"Mas, maaf, sejak tadi ponselnya berdering. Jadi saya pikir ini penting, mohon maaf kalau saya lancang." Nuri memberikan ponsel pada Dika. Wajah pria itu nampak terkejut begitu juga Bu Widya. Mereka saling pandang dengan canggung, khawatir Nuri mendengar apa yang mereka bicarakan.
"Makasih," kata Dika. Nuri mengangguk tanpa senyum, lalu kembali masuk ke dalam rumah. Begitu sampai di kamar, tubuhnya luruh di lantai kamar yang dingin. Belum satu minggu ia menikah dan kenyataan pahit ia dapati tentang perasaan suaminya. Pantaslah suaminya tidak mau menyentuhnya, semua itu karena suaminya menyukai Nura.
Perasaan orang tidak ada yang bisa dipaksakan, termasuk suaminya yang telah menikahinya tanpa cinta. Lantas kenapa ia yang dinikahi? Kenapa mempermainkan perasaannya?
Wahai Nuri, sungguh malang nasibmu. Dinikahi pria hampir sempurna, tetapi hanya untuk status saja.
Nuri menghapus air matanya dengan cepat. Ia tidak boleh cengeng apalagi menyedihkan. Ia harus kuat karena memang hal lebih pedih dari ini pun pernah ia dapatkan.
Nuri sedang berdiri di depan lemari pakaian saat suaminya membuka pintu kamar. Biasanya ia akan langsung menoleh dan mengumbar senyum, meskipun terkadang senyumannya tidak berbalas. Namun kali ini ia bersikap biasa saja. Hatinya masih begitu sakit mengetahui kenyataan yang sebenarnya tentang perasaan suaminya.
"Kamu cari apa?" tanya Dika seperti biasa. Intonasinya sama sekali tidak berubah. Malah terdengar seperti bicara dengan Tika.
"Gak papa, Mas, cuma lihat-lihat saja. Isi lemari ini semuanya bagus ya. Padahal yang pakai wanita jelek seperti saya." Nuri menyeringai.
"Jangan seperti itu. Namanya kamu gak bersyukur." Dika menasehati.
"Ya, memang sebaik-baiknya rejeki itu yang ada di hadapan kita yang menjadi takdir kita, tapi kebanyakan orang menginginkan hal lebih yang bukan menjadi takdirnya." Nuri menyindir Dika, tetapi sepertinya pria itu tidak tahu makna yang dilontarkan Nuri, sehingga ia bersikap biasa saja.
"Kamu ganti baju gih! Kita biar makan malam di luar. Bosan juga aku di rumah. Apalagi besok sudah masuk kerja." Nuri mengangguk tanpa komentar. Lekas ia mengganti bajunya di depan Dika. Ingat, di depan suaminya. Kenapa ia cuek melakukan hal itu di depan Dika? Karena suaminya tidak berselera padanya. Mau ia kayang tanpa busana tetap saja suaminya tidak berselera.
"Nuri, kenapa kamu gak ganti baju di kamar mandi? Ngagetin saja!" Dika membuang pandangannya. Nuri tertawa pendek, merasa suaminya terlalu berlebihan pada dirinya, tetapi mau tidak mau, terima atau tidak terima ini adalah takdirnya. Ia pun harus bersyukur, paling tidak ia masih diajak pergi.
"Males, di kamar mandi di sini sama saja kan? Saya bersama mahrom saya. Gak dosa juga. Biasanya kalau suami orang lain di awal pernikahan, pasti selalu senang istrinya berpakaian seksi. Namun, Mas Dika memang cukup unik, malah terlihat sebal jika saya seperti ini di depan Mas Dika." Nuri telah selesai memakai bajunya. Ia duduk di kursi meja rias untuk memoles bedak dan mengikat tinggi rambutnya.
Baju yang ia kenakan juga bagus dan pastinya mahal. Hal ini yang masih membuatnya bingung, kenapa Dika bisa begitu baik dan royal padanya?
"Ayo, Mas, saya sudah rapi!" Nuri berjalan lebih dahulu keluar dari kamar. Ia tidak memedulikan Dika dan memang ia sengaja. Bukan karena ia tidak hormat pada suaminya, tetapi ia tidak mau saja terlihat lemah baik di depan suaminya ataupun mertuanya.
