Share

Bab 4 Petaka Daun Singkong

Aku terkejut mendengar omelan Ibu mertua yang sudah berdiri di belakang Mas Arif.

Badannya menunduk, hendak memungut daun singkong yang berserakan di lantai.

Aku mendahului Ibu, memungut daun singkong dengan cepat. Namun, tak disangka, Ibu malah mendorongku hingga tersungkur.

“Bu,” Mas  Arif menatap Ibu mertua, lalu meraih tanganku membantuku berdiri.

“Kenapa, Rif? Kau membela istrimu ini?” Ibu mertua melotot, memarahi Mas Arif yang terus menggenggam tanganku.

“Bukan membela, Bu,” sahut Mas Arif lembut. “Ibu kan belum mendengar penjelasan Fira,” sambungnya lagi.

“Penjelasan apa? Kenapa daun singkong ini dibuang, iya? Kalaupun menjelaskan, istrimu ini pandai beralasan!” pungkas Ibu mertua sengit.

“Tapi, Bu–“

“Mas, sudah. Malu dilihat tetangga,” aku menyela ucapan Mas Arif, karena melihat beberapa tetangga yang berdiri di depan jalan, dan sedang melihat ke arah kami.

Ibu masuk mendahului kami dan duduk di sofa ruang tamu. Aku dan Mas Arif mengikuti Ibu, duduk di sofa yang berhadapan dengan beliau.

“Bu, Fira minta maaf karena sudah membuat Ibu marah dan kecewa. Ini tidak seperti yang Ibu lihat. Fira tidak membuang daun singkong ini, tapi Fira memberikannya pada Kak Vivi karena tadi Kak Vivi minta sayur. Tapi ternyata Kak Vivi malah membuangnya di teras.” Aku menjelaskan dengan lembut agar Ibu percaya.

“Tuh kan, Bu. Fira tidak salah, tapi Kak Vivi yang tidak menghargai sayur yang Ibu beli.” Mas Arif ikut menyalahkan Kak Vivi.

Ibu diam, tidak mengomentari penjelasanku. Aku tahu, karena Ibu tidak berani memarahi Kak Vivi secara langsung, namun diam-diam mengumpat dan mengadukannya pada anaknya yang lain, sama sepertiku.

Ah, masa bodohlah. Yang penting aku sudah menjelaskan pada Ibu. Kalaupun nanti Ibu tetap menyalahkan dan menjelekkan aku di depan anak-anaknya, itu lain ceritanya. Intinya sekarang, masalah daun singkong selesai.

Mas Arif pamit pada Ibu mau mandi, dan aku mengikuti Mas air masuk kamar. Sempat ku dengar, Ibu berbicara dalam bahasa yang hanya beliau sendiri yang paham, yakni menggerutu tak jelas.

Kadang aku merasa lucu dengan kebiasaan Ibu, yang suka menggerutu dan mengumpat tak jelas.

Namun, walaupun Ibu seperti itu, aku tetap berbakti padanya dan tidak menghilangkan kewajibanku sebagai menantu.

Mas Arif bergegas masuk kamar mandi yang letaknya di samping dapur, karena di rumah ini hanya ada satu kamar mandi.

Aku mengganti celana Amira yang basah karena pipis. Aku membiasakan anakku tidak mengenakan popok karena di sini suhunya panas, maklum dekat pantai.

Ditambah, Ibu mertua yang selalu mengomel jika Amira, ku pakaikan popok. Katanya boros dan tidak baik untuk tumbuh kembang anak.

Entahlah, apakah betul popok mempengaruhi pertumbuhan Amira. Aku hanya mengikuti saja karena tak ingin masalah popok berkepanjangan.

Mas Arif sudah selesai mandi dan berpakaian, lalu menggendong Amira untuk melepaskan rindu sebab seharian sibuk di luar.

“Arif! Arif!” Aku dan Mas Arif saling pandang, mendengar Kak Aji berteriak memanggil Mas Arif. Sepertinya Kak Aji sedang marah, terdengar dari nada suaranya yang keras.

Mas Arif tergopoh-gopoh keluar dari kamar sambil menggendong Amira. Aku mengikuti Mas Arif, mengambil Amira dari gendongannya, takut terjadi apa-apa.

“Ada apa, Mas?” tanya Mas Arif.

“Tolong ajari istrimu ini sopan santun sama yang lebih tua!” Kak Aji menunjukku tepat di depan wajah.

