"Aduh, istri Abang udah lama nunggu ya?" sapanya begitu manis tanpa rasa bersalah sama sekali. Langkahnya nampak ringan melayang seakan tanpa beban; menghampiriku di tempat tidur.
"Ya lama, orang saya nunggu dari kemarin." Wajahku cemberut. Kudengar suara tawa pendeknya. Aku tahu, Bang Rizal pasti menertawakan wajah jelekku. "Kemarin Abang repot banget, Neng. Ya udah, ayo, kita pulang." Ia berdiri sambil menarik pelan lengan ini untuk ikut berdiri juga sama sepertinya. Aku yang tidak mau berdebat akhirnya mengikuti langkah Bang Rizal keluar dari kamar perawatan. "Dijemput, Mbak?" sapa perawat yang kemarin berjaga merawatku. Aku menoleh, mengangguk, kemudian melemparkan senyum. "Iya, ini suami saya udah jemput," jawabku masih dengan senyuman. Di tangan ini sudah ada bungkusan yang berisi obat dari dokter. Namun, ada satu resep yang harus ditebus di apotek luar. "Sus, biaya istri saya udah lunas kan ya?" tanya Bang Rizal tiba-tiba. "Sudah, Pak, dilunasin tukang daster keliling," jawaban suster itu seperti menyindir Bang Rizal, tetapi dasar suamiku ini kadang kepala batu, kadang kepala squishy, oleh karena itu wajahnya tampak tenang. "Oke, berarti saya tinggal bawa ya. Makasih, Sus." Aku hanya bisa sedikit mengangguk sebagai kode bahwa aku sangat berterima kasih atas kebaikan tim klinik yang merawatku. Aku naik ke atas motornya tanpa suara. Hati ini masih kesal, sebal, dan juga kecewa pada Bang Rizal. Motor melaju dengan kecepatan sedang. Wajah ini tersapu angin pagi yang tidak segar lagi karena sudah bercampur dengan asap knalpot. "Bang, kita ke apotek, ada resep dokter yang harus ditebus," kataku tepat di telinganya yang tertutup helm. "Kamu punya uang buat nebus resep? Abang gak ada," tannyanya santai. "Gak ada.""Ya sudah, tunggu saya gajian aja kalau gitu. Minum obat yang gratisan aja, Neng. Oh, iya, tagihan klinik tadi biar saya rembuise ke pabrik, kayaknya digantiin deh. Notanya ada di kamu apa masih di klinik?" "Yang bayar siapa, yang nagih nota siapa? Saya gak tahu!" Aku kembali bungkam hingga kami sampai di rumah."Istirahat ya, Sayang. Gak usah masak kalau masih lemas. Ceplok telur aja. Malam ini Abang makan si rumah mama lagi." Bang Rizal mengatakan hal membuatku kesal setelah ia mengecup kening ini. "Nginep di sana juga?""Nggak dong, Abang pulang. Ya sudah Abang berangkat. Jangan lupa tanyain nota klinik ke tukang daster itu. Biar bisa digantiin pabrik. Lumayan kan enam ratus lima puluh ribu. Bayarnya nanti kamu tetap cicil aja ke dia. Oke sayang?" aku malas menjawab. Aku berbalik dan langsung masuk ke dalam rumah. Suara motor Bang Rizal pun menjauh. Aku menghela napas kasar dan memilih langsung berbaring di ranjang. "Mbak Neneng, kredit! Kredit!" baru saja rasanya pulas, suara penagih utang itu pun sudah memanggil namaku dengan begitu jelas. "Assalamu'alaikum!""Wa'alaykumussalam, tunggu ngapa!" Aku mendecih. Kuambil uang sepuluh ribu pemberian Kang Jaya kemarin. Biarlah pakai uang itu saja aku bayar cicilan daster dan klinik ini. Begitu pintu kubuka, pria itu langsung menoleh sambil tersenyum. Aroma asem, kecut, dan sedikit bau terasi membuatku terpaksa menutup hidung. "Kang, kalau mau keliling nagih, mandi dulu gak sih? Bau banget ini!" Aku mengibaskan tangan di depan wajah. "Ya mandilah, masa kagak.""Mandi air sumur apa mandi air comberan? Bau banget!" Kataku lagi sambil menahan mual. "Air sumur Mbak. Ya namanya keliling, pasti keringet. Masa iya saya udah keliling, pas mau ke sini, saya kudu mandi dulu. Segen amat! Buang-buang air saya, buang-buang sabun." "Iya, iya, bawel! Udah