Share

3. Miskinkan Saja!

Penulis: Henny Djayadi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-18 13:31:49

Kata-kata itu menggantung di udara, lebih dingin dari dinding rumah sakit. Cinta menutup mata sejenak, lalu mengangguk pelan. Keselamatan Chiara lebih utama daripada mempertahankan sebuah ikatan yang sudah kehilangan kesakralannya.

Kevin mengalihkan pandangannya, merasa menang. Baginya ini adalah hukuman yang setimpal untuk Cinta yang telah mengganggu kesenangannya dan menjatuhkan harga dirinya di hadapan para karyawan.

Setelah Cinta menyetujui syarat yang dia ajukan, Kevin melangkah tegap, tanpa ragu, seolah perjanjian yang baru saja mereka buat hanyalah urusan bisnis biasa.

Cinta berdiri terpaku di lorong rumah sakit. Air matanya jatuh tanpa suara, menelusuri pipi yang pucat. Dia menatap Kevin yang berjalan menjauh bersamaan dengan seorang tenaga medis yang akan mengambil darahnya untuk didonorkan kepada putrinya.

Waktu terasa begitu lambat. Detik-detik terasa seperti beban yang tak tertahankan. Cinta duduk di kursi tunggu yang dingin, tangannya menggenggam erat saputangan kecil, basah oleh air mata.

Cinta memejamkan mata, mencoba mengusir kenangan tentang Kevin yang dulu penuh kasih, kini hanya menyisakan bayang-bayang laki-laki asing.

Kevin kembali setelah selesai mendonorkan darah. Wajahnya datar, suaranya dingin tanpa empati.

"Tanggung jawabku sudah selesai.” Kevin berdiri di hadapan Cinta tanpa menurunkan nada arogan. "Aku sudah siapkan asuransi untuk biaya pengobatan Chiara sampai dia keluar dari rumah sakit. Kau tidak perlu khawatir soal itu."

Cinta menatap Kevin, mencoba menemukan lelaki yang pernah membuatnya jatuh cinta. Tapi yang dia lihat hanyalah pria asing yang hatinya telah pergi bersama perempuan lain.

"Aku akan segera mengurus perceraian. Setelah itu, aku akan mengesahkan pernikahanku dengan Maira," lanjut Kevin tanpa ragu, seolah tidak mempedulikan keselamatan putrinya yang sedang berjuang hidup di ruang operasi.

Cinta hanya mengangguk pelan. Tidak ada kata yang mampu keluar. Luka hatinya terlalu dalam untuk dijelaskan dengan ucapan.

Setelah menjalani operasi, Chiara dipindahkan ke ruang perawatan. Tubuh kecilnya terbaring lemah di atas brankar, selang infus menempel di lengannya.

Cinta duduk di sampingnya, menggenggam tangan mungil itu, mencoba menenangkan meski hatinya sendiri penuh luka. Chiara sering terbangun dari tidurnya dengan tangis kesakitan, tubuhnya meringis setiap kali bergerak.

"Mama, Papa mana? Kenapa Papa nggak datang?" tanya Chiara dengan suara pelan, dan tatap mata penuh harap.

Cinta terdiam sejenak, dadanya sesak. Ia mengelus rambut putrinya dengan lembut, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah.

"Papa sedang sibuk, Sayang. Papa sedang cari uang untuk membayar rumah sakit," jawabnya berusaha terdengar tenang. “Chia, bobok dulu, ya. Mama akan selalu menemani Chia di sini.”

Setiap pertanyaan Chiara tentang Kevin adalah luka baru bagi Cinta. Ia merasa bingung dan hancur, tidak tahu bagaimana harus menjelaskan kenyataan pahit ini kepada putrinya.

Karena pengaruh obat, kini Chiara sudah kembali terlelap. Cinta duduk di sampingnya, punggungnya bersandar lelah pada kursi keras rumah sakit. Tangannya masih menggenggam jemari kecil Chiara yang dingin. Matanya kosong, menatap lantai kusam. Pikirannya melayang, membayangkan masa depan yang tanpa arah.

