Begitu sedih hatinya saat tidak mendapatkan ijin untuk melihat keponakan pertamanya aqiqah. Memang tubuhnya masih lemas, tetapi jika dipaksakan, pasti ia bisa berkumpul di sana dan siapa tahu saja dengan bertemu dan berkumpul dengan keluarganya, sakitnya bisa segera sembuh. Namun, lagi-lagi wajah tegang suaminya berputar di kepala, sehingga ia tidak mau membuat masalah baru dengan tidak patuh pada suaminya.
Ponsel ia matikan. Lalu remot TV ia tekan untuk menyalakan televisi. Mungkin dengan menonton film drama atau film horor, rasa bosan dan sedihnya akan hilang. Tidak ada acara yang menarik, hanya ada satu channel TV luar yang sedang menayangkan acara Paris Fashion Week.Nuri menonton acara tersebut dengan sangat fokus. Sesekali ia berdecak kagum dengan model catwalk yang tinggi kurus, jalannya juga keren. Ditambah dengan pakaian yang mereka kenalan, membuat penampilan mereka semakin keren.Masih dengan TV yang menyala, Nuri mencari kertas dan alat tulis di meja kerja suaminya. Pensil dan selembar kertas HVS kosong ia gunakan untuk menggambarkan gaun yang dipakai salah satu model di televisi tadi.Nuri merasa ada hal baru yang bisa ia gunakan sebagai pelarian dari rasa kecewanya pada Dika."Mau ke mana, Bu?" tanya Tika saat melihat Nuri sudah berada di depan pintu rumah."Mau ke pasar, cari bahan baju.""Oh, iya, Pak Dika pernah cerita kalau Ibu jago jahit. Nanti saya jahitan baju ya, Bu?" Tika menyeringai lebar. Nuri mengangguk ikut menanggapi."Oke, saya jalan dulu." Tubuhnya yang semalam tidak berdaya, mendadak penuh semangat untuk pergi ke pasar dan membeli bahan pakaian. Dengan kartu sakti pemberian suaminya, Nuri membeli satu set mesin jahit kualitas terbaik dan juga sebuah meja untuk bekerja. Ia juga membeli semua alat bantu jahit yang ia perlukan, mulai dari benang, jarum jahit, roll jahit, meteran kain, mesin obras pun ia beli, lengkap dengan benangnya. Bahan pakaian untuk ia praktekkan juga ia beli beberapa meter."Halo, Tika, tolong rapikan kamar kecil yang ada di sebelah kamar saya ya. Itukan gudang. Banyak barang yang gak terpakai. Tolong rapikan karena ruangan itu akan saya pakai.""Oh, gitu, baik, Bu, segera saya bereskan.Nuri tersenyum senang. Ternyata seperti ini sensasinya menjadi majikan. Tinggal perintah, maka semua urusan beres. Kartu ATM yang isinya tidak sedikit juga bisa dengan cepat memperbaiki mood-nya hari ini.Sore hari, Nuri baru pulang dengan sebuah mobil pick up yang membawa semua barang pesanannya. Tika yang membukakan pintu sampai terheran-heran karena istri majikannya benar-benar berbelanja banyak."Assalamu'alaikum, Tika, sudah selesai apa yang saya suruh?" tanya Nuri begitu ia sampai di depan pintu rumah."Wa'alaykumussalam. Sudah, Bu. Sudah rapi.""Baik, terima kasih, Tika. Bonusnya nanti saya akan jahitkan kamu baju ya." Tika pun tersenyum senang sambil mengangguk. Dua karyawan toko yang mengantarnya sampai di rumah, kini sedang mengangkut semua barang untuk diletakkan di lantai dua. Kamar kecil itu sudah bersih dan lebih tertata, meskipun masih ada beberapa kardus yang berisi barang suaminya."Baik, Mas, terima kasih banyak ya." Nuri tersenyum saat mengantar dua pria itu sampai ke teras rumahnya.Tinggal membeli rak untuk menyimpan alat-alat. Nuri pun keluar lagi dengan ojek online untuk pergi ke toko furniture. Hatinya begitu senang hari ini karena dapat membeli barang atau alat jahit yang dulunya hanya bisa ia pandangi dengan takjub di market place atau di televisi. Mungkin ini saatnya ia mengembangkan bakatnya menjadi lebih mahir.Jika dahulu ia tidak tahu mau bagaimana karena uangnya tidak ada. Sekarang, dengan uang suami dinginnya, ia akan mewujudkan mimpinya.Ponselnya berdering saat ia tengah menikmati makan malam di sebuah mal. Nama Nura muncul di sana. Terpaksa ia tidak mengangkatnya karena patut Nura akan menegurnya karena tidak datang. Meskipun