lebar pintu kamar. Ia berjalan sambil membawa nampan berisi mangkuk bubur, kecap, dan juga sepiring kue.

"Ini, makan dulu!" Kata Willy sembari meletakkan nampan itu di atas meja kecil yang bisa ditarik mendekat pada ranjang Nuri.

"Makasih, Willy," ujar Nuri sambil memaksakan senyuman. Ia berusaha duduk, tetapi kepalanya semakin berputar. Willy dengan sigap menata bantal susun tiga, hingga Nuri bisa bersandar nyaman di sana untuk makan.

"Terima kasih, Willy," kata Nuri lagi sambil tersenyum.

"Sama-sama, Mbak. Mbak kenapa? Mas Dika berulah ya? Sabar ya, Mbak. Sejak lama saya mau beritahu, tetapi nanti saya dianggap ikut campur. Pokoknya Mbak Nuri harus sabar. Saya tahu Mas Dika itu sebenarnya baik dan bertanggung jawab. Hanya saja sedang bucin tidak tepat."

"Kamu tahu perihal perasaan Mas Dika d-dengan Nura?" Nuri tergagap. Ia mengira hanya Bu Widya saja yang mengetahui rahasia suaminya, tetapi juga Willy. Kenapa ia tidak diberitahu sejak awal? Batin Nuri sedih.

Pemuda itu mengangguk pasti.

"Maafkan saya, Mbak. Saya janji akan bantu Mbak Nuri, tetapi Mbak Nuri harus sabar ya. Saya sepertinya  tahu langkah apa yang harus saya lakukan pada Mbak Nura, agar Mas Dika berhenti memikirkan bahkan mengharapkan Mbak Nura."

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Gila bener2 iblis bgt tuh si dika anak org hampir lewat malah cuek2 aj. Bkn org lu
goodnovel comment avatar
Arif Zaif
pertolongan datang,,adik ipar terbaik, wily..
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kapan Kamu Menyentuhku?   121. Minta Cerai

    Setelah sekian lama menghubungi papanya, akhirnya panggilan itu diangkat juga oleh Daniel. "Luna, Sayang, ada apa?" suara Daniel berat, seperti orang baru saja bangun dari tidur. "Papa, Bunda pingsan di rumah. Sekarang ada di rumah sakit bersama Luna dan Bu guru. Kenapa Papa susah ditelepon. Ini masalahnya Bunda terus menangis. Bunda bilang papa jahat. Ada apa sih, Pa?" "Hah? A-apa? Nuri dirawat. Luna, apa bisa kamu berikan ponsel kamu pada bunda, Papa harus bicara dan Papa mohon, kamu keluar dari kamar perawatan ya, Nak. Karena ini pembicaraan orang dewasa.""Iya, Pa, sebentar, Luna kasih Bunda." Remaja itu berjalan masuk ke dalam bilik Nuri. Bunda sambungnya itu masih menangis sesegukan sejak tadi. Belum pernah sedetik pun berhenti. Bantalnya saja sampai basah. Suster membujuk untuk bercerita, tetapi Nuri memilih bungkam. "Bunda, ada telepon dari Papa." Luna berujar pelan. Lalu meletakkan ponselnya di samping Nuri. Remaja itu keluar dari ruang perawatan VIP. Masuk ke dalam lift

  • Kapan Kamu Menyentuhku?   120. Wanita Siluman

    Nuri dilarikan ke rumah sakit oleh Luna, dibantu juga oleh guru homeschooling-nya. Bu Cici dan Bu Mila sedang keluar untuk jogging dan dua orang nenek itu tidak membawa ponsel. Jadilah Luna membawa Nuri ke rumah sakit dengan mobil sedan lama milik gurunya. Kunci pagar dan juga rumah, dititipkan Luna pada pembantu di sebelah rumahnya. Luna memberi tahu kan hal itu pada papanya. Remaja itu menghubungi papanya, tetapi tidak bisa. Ponsel Daniel memang masih mati. Lebih tepatnya dimatikan sengaja oleh Angel. "Papa ke mana sih? Ini masih pagi loh," gerutu remaja itu kesal. "Sabar, Luna. Papa kamu sedang meeting mungkin. Coba tinggalkan pesan saja. Bilang bunda kamu lagi di rumah sakit karena pingsan di kamar.""Oh, gitu, ya Bu. Ya sudah, saya tinggalkan pesan WA saja." Luna menurut saran darin gurunya. Ia pun mengetik dengan cepat pesan untuk sang Papa yang saat ini ternyata tengah mandi. Mobil yang dikendarai guru Luna berhenti di lobi IGD rumah sakit. Ia meminta tolong pada salah satu