Pintu ruang perawatan Chiara berderit pelan. Cinta menoleh, matanya sayu terlihat lelah. Nora berdiri di ambang pintu, ragu-ragu, lalu melangkah masuk.

Wajahnya cemas, dan suaranya terdengar pelan. "Maaf, Cin ... Aku baru tahu dari Ibu Panti. Aku ... harusnya datang lebih cepat.” Sahabat Cinta dari panti asuhan itu langsung memeluk tubuhnya dengan erat, seolah siap menjadi sandaran berbagi beban.

Setelah pelukan terurai Cinta mengangguk dengan senyum yang dipaksakan. Nora menarik kursi pelan lalu duduk di hadapan Cinta. Matanya berkaca saat melihat Chiara yang terbaring tidak berdaya.

"Apa benar ... kau akan cerai? Karena dia ... sudah menikah lagi?" cecar Nora pelan, suaranya mengandung ketidakpercayaan.

Cinta menunduk, mengangguk. Dadanya terasa sesak, tapi tak ada air mata yang tersisa. Hanya keheningan yang penuh luka.

Nora menghela napas panjang, lalu mendesis penuh amarah, “Miskinkan saja dia! Kalau sudah miskin, pasti si pelakor itu akan meninggalkannya.”

Cinta tersenyum tipis, entah menertawakan dirinya sendiri yang harus menerima takdir dikhianati oleh suaminya, atau menertawakan testimony sang sahabat yang sepertinya sangat tidak masuk akal.

Kevin Augusto Sanjaya, lelaki yang lima tahun lalu menikahi Cinta adalah seorang CEO dan calon perwaris tunggal perusahaan Sanjaya Group. Bukan hanya memiliki bisnis yang sedang berkembang pesat, tetapi dia juga memiliki saham di beberapa perusahaan lain yang tentunya akan selalu menambah pundi-pundi kekayaannya saat deviden dibagikan.

Cinta menggeleng pelan sambil menatap lelah wajah Nora. “Apa lagi yang bisa aku pertahankan dalam pernikahan ini, jika hatinya sudah tidak bersama kami lagi?”

Perselingkuhan yang nyata di depan mata, sikap Kevin yang sama sekali tidak menunjukkan cinta dan kasih sayang kepada keluarga lagi, membuat Cinta merasa hubungannya dengan Kevin sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Bagaimana tidak, setelah mendonorkan darahnya Kevin tidak pernah menemani Chiara sama sekali.

“Lalu kau pasrah begitu saja?”

“Untuk kebebasannya Kevin sudah membayar dengan darah. Bagiku, sudah cukup dengan melihat anakku selamat.”

Cinta mengalihkan pandangannya ke arah Chiara dan menatapnya dengan sendu. Sebenarnya Cinta ingin memperjuangkan hak-hak putrinya, tetapi dia tidak memiliki kekuatan.

Pengacara Kevin beberapa kali mendatangi Cinta di rumah sakit. Bukan hanya untuk memastikan Cinta menerima semua keputusan Kevin, tetapi juga menebar ancaman akan menghentikan biaya pengobatan Chiara jika Cinta mempersulit perceraian mereka. Jadi, fokus Cinta saat ini hanyalah bagaimana dia bisa bertahan hidup dengan putrinya.

Nora menggeleng tidak percaya. “Lalu apa rencanamu ke depan?”

“Aku sudah meminta izin kepada Bunda Aminah untuk tinggal di panti asuhan sampai aku mendapat tempat tinggal.”

Nora mengangguk samar, untuk hal itu dia sudah mendengar penjelasan dari Bunda Aminah. “Lalu ... kau akan bekerja?”

Cinta mengangguk samar. Setelah bercerai dari Kevin, tentu dia tidak bisa menuntut nafkah lagi. Bahkan untuk Chiara, tampaknya Cinta hanya bisa menanti kesadaran Kevin sendiri.

“Kau bisa membantuku?” tanya Cinta terdengar memohon.