ia sudah mengirimkan pesan balasan, tetap saja nanti adiknya itu mengoceh.Nuri mengabaikan panggilan itu. Ia melanjutkan makan dengan lahap. Ada beberapa menu baru restoran seafood yang baru kali ini ia coba dan rasanya sangat enak. Ponselnya kembali berdering dan kali ini dari nomor suaminya."Halo, assalamu'alaikum.""Wa'alaykumussalam. Nuri, kamu di mana? Kata Tika kamu belanja banyak hari ini. Mulai dari mesin dan dan macam-macam. Maksudnya apa, Nuri? Kamu mau jadi tukang jahit di rumahku?""Bagaimana bisa kamu lebih tahu kabar ini dari Tika? Apakah gadis itu yang begitu dermawan menyampaikan informasi tentang istri majikannya? Atau memang kamu yang sangat dermawan dengan pembantu sehingga lebih dahulu mengontak pembantu dari pada istri sendiri?Oke, saya belanja untuk menjahit. Kenapa? Agar saya tidak mati kebosanan di rumah. Saya ke rumah orang tua gak boleh, lalu sekarang saya juga gak boleh melakukan hal baik yang bisa menghibur diri saya?""Oh, itu, aku hanya kebetulan menelepon Tika untuk menanyakan apakah aku sudah membayar tagihan air atau belum?""Oh, begitu, saya percaya sekali alasan ini. Sangat masuk di akal, Mas." Nuri memutar bola matanya."Ya sudah kalau begitu, jika memang dengan menjahit kamu bisa sedikit terhibur, silakan saja! Ya sudah, aku kerja lagi."Ponsel pun kembali terputus. Nuri menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Terserah dengan cinta atau rumah tangga yang nasibnya ke depan, tidak tahu harus seperti apa. Nuri menghabiskan makanannya, lalu ia pun pulang dengan taksi online dengan membawa aneka rak penyimpanan barang-barang menjahitnya.Tika tidak habis pikir dengan majikannya yang luar biasa berbelanja banyak hari ini. Kamar kecil itu menjadi penuh dengan barang-barang Nuri dan hal itu membuatnya sedikit jengah. Jengah karena pasti nanti menjadi menambah pekerjaannya saja."Tika, saya capek sekali hari ini. Tolong buatkan jus ya. Ada buah apa di kulkas?" titah Nuri."Ada mangga, buah naga, dan juga pir, Bu.""Oh, ya sudah kalau begitu, buatkan aku jus buah naga aja." Nuri berjalan masuk ke kamar, lalu menutupi pintu itu dengan rapat. Ia memutuskan mandi dan salat Isya, sebelum ia menata aneka barang belanjaannya di kamar yang sudah penuh dengan barang."Bu, ini jusnya." Tika membawa nampan berisi jus buah naga segar."Taruh di meja luar saja, Tika. Terimakasih ya." Nuri mencoba bersikap baik pada gadis yang ia curigai punya hubungan dekat dengan suaminya. Ingat, jika masih mencurigai dan belum terbukti benar, ia harus bisa menahan diri."Apa perlu bantuan dari saya, Bu?" tawar Tika."Gak papa, Tika, saya bisa melakukannya sendiri. Lagian ini sudah jam sepuluh malam. Kamu istirahat saja." Tika pun tersenyum, lalu turun ke lantai bawah. Lampu ruang tengah sudah dimatikan, hanya lampu dapur yang menyala. Nuri sama sekali tidak merasa takut atau cemas, meskipun ia tinggal sendiri di lantai dua rumah suaminya.Saat tengah asik menara benang, ponselnya berdering. Kali ini nama Willy yang muncul di layar. Lekas ia menggeser layar terima tanpa menunggu nanti."Halo, assalamu'alaikum, Willy. Ada apa malam-malam telepon?""Mbak Nuri, saya berhasil. Sebentar lagi saya akan jadi adik ipar beneran Mbak Nuri.""Hah? Kok bisa?""Bisa dong, Mbak. Mulai sekarang Mbak gak usah khawatir soal Mbak Nura ya. Biar menjadi urusan saya. Meskipun saya tidak kaya seperti Mas Dika, tapi saya yakin bisa membahagiakan Mbak Nura dan Baby L. Udah dulu ya, Mbak, saya mau ngobatin kuping saya ini, ditarik mama sampai berdarah, ha ha... tapi saya lega. Akhirnya niat saya yang udah lama bisa dipercepat.""Halo, assalamu'alaikum, kamu sedang apa, Nuri?""Wa'alaykumussalam, Mas, saya sedang memotong bahan baju. Saya mau buatkan sample baju untuk Tika.""Wah, bagus itu. Ya sudah kalau kamu sibuk, saya tutup.""Tapi saya gak.... "Sambungan itu terlanjur diputus suaminya, padahal