"Kamu gak bisa pasang sitbelt?" tanya Dika saat pria itu baru menyadari bahwa Nuri tidak memasang sitbelt dengan baik. Wanita itu mengangguk sambil menyeringai.
Waktu yang tepat, karena lampu merah di depan mereka menyala.
"Begini, tarik tali sitbelt ini, lalu masukkan ke lubang yang ada di samping kanan kamu sampai terdengar bunyi cklek. Baru tandanya sitbelt terpasang dengan benar." Dika mengajari Nuri dengan sabar dan semangat, tetapi bagi Nuri, suaminya pria yang tidak peka. Bukannya ia tidak bisa memasang sitbelt, tapi ia ingin suaminya yang memasangkan.
Namun, karena ia juga tidak mau ada perdebatan di jalan raya, maka Nuri pun menurut. Melakukan seperti apa yang ia perintahkan.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Satu kilometer saja dari lampu merah tadi, mereka tiba di sebuah mal. Dika memarkirkan mobilnya vallet, sehingga mudah saat akan keluar mal nanti.
Jika seharusnya mereka berjalan dengan bergandengan tangan, tetapi tidak. Dika jalan santai sendirian, begitu juga Nuri.
"Mau langsung makan apa mau lihat-lihat dulu?" tanya Dika.
"Saya mau belanja boleh?" tanya Nuri yang ingin mengetes suaminya. Apakah setelah menikah akan pelit seperti almarhum Dadang atau tidak?
"Boleh, silakan saja. Rekening kamu sudah aku isi kok." Mata Nuri membesar diiringi senyuman gembira.
"Terima kasih, Mas." Nuri berjalan masuk ke supermarket besar. Matanya berputar saat melihat harga pakaian yang menggantung di etalase. Baju atasan saja dia juta rupiah. Jika ia bawa ke pasar, pasti sudah dapat satu kodi baju kaus yang sama, hanya saja beda bahan.
"Aku mau ini dan ini!" Tunjuk wanita itu sembarangan. Dika menunggu dengan sabar sambil duduk di sofa tunggu. Ada lima pakaian yang dibeli Nuri dan semua ia letakkan di meja kasir.
"Enam juta delapan ratus ribu," kata kasir memberitahu. Nuri mengeluarkan kartu sakti yang kata Dika sudah diisi kembali oleh pria itu, untuk ia berikan pada casier.
Selesai dengan baju dan celana, maka Nuri pergi ke stand sandal dan sepatu. Ia membeli dua buah sepatu dan juga satu pasang sandal. Begitu semua barang yang ia dinginkan sudah di tangannya, Nuri pun merengek lapar.
"Harusnya tadi maka dulu baru belanja. Jadi gak kelaparan kayak gini. Nanti kalau maag, kamu juga yang repot. Pokoknya wanita yang menjadi istriku harus wanita kuat dan tidak cengeng." Ya, seperti Nura. Harusnya kamu menambahkan kalimat lain di akhir kalimat sindiran kamu itu, Mas. Batin Nuri kembali panas. Apa yang harus ia lakukan pada suaminya? Haruskah ia membuat suaminya cemburu atau haruskah ia membuat Dika jatuh cinta padanya?
"Mbak Nuri, ya ampun, ketemu di sini." Sapaan yang dilontarkan Udin membuat Nuri dan Dika menoleh ke belakang dengan serempak. Nuri tersenyum lebar sambil memikirkan apakah bisa membuat Dika cemburu menggunakan Udin?
"Wah, pengantin baru jalan-jalan ke mal." Udin menyapa ramah saat pemuda itu sudah di dekat mereka. Udin menyalami Dika dan Nuri secara bergantian.
"Iya, kalau jalan-jalan ke neraka, mati dong saya!" Nuri menyahut, hingga membuat Udin tergelak.
"Salah, Mbak, pengantin baru mah ke surga. Masa ke neraka," balas Udin tidak mau kalah.
"Sok tahu, kayak udah pernah aja!"
"Dih, pernah, hampir sih, soalnya anaknya keburu datang, jadi saya pakai lagi baju saya. Sialnya celana dalam saya ketinggalan. Jadi ketahuan dan saya disuruh putus."
