Share

5. Mencoba Acuh

"Mas, maaf, sejak tadi ponselnya berdering. Jadi saya pikir ini penting, mohon maaf kalau saya lancang." Nuri memberikan ponsel pada Dika. Wajah pria itu nampak terkejut begitu juga Bu Widya. Mereka saling pandang dengan canggung, khawatir Nuri mendengar apa yang mereka bicarakan. 

"Makasih," kata Dika. Nuri mengangguk tanpa senyum, lalu kembali masuk ke dalam rumah. Begitu sampai di kamar, tubuhnya luruh di lantai kamar yang dingin. Belum satu minggu ia menikah dan kenyataan pahit ia dapati tentang perasaan suaminya. Pantaslah suaminya tidak mau menyentuhnya, semua itu karena suaminya menyukai Nura. 

Perasaan orang tidak ada yang bisa dipaksakan, termasuk suaminya yang telah menikahinya tanpa cinta. Lantas kenapa ia yang dinikahi? Kenapa mempermainkan perasaannya? 

Wahai Nuri, sungguh malang nasibmu. Dinikahi pria hampir sempurna, tetapi hanya untuk status saja. 

Nuri menghapus air matanya dengan cepat. Ia tidak boleh cengeng apalagi menyedihkan. Ia harus kuat karena memang hal lebih pedih dari ini pun pernah ia dapatkan. 

Nuri sedang berdiri di depan lemari pakaian saat suaminya membuka pintu kamar. Biasanya ia akan langsung menoleh dan mengumbar senyum, meskipun terkadang senyumannya tidak berbalas. Namun kali ini ia bersikap biasa saja. Hatinya masih begitu sakit mengetahui kenyataan yang sebenarnya tentang perasaan suaminya.

"Kamu cari apa?" tanya Dika seperti biasa. Intonasinya sama sekali tidak berubah. Malah terdengar seperti bicara dengan Tika. 

"Gak papa, Mas, cuma lihat-lihat saja. Isi lemari ini semuanya bagus ya. Padahal yang pakai wanita jelek seperti saya." Nuri menyeringai. 

"Jangan seperti itu. Namanya kamu gak bersyukur." Dika menasehati. 

"Ya, memang sebaik-baiknya rejeki itu yang ada di hadapan kita yang menjadi takdir kita, tapi kebanyakan orang menginginkan hal lebih yang bukan menjadi takdirnya." Nuri menyindir Dika, tetapi sepertinya pria itu tidak tahu makna yang dilontarkan Nuri, sehingga ia bersikap biasa saja. 

"Kamu ganti baju gih! Kita biar makan malam di luar. Bosan juga aku di rumah. Apalagi besok sudah masuk kerja." Nuri mengangguk tanpa komentar. Lekas ia mengganti bajunya di depan Dika. Ingat, di depan suaminya. Kenapa ia cuek melakukan hal itu di depan Dika? Karena suaminya tidak berselera padanya. Mau ia kayang tanpa busana tetap saja suaminya tidak berselera. 

"Nuri, kenapa kamu gak ganti baju di kamar mandi? Ngagetin saja!" Dika membuang pandangannya. Nuri tertawa pendek, merasa suaminya terlalu berlebihan pada dirinya, tetapi mau tidak mau, terima atau tidak terima ini adalah takdirnya. Ia pun harus bersyukur, paling tidak ia masih diajak pergi. 

"Males, di kamar mandi di sini sama saja kan? Saya bersama mahrom saya. Gak dosa juga. Biasanya kalau suami orang lain di awal pernikahan, pasti selalu senang istrinya berpakaian seksi. Namun, Mas Dika memang cukup unik, malah terlihat sebal jika saya seperti ini di depan Mas Dika." Nuri telah selesai memakai bajunya. Ia duduk di kursi meja rias untuk memoles bedak dan mengikat tinggi rambutnya. 

Baju yang ia kenakan juga bagus dan pastinya mahal. Hal ini yang masih membuatnya bingung, kenapa Dika bisa begitu baik dan royal padanya? 

"Ayo, Mas, saya sudah rapi!" Nuri berjalan lebih dahulu keluar dari kamar. Ia tidak memedulikan Dika dan memang ia sengaja. Bukan karena ia tidak hormat pada suaminya, tetapi ia tidak mau saja terlihat lemah baik di depan suaminya ataupun mertuanya. 

"Kamu gak bisa pasang sitbelt?" tanya Dika saat pria itu baru menyadari bahwa Nuri tidak memasang sitbelt dengan baik. Wanita itu mengangguk sambil menyeringai. 

Waktu yang tepat, karena lampu merah di depan mereka menyala. 