pria itu belum benar-benar mendengar jawaban darinya. Nuri hanya bisa menghela napas panjang. Meteran baju yang ada di tangannya, ia masukkan kembali ke dalam kotak kecil. Hilang sudah semangatnya untuk memotong bahan, ketika suaminya lagi-lagi menganggapnya seadanya dan tidak begitu penting. Padahal saat tadi mengetahui nomor suaminya yang menelepon, hatinya sangat gembira. Nuri keluar dari kamar kerjanya. Jika ia nekat pergi ke rumah ibu untuk melihat keluarganya, ia khawatir Dika akan marah, sedangkan di rumah ia merasa bosan. Ditambah sikap acuh suaminya. Masih dua hari lagi suaminya pulang dan dua hari pun mungkin ia tidak akan ditelepon lagi. "Baik, Pak, apa lagi? Banyak amat pesannya. Tangan saya cuma du
"Saya anggap kamu tidak pernah mengeluarkan kalimat aneh seperti itu." Dika keluar dari kamar. Meninggalkan Nuri yang menggeram sendiri. Ia mengucap istighfar berkali-kali karena sudah bermain-main dengan kalimat yang ia sendiri tidak suka mendengarnya. Cukuplah Nura yang sudah sempat mengajukan gugatan perceraian pada almarhum Dadang, ia tidak mau mengikuti jejak adiknya. Bisa-bisa ibunya kena serangan jantung jika ia benar bercerai dari Dika. Dua orang yang berbeda karakter, tinggal dalam satu rumah tangga, tentu saja tidak mudah. Apalagi kedua belah pihak belum sama-sama ikhlas dengan statusnya. Bukan seorang Nuri yang belum ikhlas, tetapi Dika. Ada banyak teka-teki dalam diri suaminya yang sampai saat ini ia tidak mengetahui apakah itu. Jika memang suaminya tidak mencintainya, kenapa harus menikahinya? Kenapa selalu royal padanya? Apakah hidup berumah tangga cukup dengan uang saja? Sikap acuh, ketus, egois, bahkan tidak memberi nafkah batin apakah termasuk di dalamnya? Malam ti
"Mama tidak akan setuju. Mama pernah bilang kalau tidak akan ada pernikahan kakak dengan kakak, adik dengan adik. Jika kakak si perempuan menikah dengan kakak si lelaki, maka tidak ada pernikahan antara adiknya. Mama tidak akan menerima hal konyol seperti itu." Nuri tersenyum miris. Jelas sekali terlihat suaminya cemburu pada Willy. Berarti dengan Tika suaminya tidak ada hubungan. Bisa saja Tika yang selalu over PD memperlihatkan betapa ia dekat dengan majikannya. Mengalahkan istri majikan sendiri. Ini sudah jelas, bahwa Dika cemburu dan tidak suka kabar Willy akan menikahi Nura. Nuri yang tadinya duduk di depan suaminya, kini berdiri. Ia berpindah duduk menjadi di samping suaminya. "Mas cemburu?" bisik Nuri dengan ekspresi santai. Dika terkejut dengan sindiran Nuri yang tiba-tiba. Wajah pria itu kembali tegang dengan butiran keringat mulai membasahi dahinya. "Cemburu apa?" tanya Dika tak paham. "Jangan mengelak lagi, Mas. Mas itu menyukai Nuri, adik saya, tetapi Mas malah menik
"Tika, saya risih dengan pakaian pendek kamu hari ini. Apa kamu sudah kehabisan baju yang lebih panjang?" tegur Nuri saat memperhatikan Tika yang bolak-balik memakai baju terus pendek sepaha. Ditambah tanpa lengan. "Bu, saya lagi gerah banget. Biasanya juga saya gak pakai baju begini'kan?" Nuri menghela napas sambil menggelengkan kepalanya. "Ini sudah sore, sebentar lagi Mas Dika pulang, saya harap kamu sudah mengganti pakaian kamu dengan yang lebih sopan." Tika cemberut, kemudian gadis itu mengangguk tidak ikhlas. Nuri melanjutkan kegiatan memasang kancing baju di depan televisi, sambil menahan kesal pada Tika. Tidak lama berselang, suara motor suaminya berhenti di depan rumah. Nuri merapikan semua alat jahatnya dengan cepat. Ia tidak ingin suaminya cemberut karena melihat dirinya masih sibuk dengan alat jahit setelah di rumah. "Eh, sudah pulang, Pak," suara renyah Tika membuat Nuri menggeram. Ia pergi menyusul Tika yang sudah di depan pintu menyambut suaminya masih dengan pakaia
