Aku menghela nafas berat. Aku tatap wajah penuh kekhawatiran ibu. "Bu, aku dengan bang Arman belum lama menikah. Masak kami harus berpisah karena orang lain?" tanyaku lembut. Aku tahu ibu berkata begitu karena rasa sayangnya padaku. Ibu tertegun. Ia kemudian menunduk. Lalu menangis lagi. "Maafkan ibu, Yun! Maafkan ibu, nak! Ibu.... Astaghfirullah alazim. Ya, Allah mengapa hamba sampai melupakan-Mu!" Ibu tergugu. "Iya, Bu. Ada Allah bersama kita. Berserah dirilah pada-Nya, Bu!" bujukku. Ibu mengangguk di sela Isak tangisnya. Tok! Tok! Tok!Aku dan ibu mendengar suara ketukan dari pintu kamar. Tidak lama, kami melihat bang Arman menyembulkan wajahnya dari balik pintu. Raut wajah bang Arman terlihat cemas dan khawatir. "Maaf, Bu! Apa boleh aku masuk?" ijinnya pada ibu. Ibu hanya mengangguk. Bang Arman pun duduk di samping ibu, di sisi yang lainnya. Ia meraih tangan ibu. "Ada apa, Bu? Sejak pulang dari Taman Mini tadi, ibu terlihat lesu. Apa ibu sakit?" tanyanya perhatian. "Ti
"Assalamualaikum! Assalamualaikum!" Aku berjalan cepat ke depan ketika mendengar suara bang Arman mengucapkan salam. Aku heran, tumben bang Arman mengucapkan salam sekencang itu hingga berulang kali. "Abang dari ma....na?" Suaraku langsung hilang ketika menyadari siapa yang di bawa bang Arman bersamanya. Bang Arman tersenyum padaku. Sedangkan tubuhku terasa menegang menatap sosok di depanku. Dia bersikap cuek seakan tidak terusik olehku. "Ayo, salim pada ibumu!" perintah bang Arman pada kedua anaknya itu. Ya, tiba-tiba saja tanpa memberitahuku, bang Arman membawa kedua anaknya ke rumahku. Aku sudah pernah bertemu Elisa, dan ini pertama kalinya aku bertemu Ridho, anak bang Arman yang paling tua. Ridho langsung berjalan menghampiriku dan langsung mencium punggung tanganku. Ia masih tersenyum padaku meskipun terlihat kaku dan dipaksakan. Sedangkan Elisa, melengos melihatku. Ia mengabaikan permintaan papanya. Ia mendaratkan bokongnya ke sofa kemudian asyik dengan ponselnya. Mata ba
Namaku Hani. Aku mantan istri bang Arman. Kami bercerai atas gugatan bang Arman. Aku sudah berusaha membujuknya untuk tidak menceraikan aku. Tapi seperti biasa bang Arman selalu keras kepala. Aku akui, aku salah. Aku mengkhianati cintanya dengan pria yang lebih muda. Tapi itu aku lakukan karena aku jenuh dengan sikap bang Arman. Bang Arman selalu ingin menang sendiri. Segala keputusan selalu dia yang buat. Suaraku tidak dianggap olehnya. Ia menganggap aku perempuan tidak memiliki kemampuan apapun dan bisanya hanya menghabiskan uangnya saja. semua tuduhannya itu membuatku gelap mata. Baiklah, jika dia menganggap aku begitu. Sekalian saja aku habiskan uangnya.Aku sering hang out dengan teman-temanku. Dan di saat itulah, aku mengenal laki-laki yang bernama Vino. Usianya lima tahun di bawahku. Dia punya istri yang sibuk bekerja sehingga membuat dia kesepian. Sejak itu kami saling berbagi cerita hingga kebablasan menjadi cinta.Selama setahun, aku bisa menyembunyikan hubunganku dengan V
"Terserah anak-anak, bang. Kalau mereka bersedia ikut Abang, ya silakan. Kalau tidak, Abang tidak bisa memaksa mereka," ucapku penuh keyakinan. Bang Arman tampak termangu. Aku tersenyum miring melihatnya. Aku yakin seratus persen jika anak-anakku akan menolak permintaan konyol papanya."Ya, sudah. Kamu panggilkan mereka sekarang. Mereka ada di rumah, kan?" perintah bang Arman.Aku menggerutu dalam hati. Dia yang perlu, kenapa bukan dia saja yang panggil, sungutku. Pertama, aku ke kamar anak perempuanku, Elisa. Aku mengintip di kamarnya. Dia terlihat sedang teleponan dengan seseorang sambil tidur-tiduran. Wajahnya tampak ceria sekali. Aku menduga dia pasti sedang teleponan dengan pacarnya. Entah pacar yang mana, aku tidak tahu. Aku memang tidak pernah mencampuri masalah pribadi anak-anakku. Menurutku mereka sudah cukup dewasa, sehingga aku membebaskan mereka melakukan apapun yang mereka inginkan. "Lisa!" panggilku seraya masuk ke kamar. Elisa terkejut. Wajahnya pucat pasi. Ia seger
