Share

2. Asal Anakku Selamat

last update Last Updated: 2025-02-18 13:30:24

Perempuan mana yang tidak hancur hatinya, pada saat putrinya sedang berjuang antara hidup dan mati, suaminya justru sedang berbagi peluh dengan perempuan lain.

Kaki Cinta terasa lemas seketika, hingga membuatnya hampir terjatuh. Beberapa karyawan yang melihat langsung bergerak hendak menolongnya. Tetapi saat di depan pintu mereka melihat Kevin yang sedang merapikan celananya secara asal, bahkan gespernya pun belum sempat dia kaitkan.

Sementara itu, Maira yang selama ini mereka ketahui sebagai sekretaris Kevin, memunggungi mereka, sepertinya sedang merapikan pakaian dan dandanannya.

Sorot mata tajam Kevin membuat beberapa karyawan yang sempat melihat segera menyingkir. Tampaknya mereka cari aman dengan tidak ikut campur dalam masalah pribadi sang pemilik perusahaan.

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Kevin dengan nada tinggi penuh amarah untuk menutupi kesalahan.

Cinta terdiam dengan lelehan air mata yang membasahi pipinya, seolah lupa dengan tujuan mendatangi kantor suaminya. Pemandangan yang begitu menyakitkan hingga membuatnya hanya bisa meratap tanpa berkata-kata.

Sementara itu, Kevin terlihat frustrasi karena kesenangan terganggu saat belum tertuntaskan. Dia juga merasa kedatangan Cinta membuka aib perselingkuhannya dengan Maira.

Tatap mata Kevin beralih ke arah Maira, sekretarisnya, yang sekarang sudah selesai merapikan diri. Tanpa berkata-kata, Kevin menarik tangan Maira dan membawanya keluar dari ruangan.

Di luar, beberapa karyawan masih terdiam, menatap mereka dengan ekspresi yang sulit dibaca.

Meski penampilannya belum rapi sempurna, tetapi Kevin tetap berdiri penuh wibawa di hadapan karyawannya. Menatap mereka satu per satu seolah ingin menunjukkan kekuasaannya.

“Hari ini saya akan membuat pengakuan penting di hadapan kalian.” Suara Kevin menggelegar di ruangan itu. Maira berdiri di sampingnya dengan kepalanya tertunduk.

“Jangan pernah merendahkan Maira,” lanjut Kevin sambil memegang tangan Maira dengan erat. “Karena selain menjadi sekretaris saya, Maira adalah istri siri saya.”

Para karyawan itu hanya diam seolah tidak peduli, tetapi ada beberapa di antaranya yang menganggukkan kepala pura-pura memahami situasi.

“Jadi setelah ini, saya tidak ingin ada gunjingan apa pun kepada Maira atau pun hal-hal yang berkaitan dengan hubungan kami. Sekarang, kalian boleh melanjutkan pekerjaan kalian.”

Para karyawan segera kembali ke meja masing-masing, pura-pura sibuk dengan pekerjaan mereka. Beberapa masih mencuri pandang ke arah Kevin dan Cinta, tapi tidak ada yang berani berkomentar. Suasana ruang kantor terasa lebih dingin, lebih sunyi, seolah semua orang menahan napas.

Kevin, dengan tangan masih menggenggam erat Maira, melangkah mendekati Cinta. Tatapannya dingin, tidak ada sedikit pun rasa bersalah di wajahnya.

“Pulanglah sekarang!” Suara tegas Kevin menunjukkan amarah yang belum mereda. “Kita akan bicarakan ini nanti di rumah.”

Cinta tetap diam, pikirannya masih kacau. Mulutnya sulit untuk mengucap tujuan kedatangannya yang sebenarnya, meski kata-kata itu terasa sudah di ujung lidah.

Kevin mengerutkan kening melihat istrinya tetap berdiri di tempat.

“Apa lagi yang kau inginkan sekarang?” Suara Kevin semakin meninggi. “Kau tidak mengerti bahasa manusia? Pulang!” Tangannya mengepal menahan kesal.

