Share

6. Ambulan Datang

Gancet : Kapokmu Kapan, Mas? (6)

Aku tetap melanjutkan kegiatan siaran langsung di f******k milikku. Tak kupedulikan Bang Robi dan Miska yang ribut karena ketumpahan bubur mereka. Tak kugubris juga teriakan keduanya yang menyuruhku untuk berhenti melakukan siaran langsung.

"Oke, Gaes, pokoknya aku tunggu kedatangannya secepat mungkin, ya, di rumah. Aku bingung gimana ngurus mereka sendiri. Plis ... tolongin aku, ya, Gaes."

Kumatikan kamera siaran langsung. Baru tiga menit tapi siaran langsungku sudah ditonton lebih dari seratus orang. Setelah kumatikan, malah semakin banyak yang membagikannya. Bagus. Siap-siap viral!

"Dek, apa-apaan kamu?! Bukannya minta bantuan, kenapa kamu malah live f*?" omel Bang Robi.

"Aku lagi usaha cari bantuan, loh, Bang. Kan, kata Abang jangan tetangga sini. Jadi, ya, lebih baik di sosmed. Barangkali ada yang lewat sini bisa sekalian mampir nolongin. Kalau aku nyari keluar, kelamaan, Bang."

"Tapi gak gitu juga, Dek? Kalau viral gimana?"

Memang itu mauku, Bang.

"Duh, Mbak Ti, jangan bikin malu aku, dong. Temen f* Mbak Ti yang mutualan sama aku juga banyak, kan."

"Udah, sih, udah telanjur, kok. Kalian tenang aja, ya. Yang penting masih bisa ketolong. Kalian pilih viral apa mati?" tanyaku.

Mereka diam. Mau protes apa pun juga sudah terlambat. Aku yakin betul mereka berdua masih belum mau mati sekarang.

Belum ada lima menit, ponselku berdering. Begitu juga dengan ponsel Bang Robi dan Miska. Panggilan demi panggilan masuk silih berganti. Aku memilih mengabaikannya.

Tak berapa lama, terdengar ribut-ribut dari luar rumah. Aku keluar kamar untuk memeriksa. Ternyata di luar rumahku sudah ada beberapa orang.

Terdengar ketukan di pintu. Setelahnya, salam yang diucapkan terburu-buru membuatku segera mendekat ke pintu. Itu suara Kak Elfa, kakak tertua suamiku.

"Ti ... Robi mana?" Kak Elfa langsung menyerobot masuk setelah pintu rumah kubuka. Dia langsung berjalan menuju kamarku untuk mencari adiknya.

"Bang Robi di kamar sebelah, Kak," tuturku. Aku menyusul kakak iparku itu setelah kembali mengunci rapat pintu.

Kak Elfa menatapku dengan ekspresi tak percaya. Kemudian dia berjalan menuju kamar Miska. Pintu kamar yang sengaja kubuka memudahkan kakak suamiku itu masuk ke dalamnya.

"Astaghfirullah ... Dek! Ngapain kamu? Kenapa bisa begini?" Kak Elfa berteriak histeris melihat kondisi adiknya.

Hampir saja tubuhnya limbung kalau tak segera kutopang. Aku lantas memapahnya untuk duduk di kursi meja rias. Segera aku keluar kamar untuk mengambil air hangat setelah memastikan kakak iparku itu duduk dengan baik.

"Makasih, Ti," ucap Kak Elfa setelah meminum setengah gelas air yang kusodorkan.

"Ini kenapa mereka bisa gitu, Ti?" tanya Kak Elfa.

"T**i juga kurang tau, Kak. T**i bangun pas Subuh, Bang Robi teriak-teriak, Kak. Mana pintu kamar T**i kekunci dari luar. Untung berhasil kebuka."

"Robi! Benar kata istrimu ini?"

"Bener, Kak," ucap Bang Robi pelan.

"Ya Allah, Ti, kenapa gak telpon Kakak?" Kak Elfa mengusap bahuku.

"T**i gak kepikiran, Kak. Tadi mau minta bantuan di WAG, tapi dilarang Bang Robi."

"Terus, kamu live streaming di f* dia gak larang?"

"Bang Robi yang nyuruh, kok, Kak."

"Robi?" Kak Elfa menatap garang ke adiknya.

"Enggak, Kak. Robi nyuruh T**i nyari bantuan doang, kok, Kak." Bang Robi menjawab.

"Kan, kata Bang Robi T**i gak boleh manggil tetangga atau Pak RT, jadi T**i bingung harus manggil siapa. Sedangkan harus buru-buru. Kata dokter tadi kalau terlambat dibawa ke rumah sakit, Bang Robi sama Miska bisa gak ketolong, Kak."

"Astaghfirullah ...." Kak Elfa menggeleng mendengar jawabanku.

Tak lama kemudian terdengar sirene ambulan. Lalu ketukan di pintu depan kemnali terdengar. Aku segera berlari keluar kamar untuk memeriksa siapa yang datang.

Ternyata para petugas medis yang datang. Kupersilakan mereka masuk dan menuntun mereka ke kamar Miska. Aku sempat melihat keadaan di luar yang sangat ramai. Banyak orang melongok untuk mencari tahu apa yang terjadi. Sedahsyat ini ternyata kalau sesuatu viral.

Para petugas medis meminta bantuan beberapa orang bapak-bapak yang berada di luar rumahku untuk membantu memindahkan tubuh Bang Robi dan Miska ke atas brankar berroda. Aku dan Kak Elfa mengekor di belakang para petugas medis yang mendorong brankar itu. Kami dipersilakan ikut naik dalam ambulan itu.

Perjalanan menuju rumah sakit ternyata cukup jauh. Beberapa kali Bang Robi dan Miska menanyakan tentang waktu yang sudah berjalan. Mereka sepertinya benar-benar takut mati.

Bang Robi dan Miska bahkan berteriak histeris ketika mendengar obrolan salah satu petugas medis yang duduk di kursi depan ambulan.

"Biasanya kasus kayak gini langsung suntik mati."

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Tut yase (Tirte)
gratis mana
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Asli nh novel ngakak bgt. Tp kebanyakan sensornya kata2nya
goodnovel comment avatar
Ibu luluk
nunggu terbuka lama banget
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status