Share

7. Kedatangan Sari

"Aduh, istri Abang udah lama nunggu ya?" sapanya begitu manis tanpa rasa bersalah sama sekali. Langkahnya nampak ringan melayang seakan tanpa beban; menghampiriku di tempat tidur. 

"Ya lama, orang saya nunggu dari kemarin." Wajahku cemberut. Kudengar suara tawa pendeknya.  Aku tahu, Bang Rizal pasti menertawakan wajah jelekku. 

"Kemarin Abang repot banget, Neng. Ya udah, ayo, kita pulang." Ia berdiri sambil menarik pelan lengan ini untuk ikut berdiri juga sama sepertinya. 

Aku yang tidak mau berdebat akhirnya mengikuti langkah Bang Rizal keluar dari kamar perawatan. 

"Dijemput, Mbak?" sapa perawat yang kemarin berjaga merawatku. Aku menoleh, mengangguk, kemudian melemparkan senyum. 

"Iya, ini suami saya udah jemput," jawabku masih dengan senyuman. Di tangan ini sudah ada bungkusan yang berisi obat dari dokter. Namun, ada satu resep yang harus ditebus di apotek luar. 

"Sus, biaya istri saya udah lunas kan ya?" tanya Bang Rizal tiba-tiba. 

"Sudah, Pak, dilunasin tukang daster keliling," jawaban suster itu seperti menyindir Bang Rizal, tetapi dasar suamiku ini kadang kepala batu, kadang kepala squishy, oleh karena itu wajahnya tampak tenang. 

"Oke, berarti saya tinggal bawa ya. Makasih, Sus." Aku hanya bisa sedikit mengangguk sebagai kode bahwa aku sangat berterima kasih atas kebaikan tim klinik yang merawatku. 

Aku naik ke atas motornya tanpa suara. Hati ini masih kesal, sebal, dan juga kecewa pada Bang Rizal. Motor melaju dengan kecepatan sedang. Wajah ini tersapu angin pagi yang tidak segar lagi karena sudah bercampur dengan asap knalpot. 

"Bang, kita ke apotek, ada resep dokter yang harus ditebus," kataku tepat di telinganya yang tertutup helm. 

"Kamu punya uang buat nebus resep? Abang gak ada," tannyanya santai. 

"Gak ada."

"Ya sudah, tunggu saya gajian aja kalau gitu. Minum obat yang gratisan aja, Neng. Oh, iya, tagihan klinik tadi biar saya rembuise ke pabrik, kayaknya digantiin deh. Notanya ada di kamu apa masih di klinik?" 

"Yang bayar siapa, yang nagih nota siapa? Saya gak tahu!" Aku kembali bungkam hingga kami sampai di rumah.

"Istirahat ya, Sayang. Gak usah masak kalau masih lemas. Ceplok telur aja. Malam ini Abang makan si rumah mama lagi." Bang Rizal mengatakan hal membuatku kesal setelah ia mengecup kening ini. 

"Nginep di sana juga?"

"Nggak dong, Abang pulang. Ya sudah Abang berangkat. Jangan lupa tanyain nota klinik ke tukang daster itu. Biar bisa digantiin pabrik. Lumayan kan enam ratus lima puluh ribu. Bayarnya nanti kamu tetap cicil aja ke dia. Oke sayang?" aku malas menjawab. Aku berbalik dan langsung masuk ke dalam rumah. Suara motor Bang Rizal pun menjauh. Aku menghela napas kasar dan memilih langsung berbaring di ranjang. 

"Mbak Neneng, kredit! Kredit!" baru saja rasanya pulas, suara penagih utang itu pun sudah memanggil namaku dengan begitu jelas. 

"Assalamu'alaikum!"

"Wa'alaykumussalam, tunggu ngapa!" Aku mendecih. Kuambil uang sepuluh ribu pemberian Kang Jaya kemarin. Biarlah pakai uang itu saja aku bayar cicilan daster dan klinik ini. 

Begitu pintu kubuka, pria itu langsung menoleh sambil tersenyum. Aroma asem, kecut, dan sedikit bau terasi membuatku terpaksa menutup hidung. 

"Kang, kalau mau keliling nagih, mandi dulu gak sih? Bau banget ini!" Aku mengibaskan tangan di depan wajah. 

"Ya mandilah, masa kagak."

"Mandi air sumur apa mandi air comberan? Bau banget!" Kataku lagi sambil menahan mual. 

"Air sumur Mbak. Ya namanya keliling, pasti keringet. Masa iya saya udah keliling, pas mau ke sini, saya kudu mandi dulu. Segen amat! Buang-buang air saya, buang-buang sabun." 

"Iya, iya, bawel! Udah nih, uangnya! Saya masuk ya, gak tahan baunya!" Aku langsung menutup pintu begitu Kang Jaya menerima uang sepuluh ribu dariku. Setelah aroma apek terasi itu menghilang, barulah aku berani membuka pintu rumah. Hawanya selalu panas dan gerah sejak masuk kehamilan tri semester tiga ini. Kunyalakan TV untuk menonton berita gosip terkini, tetapi yang ada hanyalah berita kriminal. Segera aku matikan TV dan bermaksud untuk rebahan lagi. 

"Assalamu'alaikum, Mbak Neneng."

"Wa'alaykumussalam, eh... ya Allah, Sari. Apa kabar? Ya ampun, sini masuk." Aku menyambut gembira kedatangan Sari, sahabatku saat masih sama-sama kerja di pabrik. 

"Kata Mas Rizal kamu sakit. Jadi aku ke sini, kebetulan aku off hari ini. Gimana udah enakan?" tanyanya sambil terus memperhatikan wajahku. 

"Udah, sehari doang dirawat nya, Sari. Kamu mau minum apa?" tanyaku sambil berdiri. 

"Teh aja deh."

"Tunggu ya." Aku pun berjalan ke dapur untuk membuatkan teh. 

"Neng, selamat ya. Keren Mas Rizal terpilih jadi karyawan teladan tanpa cuti dan ijin selama dua tahun!" Seru Dari dari ruang tamu. 

"Apa? Karyawan teladan?" tanyaku terkejut. Teh manis sudah ada di tanganku, lekas aku bawa ke depan. 

"Oh, itu, iya... yang itu ya. Alhamdulillah, Bang Rizal emang rajin sih," kataku berpura-pura menutupi keterkejutan ini. 

"Kamu dibeliin apa sama Bang Rizal? Karyawan teladan dapat uang tiga juta setengah plus bonus rapelan gaji satu juta dikali tiga bulan. Mantul gak tuh! Nih, aku aja bisa beli cincin dua gram."

"A-apa, hadiah tiga juta setengah? Uang rapelan satu juta itu?" Sari mengangguk antusias. 

Apa yang telah dilakukan Bang Rizal di belakangku? Kenapa ia berbohong?

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status