Share

5. Cari Bala Bantuan

Gancet : Kapokmu Kapan, Mas? (5)

"Kalau begitu, terpaksa yang wanita harus berkorban." Sang dokter gadungan berbicara tanpa menatap Bang Robi. Tatapannya fokus padaku. Aku yakin dia sedang berusaha menahan tawanya sekarang. Begitu juga dengan aku.

"Loh, kok, saya, Dok? Saya gak mau mati, Dok!" Kali ini Miska yang berteriak.

"Udah, kamu ngalah, dong, Mis! Saya masih punya masa depan panjang. Kalau saya yang dipotong, gimana nanti sama istri saya? Kamu, kan, gak punya suami. Jadi harus ngalah!" perintah Bang Robi.

Entah apa yang ada dalam pikiran suamiku itu. Dia kira aku masih mau dengannya setelah dikhianati seperti ini? Aku bukan wanita bodoh, Bang!

"Enak aja! Abang yang harusnya ngalah! Aku masih muda, Bang! Masa depanku masih panjang. Aku gak mau pokoknya! Lebih baik kita mati berdua aja!" Miska protes.

Bang Robi terus saja mempertahankan pendiriannya. Dia tidak mau barang berharganya dipangkas habis. Mereka akhirnya larut dalam perdebatan.

Aku lantas mengajak temanku keluar kamar karena melihat mereka sibuk berdebat. Sesampainya di luar kamar, kami tertawa bersama. Temanku itu bahkan sampai berurai air mata karena tak sanggup menahan geli.

"Sumpah, lucu banget, Ti, suami sama sepupu kamu itu," katanya.

"Biarin aja. Sukurin! Siapa suruh macam-macam!"

"Itu kenapa mereka bisa gancet gitu, Ti?"

Aku maju mendekat ke temanku itu, lalu berbisik, "Itu aku yang bikin, Ra."

Ira membelalak setelah aku merubah posisi kembali berhadapan dengannya.

"Serius, Ti?"

Alu mengangguk.

"Caranya?"

"Ada, deh." Aku mengedipkan sebelah mata padanya.

Ira menggeleng ketika mendengar jawabanku.

"Bahaya, loh, Ti. Kamu gak takut suami kamu itu mati?"

"Kalau mati, ya, berarti memang udah habis waktunya, Ra. Seenggaknya, aku masih punya waktu satu minggu menyiksa mereka dalam posisi itu, Ra."

"Satu minggu? Emang bisa dilepasin lagi mereka?"

Aku mengangguk.

"Caranya?"

Lagi-lagi aku hanya menjawab dengan kata, "Ada, deh."

"Tapi seriusan bisa lepas, kan, Ti?"

"Insya Allah bisa, Ra. Aku punya waktu satu minggu untuk melepaskan mereka. Kalau lebih dari satu minggu aku enggak mau lepasin mereka, ya selamanya mereka akan dalam posisi itu."

"Tapi ... kamu gak kasihan sama mereka, Ti? Aku tau kamu, loh. Ini bukan kamu banget."

Iya, ini memang bukan sifatku. Aku berubah karena mereka. Karena rasa sakit yang sudah mencapai puncaknya.

Kuceritakan semua yang terjadi pada Ira. Kutumpahkan sesak di dada padanya lewat tangisan dalam pelukannya.

"Ya Allah ... jahat sekali mereka, Ti! Kamu bisa mati kalau diberi obat tidur terus tiap malam. Bisa merusak organ vital kamu itu. Apalagi kamu tidur sampai sepulas itu. Bisa aku pastiin dosis obat tidurnya tinggi itu. Astaghfirullah ...."

"Iya, Ra. Makanya aku mau kasih pelajaran buat mereka. Aku pengen mereka sadar kalau apa yang udah mereka lakuin adalah sebuah kesalahan besar."

"Iya, Ti. Aku dukung kamu. Tetap semangat, ya, Ti."

Ira pamit setelah memberiku semangat. Dia masih ada pekerjaan lain, katanya. Lalu, selepas dia pamit, aku kembali ke kamar.

"Kamu dari mana aja, Dek?" tanya Bang Robi setelah aku masuk kamar itu lagi.

"Abis anterin dokternya, lah, Bang."

"Dokternya bilang apa, Dek? Apa gak ada cara lain buat nolong kami?"

"Kata dokternya, Abang dan Miska harus cepat dibawa ke rumah sakit sebelum terlambat, Bang. Waktunya tinggal setengah jam lagi buat nolong Abang dan Miska."

"Ya udah, Dek, kamu telepon ambulan buat jemput kami!"

"Iya, Mbak!" tambah Miska.

Enak sekali memerintahnya. Heran aku sama dua orang ini. Apa urat malu mereka sudah putus? Kalau iya, lebih baik kubuat mereka malu sekalian.

"Ya udah, Bang, aku minta bantuan dulu," kataku.

"Minta bantuan siapa, Dek?"

"Siapa aja yang mau bantu, Bang."

"Tapi jangan panggil banyak orang. Jangan bikin kami malu, ya, Dek!"

Eh, masih tahu malu ternyata.

"Kalau gak banyak orang, gimana mau bantu aku angkat kalian? Tenagaku mana cukup, Bang? Apa kalian mau ngesot sampe ambulan nanti?" Aku masih pura-pura polos.

Sudah seperti ini masih sok jaga gengsi. Kalau selingkuh, tidak malu. Kenapa seperti ini harus malu?

Bang Robi diam mendengar perkataanku.

"Jadi, gimana, Bang? Abang mau aku panggil orang atau ngesot sampe ambulan?" Aku kembali meminta jawabannya meski sudah tahu pasti dia sedang dalam kebimbangan luar biasa. Sukurin!

"Ya udah, panggil orang aja, Dek. Kalo bisa bukan tetangga di sini, ya!" Akhirnya Bang Robi menjawab dengan suara yang terdengar dipaksakan.

"Oke. Karena Abang udah kasih izin, aku mau minta bantuan dulu, ya, Bang."

"Tapi, Dek, tolong suapin Abang dulu sama bubur ayam yang kamu beli itu!"

"Aku juga, Mbak!" Miska ikut-ikutan.

"Kalau aku nyuapin kalian, kapan aku cari bantuannya?"

"Eh, iya, Dek, kamu pergi cari bantuan aja, sana! Biar kami usaha sendiri buat makan."

Sebelum keluar kamar, aku membantu mereka meletakkan bungkusan bubur ayam di atas tubuh keduanya yang tengah dalam posisi saling berhadapan. Setelah itu aku keluar kamar. Aku pamit untuk pergi mencari bantuan, padahal itu hanya alasan.

Tak lama setelah keluar kamar, aku kembali masuk ke kamar dengan memegang ponsel.

"Ayo, dong, Gaes, aku butuh bantuan! Yang bisa dateng, buruan dateng, ya!" Aku berbicara di depan ponsel.

"Kamu ngapain, Dek?" tanya Bang Robi.

Aku tak menggubris pertanyaan suamiku itu. Aku terus saja berbicara layaknya seorang vloger di depan kamera.

Kuarahkan kamera ke arah tubuh Bang Robi dan Miska yang sedang sibuk menyantap bubur ayamnya dengan susah payah.

"Ini, Gaes, korbannya. Tolong, ya, aku butuh bantuannya segera!"

Seketika kulihat Bang Robi menyemburkan bubur yang baru dimasukkan dalam mulutnya ke muka Miska. Miska menjerit dan refleks balik menyiram muka Bang Robi dengan buburnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status