Dika menghabiskan cepat mi rebusnya. Ia tidak mau sampai Tika keluar lagi dari kamarnya dengan pakaian mengerikan. Gara-gara tanpa sengaja melihat belahan dada pembantunya, senjatanya bereaksi. Ia normal dan ia pun butuh, tetapi karena perasaannya pada Nuri belum tumbuh, makanya ia tidak bisa menyentuh istrinya itu. Bagi seorang Dika, haram hukumnya bercinta jika tidak didasari oleh cinta. Oleh karena itu, melihat Tika yang berlebihan seperti tadi, membuatnya ngeri sendiri. Setelah isi mangkuk habis, begitu juga dengan gelas air putih yang sudah ia bikin kosong. Kini Dika naik kembali ke kamarnya. Pria itu menekan kenop pintu. Ia mendapati lampu kamar sudah mati, itu pertanda Nuri sudah tidur. Dika masuk dan langsung naik ke ranjang, tetapi ia tidak berbaring karena baru saja makan. Bisa-bisanya perutnya yang rata, terdorong ke depan jika ia tidur sehabis makan. Apalagi malam malam. Lemak dan penyakit aka senang berdiam diri dalam tubuhnya. "Mas, saya masuk angin. Kerokin ya?""Ad
"Nuri, maaf, ya Tuhan, apa yang sudah saya lakukan? Maafkan saya, Nuri." Dika panik setelah menyadari apa yang baru saja ia lakukan pada istrinya. Tika tersenyum penuh kemenangan, berdiri di dekat majikannya tanpa berniat ikut campur. Hari ini ia sudah cukup puas melihat majikan perempuannya ditampar oleh Dika. "Tika! Eh, malah bengong! Cepat bawakan air es di baskom!" Sentak Dika, membuat Tika berjengkit kaget. "Oh, i-iya, Pak, sebentar!" Tika cemberut, tetapi karena ini adalah perintah Dika, maka ia melakukannya dengan senang hati. "Maafin saya, Nuri, astaghfirullah apa yang saya lakukan." Nuri menepis tangan suaminya. Ia ingin sekali berteriak memaki, tetapi lidahnya begitu kelu. Ia bukanlah wanita yang gampang mengumpat karena keluarganya tidak pernah mengajarkan atau mencontohkan mengumpat kalimat kasar. Ia ingin menangis, tetapi tidak bisa karena air matanya yang tidak mau keluar. Ia menahan sesak di dada, tetapi tidak bisa ia keluarkan dalam bentuk air mata. Tangannya masih
Dika masuk ke kamar. Ini sudah jam sepuluh malam. Nuri biasanya sudah tidur, tetapi malam ini istrinya masih fokus di depan ponsel, serta ada kertas dan juga pensil di atas pangkuannya. Nuri seperti tengah mengikuti gambar yang ada di ponsel. Karena terlalu asik, Nuri tidak menyadari kehadiran suaminya. Dika meletakkan bokongnya di ranjang, pada saat itulah Nuri menoleh dan menyadari ada Dika di sampingnya. "Mau tidur, Mas?" tanya Nuri sambil meletakkan alat tulis dan kertasnya tadi di atas meja. "Iya, kamu juga tidur, lanjut besok saja," kata Dika yang sudah berbalik badan memunggungi istrinya. Nuri kembali menghela napas. Ia turun dari tempat tidur untuk memastikan lampu kamar. "Mas sepertinya sedang kesal. Apa karena Tika dan saya bertengkar tadi?" tanya Nuri saat ia sudah berada dalam selimut yang sama dengan suaminya. "Bukan, " jawab Dika singkat. "Kalau begitu, apa karena Nura dan Willy? Saya dapat WA dari Nura, mereka sedang memilih kartu undangan, meskipun masih dua bula
"Mas apa gak papa sama Pak Kades malam minggu main ke rumah saya?" tanya Nuri yang saat ini kasih berusia sembilan belas tahun. "Bapak gak tahu. Saya rasa belum waktunya untuk tahu juga. Saat saya siap untuk melamar kamu, baru saya katakan pada orang tua saya." Daniel menggenggam jemari gadis muda yang membuatnya bolak-balik ke kampung hanya untuk bisa bertemu dengan Nuri. Gadis satu kampung yang berhasil membuatnya bucin. "Memangnya mau melamar saya?" Nuri menunduk, tidak berani menata wajah pria dewasa tampan yang terang-terangan menyukai dirinya. Daniel mengangguk. "Kamu boleh gak percaya sekarang. Saya sedang mengumpulkan uang untuk maju kepada bapak dan mengatakan akan menikahi kamu. Pokoknya cinta kamu, hati kamu, semua yang ada pada kamu, sebentar lagi jadi milik saya. Tahun depan, saya rasa tabungan saya sudah cukup. Kamu juga sudah berumur dua puluh tahun. Sudah pas menjadi istri." Daniel mencium tangan kekasihnya dengan lembut.Nuri tidak bisa berkata-kata lagi. Ia terlal