Cinta menggeleng. Air mata masih mengalir di pipinya. Hatinya semakin hancur, tetapi dia harus mengatakan yang sebenarnya.

“Aku tidak akan pergi sebelum kau ikut denganku,” ucap Cinta akhirnya dengan suara bergetar.

Kevin semakin tidak sabar. “Dasar wanita tidak tahu diri! Kau membuat keributan di kantorku, mempermalukanku. Jika kau tidak pergi sekarang, aku akan menyuruh satpam menyeretmu keluar!”

Cinta mengangkat wajahnya. Matanya merah dan basah, tapi sorotnya penuh luka dan kemarahan.

“Chiara kecelakaan, Kev. Dia sekarang di rumah sakit. Dia butuh darahmu.”

Kevin membeku. Cengkeramannya pada tangan Maira melemah. Napasnya tersendat.

“Apa?” suaranya hampir tidak keluar.

“Chiara butuh darahmu, sekarang,” ulang Cinta, suaranya lebih tajam.

Untuk pertama kalinya sejak awal kedatangan Cinta, wajah Kevin berubah. Mungkin amarahnya sudah siap meledak, tetapi mendengar kabar putrinya kecelakaan Kevin tidak bisa mengabaikan begitu saja.

“Sekarang Chiara di rumah sakit,” ucap Cinta dengan terbata-bata dibarengi suara tangis. “Dia membutuhkan transfusi darah dan harus segera dioperasi.

“Kita ke rumah sakit sekarang.” Kevin segera menarik tangan Cinta, melangkah keluar meninggalkan Maira yang masih terlihat takut dan malu.

Saat berjalan bersama Cinta, Kevin menyadari jika kekuasaannya ternyata tidak mampu untuk membungkam semua orang. Suara-suara sumbang menggunjingkan dirinya memanaskan hati dan telinganya.

Di perusahaannya sendiri, orang-orang yang dia gaji berani melontarkan kata-kata pedas menghakimi dirinya. Hal itu memicu amarah Kevin yang sempat mereda, dia menganggap Cinta telah membongkar aibnya.

“Benar-benar tidak bermoral, bisa-bisanya mereka ena-ena di kantor. Sampai ketahuan istri sah, lagi.”

“Memangnya kalau sudah nikah siri hubungan mereka jadi bener, gitu? Apapun bentuknya selingkuh itu tetap saja khianat, dasar kaum munafikun.”

Cinta yang mendengar kala melangkah keluar, merasa itu bukanlah bentuk dukungan untuknya yang sedang hancur, tetapi justru akan menjadi sumber masalah baru yang lebih besar.

Setibanya di rumah sakit, Kevin sungguh terkejut mengetahui kondisi putrinya saat ini. Dia tidak menyangka jika keadaan Chiara sangat buruk.

Dokter berdiri di depan mereka dengan wajah serius.

"Putri Anda mengalami pendarahan hebat dan trauma berat pada tulang keringnya. Dia membutuhkan transfusi darah dan harus segera dioperasi."

Entah terbuat dari apa hati Kevin, penjelasan dari dokter tidak membuatnya tersentuh tetapi justru semakin tersulut amarahnya. Harga dirinya terlalu tinggi hingga menyingkirkan kepeduliannya kepada putrinya sendiri.

"Aku tidak tahu perempuan macam apa dirimu, kau bahkan tidak bisa menjaga anak kita dengan baik," desisnya, seolah kata-kata itu bisa menghapus rasa bersalahnya.

Cinta menahan napas, tidak ada air mata kali ini. Hanya rasa hancur yang terlalu dalam untuk diungkapkan.

Kevin mendekat, suaranya dingin. "Aku akan berikan darahku untuk Chiara … tapi ada syaratnya."

Cinta menatap Kevin, matanya memerah. "Apapun itu, asal Chiara selamat,” ucap Cinta penuh kepedihan.