  • Kapan Kamu Menyentuhku?   119. Hancur

    "Kamu terlalu menganggap remeh aku, Mas Daniel. Apa kamu tidak tahu sedang mempermainkan perasaan siapa? Kamu nampak begitu tidak sudi padaku, bahkan menikahi janda dari kampung itu tanpa mengundangku. Ya ampun, padahal kamu duda, tetapi kenapa aku malah bucin berat sama kamu. Padahal kamu jelas tidak suka padaku. Baiklah, jika aku sudah ikuti aturan main kamu, maka kamu pun harus ikuti aturan main aku, Mas. Tuhan itu adil, membawa kamu padaku." Angel kembali mencium rakus bibir Daniel yang tidak sadarkan diri di bawah pengaruh obat perangsang dan juga obat tidur yang ia cekoki saat pria itu tak sadarkan diri. Tubuh telanjangnya benar-benar menyukai senjata milik Daniel yang berhasil mengobrak-abrik organ intimnya. Bercak darah perawan juga tercecer di seprei dan selimut mereka. Angel puas, bahkan amat sangat puas. Rencananya berhasil tanpa perlu ikut campur dari orang tua Daniel. Saat ia tahu Daniel sedang ada di Singapura, maka ia pun mendapatkan ide ini. Foto itu ia kirimkan pad

  • Kapan Kamu Menyentuhku?   118. Semangat Baru

    Pukul dua siang, Nuri sudah diantar pulang ke rumah suaminya. Tidak lupa Bu Widya membelikan banyak vitamin untuk Nuri dan juga makanan. Bu Widya bahkan membelikan daster cantik untuk putrinya itu. Ya, bagi seorang Bu Widya, Nuri adalah putrinya. Jika putrinya tertekan, maka ia pun akan sangat sedih. Selagi Nuri tidak sampai di dipukul oleh mertua yang sombongnya gak tertolong itu, maka ia harus menahan diri. "Mama, terima kasih jalan-jalannya dan oleh-olehnya." Nuri begitu senang setelah meluapkan semua kesedihannya pada Bu Widya. Wanita paruh baya itu selalu mengerti dirinya. Bersikap begitu bijak dan tidak memanas-manasinya untuk durhaka pada suami atau mertua. Bu Widya hanya memintanya kuat dan juga memperjuangkan haknya. Jika sudah dianggap keterlaluan, maka ia harus bisa melawan. Bukan melawan tanda tidak hormat, tetapi untuk menyelamatkan mentalnya. "Iya, Sayang, Mama. Minggu depan Mama ke sini lagi ya. Kita ke salon. Hari ini gak keburu mau ke salon. Ingat pesan Mama ya, Can

  • Kapan Kamu Menyentuhku?   117. Bu Widya ke Rumah Nuri

    "Ibu siapa?" tanya Bu Cici saat Bu Widya sudah berada di teras rumahnya. Wanita begitu jengah karena sejak kemarin ada saja saudara Nuri yang datang. Apakah wanita itu menceritakan pada keluarganya bahwa ia di sini diperlukan seperti pembantu? Tapi bukankah Nuri gak punya siapapun di Jakarta? "Saya adik ayahnya Nuri. Kebetulan sedang ada bisnis di sini. Saya mau ajak Nuri makan di luar. Apakah boleh, Bu?" Bu Cici memperhatikan Bu Widya yang tampilan glowing dengan emas yang ia pakai. Mulai dari gelang, cincin, kalung besar, jam tangan mahal, serta gamis yang dipakai Bu Widya adalah gamis seharga lima jutaan ke atas. "Baik, tapi Nuri tidak diijinkan keluar terlalu lama oleh suaminya. Itu pesan Daniel. Jadi sebelum jam dua siang, sudah kembali ya." "Baik, Bu, terima kasih atas pemaklumannya." "Nuri Sayang, kamu ganti baju dulu ya, Tante tunggu di sini saja gak papa.""Ah, itu sopir saya! Sini, Cep!" Pria dari luar pagar berlari untuk memberikan kunci mobil pada Bu Widya. Dengan ang

  • Kapan Kamu Menyentuhku?   116. Darah Haid yang Tak Kunjung Berhenti

    115. Dika benar-benar tidak bisa menahan emosinya sepulang dari menjenguk Nuri. Ibu Mertua Nuri tadi bahkan tidak mempersilakannya masuk dan malah mengomel, mengatakan urusan rumah tangga Nuri bukanlah urusannya, jadi Dika tidak perlu ikut campur. Bagaimana Dika bisa berdiam diri kalau melihat secara nyata Nuri diperlakukan buruk seperti itu? Mumpung Tika sedang sibuk menonton, Dika langsung menelepon adiknya, Willy, untuk mengabarkan apa yang dilihatnya di rumah Daniel tadi. Untung saja Willy langsung mengangkat teleponnya sehingga ia tidak perlu repot-repot menambah emosi. Setelah berbasa-basi sejenak, Dika pun mulai bercerita kepada Willy. Sang adik tentu saja terkejut mendengar apa yang terjadi kepada kakak iparnya itu. "Mas mau minta saran dari kamu, nih, WIil. Apa yang harus Mas lakuin sekarang? Rasanya nggak tega ngeliat Nuri dijadikan babu seperti itu," ujar Dika setelah selesai bercerita. "Duh, gimana, ya, Mas. Aku juga bingung. Gini aja, aku minta tolong Mas buat serin

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status