Share

Bab 3 Masakan Ibu Mertua

“Barusan Ibu bilang, kalau kamu kasar sama Ibu,” ucap Mas Arif lembut dan hampir tak terdengar, sepertinya takut jika Ibu juga mendengar pembicaraan kami.

“Aku masih bingung, Mas. Tolong jelaskan sejelas-jelasnya!”

Mas Arif menghela napas panjang, melihatku yang sedikit marah.

“Dek, Ibu itu mertua kamu, orang tua kamu yang kedua. Jadi, perlakukan Ibu seperti Ibu kandung kamu sendiri!”

“Jangan terbelit-belit, Mas. Jelaskan intinya!” Aku mulai tak sabar mendengar pengaduan Ibu mertua ke anaknya.

“Tadi, sewaktu Ibu menanyakan bumbu dapur yang hilang, kenapa kamu malah menyalahkan Ibu?” Mas Arif sepertinya sangat marah, terlihat dari rahangnya yang mengeras.

“Oh, jadi Ibu mengadu soal itu sama kamu, Mas?”

“Dek! Ibu tidak mengadu, Ibu hanya menceritakan apa yang terjadi tadi!” Mas Arif terlihat emosi.

“Sama saja, Mas!” Aku kesal dengan Mas Arif yang cepat marah dan emosi sebelum mendengar penjelasanku.

Mas Arif terdiam, dan rahangnya makin mengeras. Tak terima saat aku mencela Ibunya.

“Ceritanya begini, Mas. Tadi waktu mau masak, bumbu dapur habis, padahal Ibu baru membelinya kemarin. Ibu menyalahkan aku karena tidak melarang Kak Vivi saat mengambil bumbu dapur di sini. Jadi, aku jawab kalau Ibu pernah bilang jangan melarang Kak Vivi untuk mengambil apa pun di rumah ini, karena semua itu dibeli Ibu, bukan aku!” Aku menjelaskan panjang lebar agar Mas Arif tak salah paham dan menyalahkan aku.

“Terus salahnya aku di mana, Mas?” Mas Arif masih terdiam.

“Mas!” Aku menggoyangkan lengan Mas Arif.

“Sudahlah, mungkin Ibu lupa kalau pernah berkata demikian,” jawab Mas Arif lesu.

“Kalau Mas tidak percaya, aku ada kok buktinya.”

“Sudah, sudah. Mas lapar, ayo makan.” Mas Arif menggandeng tanganku ke meja makan. Aku belum puas menjelaskan yang terjadi, dan ingin menanyakan langsung pada Ibu, mengapa harus menceritakan sama Mas Arif hal sesederhana ini? Kalaupun masalahnya bertambah besar dan terjadi perkelahian antara aku dan Ibu, ya wajar. Tapi, ini kan hanya masalah sepele dan sudah terselesaikan, namun Ibu masih menyimpannya dan malah balik menyalahkan aku.

“Dek, ayo makan.” Mas Arif menarik tanganku, membuatku terduduk di kursi sampingnya.

Aku menatap Mas Arif saat mendapati piringku sudah di isi nasi beserta lauknya. Suamiku makan dengan lahap, dan terlihat begitu menikmati masakan Ibunya.

Aku mengikuti Mas Arif, menyuap makanan pelan ke mulutku.

Kami berdua, makan dalam diam.

***

Setelah salat isya, aku bergegas masak untuk makan malam. Sebentar lagi, Ibu mertua dan suamiku pulang dari rumah Kak Ria. Mas Arif membantu Kak Ali, suami Kak Ria mengangkut ikan dan memindahkannya ke dalam gabus khusus untuk ikan. Kalau Kak Ali sedang pergi memancing, maka Mas Arif sendiri yang akan mengangkut ikan, mencampurnya dengan es batu di dalam gabus, baru dimuat ke dalam mobil pickup. Begitulah pekerjaan sehari-hari Mas Arif, di samping membeli solar, mengikat es batu sebelum disimpan ke dalam freezer.

Sementara Bapak mertua, tadi pagi dijemput orang ke kampung sebelah, karena ada orang sakit.

Bapak mertua dikenal orang sebagai ‘pengobat’ atau biasa dikenal dukun.

Namun, tidak seperti dukun kebanyakan yang melakukan ritual atau menyembah makhluk lain, Bapak mertua hanya mengandalkan doa dan ayat Alquran. Sejauh itu yang aku tahu, karena aku menjadi menantunya baru dua tahun.

