Kata-kata itu menggantung di udara, lebih dingin dari dinding rumah sakit. Cinta menutup mata sejenak, lalu mengangguk pelan. Keselamatan Chiara lebih utama daripada mempertahankan sebuah ikatan yang sudah kehilangan kesakralannya.
Kevin mengalihkan pandangannya, merasa menang. Baginya ini adalah hukuman yang setimpal untuk Cinta yang telah mengganggu kesenangannya dan menjatuhkan harga dirinya di hadapan para karyawan. Setelah Cinta menyetujui syarat yang dia ajukan, Kevin melangkah tegap, tanpa ragu, seolah perjanjian yang baru saja mereka buat hanyalah urusan bisnis biasa. Cinta berdiri terpaku di lorong rumah sakit. Air matanya jatuh tanpa suara, menelusuri pipi yang pucat. Dia menatap Kevin yang berjalan menjauh bersamaan dengan seorang tenaga medis yang akan mengambil darahnya untuk didonorkan kepada putrinya. Waktu terasa begitu lambat. Detik-detik terasa seperti beban yang tak tertahankan. Cinta duduk di kursi tunggu yang dingin, tangannya menggenggam erat saputangan kecil, basah oleh air mata. Cinta memejamkan mata, mencoba mengusir kenangan tentang Kevin yang dulu penuh kasih, kini hanya menyisakan bayang-bayang laki-laki asing. Kevin kembali setelah selesai mendonorkan darah. Wajahnya datar, suaranya dingin tanpa empati. "Tanggung jawabku sudah selesai.” Kevin berdiri di hadapan Cinta tanpa menurunkan nada arogan. "Aku sudah siapkan asuransi untuk biaya pengobatan Chiara sampai dia keluar dari rumah sakit. Kau tidak perlu khawatir soal itu." Cinta menatap Kevin, mencoba menemukan lelaki yang pernah membuatnya jatuh cinta. Tapi yang dia lihat hanyalah pria asing yang hatinya telah pergi bersama perempuan lain. "Aku akan segera mengurus perceraian. Setelah itu, aku akan mengesahkan pernikahanku dengan Maira," lanjut Kevin tanpa ragu, seolah tidak mempedulikan keselamatan putrinya yang sedang berjuang hidup di ruang operasi. Cinta hanya mengangguk pelan. Tidak ada kata yang mampu keluar. Luka hatinya terlalu dalam untuk dijelaskan dengan ucapan. Setelah menjalani operasi, Chiara dipindahkan ke ruang perawatan. Tubuh kecilnya terbaring lemah di atas brankar, selang infus menempel di lengannya. Cinta duduk di sampingnya, menggenggam tangan mungil itu, mencoba menenangkan meski hatinya sendiri penuh luka. Chiara sering terbangun dari tidurnya dengan tangis kesakitan, tubuhnya meringis setiap kali bergerak. "Mama, Papa mana? Kenapa Papa nggak datang?" tanya Chiara dengan suara pelan, dan tatap mata penuh harap. Cinta terdiam sejenak, dadanya sesak. Ia mengelus rambut putrinya dengan lembut, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah. "Papa sedang sibuk, Sayang. Papa sedang cari uang untuk membayar rumah sakit," jawabnya berusaha terdengar tenang. “Chia, bobok dulu, ya. Mama akan selalu menemani Chia di sini.” Setiap pertanyaan Chiara tentang Kevin adalah luka baru bagi Cinta. Ia merasa bingung dan hancur, tidak tahu bagaimana harus menjelaskan kenyataan pahit ini kepada putrinya. Karena pengaruh obat, kini Chiara sudah kembali terlelap. Cinta duduk di sampingnya, punggungnya bersandar lelah pada kursi keras rumah sakit. Tangannya masih menggenggam jemari kecil Chiara yang dingin. Matanya