Nuri tergelak membayangkan Udin yang kepergok anak dari kekasihnya. Dika mungkin tidak paham obrolan Udin dan istrinya karena memang belum terlalu kenal, sedangkan Nuri hapal bahwa Udin adalah makelar atau biasa kita sebut sales produk bujang duafa.
Lalu Dika hanya memperhatikan interaksi keduanya saja tanpa niat untuk bergabung.
"Ya udah, lanjut deh, Mbak Nuri dan Pak Dika. Saya pamit ya. Sekali lagi selamat ya, Mbak Nuri dan Pak Dika, semoga segera dapat momongan." Nuri mengangguk sambil tersenyum pada Udin.
"Udin, Udin, gimana mau punya momongan, lihat istri tanpa busana saja seperti lihat kuman. Ya kan, Mas?" Sindir Nuri, kemudian berjalan lebih dahulu meninggalkan Dika yang terdiam.
Setelah sekian lama menghubungi papanya, akhirnya panggilan itu diangkat juga oleh Daniel. "Luna, Sayang, ada apa?" suara Daniel berat, seperti orang baru saja bangun dari tidur. "Papa, Bunda pingsan di rumah. Sekarang ada di rumah sakit bersama Luna dan Bu guru. Kenapa Papa susah ditelepon. Ini masalahnya Bunda terus menangis. Bunda bilang papa jahat. Ada apa sih, Pa?" "Hah? A-apa? Nuri dirawat. Luna, apa bisa kamu berikan ponsel kamu pada bunda, Papa harus bicara dan Papa mohon, kamu keluar dari kamar perawatan ya, Nak. Karena ini pembicaraan orang dewasa.""Iya, Pa, sebentar, Luna kasih Bunda." Remaja itu berjalan masuk ke dalam bilik Nuri. Bunda sambungnya itu masih menangis sesegukan sejak tadi. Belum pernah sedetik pun berhenti. Bantalnya saja sampai basah. Suster membujuk untuk bercerita, tetapi Nuri memilih bungkam. "Bunda, ada telepon dari Papa." Luna berujar pelan. Lalu meletakkan ponselnya di samping Nuri. Remaja itu keluar dari ruang perawatan VIP. Masuk ke dalam lift
Nuri dilarikan ke rumah sakit oleh Luna, dibantu juga oleh guru homeschooling-nya. Bu Cici dan Bu Mila sedang keluar untuk jogging dan dua orang nenek itu tidak membawa ponsel. Jadilah Luna membawa Nuri ke rumah sakit dengan mobil sedan lama milik gurunya. Kunci pagar dan juga rumah, dititipkan Luna pada pembantu di sebelah rumahnya. Luna memberi tahu kan hal itu pada papanya. Remaja itu menghubungi papanya, tetapi tidak bisa. Ponsel Daniel memang masih mati. Lebih tepatnya dimatikan sengaja oleh Angel. "Papa ke mana sih? Ini masih pagi loh," gerutu remaja itu kesal. "Sabar, Luna. Papa kamu sedang meeting mungkin. Coba tinggalkan pesan saja. Bilang bunda kamu lagi di rumah sakit karena pingsan di kamar.""Oh, gitu, ya Bu. Ya sudah, saya tinggalkan pesan WA saja." Luna menurut saran darin gurunya. Ia pun mengetik dengan cepat pesan untuk sang Papa yang saat ini ternyata tengah mandi. Mobil yang dikendarai guru Luna berhenti di lobi IGD rumah sakit. Ia meminta tolong pada salah satu
"Kamu terlalu menganggap remeh aku, Mas Daniel. Apa kamu tidak tahu sedang mempermainkan perasaan siapa? Kamu nampak begitu tidak sudi padaku, bahkan menikahi janda dari kampung itu tanpa mengundangku. Ya ampun, padahal kamu duda, tetapi kenapa aku malah bucin berat sama kamu. Padahal kamu jelas tidak suka padaku. Baiklah, jika aku sudah ikuti aturan main kamu, maka kamu pun harus ikuti aturan main aku, Mas. Tuhan itu adil, membawa kamu padaku." Angel kembali mencium rakus bibir Daniel yang tidak sadarkan diri di bawah pengaruh obat perangsang dan juga obat tidur yang ia cekoki saat pria itu tak sadarkan diri. Tubuh telanjangnya benar-benar menyukai senjata milik Daniel yang berhasil mengobrak-abrik organ intimnya. Bercak darah perawan juga tercecer di seprei dan selimut mereka. Angel puas, bahkan amat sangat puas. Rencananya berhasil tanpa perlu ikut campur dari orang tua Daniel. Saat ia tahu Daniel sedang ada di Singapura, maka ia pun mendapatkan ide ini. Foto itu ia kirimkan pad