nih, uangnya! Saya masuk ya, gak tahan baunya!" Aku langsung menutup pintu begitu Kang Jaya menerima uang sepuluh ribu dariku. Setelah aroma apek terasi itu menghilang, barulah aku berani membuka pintu rumah. Hawanya selalu panas dan gerah sejak masuk kehamilan tri semester tiga ini. Kunyalakan TV untuk menonton berita gosip terkini, tetapi yang ada hanyalah berita kriminal. Segera aku matikan TV dan bermaksud untuk rebahan lagi. "Assalamu'alaikum, Mbak Neneng.""Wa'alaykumussalam, eh... ya Allah, Sari. Apa kabar? Ya ampun, sini masuk." Aku menyambut gembira kedatangan Sari, sahabatku saat masih sama-sama kerja di pabrik. "Kata Mas Rizal kamu sakit. Jadi aku ke sini, kebetulan aku off hari ini. Gimana udah enakan?" tanyanya sambil terus memperhatikan wajahku. "Udah, sehari doang dirawat nya, Sari. Kamu mau minum apa?" tanyaku sambil berdiri. "Teh aja deh.""Tunggu ya." Aku pun berjalan ke dapur untuk membuatkan teh. "Neng, selamat ya. Keren Mas Rizal terpilih jadi karyawan teladan tanpa cuti dan ijin selama dua tahun!" Seru Dari dari ruang tamu. "Apa? Karyawan teladan?" tanyaku terkejut. Teh manis sudah ada di tanganku, lekas aku bawa ke depan. "Oh, itu, iya... yang itu ya. Alhamdulillah, Bang Rizal emang rajin sih," kataku berpura-pura menutupi keterkejutan ini. "Kamu dibeliin apa sama Bang Rizal? Karyawan teladan dapat uang tiga juta setengah plus bonus rapelan gaji satu juta dikali tiga bulan. Mantul gak tuh! Nih, aku aja bisa beli cincin dua gram.""A-apa, hadiah tiga juta setengah? Uang rapelan satu juta itu?" Sari mengangguk antusias. Apa yang telah dilakukan Bang Rizal di belakangku? Kenapa ia berbohong?BersambungJaya memblokir kontak mantan yang mengucapkan selamat padanya. Bagi Jaya, ia harus memulai hidup baru bersama Neneng dan berubah untuk menjadi pribadi lebih baik dan juga suami yang bertanggung jawab. Pria itu, mantannya, mengirimkan pesan ucapan selamat dan meminta maaf tidak bisa hadir. Jaya justru meras sangat bersyukur mantannya tidak datang."Kang, saya sudah siap," ucap Neneng semangat. Ini masih jam tiga sore, tetapi mereka sudah harus segera berangkat ke bandara. Jangankan bercinta, ciuman pun belum sempat. Keduanya sibuk dengan barang bawaan masing-masing."Cantiknya istriku." Jaya mendaratkan kecupan di bibir sang Istri. Neneng tersenyum senang, sekaligus malu-malu."Nanti kita telat. Di Bali aja durasinya yang lama," kata Neneng saat Jaya sudah memeluk pinggangnya. Namun, Kaya ingin kembali menikmati bibir sang Istri yang saat ini bagaikan magnet. Ini adalah kedua kali ia mencium bibir Neneng, setelah waktu itu sempat mencuri cium secara kilat, sebelum mereka sah menjadi su
POV PenulisBu Asep meneteskan air matanya, tatkala melihat Neneng yang kini sedang duduk menunggu akad nikah selesai diucapkan Jaya. Anak teman dekatnya ini sudah ia anggap seperti anak sendiri, sehingga saat ini rasa sedih dan harunya sama seperti saat ia menikahkan putranya yang dapat istri orang Sukabumi.Mendengar isakan Bu Asep, Neneng pun menoleh terkejut. Namun, tidak lama kemudian, ia bangun dari duduknya untuk menghampiri Bu Asep."Kenapa nangis, Bu?" tanya Neneng sambil memegang tangan Bu Asep."Saya seperti sedang menikahkan anak sendiri. Ibu sama bapak kamu pasti girang banget kamu akhirnya bisa bahagia, menemukan jodoh yang tepat dan insyaAllah terbaik," ucap Bu Asep pelan sambil menghapus air matanya."Iya, Bu, tapi saya juga sangat bersyukur saya masih punya Bu Asep dan Pak Asep yang menganggap saya seperti anak sendiri. Makasih ya, Bu." Neneng memeluk Bu Asep dengan begitu hangat.Tok! Tok!"Akad nikah sudah selesai. Ayo, pengantin wanita bisa keluar!" Dengan menggand