kosong, menatap lantai kusam. Pikirannya melayang, membayangkan masa depan yang tanpa arah. Pintu ruang perawatan Chiara berderit pelan. Cinta menoleh, matanya sayu terlihat lelah. Nora berdiri di ambang pintu, ragu-ragu, lalu melangkah masuk. Wajahnya cemas, dan suaranya terdengar pelan. "Maaf, Cin ... Aku baru tahu dari Ibu Panti. Aku ... harusnya datang lebih cepat.” Sahabat Cinta dari panti asuhan itu langsung memeluk tubuhnya dengan erat, seolah siap menjadi sandaran berbagi beban. Setelah pelukan terurai Cinta mengangguk dengan senyum yang dipaksakan. Nora menarik kursi pelan lalu duduk di hadapan Cinta. Matanya berkaca saat melihat Chiara yang terbaring tidak berdaya. "Apa benar ... kau akan cerai? Karena dia ... sudah menikah lagi?" cecar Nora pelan, suaranya mengandung ketidakpercayaan. Cinta menunduk, mengangguk. Dadanya terasa sesak, tapi tak ada air mata yang tersisa. Hanya keheningan yang penuh luka. Nora menghela napas panjang, lalu mendesis penuh amarah, “Miskinkan saja dia! Kalau sudah miskin, pasti si pelakor itu akan meninggalkannya.” Cinta tersenyum tipis, entah menertawakan dirinya sendiri yang harus menerima takdir dikhianati oleh suaminya, atau menertawakan testimony sang sahabat yang sepertinya sangat tidak masuk akal. Kevin Augusto Sanjaya, lelaki yang lima tahun lalu menikahi Cinta adalah seorang CEO dan calon perwaris tunggal perusahaan Sanjaya Group. Bukan hanya memiliki bisnis yang sedang berkembang pesat, tetapi dia juga memiliki saham di beberapa perusahaan lain yang tentunya akan selalu menambah pundi-pundi kekayaannya saat deviden dibagikan. Cinta menggeleng pelan sambil menatap lelah wajah Nora. “Apa lagi yang bisa aku pertahankan dalam pernikahan ini, jika hatinya sudah tidak bersama kami lagi?” Perselingkuhan yang nyata di depan mata, sikap Kevin yang sama sekali tidak menunjukkan cinta dan kasih sayang kepada keluarga lagi, membuat Cinta merasa hubungannya dengan Kevin sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Bagaimana tidak, setelah mendonorkan darahnya Kevin tidak pernah menemani Chiara sama sekali. “Lalu kau pasrah begitu saja?” “Untuk kebebasannya Kevin sudah membayar dengan darah. Bagiku, sudah cukup dengan melihat anakku selamat.” Cinta mengalihkan pandangannya ke arah Chiara dan menatapnya dengan sendu. Sebenarnya Cinta ingin memperjuangkan hak-hak putrinya, tetapi dia tidak memiliki kekuatan. Pengacara Kevin beberapa kali mendatangi Cinta di rumah sakit. Bukan hanya untuk memastikan Cinta menerima semua keputusan Kevin, tetapi juga menebar ancaman akan menghentikan biaya pengobatan Chiara jika Cinta mempersulit perceraian mereka. Jadi, fokus Cinta saat ini hanyalah bagaimana dia bisa bertahan hidup dengan putrinya. Nora menggeleng tidak percaya. “Lalu apa rencanamu ke depan?” “Aku sudah meminta izin kepada Bunda Aminah untuk tinggal di panti asuhan sampai aku mendapat tempat tinggal.” Nora mengangguk samar, untuk hal itu dia sudah mendengar penjelasan dari Bunda Aminah. “Lalu ... kau akan bekerja?” Cinta mengangguk samar. Setelah bercerai dari Kevin, tentu dia tidak bisa menuntut nafkah lagi. Bahkan untuk Chiara, tampaknya Cinta hanya bisa menanti kesadaran