"Kita cerai setelah ini ….” Kevin menjeda kalimatnya, menatap Cinta penuh intimidasi. “Kalau kau setuju, aku akan mendonorkan darahku untuk Chiara."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    173. Luka Evita

    Evita duduk tertunduk di ujung sofa ruang keluarga, wajahnya tertutup kedua telapak tangan. Isak tangisnya pecah tanpa bisa ditahan, bahunya bergetar hebat. Air matanya membasahi jari-jarinya, membasahi hati yang sejak lama sudah retak oleh ketakutan dan beban rahasia yang ia simpan sendiri.Di seberangnya, Danu Lukito berdiri dengan rahang mengeras, dadanya naik turun menahan emosi. Pria itu, yang selama ini menjadi ayah bijak dan tenang, kini tak kuasa menahan amarah dan rasa kecewa. Suaranya lantang, mengguncang ruangan.“Siapa, Evita? Siapa ayah dari anak itu?”Evita mengangkat wajahnya perlahan. Matanya sembab, suaranya tercekat.Belum sempat dia menjawab, Sandra menyambar lebih dulu, nadanya tajam, menusuk tanpa ampun.“Apa itu anak Rama? Dan sekarang dia mau lepas tanggung jawab begitu saja?”Evita menggeleng, kali ini dengan tegas. Tangisnya belum berhenti, tapi suaranya jelas.“Bukan, Ma. Ini bukan anak Rama.”Sandra menyipitkan mata, lalu tersenyum miring dengan nada mencibi

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    172. Siapa Ayah Anak Itu?

    Setelah pertemuan penuh tekanan dengan Sandra, Widya tidak langsung kembali ke rumah. Ada satu hal yang belum selesai. Sesuatu yang selama ini dia tunda karena masih menaruh harapan pada keputusan anaknya sendiri. Tapi kini, semuanya sudah kelewat batas. Widya tahu, dia harus mengambil langkah lebih tegas.Mobilnya berhenti di depan Gedung Narendra Group yang megah. Langkah Widya tegas dan cepat, matanya tajam, menyimpan kekecewaan yang tak bisa lagi disembunyikan. Tanpa mengetuk, dia langsung mendorong pintu ruang kerja Rama.Rama, yang sedang berdiskusi serius dengan Dion, tersentak melihat kehadiran ibunya. Alisnya terangkat, matanya menatap heran.Widya berdiri tegak di depan pintu, sorot matanya tidak main-main. “Ada hal penting yang harus Mama bicarakan denganmu. Sekarang.”Dion menatap Widya sejenak, lalu bangkit dari duduknya. Dengan posisi tubuh sedikit menunduk, Dion memberi ruang kepada Widya.Dengan gestur dan nada yang sopan, Dion mempersilahkan Widya. “Silakan duduk, Bu

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    171. Janji yang tak Terpenuhi

    Di sebuah restoran mewah di tengah kota, di sebuah ruang private yang tertutup rapat dari hiruk pikuk luar, dua wanita duduk saling berhadapan. Ruangan itu penuh kesan elegan, bunga segar di vas kristal, dan denting halus musik klasik yang mengalun sebagai latar.Widya tampak anggun dalam balutan blus putih gading dan scarf sutra di lehernya. Di seberangnya, Sandra, mami Evita, menatap dengan mata tajam yang mengandung perhitungan. Cangkir teh di tangannya sudah dingin, namun pembicaraan mereka justru mulai memanas."Aku harap kamu belum lupa, Widya," ucap Sandra dengan suara halus tapi menusuk. “Dulu, waktu suamimu hampir kehilangan tanah warisan keluarga, siapa yang diam-diam bantu lewat koneksi ke bank? Aku.”Widya diam, mencoba menjaga wibawanya. Tapi tatapan Sandra tak memberinya ruang untuk menghindar.“Waktu ibumu sakit dan rumah tanggamu sedang hancur-hancurnya, siapa yang pertama kirim bantuan tanpa tanya balasan? Aku, Widya. Kita bukan cuma sahabat, kita pernah saling gantun