"Mohon maaf, saya tidak bisa menerima pelakor bekerja di tempat saya." Aku terkejut saat Oma Anggit bicara seperti itu pada Novi."Oma, ini masalah pekerjaan, saya rasa Mbak Novi gak papa diberi kesempatan karena ia memang butuh duit. Suaminya tercinta dipenjara. Mertuanya lumpuh. Dia gak punya ijazah sarjana. Jadi, tidak ada salahnya memberikan kesempatan pada Mbak Novi. Saya akan bantu Oma untuk mengawasinya. Jika satu kali saja melakukan kesalahan, maka tidak ada ampun." Aku menatap Novi dengan sinis. Wanita itu masih menunduk malu, karena aibnya sebagai pelakor diketahui oleh anak-anak toko."Saya yang menjadi bos di toko ini kan, Oma?" tanyaku lagi dengan suara keras. Sengaja memberikan sindiran untuk Novi. "Tentu saja, Sayang. Kamu yang menjadi bos di sini dan 2 toko di lantai atas. Tunjukkan pada orang-orang yang pernah merendahkanmu, bahwa ada sebab ada akibat.""Baik, Oma, terima kasih. Novi, kamu boleh keluar dan pastikan hari pertama kamu di sini, jangan bikin kesalahan, k
Satu pekan berlalu, aku baru saja selesai menggelar sidang kedua gugatan cerai yang aku layangkan. Keadaan masih sama, Kang Jaya bekerja keliling menjajakan daster sejak pagi hingga sore hari. Padahal masih bulan Ramadhan, tetapi ia tetap bersikeras berkeliling. Aku dan Oma sudah melarangnya. Bahkan Oma meminta Kang Jaya mengelola beberapa toko pakaian yang ada di mal, tetapi tidak mau juga. Entah apa alasannya yang jelas Kang Jaya bilang belum waktunya ia memegang usaha keluarganya.Usaha keluarga yang sudah berjalan dan berhasil, bisa menjadi batu loncatan untuk lebih baik. Kang Jaya benar-benar bisa sukses dengan menjual pakaian saja. Namun ia selalu saja menolak dengan berbagai alasan."Bantu Oma bujuk Jaya, Neng. Ck, anak itu susah sekali diberitahu. Padahal ada banyak toko pakaian usaha keluarga kami. Mulai dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Malang, bahkan di Medan pun ada. Usaha pakaian itu memang turun-temurun, harusnya Jaya mengelola toko, tapi malah ia jualan kelil
POV NenengRasa gembiranya sungguh tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Wajah terkejut Novi dengan bola matanya yang hampir lepas dari bingkainya, membuatku tidak akan melupakan momen menyenangkan seperti tadi. Ia pasti merasa sangat sial karena telah berhasil dijebak olehku. Tidak ada yang menyangka, seorang Neneng bisa mengelabui musuh secara cerdas. Semua itu, tentu tidak lepas dari campur tangan dan campur rekening Kang Jaya. Jika saja ia tidak mau mengeluarkan uang dua ratus lima puluh untuk Bang Rizal, maka bisa dipastikan mertua, Novi, Rizal yang tengah dipenjara, akan sengsara. Namun, aku jadi merasa begitu berutang Budi pada Kang Jaya dan juga omanya, karena mereka sudah begitu baik dan percaya padaku.Sekilas kulirik Kang Jaya yang tengah menyetir mobil Mercy. Pasti tidak akan ada yang menyangka kalau ia juga adalah pedagang daster keliling. "Kenapa lirik-lirik, Mbak? Ada yang mau dikatakan?" tanya Jaya sambil tersenyum."Kang, soal uang dua ratus lima puluh itu bagaima
