Perempuan mana yang tidak hancur hatinya, pada saat putrinya sedang berjuang antara hidup dan mati, suaminya justru sedang berbagi peluh dengan perempuan lain.
Kaki Cinta terasa lemas seketika, hingga membuatnya hampir terjatuh. Beberapa karyawan yang melihat langsung bergerak hendak menolongnya. Tetapi saat di depan pintu mereka melihat Kevin yang sedang merapikan celananya secara asal, bahkan gespernya pun belum sempat dia kaitkan. Sementara itu, Maira yang selama ini mereka ketahui sebagai sekretaris Kevin, memunggungi mereka, sepertinya sedang merapikan pakaian dan dandanannya. Sorot mata tajam Kevin membuat beberapa karyawan yang sempat melihat segera menyingkir. Tampaknya mereka cari aman dengan tidak ikut campur dalam masalah pribadi sang pemilik perusahaan. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Kevin dengan nada tinggi penuh amarah untuk menutupi kesalahan. Cinta terdiam dengan lelehan air mata yang membasahi pipinya, seolah lupa dengan tujuan mendatangi kantor suaminya. Pemandangan yang begitu menyakitkan hingga membuatnya hanya bisa meratap tanpa berkata-kata. Sementara itu, Kevin terlihat frustrasi karena kesenangan terganggu saat belum tertuntaskan. Dia juga merasa kedatangan Cinta membuka aib perselingkuhannya dengan Maira. Tatap mata Kevin beralih ke arah Maira, sekretarisnya, yang sekarang sudah selesai merapikan diri. Tanpa berkata-kata, Kevin menarik tangan Maira dan membawanya keluar dari ruangan. Di luar, beberapa karyawan masih terdiam, menatap mereka dengan ekspresi yang sulit dibaca. Meski penampilannya belum rapi sempurna, tetapi Kevin tetap berdiri penuh wibawa di hadapan karyawannya. Menatap mereka satu per satu seolah ingin menunjukkan kekuasaannya. “Hari ini saya akan membuat pengakuan penting di hadapan kalian.” Suara Kevin menggelegar di ruangan itu. Maira berdiri di sampingnya dengan kepalanya tertunduk. “Jangan pernah merendahkan Maira,” lanjut Kevin sambil memegang tangan Maira dengan erat. “Karena selain menjadi sekretaris saya, Maira adalah istri siri saya.” Para karyawan itu hanya diam seolah tidak peduli, tetapi ada beberapa di antaranya yang menganggukkan kepala pura-pura memahami situasi. “Jadi setelah ini, saya tidak ingin ada gunjingan apa pun kepada Maira atau pun hal-hal yang berkaitan dengan hubungan kami. Sekarang, kalian boleh melanjutkan pekerjaan kalian.” Para karyawan segera kembali ke meja masing-masing, pura-pura sibuk dengan pekerjaan mereka. Beberapa masih mencuri pandang ke arah Kevin dan Cinta, tapi tidak ada yang berani berkomentar. Suasana ruang kantor terasa lebih dingin, lebih sunyi, seolah semua orang menahan napas. Kevin, dengan tangan masih menggenggam erat Maira, melangkah mendekati Cinta. Tatapannya dingin, tidak ada sedikit pun rasa bersalah di wajahnya. “Pulanglah sekarang!” Suara tegas Kevin menunjukkan amarah yang belum mereda. “Kita akan bicarakan ini nanti di rumah.” Cinta tetap diam, pikirannya masih kacau. Mulutnya sulit untuk mengucap tujuan kedatangannya yang sebenarnya, meski kata-kata itu terasa sudah di ujung lidah. Kevin mengerutkan kening melihat istrinya tetap berdiri di tempat. “Apa lagi yang kau inginkan sekarang?” Suara Kevin semakin meninggi. “Kau tidak mengerti bahasa manusia? Pulang!” Tangannya mengepal menahan kesal. Cinta menggeleng. Air mata masih mengalir di pipinya. Hatinya semakin hancur, tetapi dia harus mengatakan yang sebenarnya. “Aku tidak akan pergi sebelum kau ikut denganku,” ucap Cinta akhirnya dengan suara bergetar. Kevin semakin tidak sabar. “Dasar wanita tidak tahu diri! Kau membuat keributan di kantorku, mempermalukanku. Jika kau tidak pergi sekarang, aku akan menyuruh satpam menyeretmu keluar!” Cinta mengangkat wajahnya. Matanya merah dan basah, tapi sorotnya penuh luka dan kemarahan. “Chiara kecelakaan, Kev. Dia sekarang di rumah sakit. Dia butuh darahmu.” Kevin membeku. Cengkeramannya pada tangan Maira melemah. Napasnya tersendat. “Apa?” suaranya hampir tidak keluar. “Chiara butuh darahmu, sekarang,” ulang Cinta, suaranya lebih tajam. Untuk pertama kalinya sejak awal kedatangan Cinta, wajah Kevin berubah. Mungkin amarahnya sudah siap meledak, tetapi mendengar kabar