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    170. Menuntut Kepastian

    Cinta duduk di depan meja rias, menyisir rambut panjangnya perlahan. Gerakan tangannya lembut, tapi pandangannya kosong menatap bayangan dirinya di cermin. Wajah itu cantik, tapi ada kabut tipis kegundahan di matanya yang tak bisa disembunyikan.Tiba-tiba, suara pintu kamar mandi terbuka, dan Rama keluar hanya mengenakan handuk yang melingkar di panggulnya. Memperlihatkan dada bidang dan perut berototnya.Rambut Rama masih basah. Ia tersenyum kecil saat melihat Cinta, lalu tanpa ragu memeluknya dari belakang. Tubuh Cinta tersentak pelan saat tetesan air dari rambut Rama mengenai bahunya, membasahi baju tipis yang dikenakannya.“Dingin…” bisik Cinta sambil tertawa kecil, tapi tidak menolak pelukan itu.“Biar aku yang angetin,” goda Rama, mencium Pundak Cinta sekilas.Cinta berdiri, mengambil handuk kecil dari rak, lalu menarik Rama duduk di depan cermin. Dengan sabar, ia mengeringkan rambut suaminya, seperti ritual pagi yang kini mulai mereka jalani. Tak ada kata-kata, hanya keintiman

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    169. Positif

    Dengan langkah tergesa dan napas sedikit memburu, Rama membuka pintu rumah keluarga besarnya. Suasana rumah terasa sunyi, meski elegan seperti biasa. Namun, ketegangan tak bisa disembunyikan.Begitu melihat bayangan Rama di ambang pintu, Widya, langsung berbalik arah dan berjalan menjauh tanpa sepatah kata pun. Gaun panjangnya melambai seiring gerak cepatnya, menunjukkan kekesalan yang tak bisa ia tutupi.“Ma,” panggil Rama, mencoba menyapa dan mencairkan suasana. Tapi hanya punggung sang mama yang ia lihat.Rama menghela napas dalam-dalam, lalu menoleh pada Arman, yang baru muncul dari balik pilar ruang tamu. Pria paruh baya itu terlihat tetap tenang seperti biasa, seolah melihat istrinya merajuk ada pemandangan sehari-hari. Arman mengenakan pakaian rumahan santai dan menatap Rama dengan senyum tipis.“Sudahlah,” ucap Arman santai sambil menepuk bahu Rama. “Mamamu lagi ngambek. Biarin aja dulu.”Rama menatap ayahnya sejenak. “Karena aku nolak dijodohin sama Evita?”Arman hanya mengan

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    168. Ambisi Lilian

    Di dalam kabin belakang mobil mewah berlapis kaca gelap itu, Lilian duduk kaku, pandangannya menatap kosong ke luar jendela. Namun sorot matanya menyimpan amarah yang tertahan.Kedua tangannya mengepal di atas pangkuan, kuku-kuku tajamnya menekan kulit halusnya sendiri. Amarah menyelimuti dirinya seperti kabut pekat. Bibirnya tertarik kaku, dan di sela-sela giginya yang rapat terdengar gumaman penuh hasrat dan dendam yang lama tertahan.“Cinta tidak boleh meninggalkan keluarga Sanjaya,” gumam Lilian, pelan tapi tajam. “Setelah semua yang kulakukan... setelah semua rencana yang telah aku susun selama ini.”Wanita paruh baya itu membuang napas keras, lalu bersandar ke jok kulit yang wangi. Tatapannya kembali menerawang, kali ini bukan ke luar jendela, tapi ke masa lalu.Lilian ingat hari itu, beberapa tahun yang lalu, saat dia mendatangi panti asuhan kecil di pinggir kota yang dipimpin oleh seorang wanita paruh baya bernama Bunda Aminah. Di tangannya, Lilian membawa sebuah foto bayi dan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status