Aku kaget dengan reaksi Kak Aji yang tiba-tiba.

“Ada apa ya, Kak?” Aku mengernyitkan dahi, bingung dengan keadaan sekarang.

“Iya, Mas. Ada apa ini?” tanya Mas Arif lagi.

“Tanya saja sama istrimu yang kampungan ini!” tunjuk Kak Aji untuk kedua kalinya.

“Kak! Berhenti menunjukku dan mengataiku jika tak tahu yang sebenarnya!” Aku menatap tajam Kak Aji yang begitu arogan dan tingkahnya yang bikin muak.

“Ini! Model seperti ini yang tidak tahu sopan santun!” Kak Aji hendak menunjukku lagi, namun tangannya ditepis kasar oleh Mas Arif.

“Berani kamu sekarang sama Mas?” teriak Kak Aji tak karuan, tidak terima dengan Mas Arif yang membelaku.

“Iya, Kak. Aku berani kalau kakak kurang ajar sama Fira!” Mas Arif maju selangkah membuat Kak Aji juga mundur selangkah. Aku takut jika keduanya saling pukul.

Ibu mertua yang mendengar keributan di ruang tamu, muncul dari kamar.

“Aji, Arif, ada apa ini?” Ibu memandang kami bergantian.

“Ini semua gara-gara Fira, Bu!” sungut Kak Aji membuatku membelalakkan mata. Apa-apaan Kak Aji menjadikan aku kambing hitam, aku sendiri saja tak tahu apa yang terjadi.

“Fira! Ada apa ini?” Ibu melotot menatapku.

“Bu, Fira dan aku tidak tahu apa-apa. Kak Aji yang datang sambil marah-marah dan menunjuk-nunjuk Fira,” Mas Arif membelaku, karena seperti itulah kebenarannya.

“Jadi begini, Bu. Barusan Vivi cerita kalau Fira mendorongnya hanya karena Vivi hendak minta sayur yang Ibu beli!” papar Kak Aji, yang sontak membuat Mas Arif menatapku.

“Betul begitu, Dek?” selidik Mas Arif, sepertinya meragukanku.

“Bukan seperti itu, Mas.” sela ku, sembari memenangkan Amira yang perlahan menangis, mungkin kaget dengan suara besar Kak Aji.

Aku pun mulai menceritakan dari awal sampai akhir, tak kurang suatu apa pun mengenai perkara sayur antara aku dan Kak Vivi.

“Jangan mengada-ada kau, Fira!” tiba-tiba Kak Vivi sudah didepan pintu, dan masuk sembari tangannya menunjukku.

Suami istri sama saja, suka menunjuk orang jika sedang bermasalah.

“Aku tidak mengada-ada, Kak. Aku menjelaskan sesuai dengan yang terjadi,” sahutku membela diri.

“Kau memang keterlaluan!” Kali ini Ibu membuka mulut dan ikut menyalahkan ku.

Ya Allah, apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa hari ini begitu berat? Kuatkan aku, Ya Allah.

“Aku percaya sama Fira. Dia tidak mungkin kasar kalau Kak Vivi yang lebih dulu tidak sopan!” tegas Mas Arif membuat Kak Aji kembali tersulut emosi.

“Jadi kau menyalahkan istri Mas, begitu?” rahang Kak Aji mengeras, matanya melotot menatap tajam Mas Arif, seolah ingin menelannya bulat-bulat.

“Kak Vivi memang salah, Mas!” ucap Mas Arif lantang.

Kak Aji tidak terima. Tangannya mengepal, dan hendak meninju wajah Mas Arif. Dengan sigap, Mas Arif mengelak, membuat tangan Kak Aji meninju udara.

Ibu mertua berteriak melihat kedua anaknya yang terlibat perkelahian.

“Ajiiii, Ariiff, hentikan!” teriak Ibu menghentikan Mas Arif dan Kak Aji.

Mas Arif menghempaskan tangan Kak Aji yang dari tadi dicekalnya karena hendak meninjuku.

Ibu menatapku nyalang. Ekspresinya menyiratkan kebencian.

“Puas kau, melihat anakku baku pukul!” Ibu maju dan hendak menjambak rambutku. Mas Arif dengan cepat menghadang Ibu. Kesempatan itu digunakan Ibu untuk memperkeruh suasana.

Ibu menjatuhkan tubuhnya tepat di depan Mas Arif, seolah Mas Arif yang membuatnya terjatuh.

“Ibu ....”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status