Home / Rumah Tangga / Karena Suamiku Anak Bungsu / Bab 4 Petaka Daun Singkong

Share

Bab 4 Petaka Daun Singkong

last update Last Updated: 2022-06-23 16:36:48

Aku terkejut mendengar omelan Ibu mertua yang sudah berdiri di belakang Mas Arif.

Badannya menunduk, hendak memungut daun singkong yang berserakan di lantai.

Aku mendahului Ibu, memungut daun singkong dengan cepat. Namun, tak disangka, Ibu malah mendorongku hingga tersungkur.

“Bu,” Mas  Arif menatap Ibu mertua, lalu meraih tanganku membantuku berdiri.

“Kenapa, Rif? Kau membela istrimu ini?” Ibu mertua melotot, memarahi Mas Arif yang terus menggenggam tanganku.

“Bukan membela, Bu,” sahut Mas Arif lembut. “Ibu kan belum mendengar penjelasan Fira,” sambungnya lagi.

“Penjelasan apa? Kenapa daun singkong ini dibuang, iya? Kalaupun menjelaskan, istrimu ini pandai beralasan!” pungkas Ibu mertua sengit.

“Tapi, Bu–“

“Mas, sudah. Malu dilihat tetangga,” aku menyela ucapan Mas Arif, karena melihat beberapa tetangga yang berdiri di depan jalan, dan sedang melihat ke arah kami.

Ibu masuk mendahului kami dan duduk di sofa ruang tamu. Aku dan Mas Arif mengikuti Ibu, duduk di sofa yang berhadapan dengan beliau.

“Bu, Fira minta maaf karena sudah membuat Ibu marah dan kecewa. Ini tidak seperti yang Ibu lihat. Fira tidak membuang daun singkong ini, tapi Fira memberikannya pada Kak Vivi karena tadi Kak Vivi minta sayur. Tapi ternyata Kak Vivi malah membuangnya di teras.” Aku menjelaskan dengan lembut agar Ibu percaya.

“Tuh kan, Bu. Fira tidak salah, tapi Kak Vivi yang tidak menghargai sayur yang Ibu beli.” Mas Arif ikut menyalahkan Kak Vivi.

Ibu diam, tidak mengomentari penjelasanku. Aku tahu, karena Ibu tidak berani memarahi Kak Vivi secara langsung, namun diam-diam mengumpat dan mengadukannya pada anaknya yang lain, sama sepertiku.

Ah, masa bodohlah. Yang penting aku sudah menjelaskan pada Ibu. Kalaupun nanti Ibu tetap menyalahkan dan menjelekkan aku di depan anak-anaknya, itu lain ceritanya. Intinya sekarang, masalah daun singkong selesai.

Mas Arif pamit pada Ibu mau mandi, dan aku mengikuti Mas air masuk kamar. Sempat ku dengar, Ibu berbicara dalam bahasa yang hanya beliau sendiri yang paham, yakni menggerutu tak jelas.

Kadang aku merasa lucu dengan kebiasaan Ibu, yang suka menggerutu dan mengumpat tak jelas.

Namun, walaupun Ibu seperti itu, aku tetap berbakti padanya dan tidak menghilangkan kewajibanku sebagai menantu.

Mas Arif bergegas masuk kamar mandi yang letaknya di samping dapur, karena di rumah ini hanya ada satu kamar mandi.

Aku mengganti celana Amira yang basah karena pipis. Aku membiasakan anakku tidak mengenakan popok karena di sini suhunya panas, maklum dekat pantai.

Ditambah, Ibu mertua yang selalu mengomel jika Amira, ku pakaikan popok. Katanya boros dan tidak baik untuk tumbuh kembang anak.

Entahlah, apakah betul popok mempengaruhi pertumbuhan Amira. Aku hanya mengikuti saja karena tak ingin masalah popok berkepanjangan.

Mas Arif sudah selesai mandi dan berpakaian, lalu menggendong Amira untuk melepaskan rindu sebab seharian sibuk di luar.

“Arif! Arif!” Aku dan Mas Arif saling pandang, mendengar Kak Aji berteriak memanggil Mas Arif. Sepertinya Kak Aji sedang marah, terdengar dari nada suaranya yang keras.