"Begini, tarik tali sitbelt ini, lalu masukkan ke lubang yang ada di samping kanan kamu sampai terdengar bunyi cklek. Baru tandanya sitbelt terpasang dengan benar." Dika mengajari Nuri dengan sabar dan semangat, tetapi bagi Nuri, suaminya pria yang tidak peka. Bukannya ia tidak bisa memasang sitbelt, tapi ia ingin suaminya yang memasangkan. 

Namun, karena ia juga tidak mau ada perdebatan di jalan  raya, maka Nuri pun menurut. Melakukan seperti apa yang ia perintahkan. 

Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Satu kilometer saja dari lampu merah tadi, mereka tiba di sebuah mal. Dika memarkirkan mobilnya vallet, sehingga mudah saat akan keluar mal nanti.

Jika seharusnya mereka berjalan dengan bergandengan tangan, tetapi tidak. Dika jalan santai sendirian, begitu juga Nuri. 

"Mau langsung makan apa mau lihat-lihat dulu?" tanya Dika. 

"Saya mau belanja boleh?" tanya Nuri yang ingin mengetes suaminya. Apakah setelah menikah akan pelit seperti almarhum Dadang atau tidak? 

"Boleh, silakan saja. Rekening kamu sudah aku isi kok." Mata Nuri membesar diiringi senyuman gembira. 

"Terima kasih, Mas." Nuri berjalan masuk ke supermarket besar. Matanya  berputar saat melihat harga pakaian yang menggantung di etalase. Baju atasan saja dia juta rupiah. Jika ia bawa ke pasar, pasti sudah dapat satu kodi baju kaus yang sama, hanya saja beda bahan. 

"Aku mau ini dan ini!" Tunjuk wanita itu sembarangan. Dika menunggu dengan sabar sambil duduk di sofa tunggu. Ada lima pakaian yang dibeli Nuri dan semua ia letakkan di meja kasir. 

"Enam juta delapan ratus ribu," kata kasir memberitahu. Nuri mengeluarkan kartu sakti yang kata Dika sudah diisi kembali oleh pria itu, untuk ia berikan pada casier. 

Selesai dengan baju dan celana, maka Nuri pergi ke stand sandal dan sepatu. Ia membeli dua buah sepatu dan juga satu pasang sandal. Begitu semua barang yang ia dinginkan sudah di tangannya, Nuri pun  merengek lapar. 

"Harusnya tadi maka dulu baru belanja. Jadi gak kelaparan kayak gini. Nanti kalau maag, kamu juga yang repot. Pokoknya wanita yang menjadi istriku harus wanita kuat dan tidak cengeng." Ya, seperti Nura. Harusnya kamu menambahkan kalimat lain di akhir kalimat sindiran kamu itu, Mas. Batin Nuri kembali panas. Apa yang harus ia lakukan pada suaminya? Haruskah ia membuat suaminya cemburu atau haruskah ia membuat Dika jatuh cinta padanya? 

"Mbak Nuri, ya ampun, ketemu di sini." Sapaan yang dilontarkan Udin membuat Nuri dan Dika menoleh ke belakang dengan serempak. Nuri tersenyum lebar sambil memikirkan apakah bisa membuat Dika cemburu menggunakan Udin? 

"Wah, pengantin baru jalan-jalan ke mal." Udin menyapa ramah saat pemuda itu sudah di dekat mereka. Udin menyalami Dika dan Nuri secara bergantian. 

"Iya, kalau jalan-jalan ke neraka, mati dong saya!" Nuri menyahut, hingga membuat Udin tergelak. 

"Salah, Mbak, pengantin baru mah ke surga. Masa ke neraka," balas Udin tidak mau kalah. 

"Sok tahu, kayak udah pernah aja!"

"Dih, pernah, hampir sih, soalnya anaknya keburu datang, jadi saya pakai lagi baju saya. Sialnya celana dalam saya ketinggalan. Jadi ketahuan dan saya disuruh putus."

Nuri tergelak membayangkan Udin yang kepergok anak dari kekasihnya. Dika mungkin tidak paham obrolan Udin dan istrinya karena memang belum terlalu kenal, sedangkan Nuri hapal bahwa Udin adalah makelar atau biasa kita sebut sales produk bujang duafa. 

Lalu Dika hanya memperhatikan interaksi keduanya saja tanpa niat untuk bergabung. 

"Ya udah, lanjut deh, Mbak Nuri dan Pak Dika. Saya pamit ya. Sekali lagi selamat ya, Mbak Nuri dan Pak Dika, semoga segera dapat momongan." Nuri mengangguk sambil tersenyum pada Udin. 

"Udin, Udin, gimana mau punya momongan, lihat istri tanpa busana saja seperti lihat kuman. Ya kan, Mas?" Sindir Nuri, kemudian berjalan lebih dahulu meninggalkan Dika yang terdiam. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Arif Zaif
dika kebangetan ih..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status