Share

4. Mantan yang Berbeda

last update Last Updated: 2025-02-18 13:33:16

Kevin sudah berpesan kepada Cinta untuk tidak mendatangi sidang perceraian, agar prosesnya bisa berjalan dengan lancar. Dan sekarang, akta cerai itu sudah berada di tangan Cinta.

Bunda Aminah memeluk Cinta, memberikan kekuatan dalam menghadapi ujian yang bertubi-tubi datangnya. Tidak ada kata-kata berlebihan, hanya keheningan yang berbicara lebih lantang daripada seribu nasihat. Cinta menunduk, menahan air mata yang nyaris tumpah, menggenggam erat akta cerai di tangannya.

"Kamu kuat, Nak. Sejak kecil, kamu sudah terbiasa menghadapi badai." ucap Bunda Aminah dengan suara yang menenangkan.

Cinta mengangguk pelan, meski hatinya berkata sebaliknya. Dulu, dia datang ke panti ini sebagai anak kecil yang haus kasih sayang. Kini dia kembali, sebagai seorang ibu yang kehilangan segalanya, kecuali putrinya.

Terdengar suara salam yang mengalihkan perhatian Cinta dan Bunda Aminah. Keduanya mengenali suara itu dan bergegas keluar.

Nora datang dengan langkah cepat, dia mencium punggung tangan Bunda Aminah. Lalu tatap matanya beralih ke Cinta dengan senyum yang merekah

"Ada pekerjaan untukmu.” Kabar yang dibawa Nora menyalakan Cahaya di ujung Lorong gelap hati Cinta. “Bayarannya sih lumayan, tapi kontraknya sebulan, dan kau harus tinggal di sana."

Cinta terdiam, pandangannya terlempar ke arah Chiara yang duduk lemah di kursi roda. Gadis kecil itu dengan tatap matanya yang sendu, sedang melihat teman lainnya bermain.

"Aku tak bisa meninggalkan Chia, dia masih butuh aku," bisik Cinta, suaranya nyaris tenggelam oleh rasa takut.

Bunda Aminah menggenggam tangan Cinta yang dingin. "Biar aku yang menjaga Chia. Dia aman di sini, bersama kami. Kau harus kuat, lakukan demi Chia!"

Cinta menatap mata Bunda Aminah. Anggukkan dan senyum lembut perempuan paruh baya itu meyakinkan hatinya.

Keesokan harinya, Nora membawa Cinta bertemu dengan seorang perempuan paruh baya yang dipanggil Mama Lisa. Perempuan itu memandang Cinta dengan saksama, sorot mata seolah menilai inci demi inci, bibirnya tersenyum kecil yang sulit ditebak artinya.

"Kau cantik sekali," ucap Mama Lisa setelah beberapa saat. Kecantikan Cinta tetap terpancar meski hanya dengan riasan sederhana.

Cinta hanya tersenyum kaku, terlihat canggung dengan pujian itu. Wajahnya memang memiliki kecantikan alami, kulit sawo matang yang bersih, alis hitam tebal yang terbingkai sempurna tanpa perlu pensil, dan mata cokelat gelap yang bersinar meski ada bayang-bayang lelah di bawahnya.

Mama Lisa lalu mengeluarkan selembar kertas, sebuah kontrak kerja. Tanpa banyak basa-basi, dia menyodorkannya kepada Cinta. Saat membaca angka-angka di dalamnya, mata Cinta melebar.

Hatinya berdegup kencang. Ini lebih dari sekadar pekerjaan, ini adalah rezeki tak terduga. Terlintas di benaknya biaya pengobatan Chiara yang masih harus rutin kontrol.

“Jadi asisten pribadi bayarannya sebanyak ini?”

Mama Lisa mengangguk dengan senyum lebar di bibirnya.

“Ya, karena kamu harus siap 24 jam melayaninya selama dia di kota ini.”

Tanpa berpikir panjang, Cinta meraih pena dan menandatangani kontrak itu. Hatinya berbisik, "Ini semua untukmu, Chia."

***

Hari di mana Cinta harus mulai bekerja pun tiba. Ia berdiri di depan pintu panti asuhan, menatap Chiara yang duduk lemah di kursi roda. Matanya berkaca-kaca, menahan sedih karena harus meninggalkan putrinya.

"Bunda, tolong jaga Chia untukku. Doakan aku, ya?" ucap Cinta dengan suara lirih menahan tangis.

Bunda Aminah memeluknya erat, memberikan kekuatan terakhir yang Cinta butuhkan. "Kamu pergi dengan tenang. Chia akan baik-baik saja di sini."

Cinta berlutut di hadapan putrinya, menggenggam tangan kecil itu. "Chia, selama mama pergi tidak boleh nakal ya. Nurut sama Bunda Aminah."

Chiara tersenyum lemah, mengangguk pelan. "Ya Ma. Aku akan nurut. Biar kita bisa kumpul lagi, papa dan mama nggak usah kerja jauh buat obat Chia."