Mas Arif tergopoh-gopoh keluar dari kamar sambil menggendong Amira. Aku mengikuti Mas Arif, mengambil Amira dari gendongannya, takut terjadi apa-apa.

“Ada apa, Mas?” tanya Mas Arif.

“Tolong ajari istrimu ini sopan santun sama yang lebih tua!” Kak Aji menunjukku tepat di depan wajah.

Aku kaget dengan reaksi Kak Aji yang tiba-tiba.

“Ada apa ya, Kak?” Aku mengernyitkan dahi, bingung dengan keadaan sekarang.

“Iya, Mas. Ada apa ini?” tanya Mas Arif lagi.

“Tanya saja sama istrimu yang kampungan ini!” tunjuk Kak Aji untuk kedua kalinya.

“Kak! Berhenti menunjukku dan mengataiku jika tak tahu yang sebenarnya!” Aku menatap tajam Kak Aji yang begitu arogan dan tingkahnya yang bikin muak.

“Ini! Model seperti ini yang tidak tahu sopan santun!” Kak Aji hendak menunjukku lagi, namun tangannya ditepis kasar oleh Mas Arif.

“Berani kamu sekarang sama Mas?” teriak Kak Aji tak karuan, tidak terima dengan Mas Arif yang membelaku.

“Iya, Kak. Aku berani kalau kakak kurang ajar sama Fira!” Mas Arif maju selangkah membuat Kak Aji juga mundur selangkah. Aku takut jika keduanya saling pukul.

Ibu mertua yang mendengar keributan di ruang tamu, muncul dari kamar.

“Aji, Arif, ada apa ini?” Ibu memandang kami bergantian.

“Ini semua gara-gara Fira, Bu!” sungut Kak Aji membuatku membelalakkan mata. Apa-apaan Kak Aji menjadikan aku kambing hitam, aku sendiri saja tak tahu apa yang terjadi.

“Fira! Ada apa ini?” Ibu melotot menatapku.

“Bu, Fira dan aku tidak tahu apa-apa. Kak Aji yang datang sambil marah-marah dan menunjuk-nunjuk Fira,” Mas Arif membelaku, karena seperti itulah kebenarannya.

“Jadi begini, Bu. Barusan Vivi cerita kalau Fira mendorongnya hanya karena Vivi hendak minta sayur yang Ibu beli!” papar Kak Aji, yang sontak membuat Mas Arif menatapku.

“Betul begitu, Dek?” selidik Mas Arif, sepertinya meragukanku.

“Bukan seperti itu, Mas.” sela ku, sembari memenangkan Amira yang perlahan menangis, mungkin kaget dengan suara besar Kak Aji.

Aku pun mulai menceritakan dari awal sampai akhir, tak kurang suatu apa pun mengenai perkara sayur antara aku dan Kak Vivi.

“Jangan mengada-ada kau, Fira!” tiba-tiba Kak Vivi sudah didepan pintu, dan masuk sembari tangannya menunjukku.

Suami istri sama saja, suka menunjuk orang jika sedang bermasalah.

“Aku tidak mengada-ada, Kak. Aku menjelaskan sesuai dengan yang terjadi,” sahutku membela diri.

“Kau memang keterlaluan!” Kali ini Ibu membuka mulut dan ikut menyalahkan ku.

Ya Allah, apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa hari ini begitu berat? Kuatkan aku, Ya Allah.

“Aku percaya sama Fira. Dia tidak mungkin kasar kalau Kak Vivi yang lebih dulu tidak sopan!” tegas Mas Arif membuat Kak Aji kembali tersulut emosi.

“Jadi kau menyalahkan istri Mas, begitu?” rahang Kak Aji mengeras, matanya melotot menatap tajam Mas Arif, seolah ingin menelannya bulat-bulat.

“Kak Vivi memang salah, Mas!” ucap Mas Arif lantang.

Kak Aji tidak terima. Tangannya mengepal, dan hendak meninju wajah Mas Arif. Dengan sigap, Mas Arif mengelak, membuat tangan Kak Aji meninju udara.

Ibu mertua berteriak melihat kedua anaknya yang terlibat perkelahian.

“Ajiiii, Ariiff, hentikan!” teriak Ibu menghentikan Mas Arif dan Kak Aji.

Mas Arif menghempaskan tangan Kak Aji yang dari tadi dicekalnya karena hendak meninjuku.

