Share

6. Menunggu Rizal

"Memangnya Kang Jaya mau sama saya? Tunggu saya janda dulu kalau gitu," kataku dengan polosnya. Kang Jaya terbahak sambil menggelengkan kepala.

"Ya Allah, kenapa saya harus bertemu suami istri yang sungguh gak jelas," ujarnya pelan, tetapi masih dapat kudengar dengan jelas.

"Ya sudah, Mbak, saya keliling dulu. Nanti alamat rumah sakit ini saya kirim ke Pak Rizal. Tagihannya saya masukin ke catatan utang ya. Udah habis modal saya buat bayar klinik." Aku tersenyum miris. Miris mendapati suami yang sama sekali tidak khawatir dengandengan keadaanku dan juga bayinya. Justru lelaki bau matahari dan apek ini yang menolongku.

"Makasih Kang, paling nanti sore suami saya ke sini." Kulihat Kang Jaya mengangguk. Lalu pria itu keluar dari kamar perawatan sederhana. Mungkin hanya ada satu kamar perawatan saja yang terisi lima bed, karena klinik yang sederhana ini sepertinya hanya menerima pasien dengan kondisi yang tidak berat.

Tidak ada yang bisa aku lakukan di tempat seperti ini. Perut yang kenyang ini sudah barang tentu membuat mataku ingin terpejam.

Rasanya ini adalah tidurku yang paling nyenyak karena perutku benar-benar kenyang. Sekilas kulihat jam dinding yang sudah berada di angka empat.

"Permisi, Mbak, kita cek tensi dulu ya, " ujar seorang perawat masuk ke ruanganku sambil tersenyum.

"Iya, Sus." Aku membiarkan alat tensi itu berada di lenganku untuk beberapa saat.

"Gimana, Sus? Apakah sudah baikan? Kata teman saya tadi, saya darah rendah. "

"Iya, Mbak, tadi tensinya enam puluh lima, sekarang sudah naik tujuh puluh. Sudah naik dari yang tadi. Semoga besok sudah normal laginya, Mbak. Usahakan makan makanan bergizi dan juga banyak makan buah," pesan perawat itu.

"Baik, Suster, terima kasih. Oh, iya, mungkin nanti suami saya ke sini untuk melihat saya, Sus. Apakah suami boleh menunggui saya di sini?"

"Maaf, Mbak, gak boleh ada penunggu pasien di dalam ruangan ini. Kalau mau, nunggu di kursi depan."

"Oh, baik, Sus, makasih." Suster itu pun keluar dari ruanganku. Tidak ada paket internet, tentu aku tidak bisa mengakses media sosial. Ditambah HP jadul milikku selalu saja kehilangan sinyal secara tiba-tiba. Pasti sangat membosankan rasanya. Di rumah sakit sendirian, gak ada teman ngobrol pula.

Aku terus menunggu Bang Rizal datang sampai warna langit berubah gelap. Ini sudah jam tujuh dan Bang Rizal belum juga datang. Apa Kang Jaya lupa memberi alamat klinik? Mau bertanya pun tidak bisa karena tidak ada pulsa.

"Permisi, Mbak, ini makan malamnya." Seorang perawat datang mengantar nampan berisi makan malam untukku. Orangnya berbeda dengan perawat yang berjaga pagi sampai sore tadi.

"Apa sudah lebih segar, Mbak?" tanyanya sambil tersenyum.

"Sudah, Sus, semoga besok saya bisa pulang." Aku pun ikut tersenyum.

"Suami atau keluarganya gak ada yang datang ke sini, Mbak?" aku terdiam. Apa yang harus aku jawab? Mereka pasti mengira aku orang yang dibuang.

"Masih lembur suami saya, Sus. Lagian saya gak sakit-sakit banget. Besok udah pulang. Paling besok dijemput suami saya." Perawat itu mengangguk. Hanya itu alasan yang dapat aku utarakan untuk menghibur diri ini. Bang Rizal tidak juga menampakkan batang hidungnya sampai malam seperti ini.

"Sus, saya boleh minta tolong?" suster itu mengangguk.

"Ini, saya minta tolong teleponkan nomor suami saya. HP saya gak ada pulsa dan saya pun gak bawa uang." Perawat itu nampak menghela napas. Ia mengeluarkan benda pipih dari saku celana, lalu memberikannya padaku.

"Jangan lama-lama ya, Mbak."

"Iya, Sus, terima kasih banyak." Tangan ini gemetar menekan kontak Bang Rizal. Dua kali mencoba, panggilan itu tidak juga diangkat.

"Sebentar ya, Sus, saya coba sekali lagi," kataku pada perawat itu. Sambil mengucap bismillah, aku kembali menekan kontak Bang Rizal.

"Halo, siapa ini?"

"Bang, Abang di mana? Ini saya, Neneng. Kenapa Abang gak ke klinik?"

"Besok aja ya, Neng. Saya lagi capek banget, Neng. Ini baru pulang nemenin Mbak Novi beli HP."

"Nemenin orang lain bisa, ke rumah sakit lihat istri yang lagi bunting sakit, gak bisa!"

"Besok pagi aku janji ke klinik sekalian bawa kamu pulang. Udah dulu ya."

Aku tersenyum kecut.

"Ini, Sus, terima kasih udah pinjemin saya HP-nya." Ponsel itu aku berikan pada perawat tadi. Air mata sudah tidak bisa kubendung. Ini bukan satu dua kali Bang Rizal mengabaikanku, tetapi sudah sering. Tubuh ini masih lemah, mau protes pun tidak tahu bagaimana caranya?

Tidak ada yang bisa aku lakukan selain menunggu sampai besok pagi.

***

Pagi hari, aku sudah selesai sarapan dan sedang menunggu Bang Rizal yang tidak kunjung datang. Aku turun dari brangkar sambil menarik tiang infus, lalu berjalan keluar kamar perawatan.

"Mbak Neneng," panggil suara yang tidak asing lagi. Dia adalah Kang Jaya.

"Eh, Kang Jaya, ada apa?" tanyaku heran melihat kedatangannya. Apa jangan-jangan ia benar menyukaiku?

"Aduh, gimana sih? Ini saya ditelepon perawat. Katanya kurang seratus lima puluh lagi, baru Mbak bisa keluar dari sini. Suami Mbak gak datang-datang, jadi saya yang ditelepon suruh bayar. Ya ampun, menyusahkan saja! Suami-istri kenapa kompak sekali bikin saya miskin pelan-pelan?"

"Maaf, Kang, s-saya ju.... "

"Udahlah, udah saya bayarin aja. Pokoknya saya catat sebagai utang ya." Pria itu mengeluarkan uang lima ribu tiga lembar dari saku celananya.

"Ini buat ongkos pulang. Saya permisi."

"Kang, makasih!" Seruanku hanya ditatap datar oleh Kang Jaya. Ia sudah membayar semua tagihanku, sekarang malah aku diberi uang. Rahang ini pun mengeras mengutuk Bang Rizal yang sangat keterlaluan.

Awas kamu Rizal!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status