Menu makan malam telah siap. Tumis kangkung untuk suami, urap daun kates plus bunganya untuk Ibu mertua. Tak ketinggalan, ikan goreng dan sambal mentah, dengan sedikit tempe goreng.

Selesai menghidangkan masakan, aku menutupinya dengan tudung saji.

“Fira!”

“Astagfirullah!” Aku mengelus dada dengan cepat, tatkala Kak Vivi sudah ada di sampingku.

“Kak, apa salahnya sih, sebelum masuk ucapkan salam dulu! Masa kalah sama kucing!” gerutuku kesal. Kebiasaan sekali kakak iparku ini, kalau masuk tak ada salam, tahu-tahu sudah di dalam.

“Ya elah Fira, begitu saja kok jadi masalah,” sungut Kak Vivi tanpa rasa bersalah.

Aku mendengus, tak menghiraukan ucapan Kak Vivi.

Tangan Kak Vivi terulur, hendak membuka tudung saji. Dengan cepat ku tepis. Walau terkesan tak sopan karena umurku dengan Kak Vivi terpaut delapan tahun, aku sudah tahu dan hafal dengan gerak-geriknya.

“Kasar ya kamu sama saya!” Kak Vivi menatapku tajam. “Awas, saya mau ambil masakan Ibu!” Dengan kasar, Kak Vivi mendorong tubuhku hingga kepalaku terbentur tembok. Sakit, namun tak ku hiraukan dulu. Aku hanya ingin menyelamatkan makananku sekarang.

“Masakan Ibu yang mana? Ini masakanku, Kak. Ibu dari tadi sore pergi ke rumah Kak Ria. Jadi, tidak ada masakan Ibu di sini!” Aku balas mendorongnya hingga menjauh dari meja makan.

“Dasar sombong. Kalau bukan karena Ibu yang beli, mana bisa makan kau dan anakmu?” sinis Kak Vivi, membuat dadaku bergemuruh.

“Nih! Ini yang Ibu beli, silahkan masak sendiri!” Aku memberikan dua ikat daun singkong ke tangan Kak Vivi. “Semua yang tersedia di meja makan, aku yang beli. Kalau tidak percaya, tanya sama Ibu!” Aku menatap kesal Kak Vivi.

“Cuih, dasar belagu. Kalaupun kau yang beli, pasti uangnya dari Ibu, iya kan? Ya iyalah, mana ada suaminya pengangguran, istrinya ongkang-ongkang kaki di rumah, dapat uang! Kecuali satu, pelihara tuyul!” Kak Vivi melempar daun singkong ke wajahku.

Astagfirullah. Mulut Kak Vivi sudah berlebihan sekali.

Walau badannya agak besar, aku mampu mendorongnya hingga keluar. Tak lupa aku melempar daun singkong tepat di wajahnya, sebelum aku menutup pintu dengan keras.

“Fira! Tunggu kau ya, dasar miskin, tukang numpang, belagu. Aku lapor kau pada Ibu dan Mas Aji, biar diusir kau!” Kak Vivi seperti kesetanan, teriak tak karuan di depan pintu. Tak malu dengan tetangga sekitar.

“Saya tunggu, Kak!” tantangku pada Kak Vivi yang membuatnya makin kalap hingga menendang pintu dengan keras.

Suara bantingan pintu kini terdengar dari pintu dapur Kak Vivi. Aku tertawa kecil dengan tingkah Kak Vivi.

Prang!

Dari sebelah dapur Kak Vivi terdengar bantingan benda dibarengi umpatan-umpatan Kak Vivi.

Semuanya bisa ku dengar karena dapur Kak Vivi bersebelahan dengan kamar Ibu mertua dan kamar tamu.

Kalau dilihat dari depan jalan, rumah kami hanya satu, memanjang dari depan sampai belakang.

Bagian depan ditempati oleh Kak Aji beserta istri dan anak-anaknya.

Sedangkan, rumah bagian belakang, ditempati oleh kami beserta Bapak Ibu mertua.

Tak lama, ku dengar bunyi motor Mas Arif. Aku bergegas membuka pintu, menyalami Mas Arif yang menenteng keresek berisi ikan segar.

“Fira! Kenapa daun singkong kau lempar keluar? Kalau kau tidak mau masak, setidaknya hargai, walaupun cuma daun singkong!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status