Nora hanya tersenyum, lalu dengan ponselnya beberapa kali dia mengambil foto Cinta secara candid.

Cinta tergagap. “Buat apa?”

“Nanti aku tunjukkan pada temenku, siapa tahu masih ada lowongan.”

Hati Cinta tersentuh penuh haru, dia memaksakan senyum sambil mengusap punggung tangan Nora. “Terima kasih.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    175. Demi Anak

    Dion menatap Evita dengan tatapan menenangkan, tangannya menggenggam jemari gadis itu dengan hangat. “Kita tidak bisa lari terus, Vit… Aku harus hadapi ini. Aku tidak akan mmbiarkan kamu sendirian.”Evita menggeleng keras, air matanya kembali mengalir. “Kamu nggak tahu mereka seperti apa, Dion. Mereka bisa kasar, mereka bisa….”“Aku tahu, Vit….” Sudah lama menjadi orang kepercaaan Rama, Dion tahu bagaimana cara orang-orang berduit menyelesaikan masalah tanpa bersentuhan dengan hukum.“Tapi ini tanggung jawabku. Kamu dan anak kita adalah tanggung jawabku. Aku yang membuatmu berada di posisi ini. Jadi aku yang harus berdiri di depan.”Dengan langkah mantap dan tarikan napas panjang, Dion menuju pintu. Gedoran di baliknya semakin keras, semakin memaksa. Dion membuka kunci, memutar gagang pintu, dan membuka perlahan.Di hadapannya berdiri tiga pria berbadan tegap, mengenakan pakaian serba hitam. Sorot mata mereka tajam, ekspresi wajah dingin dan penuh wibawa. Salah satu dari mereka melang

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    174. Ujian Cinta

    Danu Lukito berdiri di balik tirai ruang kerjanya, matanya mengawasi halaman depan dengan tajam. Ketika dilihatnya Evita keluar rumah dengan langkah tergesa, wajah tertunduk dan tanpa menoleh ke belakang, hatinya makin yakin, putrinya akan menemui pria yang telah menghamilinya.Danu sangat mengenal Evita yang keras kepala, dan jika dia sudah mengambil keputusan, tidak ada yang bisa menghentikannya, kecuali dengan pengawasan.Dengan gerak cepat, Danu mengambil ponselnya dan menekan nomor yang sudah tersimpan lama. Suaranya tenang tapi tegas.“Ikuti Evita. Jangan terlalu dekat, tapi pastikan ke mana dia pergi. Aku ingin tahu siapa pria itu.”Sementara itu, di apartemen Dion, suasana jauh dari tenang. Dion mondar-mandir di ruang tengah, rambutnya berantakan, matanya gelisah. Ucapan Widya siang tadi terus berputar di kepalanya, seperti gema yang tak bisa dihentikan.Dalam hatinya terus dipenuhi pertanyaan. Bukan karena perubahan sikap Evita yang dia tahu itu tidak benar, tapi kekhawatiran

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    173. Luka Evita

    Evita duduk tertunduk di ujung sofa ruang keluarga, wajahnya tertutup kedua telapak tangan. Isak tangisnya pecah tanpa bisa ditahan, bahunya bergetar hebat. Air matanya membasahi jari-jarinya, membasahi hati yang sejak lama sudah retak oleh ketakutan dan beban rahasia yang ia simpan sendiri.Di seberangnya, Danu Lukito berdiri dengan rahang mengeras, dadanya naik turun menahan emosi. Pria itu, yang selama ini menjadi ayah bijak dan tenang, kini tak kuasa menahan amarah dan rasa kecewa. Suaranya lantang, mengguncang ruangan.“Siapa, Evita? Siapa ayah dari anak itu?”Evita mengangkat wajahnya perlahan. Matanya sembab, suaranya tercekat.Belum sempat dia menjawab, Sandra menyambar lebih dulu, nadanya tajam, menusuk tanpa ampun.“Apa itu anak Rama? Dan sekarang dia mau lepas tanggung jawab begitu saja?”Evita menggeleng, kali ini dengan tegas. Tangisnya belum berhenti, tapi suaranya jelas.“Bukan, Ma. Ini bukan anak Rama.”Sandra menyipitkan mata, lalu tersenyum miring dengan nada mencibi

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    172. Siapa Ayah Anak Itu?