Ibu menatapku nyalang. Ekspresinya menyiratkan kebencian.

“Puas kau, melihat anakku baku pukul!” Ibu maju dan hendak menjambak rambutku. Mas Arif dengan cepat menghadang Ibu. Kesempatan itu digunakan Ibu untuk memperkeruh suasana.

Ibu menjatuhkan tubuhnya tepat di depan Mas Arif, seolah Mas Arif yang membuatnya terjatuh.

“Ibu ....”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Karena Suamiku Anak Bungsu    Bab 17

    Semenjak insiden di rumah ibu mertua, aku uring-uringan di rumah. Sudah beberapa hari aku tidak ke toko, membiarkan semuanya di hendel Firman. Karena begitu terus sedari awal. Mas Arif juga aku larang untuk bekerja ataupun membantu Kak Ria. Aku hanya takut kalau Mas Arif akan tergoda juga oleh bujukan dari orang tuanya pun saudaranya. Mengingat sebegitu keras usaha mereka untuk memprovokasi Mas Arif.Hari ini keluarga Mas Arif datang ke rumah. Ada bapak dan ibu mertua, pun anaknya yang lain. Tapi Kak Aji dan istrinya tak tampak. Oh, mungkin Kak Aji lagi di sekolah mengingat ini masih jam 9 pagi.Aku menyambut hangat keluarga Mas Arif. Mempersilahkan mereka duduk di sofa ruang tamu. Setelah menyalami bapak dan ibu mertua, aku pamit ke dapur menyiapkan minuman. Para kakak iparku sibuk mengelilingi seantero rumah, entah sedang memeriksa ataupun mencari sesuatu.“Oh, ada kulkas juga ya kamu!” sahut Kak Ria tiba-tiba dengan tegas dan terkesan menyindir sembari membuka kulkas ku dan mengama

  • Karena Suamiku Anak Bungsu    Bab 16

    Sejak mendengar percakapan ibu di pasar dua hari yang lalu, hati ku tak tenang. Pikiran ku berkecamuk, membayangkan suamiku akan menikah lagi. Aku yakin, kalau ibu dan anaknya yang lain akan terus memaksa suamiku menikah lagi.Hari ini aku pulang dari toko lebih awal. Amira aku titipkan di Mbak Wati. Sengaja, karena pikiran ku semakin kacau. Berbagai hal buruk terpampang jelas dalam bayangan ku.Sampai di rumah, Mas Arif tidak ada. Sepertinya belum pulang semenjak pergi dari subuh membantu iparnya, Kak Ali. Tapi hatiku berkata lain, sepertinya Mas Arif ada di suatu tempat, makanya belum pulang sampai saat ini. Aku lalu bergegas ke rumah ibu.Saat aku sampai, terlihat banyak sandal di teras rumah. Sepertinya lagi ada acara ngumpul bareng.“Assalamualaikum,” ucapku begitu sampai di depan pintu.“Walaikumsallam,” terdengar suara Kak Ani menjawab salam ku.Suasana yang begitu hening, seperti sedang membahas sesuatu yang sangat penting. Dan semua saudara Mas Arif hadir. Semuanya dengan pos

  • Karena Suamiku Anak Bungsu    Bab 15

    “Bapak dan Ibu mau kita berpisah, Dek,” ucap Mas Arif pelan namun sangat jelas terdengar.Deg!Jantungku serasa berhenti serentak, dadaku terasa sangat sesak, seolah tak ada udara yang masuk. Ucapan Mas Arif berhasil membuatku terdiam beberapa saat.“Dek,” Mas Arif meraih tanganku, menggenggamnya perlahan. Berhasil menyadarkanku kembali.Aku menoleh, menatap Mas Arif.“Kenapa, Mas?” ucapku kemudian.Mas Arif menoleh, seakan tak ingin menatap langsung mataku. Giliran sekarang suamiku yang diam.“Mas! Jelasin! Kenapa?” aku terus mendesak Mas Arif.Suamiku masih diam, seolah sangat berat untuk bicara. Aku yakin jika yang akan diucapkan Mas Arif sangatlah meyakiti aku sebagai istrinya.“Mas!” aku memanggilnya sekali lagi, kali ini suaraku semakin meninggi. Mas Arif terhenyak, menatapku.“Dek! Pelan-pelan dong ngomongnya!” ucap Mas Arif sembari menautkan telunjuk di bibirnya.“Makanya cepat jelasin, kenapa orang tuamu mau kita berpisah,” balasku tak mau kalah.Mas Arif menarik napasnya lal