putrinya kecelakaan Kevin tidak bisa mengabaikan begitu saja. “Sekarang Chiara di rumah sakit,” ucap Cinta dengan terbata-bata dibarengi suara tangis. “Dia membutuhkan transfusi darah dan harus segera dioperasi. “Kita ke rumah sakit sekarang.” Kevin segera menarik tangan Cinta, melangkah keluar meninggalkan Maira yang masih terlihat takut dan malu. Saat berjalan bersama Cinta, Kevin menyadari jika kekuasaannya ternyata tidak mampu untuk membungkam semua orang. Suara-suara sumbang menggunjingkan dirinya memanaskan hati dan telinganya. Di perusahaannya sendiri, orang-orang yang dia gaji berani melontarkan kata-kata pedas menghakimi dirinya. Hal itu memicu amarah Kevin yang sempat mereda, dia menganggap Cinta telah membongkar aibnya. “Benar-benar tidak bermoral, bisa-bisanya mereka ena-ena di kantor. Sampai ketahuan istri sah, lagi.” “Memangnya kalau sudah nikah siri hubungan mereka jadi bener, gitu? Apapun bentuknya selingkuh itu tetap saja khianat, dasar kaum munafikun.” Cinta yang mendengar kala melangkah keluar, merasa itu bukanlah bentuk dukungan untuknya yang sedang hancur, tetapi justru akan menjadi sumber masalah baru yang lebih besar. Setibanya di rumah sakit, Kevin sungguh terkejut mengetahui kondisi putrinya saat ini. Dia tidak menyangka jika keadaan Chiara sangat buruk. Dokter berdiri di depan mereka dengan wajah serius. "Putri Anda mengalami pendarahan hebat dan trauma berat pada tulang keringnya. Dia membutuhkan transfusi darah dan harus segera dioperasi." Entah terbuat dari apa hati Kevin, penjelasan dari dokter tidak membuatnya tersentuh tetapi justru semakin tersulut amarahnya. Harga dirinya terlalu tinggi hingga menyingkirkan kepeduliannya kepada putrinya sendiri. "Aku tidak tahu perempuan macam apa dirimu, kau bahkan tidak bisa menjaga anak kita dengan baik," desisnya, seolah kata-kata itu bisa menghapus rasa bersalahnya. Cinta menahan napas, tidak ada air mata kali ini. Hanya rasa hancur yang terlalu dalam untuk diungkapkan. Kevin mendekat, suaranya dingin. "Aku akan berikan darahku untuk Chiara … tapi ada syaratnya." Cinta menatap Kevin, matanya memerah. "Apapun itu, asal Chiara selamat,” ucap Cinta penuh kepedihan. "Kita cerai setelah ini ….” Kevin menjeda kalimatnya, menatap Cinta penuh intimidasi. “Kalau kau setuju, aku akan mendonorkan darahku untuk Chiara."Di kehamilan kali ini, Rama dan Cinta sepakat untuk menikmati setiap detik perjalanan menjadi orang tua tanpa terlalu sibuk menebak atau mencari tahu jenis kelamin calon buah hati mereka. Semua pemeriksaan yang dijalani hanya untuk memastikan bahwa bayi dalam kandungan tumbuh sehat dan normal. Rama, yang dulu sempat gelisah dengan ekspektasi soal jenis kelamin, kini bersikap jauh lebih tenang. Ia ingin Cinta menjalani kehamilan ini tanpa tekanan, tanpa target, dan tanpa beban apapun selain menjaga dirinya dan bayi dengan penuh cinta. “Aku cuma mau anak kita sehat, dan kamu juga sehat,” ujar Rama suatu malam sambil mengelus perut Cinta. “Laki-laki atau perempuan, aku akan tetap jatuh cinta padanya, seperti aku jatuh cinta sama kamu.” Sikap tulus dan penuh penerimaan dari Rama membuat Cinta merasa sangat dicintai dan dihargai. Bahkan Priambodo yang dulu sempat menggebu menginginkan cucu laki-laki pun akhirnya luluh. Bagi Priambodo yang paling penting anak dan cucu-cucunya bahagia
Sekian tahun menjadi keluarga tidak pernah ada masalah serius antara Arman dan Priambodo. Tapi kali ini pernyataan Priambodo begitu mengusik hati Arman dan Rama. "Aku tahu ini terdengar klise… tapi kalian tahu sendiri, apa yang sudah Cinta lalui. Aku tidak ingin hal seperti itu terjadi lagi pada cucu-cucuku," ucap Priambodo dengan suara berat. "Dunia tidak selalu ramah pada perempuan. Chiara dan Amara... mereka butuh pelindung. Saudara laki-laki yang bisa menjaga mereka kelaki." Arman menoleh pada Rama, terlihat masih bingung, lalu berkata dengan tenang namun tegas. "Tapi Priam, kita tidak bisa merancang hidup sedemikian rupa seolah bisa memesan nasib. Anak laki-laki tidak menjamin keselamatan, dan anak perempuan pun bisa menjadi kuat kalau kita didik mereka dengan benar." Rama yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara dengan ekspresi tegas dan tajam. "Papa... saya tahu Papa mencintai Cinta dan cucu-cucu Papa. Tapi, kalau Cinta harus hamil lagi hanya demi melahirkan anak laki-lak