    Setelah pertemuan penuh tekanan dengan Sandra, Widya tidak langsung kembali ke rumah. Ada satu hal yang belum selesai. Sesuatu yang selama ini dia tunda karena masih menaruh harapan pada keputusan anaknya sendiri. Tapi kini, semuanya sudah kelewat batas. Widya tahu, dia harus mengambil langkah lebih tegas.Mobilnya berhenti di depan Gedung Narendra Group yang megah. Langkah Widya tegas dan cepat, matanya tajam, menyimpan kekecewaan yang tak bisa lagi disembunyikan. Tanpa mengetuk, dia langsung mendorong pintu ruang kerja Rama.Rama, yang sedang berdiskusi serius dengan Dion, tersentak melihat kehadiran ibunya. Alisnya terangkat, matanya menatap heran.Widya berdiri tegak di depan pintu, sorot matanya tidak main-main. “Ada hal penting yang harus Mama bicarakan denganmu. Sekarang.”Dion menatap Widya sejenak, lalu bangkit dari duduknya. Dengan posisi tubuh sedikit menunduk, Dion memberi ruang kepada Widya.Dengan gestur dan nada yang sopan, Dion mempersilahkan Widya. “Silakan duduk, Bu

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    171. Janji yang tak Terpenuhi

    Di sebuah restoran mewah di tengah kota, di sebuah ruang private yang tertutup rapat dari hiruk pikuk luar, dua wanita duduk saling berhadapan. Ruangan itu penuh kesan elegan, bunga segar di vas kristal, dan denting halus musik klasik yang mengalun sebagai latar.Widya tampak anggun dalam balutan blus putih gading dan scarf sutra di lehernya. Di seberangnya, Sandra, mami Evita, menatap dengan mata tajam yang mengandung perhitungan. Cangkir teh di tangannya sudah dingin, namun pembicaraan mereka justru mulai memanas."Aku harap kamu belum lupa, Widya," ucap Sandra dengan suara halus tapi menusuk. “Dulu, waktu suamimu hampir kehilangan tanah warisan keluarga, siapa yang diam-diam bantu lewat koneksi ke bank? Aku.”Widya diam, mencoba menjaga wibawanya. Tapi tatapan Sandra tak memberinya ruang untuk menghindar.“Waktu ibumu sakit dan rumah tanggamu sedang hancur-hancurnya, siapa yang pertama kirim bantuan tanpa tanya balasan? Aku, Widya. Kita bukan cuma sahabat, kita pernah saling gantun

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    170. Menuntut Kepastian

    Cinta duduk di depan meja rias, menyisir rambut panjangnya perlahan. Gerakan tangannya lembut, tapi pandangannya kosong menatap bayangan dirinya di cermin. Wajah itu cantik, tapi ada kabut tipis kegundahan di matanya yang tak bisa disembunyikan.Tiba-tiba, suara pintu kamar mandi terbuka, dan Rama keluar hanya mengenakan handuk yang melingkar di panggulnya. Memperlihatkan dada bidang dan perut berototnya.Rambut Rama masih basah. Ia tersenyum kecil saat melihat Cinta, lalu tanpa ragu memeluknya dari belakang. Tubuh Cinta tersentak pelan saat tetesan air dari rambut Rama mengenai bahunya, membasahi baju tipis yang dikenakannya.“Dingin…” bisik Cinta sambil tertawa kecil, tapi tidak menolak pelukan itu.“Biar aku yang angetin,” goda Rama, mencium Pundak Cinta sekilas.Cinta berdiri, mengambil handuk kecil dari rak, lalu menarik Rama duduk di depan cermin. Dengan sabar, ia mengeringkan rambut suaminya, seperti ritual pagi yang kini mulai mereka jalani. Tak ada kata-kata, hanya keintiman

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status