"Halo, Ma, Bu RT mau terima surat gadai rumah Mama. Dua ratus lima puluh juta, tetapi harus kembali dalam waktu satu bulan.""Oh, syukurlah. Ya sudah, mau bagaimana lagi. Mama ikhlas asalkan urusan kamu dan Rizal selesai. Biar nanti Bu RT ke sini malam hari. Biar ada Dio yang temani Mama.""Iya, Ma, terima kasih banyak ya, Ma. Novi akan bereskan semua urusan begitu yang sudah di tangan. Semoga lancar ya, Ma. Novi doakan dari sini." Aku pun menutup panggilan. Senyum ini terus terbit membayangkan masalahku satu per satu terurai. Meskipun masih ada masalah besar berkaitan dengan suamiku, tetapi paling tidak, aku punya uang dan tenaga untuk mengurusnya. Malam pun tiba, Dio mengirimkan foto Bu RT dan Pak RT, serta tetangga kanan rumah mama sebagai saksi dan juga Dio. Mama nampak rapi duduk di kursi roda. Aku bersyukur meskipun bukan nenek kandungnya, Dio mau juga membantu mama sedikit-sedikit. Dio memanggil panggilan video. Aku melihat ada enam orang di dalam ruang tamu tampak berbincang
POV NoviKeadaanku benar-benar jungkir balik. Dari awalnya hidup tenang dengan pacaran diam-diam bersama Mas Rizal. Pria itu juga mencukupi semua kebutuhanku dan Dio, meskipun aku harus sedikit berkorban tenaga untuk merawat metuaku.Sejak aku resmi menikah secara agama dengan Mas Rizal, rasa tenang dan bahagia itu bisa aku hitung dengan jari, ada beberapa jam saja. Selebihnya, semua masalah datang silih-berganti. Aku bahkan hampir mati karena dirampok oleh sopir taksi online.Tapi bukan Novi namanya, kalau aku harus menyerah pada takdir, apalagi memohon pada Neneng. Bagiku, Neneng adalah musuh yang tidak perlu aku hampiri. Ia akan sangat senang jika aku memohon untuk diberikan uang. Sampai kapanpun aku akan tetap membenci wanita itu. Neneng sudah membuat Mas Rizal di tangkap. Neneng juga membuat kesialan demi kesialan menghampiri suamiku dan juga aku.Kring! Kring!Ponselku berdering. Nama mertuaku tertera di layar. Sebelum aku angkat, aku sudah dapat menebak apa yang ingin dikatakan
"Apa, Rizal ditangkap? Dio, kamu gak boleh sembarangan bicara, Nak. Om kamu itu lagi kerja. Katanya diterima kerja di rumah orang kaya," ucap Bu Murni tidak percaya. Sepulang sekolah, Dio mampir ke rumah sakit untuk menjenguk bundanya, tetapi sampai di sana bundanya tengah menangis dan mengatakan bahwa ayah sambungnya ditangkap."Beneran, Nek. Tadi saya dari rumah sakit. Ini Nenek telepon ada bunda, biar jelas. Aduh, ada-ada saja. Istri di rumah sakit gak bisa keluar karena belum bayar. Suami ditangkap, mertua lumpuh. Saya doang yang beneran di rumah ini," gerutu Dio begitu kesal. Sejak bundanya menikah dengan Rizal, selalu saja ada kesialan yang menimpa bundanya. Apa karena bundanya pelakor? Calon adik bayinya aja sampai diambil Tuhan lagi. Mungkin emang karena dosa di dunia. Ya Allah, serem."Ini, Nek!" Dio memberikan ponselnya pada Bu Murni. Remaja kelas dua SMA itu pun membuang isi pispot bekas pipis neneknya ke kamar mandi. "Halo, Novi, ada apa? Dio pulang sekolah katanya Rizal
"Apa, Mas? Calon suami Neneng orang kaya? Kok bisa?" dada Novi naik turun tidak percaya. Biji matanya hampir saja melompat saat mendengar penuturan suaminya."Ya bisa, Nov. Udah takdirnya kali," jawab Rizal tanpa semangat. Pria itu meneguk segelas air putih; lelah pikiran tentang biaya rumah sakit."Ya gak bisa, Mas. Harusnya Mas nasehati pria kaya itu. Bilang apa kek sama dia tentang Neneng. Mas paling tahu Neneng kan. Bisa aja pemuda itu diguna-guna Neneng. Mas harus bertindak. Jangan sampai Neneng menikah dengan pria kaya itu. Enak bener dia. Kita di sini blangsak, dia jadi kaya." Ocehan panjang kali lebar Novi membuat Rizal semakin sakit kepala. Bukannya ia tidak mau membujuk Jaya, tetapi Jaya sudah tahu semua cerita yang dialami oleh istrinya itu. Ditambah ia pernah berutang pada pria itu dan sampai sekarang belum dibayar. Tidak akan ada yang menyangka bahwa tukang dastrr keliling itu adalah Sultan."Mas, kenapa diam aja sih? Abang harus gerak cepat! Abang pokoknya gak boleh men