Air mata Cinta akhirnya jatuh, bukan hanya karena tersentuh oleh ketegaran putrinya, tapi juga rasa bersalah yang menggerogoti hatinya. Dia merasa gagal mempertahankan sosok seorang ayah dalam hidup Chiara. Tapi Cinta akan berusaha untuk memberikan masa depan yang baik untuk putrinya.

Cinta mendatangi sebuah vila megah sesuai alamat yang diberikan Mama Lisa. Bangunan itu berdiri angkuh di balik gerbang besi tinggi, dikelilingi taman yang terawat rapi. Jantung Cinta berdetak lebih cepat saat seorang pria berpakaian rapi menghampirinya.

"Cinta?” Pria Bernama Dion mengerutkan keningnya menatap penampilan Cinta yang terlihat sederhana.

Cinta hanya mengangguk samar sebagai jawaban.

“Ikut aku, bos sudah menunggu." ucap Dion singkat, ramah tetapi terdengar tegas.

Cinta mengikuti menyusuri lorong-lorong mewah yang sepi, hanya suara sepatu mereka yang terdengar menggema. Dion membuka sebuah pintu besar, memperlihatkan ruangan luas dengan jendela kaca tinggi yang memancarkan cahaya sore.

Di sana, berdiri seorang pria mengenakan jas, membelakanginya, tengah berbicara di telepon. Suaranya berat, penuh wibawa, membuat Cinta merasakan getaran aneh di dadanya. Dion memberi isyarat agar Cinta menunggu.

Setelah beberapa menit, pria itu menutup telepon dan perlahan berbalik. Mata Cinta membelalak, napasnya tercekat. Wajah itu, tak mungkin dia salah lihat.

Pria itu adalah Ramaditya Cakra Narendra, mantan kekasih Cinta saat berseragam putih abu-abu. Ingatan tentang janji-janji manis kala muda kembali melintas di benaknya. Janji untuk menikah, janji untuk bersama sampai ajal memisahkan, yang kini terasa hanya bualan semata.

Rama melangkah mendekat, tatap matanya dingin. Ia berjalan memutari Cinta perlahan, menatap dari ujung rambut hingga ujung kaki, seolah menilai tanpa rasa hormat. Tatapannya penuh sinisme, bukan cinta seperti dulu lagi.

"Apa yang terjadi dengan Nyonya Sanjaya sampai terdampar di sini?" tanya Rama dengan nada dingin yang menusuk, penuh sindiran.

Cinta menunduk, menahan perasaan yang berkecamuk di dadanya. Aura Rama berbeda. Rama yang dulu dia cintai telah hilang, kini dia begitu asing dan dingin.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    317. Maheswara Pradipta Narendra

    Di kehamilan kali ini, Rama dan Cinta sepakat untuk menikmati setiap detik perjalanan menjadi orang tua tanpa terlalu sibuk menebak atau mencari tahu jenis kelamin calon buah hati mereka. Semua pemeriksaan yang dijalani hanya untuk memastikan bahwa bayi dalam kandungan tumbuh sehat dan normal. Rama, yang dulu sempat gelisah dengan ekspektasi soal jenis kelamin, kini bersikap jauh lebih tenang. Ia ingin Cinta menjalani kehamilan ini tanpa tekanan, tanpa target, dan tanpa beban apapun selain menjaga dirinya dan bayi dengan penuh cinta. “Aku cuma mau anak kita sehat, dan kamu juga sehat,” ujar Rama suatu malam sambil mengelus perut Cinta. “Laki-laki atau perempuan, aku akan tetap jatuh cinta padanya, seperti aku jatuh cinta sama kamu.” Sikap tulus dan penuh penerimaan dari Rama membuat Cinta merasa sangat dicintai dan dihargai. Bahkan Priambodo yang dulu sempat menggebu menginginkan cucu laki-laki pun akhirnya luluh. Bagi Priambodo yang paling penting anak dan cucu-cucunya bahagia

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    316. Keinginan Priambodo

    Sekian tahun menjadi keluarga tidak pernah ada masalah serius antara Arman dan Priambodo. Tapi kali ini pernyataan Priambodo begitu mengusik hati Arman dan Rama. "Aku tahu ini terdengar klise… tapi kalian tahu sendiri, apa yang sudah Cinta lalui. Aku tidak ingin hal seperti itu terjadi lagi pada cucu-cucuku," ucap Priambodo dengan suara berat. "Dunia tidak selalu ramah pada perempuan. Chiara dan Amara... mereka butuh pelindung. Saudara laki-laki yang bisa menjaga mereka kelaki." Arman menoleh pada Rama, terlihat masih bingung, lalu berkata dengan tenang namun tegas. "Tapi Priam, kita tidak bisa merancang hidup sedemikian rupa seolah bisa memesan nasib. Anak laki-laki tidak menjamin keselamatan, dan anak perempuan pun bisa menjadi kuat kalau kita didik mereka dengan benar." Rama yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara dengan ekspresi tegas dan tajam. "Papa... saya tahu Papa mencintai Cinta dan cucu-cucu Papa. Tapi, kalau Cinta harus hamil lagi hanya demi melahirkan anak laki-lak

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    315. Amara Cintanaya Narendra