Sejak anak-anak bang Arman di rumah, bang Arman melarang aku ke toko untuk sementara waktu. Ia berharap dengan aku di rumah bersama anak-anaknya, mereka bisa dekat denganku.Sebetulnya aku gamang. Karena sejak awal bertemu, Elisa sudah memperlihatkan wajah permusuhan denganku. Bagaimana mungkin aku bisa dekat dengannya. Hari ini, Bang Arman ke toko bersama Ridho juga Yudi. Sedangkan Elisa, tinggal bersamaku. Kebetulan dia libur sekolah sejak kemarin. Suasana sunyi setelah aku melepas kepergian bang Arman dan lainnya ke toko. Aku bermaksud ke dapur hendak mencuci piring bekas sarapan tadi pagi. Namun betapa terkejutnya aku ketika mendapati dapur berantakan seperti kapal pecah. Wajan dan kuali telah turun dari tempatnya. Air sabun berserakan di lantai. Piring bertebaran. Sampah ada di mana-mana. Nasi goreng yang aku masak tadi pagi juga dibuang sembarangan ke lantai. Mataku terbelalak melihat semua ini. Aku bergegas ke kamar Elisa dan menggedor pintunya. Aku yakin, dia yang melakuka
"Alah, alasan lo aja itu!" tukas Elisa sengit. "Mana uangnya? Sini! Kasih ke aku!!" teriak Elisa mulai marah.Aku hanya tercengang melihat sikap temperamen gadis belia ini. Aku menghela nafas berat. Jika di teruskan, ini akan hanya membuatku sakit hati. Lebih baik aku mengabaikannya saja. Aku berbalik dan berjalan menuju kamarku. Tiba-tiba, rambutku terasa ditarik kuat dari belakang. Aku hampir jatuh terjengkang. Dia sudah mendorongku hingga terjatuh tadi. Sekarang dia juga menjambak rambutku. Aku membalikkan badan dan menatap Elisa dengan marah. Aku sudah tidak bisa sabar lagi. Aku langkahkan kakiku lebar ke arahnya dengan kilatan amarah di mataku. Elisa menatapku dengan senyum sinis dan pandangan menantang. Sekonyong-konyong aku menampar pipinya.Elisa terkejut. Ia meraba pipinya yang terkena tamparanku. Matanya menatapku dengan pandangan tak percaya. Mungkin di pikirnya aku hanya wanita lemah yang diam saja saat di tindas. Elisa terlihat sangat marah. Ia bergerak maju hendak men
Bang Arman menyugar rambutnya dengan resah. "Kamu tahu kan, Yun? Uang satu juta itu bukan jumlah sedikit. Itu bisa mengisi listrik kita lebih dari sebulan!" tekan bang Arman padaku. Aku merasa disudutkan. Aku tahu, memang aku yang menerima uang itu dari bang Arman, tapi aku sudah meletakkan di tempat yang aman. Selama ini aku selalu meletakkannya di situ. Tapi tidak pernah hilang. Pikiran aku langsung tertuju pada Elisa. Karena sebelumnya dia pernah meminta uang token listrik itu untuk pergi ke mall bersama teman-temannya. "Yun, kenapa kamu bisa begitu cerobohnya sehingga uang satu juta bisa lenyap begitu saja. Memangnya ada tuyul di rumah ini?!" dengus bang Arman kesal. "Tapi, bang! Aku tidak sendirian di rumah ini. Aku di sini bersama Elisa. Siapa tahu saja, Elisa tahu dimana uang itu," ucapku."Kenapa kamu sampai berpikir begitu?" tanya bang Arman terkesan tidak suka dengan pengaduanku. "Tadi siang, Elisa memaksaku memberikannya uang token listrik itu, bang. Katanya dia mau j
Aku hanya diam menatap bang Arman dengan tatapan nanar. Ia balas menatapku dengan pandangan marah. "Jangan-jangan uang yang satu juga itu kamu juga yang menggelapkannya. Dan menuduh anakku yang melakukannya untuk menutupi kesalahanmu. Betul, kan?!" Suara bang Arman seperti ledakan bom di kepalaku. Tuduhan yang ia lontarkan dengan kejam seakan menusuk hatiku dengan ribuan pisau. Aku terhenyak. Ya, Allah! Cobaan apa lagi ini ya Rabb! Mengapa begitu buta mata hati suamiku ini?"Betul, pa! Aku lihat dia pergi tadi siang. Nggak tahu kemana. Mungkin pergi shopping ke mall. Dia kan orang kampung, pasti kepengen jalan-jalan ke mall," Elisa makin mengompori bang Arman. Yang membuat hatiku makin hancur, bang Arman mempercayai ucapan putrinya. "Jangan bohong kamu, Elisa!" sentakku pada Elisa. Elisa berlagak ketakutan dan sembunyi di belakang punggung papanya. "Papa lihat sendiri, kan? Bagaimana perempuan itu memperlakukan aku?!" desis Elisa ke telinga papanya. Ucapan lirihnya itu cukup kuat