315Semakin hari perut Cinta makin membesar, dan semakin sering pula detak jantung Rama berpacu lebih cepat dari biasanya. Bukan karena lelah, tapi karena rasa takut yang diam-diam terus tumbuh di hatinya. Setiap kali melihat Cinta mengusap perutnya sambil tersenyum lembut, Rama akan terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang.Kebahagiaan itu nyata, tapi kekhawatiran pun tak bisa ditepis begitu saja.Bagi Cinta, ini adalah persalinan kedua. Rasa takut tentu ada, tapi ia merasa lebih siap. Ia tahu apa yang akan dihadapi, dan ia tahu bahwa kali ini, tidak seperti sebelumnya, ia tidak akan melaluinya sendiri. Ada Rama, ada keluarga yang mendukung, ada Chiara yang setiap malam mencium perutnya sambil berkata,“Adek, cepet keluar ya, kita main bareng!”Namun bagi Rama, justru inilah kali pertama dia benar-benar ikut dalam perjuangan seorang istri. Dan itu membuat hatinya semakin terenyuh, juga… takut.“Bagaimana kalau aku nggak cukup baik jadi ayah untuk anak kita, Cin?”Rama bertanya pe
“Bunda Aminah tidak bisa memiliki anak lagi, rahimnya di angkat saat kecelakaan yang menewaskan suami dan anaknya dulu. Itu sebabnya dulu Bunda Aminah tidak mau menikah, tidak ingin memberi harapan palsu pada keluarga yang menerimanya.”“Oh…” Rama kehabisan kata mendengar penjelasan dari istrinya.Perempuan bijak nan bersahaja yang selama ini begitu hangat penuh kasih terhadap anak-anak, ternyata memiliki masa lalu yang sangat pahit.Mungkin kini saatnya di bahagia dengan pria yang bisa menerimanya apa adanya, untuk menghabiskan sisa usia.Hari bahagia itu akhirnya tiba, tangis haru mengalir perlahan di sudut mata Cinta saat suara lantang menggemakan kata “Sah”, menandai momen sakral bersatunya Priambodo dan Bunda Aminah dalam ikatan suci pernikahan.Tepuk tangan, senyum bahagia, dan lantunan doa memenuhi aula sederhana Panti Asuhan, di mana seluruh keluarga besar dan anak-anak panti berkumpul menyaksikan momen bersejarah itu.Cinta menunduk sesaat, menutup wajah dengan kedua tanganny
Hari itu Rama pulang lebih awal dari biasanya. Jam kantor baru saja menyentuh sore, tetapi ia sudah tiba di halaman rumah besar keluarga Narendra. Ada alasan istimewa di balik kepulangannya yang lebih cepat, hari ini adalah jadwal pemeriksaan kandungan Cinta, dan ia ingin mendampingi istrinya sepenuhnya.Begitu mobilnya terparkir, Cinta dan Chiara sudah menunggu di depan pintu. Chiara berlari kecil menyambut sang papa dengan wajah berbinar, memeluk pinggangnya lalu berkata riang, “Ayo, Pa! Kita lihat dedeknya hari ini!”Rama membelai rambut anak gadisnya yang manis itu, lalu mengulurkan tangan pada Cinta yang tersenyum hangat padanya. Hari-hari berat yang dulu pernah mereka lewati seolah telah tergantikan dengan momen manis seperti ini.Widya dan Arman yang menyaksikan dari ruang keluarga hanya bisa tersenyum. Arman menggenggam tangan istrinya, dan dengan suara rendah berbisik, “Akhirnya, anak kita benar-benar berubah.”Widya mengangguk pelan. “Ya. Dan aku tahu, itu karena Cinta. Dia
Pagi itu, suasana Panti Asuhan terasa berbeda. Di halaman depan, beberapa mobil mewah berjejer rapi. Priambodo datang dengan pakaian rapi, ditemani keluarga besarnya, termasuk Rama, Cinta, Chiara, Widya, dan Arman. Bahkan Bi Siti ikut hadir, membawa bingkisan kecil berisi kue tradisional.Semua yang hadir tahu tujuan kedatangan mereka bukanlah sekadar kunjungan sosial biasa. Dan benar saja, setelah basa-basi seperlunya, Priambodo berdiri, menatap hangat perempuan paruh baya yang selama ini mulai mengisi banyak ruang kosong dalam hidupnya.Dengan suara mantap dan penuh ketulusan, ia berkata,"Bunda Aminah… Saya tidak datang ke sini hanya sebagai teman lama. Saya datang sebagai lelaki yang ingin berbagi sisa hidup, bersama seseorang yang saya hormati dan cintai… Bersediakah Bunda menjadi pendamping saya, di sisa usia kita?"Ruangan menjadi sunyi. Semua mata tertuju pada bunda Aminah, yang tampak terkejut, bahkan menahan napas. Beberapa saat kemudian, ia menunduk pelan, lalu menggeleng s