  • Karena Suamiku Anak Bungsu    Bab 14

    "Bu, maafkan Arif yang selama ini selalu menjadi beban Ibu sama Bapak,” sahut Mas sendu. Nada suaranya bergetar, bertanda jika hatinya sedang tidak baik-baik saja.Ku lirik suamiku sekilas, wajahnya memerah. Dan alhasil, bulir bening jatuh dari pelupuk matanya. Mas Arif menangis. Ya, suamiku menangis.Aku kembali mengusap pelan punggung lelaki yang sangat aku cintai setelah Abbah.Mas Arif mengusap matanya yang basah, berusaha menguatkan hatinya. Lalu menengadahkan wajahnya, kembali menatap Ibu dan Bapak bergantian. Suamiku meraih tangan Ibunya, menggenggamnya erat sembari berujar.“Bu, Pak, jauh di lubuk hati Arif, sangat ingin membahagiakan Ibu dan Bapak sampai kapan pun,”Bapak masih belum bergeming. Ibu memalingkan wajahnya sebentar, lalu kembali menatap suamiku. Tatapannya berubah, seperti menatap suamiku dengan penuh kasih sayang.“Tapi, mengapa tindakanmu tidak mencerminkan ucapanmu, Rif?” sahut Bapak, akhirnya bersuara.Ingin sekali aku menjawab ucapan Bapak, namun ku urungkan

  • Karena Suamiku Anak Bungsu    Bab 13 Oh, Ibu

    “Ariiif, Firaaaa!”“Ariiif, Firaaaa!”Aku terbangun mendengar suara memanggilku dan Mas Arif, diiringi gedoran pintu yang cukup keras.Aku meraih handphone di atas nakas, pukul 05.30 WITA.Aku menguap beberapa kali, mataku masih sangat berat. padahal aku baru saja berbaring sehabis salat subuh. Aku melirik ke samping, tak ada Mas Arif. Oh iya, tadi kan Mas Arif pergi salat di Masjid, tapi masa belum pulang?Aku segera beranjak bangun dari ranjang. Orang diluar masih terus memanggil dengan suara yang bertambah keras, sampai-sampai bayiku yang masih terlelap menggeliat beberapa kali. Maklumlah, rumah kontrakan ini cukup sederhana, tak ada plafon.Siapa yang memanggil dan menggedor pintuku sepagi ini?Aku menyambar jilbab instan dan segera memakainya, lalu bergegas menuju pintu utama. Sebelum membuka pintu, aku mengintip sebentar dibalik cela jendela. Sekedar melihat siapa gerangan di luar. Rupanya, orang diluar tak asing di mataku.“Fira!!!”Aku terhentak saat orang di depanku memanggil

  • Karena Suamiku Anak Bungsu    Bab 12 Masalah Selesai

    “Halo, Kak Sinta, akhirnya ketemu juga!” Aku menyapa Kak Sinta yang terlihat sedikit gugup.“Santai saja, Kak. Jangan terlalu takut, santai,” sambungku lagi, sengaja menyindir Kak Sinta. Bodoh amat, walau ada suaminya, aku tidak takut, karena perempuan seperti Kak Sinta harus dibuat kapok, biar tobat gibahin orang.Tanpa basa-basi, aku langsung memutar rekaman pembicaraanku dengan Kak Sinta. Aku tidak ingin menunggu Kak Sinta mengatakan yang sebenarnya, karena itu mustahil. Manusia seperti Kak Sinta akan terus mempertahankan kesalahannya, dan aku akan terus dijadikan kambing hitam dari mulut dosanya.Semuanya diam, fokus mendengar suara nyaring Kak Sinta dari handphone yang ku pegang. Ku perbesar volumenya, membuat suara Kak Sinta semakin terdengar cempreng. Ku lirik sekilas kea rah Kak Vivi, dadanya naik turun seperti menahan amarah yang meluap. Apalagi Kak Aji, tak kalah sangar tampangnya. Ah, terserahlah. Hanya Kak Dino yang menunduk, sepertinya menahan malu, malu karena perbuatan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status