Pukul dua siang, Nuri sudah diantar pulang ke rumah suaminya. Tidak lupa Bu Widya membelikan banyak vitamin untuk Nuri dan juga makanan. Bu Widya bahkan membelikan daster cantik untuk putrinya itu. Ya, bagi seorang Bu Widya, Nuri adalah putrinya. Jika putrinya tertekan, maka ia pun akan sangat sedih. Selagi Nuri tidak sampai di dipukul oleh mertua yang sombongnya gak tertolong itu, maka ia harus menahan diri. "Mama, terima kasih jalan-jalannya dan oleh-olehnya." Nuri begitu senang setelah meluapkan semua kesedihannya pada Bu Widya. Wanita paruh baya itu selalu mengerti dirinya. Bersikap begitu bijak dan tidak memanas-manasinya untuk durhaka pada suami atau mertua. Bu Widya hanya memintanya kuat dan juga memperjuangkan haknya. Jika sudah dianggap keterlaluan, maka ia harus bisa melawan. Bukan melawan tanda tidak hormat, tetapi untuk menyelamatkan mentalnya. "Iya, Sayang, Mama. Minggu depan Mama ke sini lagi ya. Kita ke salon. Hari ini gak keburu mau ke salon. Ingat pesan Mama ya, Can
"Ibu siapa?" tanya Bu Cici saat Bu Widya sudah berada di teras rumahnya. Wanita begitu jengah karena sejak kemarin ada saja saudara Nuri yang datang. Apakah wanita itu menceritakan pada keluarganya bahwa ia di sini diperlukan seperti pembantu? Tapi bukankah Nuri gak punya siapapun di Jakarta? "Saya adik ayahnya Nuri. Kebetulan sedang ada bisnis di sini. Saya mau ajak Nuri makan di luar. Apakah boleh, Bu?" Bu Cici memperhatikan Bu Widya yang tampilan glowing dengan emas yang ia pakai. Mulai dari gelang, cincin, kalung besar, jam tangan mahal, serta gamis yang dipakai Bu Widya adalah gamis seharga lima jutaan ke atas. "Baik, tapi Nuri tidak diijinkan keluar terlalu lama oleh suaminya. Itu pesan Daniel. Jadi sebelum jam dua siang, sudah kembali ya." "Baik, Bu, terima kasih atas pemaklumannya." "Nuri Sayang, kamu ganti baju dulu ya, Tante tunggu di sini saja gak papa.""Ah, itu sopir saya! Sini, Cep!" Pria dari luar pagar berlari untuk memberikan kunci mobil pada Bu Widya. Dengan ang
115. Dika benar-benar tidak bisa menahan emosinya sepulang dari menjenguk Nuri. Ibu Mertua Nuri tadi bahkan tidak mempersilakannya masuk dan malah mengomel, mengatakan urusan rumah tangga Nuri bukanlah urusannya, jadi Dika tidak perlu ikut campur. Bagaimana Dika bisa berdiam diri kalau melihat secara nyata Nuri diperlakukan buruk seperti itu? Mumpung Tika sedang sibuk menonton, Dika langsung menelepon adiknya, Willy, untuk mengabarkan apa yang dilihatnya di rumah Daniel tadi. Untung saja Willy langsung mengangkat teleponnya sehingga ia tidak perlu repot-repot menambah emosi. Setelah berbasa-basi sejenak, Dika pun mulai bercerita kepada Willy. Sang adik tentu saja terkejut mendengar apa yang terjadi kepada kakak iparnya itu. "Mas mau minta saran dari kamu, nih, WIil. Apa yang harus Mas lakuin sekarang? Rasanya nggak tega ngeliat Nuri dijadikan babu seperti itu," ujar Dika setelah selesai bercerita. "Duh, gimana, ya, Mas. Aku juga bingung. Gini aja, aku minta tolong Mas buat serin