    315Semakin hari perut Cinta makin membesar, dan semakin sering pula detak jantung Rama berpacu lebih cepat dari biasanya. Bukan karena lelah, tapi karena rasa takut yang diam-diam terus tumbuh di hatinya. Setiap kali melihat Cinta mengusap perutnya sambil tersenyum lembut, Rama akan terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang.Kebahagiaan itu nyata, tapi kekhawatiran pun tak bisa ditepis begitu saja.Bagi Cinta, ini adalah persalinan kedua. Rasa takut tentu ada, tapi ia merasa lebih siap. Ia tahu apa yang akan dihadapi, dan ia tahu bahwa kali ini, tidak seperti sebelumnya, ia tidak akan melaluinya sendiri. Ada Rama, ada keluarga yang mendukung, ada Chiara yang setiap malam mencium perutnya sambil berkata,“Adek, cepet keluar ya, kita main bareng!”Namun bagi Rama, justru inilah kali pertama dia benar-benar ikut dalam perjuangan seorang istri. Dan itu membuat hatinya semakin terenyuh, juga… takut.“Bagaimana kalau aku nggak cukup baik jadi ayah untuk anak kita, Cin?”Rama bertanya pe

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    314. Pernikahan Priambodo dan Bunda Aminah

    “Bunda Aminah tidak bisa memiliki anak lagi, rahimnya di angkat saat kecelakaan yang menewaskan suami dan anaknya dulu. Itu sebabnya dulu Bunda Aminah tidak mau menikah, tidak ingin memberi harapan palsu pada keluarga yang menerimanya.”“Oh…” Rama kehabisan kata mendengar penjelasan dari istrinya.Perempuan bijak nan bersahaja yang selama ini begitu hangat penuh kasih terhadap anak-anak, ternyata memiliki masa lalu yang sangat pahit.Mungkin kini saatnya di bahagia dengan pria yang bisa menerimanya apa adanya, untuk menghabiskan sisa usia.Hari bahagia itu akhirnya tiba, tangis haru mengalir perlahan di sudut mata Cinta saat suara lantang menggemakan kata “Sah”, menandai momen sakral bersatunya Priambodo dan Bunda Aminah dalam ikatan suci pernikahan.Tepuk tangan, senyum bahagia, dan lantunan doa memenuhi aula sederhana Panti Asuhan, di mana seluruh keluarga besar dan anak-anak panti berkumpul menyaksikan momen bersejarah itu.Cinta menunduk sesaat, menutup wajah dengan kedua tanganny

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    313. Gender Reveal

    Hari itu Rama pulang lebih awal dari biasanya. Jam kantor baru saja menyentuh sore, tetapi ia sudah tiba di halaman rumah besar keluarga Narendra. Ada alasan istimewa di balik kepulangannya yang lebih cepat, hari ini adalah jadwal pemeriksaan kandungan Cinta, dan ia ingin mendampingi istrinya sepenuhnya.Begitu mobilnya terparkir, Cinta dan Chiara sudah menunggu di depan pintu. Chiara berlari kecil menyambut sang papa dengan wajah berbinar, memeluk pinggangnya lalu berkata riang, “Ayo, Pa! Kita lihat dedeknya hari ini!”Rama membelai rambut anak gadisnya yang manis itu, lalu mengulurkan tangan pada Cinta yang tersenyum hangat padanya. Hari-hari berat yang dulu pernah mereka lewati seolah telah tergantikan dengan momen manis seperti ini.Widya dan Arman yang menyaksikan dari ruang keluarga hanya bisa tersenyum. Arman menggenggam tangan istrinya, dan dengan suara rendah berbisik, “Akhirnya, anak kita benar-benar berubah.”Widya mengangguk pelan. “Ya. Dan aku tahu, itu karena Cinta. Dia

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    312. Adik Chiara yang Lain

    Pagi itu, suasana Panti Asuhan terasa berbeda. Di halaman depan, beberapa mobil mewah berjejer rapi. Priambodo datang dengan pakaian rapi, ditemani keluarga besarnya, termasuk Rama, Cinta, Chiara, Widya, dan Arman. Bahkan Bi Siti ikut hadir, membawa bingkisan kecil berisi kue tradisional.Semua yang hadir tahu tujuan kedatangan mereka bukanlah sekadar kunjungan sosial biasa. Dan benar saja, setelah basa-basi seperlunya, Priambodo berdiri, menatap hangat perempuan paruh baya yang selama ini mulai mengisi banyak ruang kosong dalam hidupnya.Dengan suara mantap dan penuh ketulusan, ia berkata,"Bunda Aminah… Saya tidak datang ke sini hanya sebagai teman lama. Saya datang sebagai lelaki yang ingin berbagi sisa hidup, bersama seseorang yang saya hormati dan cintai… Bersediakah Bunda menjadi pendamping saya, di sisa usia kita?"Ruangan menjadi sunyi. Semua mata tertuju pada bunda Aminah, yang tampak terkejut, bahkan menahan napas. Beberapa saat kemudian, ia menunduk pelan, lalu menggeleng s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status