Kevin sendiri. “Kau bisa membantuku?” tanya Cinta terdengar memohon. Nora hanya tersenyum, lalu dengan ponselnya beberapa kali dia mengambil foto Cinta secara candid. Cinta tergagap. “Buat apa?” “Nanti aku tunjukkan pada temenku, siapa tahu masih ada lowongan.” Hati Cinta tersentuh penuh haru, dia memaksakan senyum sambil mengusap punggung tangan Nora. “Terima kasih.”Rama membeliakkan matanya. “Siapa Theo?”Selo Ardi menghembuskan napas secara kasar. “Dia orangnya Priambodo.”“Sial!” maki Rama, lebih pada dirinya sendiri yang tidak bisa melindungi Cinta, dan tidak peka dengan situasi.Ekspresi wajahnya mengelap. “Bisa jadi... ini perintah langsung dari Priambodo. Dan mereka bergerak dengan sangat rapi. Ini bukan penculikan biasa. Tapi, dari cara mereka memperlakukan Cinta dan Chiara, sepertinya mereka tidak diperintahkan untuk menyakiti.”Arman menarik napas panjang. “Jika Priambodo yang bergerak, aku rasa ini masalah yang sangat serius.”Rama mengepalkan tangan, dadanya sesak. “Kalau dia menyentuh Cinta atau Chiara sedikit saja…”Arman mengangkat tangan, menahan. “Jangan emosional. Kita selamatkan mereka, tapi harus dengan kepala dingin.”Selo Ardi mengangguk. “Saya akan segera susun tim. Tapi... kita juga harus memikirkan satu hal.”“Apa itu?” tanya Arman.“Mungkin kita bisa melakukan negosiasi, agar Priambodo melepas mereka... tanpa ada kekeras
Sementara itu di tempat yang berbeda, tepatnya di ruang tamu rumah keluarga Narendra yang megah dan dingin, ketegangan terasa pekat. Rama datang dengan napas terengah, wajahnya pucat dan penuh kecemasan. Matanya mencari sosok sang ayah, Arman Narendra, satu-satunya orang yang bisa dia andalkan saat seluruh dunia terasa runtuh.Tampak Selo Ardi, penasihat keluarga yang loyal, sudah duduk dengan wajah serius.Begitu juga Widya yang berdiri dengan tangan bersedekap di dada. Ketika Rama masuk, Widya langsung menyahut dengan nada sinis namun tetap terdengar anggun."Masih kau cari perempuan itu? Lihatlah… sejak Cinta masuk ke hidupmu, yang datang hanya masalah."Rama menatap mamanya dengan getir. Ia ingin membantah, ingin mengatakan betapa besar cintanya pada Cinta, tapi mulutnya tak sanggup terbuka. Yang bisa dia lakukan hanyalah memalingkan wajah, berusaha menahan amarah yang sebenarnya sudah siap meledak.Arman melangkah maju, menatap putranya lalu istrinya bergantian.“Widya…,” panggil
Begitu mereka memasuki ruangan, Cinta menatap sekeliling. Ruangan itu ternyata bukan ruangan gelap atau menyeramkan seperti yang dia bayangkan. Ruangan itu terang dan hangat. Di dalamnya ada rak buku besar, lukisan pemandangan di dinding, dan meja kerja klasik yang dipenuhi bingkai foto. Tatap mata Cinta tertuju pada satu foto besar, foto pernikahan yang dia yakini adalah pernikahan Priambodo dan istrinya. Cinta terpaku, seperti pernah melihatnya, tapi dia lupa. Priambodo menarik napas panjang, lalu perlahan mengisyaratkan Cinta untuk duduk di sofa empuk berwarna krem yang menghadap langsung ke rak penuh foto-foto lawas. Cinta duduk dengan hati waspada, tubuhnya kaku, sementara matanya sesekali melirik foto pernikahan yang belum lama tadi membuatnya penasaran. Pertanyaan demi pertanyaan berputar dalam kepalanya, tapi tak satu pun dia lontarkan. Priambodo duduk di seberang, kedua tangannya saling menggenggam di pangkuan. Wajahnya tak sekeras sebelumnya, tak ada aura dingin seoran
Priambodo terhenti sejenak. Senyumnya makin lebar. Sementara wajah Cinta berubah antara bingung dan terperanjat. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Panggilan spontan dari Chiara membuat suasana yang tegang berubah canggung. Priambodo mengangkat kedua tangannya, seolah menyerah, lalu tertawa pelan. “Opa Genit, ya?” ujar Priambodo dengan nada menggoda. “Kenapa dibilang genit, anak cantik?” Chiara menatapnya dengan serius, lalu menjawab polos, “Karena waktu itu Opa suka senyum-senyum sendiri waktu lihat Mama…” Cinta langsung merengkuh tubuh Chiara dalam pelukannya. Berharap apa yang dia lakukan tidak menimbulkan amarah pada pria di hadapannya. Sementara itu Priambodo justru tertawa terbahak, lalu menunduk dan berlutut agar sejajar dengan Chiara. “Itu karena Mama kamu memang cantik,” ucap Priambodo dengan lembut, sambil menatap Cinta dengan tatap mata penuh binar bahagia. Cinta membeku, semakin dijejali rasa takut. Masih lekat dalam ingatan Cinta saat Priambodo berusaha
Cinta melangkah perlahan menyusuri tiap sudut rumah yang terasa asing namun begitu nyaman itu. Rumah itu begitu megah, penuh detail klasik, namun tak ada satu pun petunjuk siapa pemiliknya. Tak ada foto keluarga, tak ada pajangan pribadi, hanya lukisan-lukisan bergaya naturalis hutan, danau, gunung bersalju, dan padang bunga liar. Semua tampak indah, tapi juga membuatnya semakin resah. Semuanya terlalu bersih, terlalu sempurna, tapi misterius.Cinta mulai merasa panik. "Rumah siapa ini? Bagaimana aku bisa di sini? Tapi… kenapa aku tidak bisa mengingat apa pun, bagaimana aku sampai di sini?" batin Cinta gemetar dipenuhi ketakutan.Tiba-tiba, terdengar suara lembut dari arah belakang."Non Cinta..."Cinta sontak berbalik, sedikit terkejut. Di hadapannya berdiri seorang perempuan paruh baya, mengenakan seragam rapi berwarna krem dan kerudung sederhana. Wajahnya teduh, senyumnya tulus, dan suaranya terdengar sopan serta penuh hormat."Non Cinta panggil saja Bi Siti, saya pembantu di ruma
Rama tersenyum kecil."Pasti mereka sedang menyiapkan kejutan." Piker Rama sambil melangkah masuk lebih dalam.Namun semakin lama suasana sunyi itu justru terasa semakin mencekam. Ia menyalakan lampu ruang tamu. Seketika cahaya menyebar ke seluruh penjuru ruangan menampakkan ruang yang rapi, tapi terlalu rapi. Seperti tidak ada yang tinggal di sana.Rama meletakkan bunga dan makanan di meja, lalu membuka kamar tidur.Kosong.Kamar Chiara?Sepi.Langkah Rama mulai tak tenang. Napasnya memburu. Tangannya dengan cepat merogoh ponsel dan menghubungi nomor Cinta.Nada sambung terdengar.Namun…Dering ponsel justru terdengar di kamar Chiara. Matanya membelalak saat melihat ponsel Cinta tergeletak di sana, seperti sengaja ditinggalkan."Tidak mungkin..." gumam Rama dengan suara tercekat.Tangannya menggenggam erat ponsel itu, lalu menatap sekeliling ruangan lagi, mencari tanda-tanda. Tidak ada yang hilang, semua masih berada di tempatnya dengan rapi, hanya istri dan anaknya yang tidak dia te