"Untuk apa kamu berpikir lagi, Yun? Kamu itu sudah tua. Umurmu sudah tiga puluh empat tahun. Umur segitu, ibu sudah punya anak empat," ucap ibu saat aku menolak keinginannya menerima lamaran laki-laki yang ditawarkan Paman Surya. Aku menatap sedih pada ibuku. Ibu yang dulu selalu membelaku saat kerabatku menghinaku dengan sebutan perawan tua. Sekarang ikut mendesakku untuk segera menikah. Desakan dari ibunya membuat Yuni menerima pinangan Arman, seorang duda cerai anak dua. Rumah tangga Yuni dan Arman tidak berjalan lancar karena mendapat rongrongan dari anak Arman dan mantan istrinya. Masalah terberat bagi Yuni adalah saat Arman lebih mempercayai anaknya dibandingkan dia. Mampukah Yuni mempertahankan rumah tangganya ketika suaminya lebih memihak anak dan mantan istrinya?
Lihat lebih banyak"Untuk apa kamu berpikir lagi, Yun? Kamu itu sudah tua. Umurmu sudah tiga puluh empat tahun. Umur segitu, ibu sudah punya anak empat," ucap ibu saat aku menolak keinginannya menerima lamaran laki-laki yang ditawarkan Paman Surya.
Aku menatap sedih pada ibuku. Ibu yang dulu selalu membelaku saat kerabatku menghinaku dengan sebutan perawan tua. Sekarang ikut mendesakku untuk segera menikah."Tapi laki-laki itu sudah tua, Bu. Dia juga punya anak dari pernikahannya yang dulu," aku memberi alasan.Ibu mendecih. "Memangnya kamu berharap laki-laki lajang yang akan meminangmu? Ingat, Yun. Usiamu tidak muda lagi. Ya, jodohmu tentu juga yang sudah tua," kilah ibu."Tapi Bu, paman bilang dia duda cerai," aku masih mencoba mengelak."Yun, duda cerai pun sudah bagus untukmu. Sekarang ini, banyak laki-laki yang tidak mau sama perawan tua. Mereka maunya sama yang muda. Termasuk duda cerai sekalipun!" tandas ibu seraya menatapku.Kata-kata ibu semakin menyakiti hatiku. Ingin aku berteriak padanya, jika aku juga ingin hidup bahagia dengan laki-laki pilihanku. Namun kalimat itu kelu di lidahku."Yun, Pamanmu pernah bilang pada ibu, jika kali ini kamu menolak lagi, dia tidak akan mengurusi kita lagi. Kamu tahu sendiri, Yun. Pamanmu itu pengganti ayahmu sejak beliau meninggal. Entah bagaimana nasib kita jika pamanmu benar-benar mengabaikan kita," keluh ibu dengan tatapan mengibanya.Jantung aku seperti di palu kuat. Aku menunduk makin dalam."Apa kamu masih menunggu laki-laki itu, Yun?"Aku tersentak dan menatap mata ibuku. Kenapa ibu membicarakan laki-laki bejat yang meninggalkanku saat di pelaminan? Aku berusaha keras melupakannya. Laki-laki yang mengukir janji tapi berkhianat dengan saudara sepupuku sendiri."Ibu, kenapa ibu menorehkan asam di lukaku lagi?" lirihku bertanya pada ibu.Ibu terperangah. Ia merasa bersalah. Ibu menghela nafas berat."Ibu hanya takut jika dia yang menjadi alasanmu menolak semua pinangan laki-laki lain. Maafkan ibu, Yun. Banyak kata-kata yang tidak mengenakkan datang dari keluarga kita karena statusmu sekarang."Aku kembali menunduk. Air mata mengalir pelan di pipiku."Yun, Rani sudah di pinang oleh pacarnya. Rani mendesak ibu untuk menikahkannya dengan pacarnya itu. Tapi ibu tidak mau jika kamu dilangkahi, Yun. Kamu sudah dua kali dilangkahi adikmu, masa adik bungsumu mau melangkahi kamu juga. Ibu jadi bingung, Yun!" beri tahu ibu.Oh, pantas ibu mendesakku terus. Ibu pernah bilang padaku saat adik ketigaku menikah. Ia tidak mau jika adik bungsuku ikut melangkahi aku juga. Ia ingin jika aku menikah lebih dulu dari pada Rani."Jika Rani memang sudah ada jodohnya, aku tidak keberatan dia menikah dulu, Bu," ucapku kala itu."Bukan masalah kamu keberatan atau tidak, Yun!" Suara ibu terdengar kesal. "Ibu tidak mau kamu dilangkahi lagi. Tapi ibu tidak bisa menghalangi niat Rani juga. Dia sekarang sudah berumur dua puluh enam tahun. Umur yang sudah pantas untuk menikah. Ibu tidak mau jika dia jadi perawan tua juga seperti kamu!" tekan ibu dengan marah.Aku menatapnya sedih. Ibu hanya memandangku dengan kesal. Ia kemudian berdiri dan meninggalkanku.Air mataku mengalir deras. Ingin rasanya aku pergi dari rumah ini. Tapi kemana? Kemana aku harus melangkah?Aku teringat dengan Farid, laki-laki yang dulu pernah mengisi hatiku hingga lima tahun. Selama lima tahun aku merajuk kasih dengannya, tidak pernah ada tanda-tanda jika ia akan mengkhianatiku. Namun kenyataannya ia pergi saat ia sudah menjanjikan mahligai pernikahan di depan orang tuaku. Ayah dan ibu menerima dengan senang hati saat pinangan dari orang tua Farid datang padaku. Pernikahan akan berlangsung tiga hari lagi, dan undangan juga sudah tersebar pada handai taulan. Di hari pernikahan, saat aku sudah dihiasi dengan cantik bak bidadari. Farid, laki-laki yang aku kira baik, ternyata tega meninggalkan aku di pelaminan dan menorehkan malu pada keluarga besarku.Ayah sangat marah, ia menuntut tanggung jawab pada calon besannya. Namun mereka pun tidak mengetahui alasan Farid meninggalkan aku di pelaminan. Seminggu penuh aku tumpahkan air mata untuknya. Dan berbulan-bulan bagiku mengurung diri karena malu."Yun! Yuni!" Ibu menyentakkan aku dari lamunan. Ia kembali lagi. "Tadi ibu dapat telpon dari Pamanmu, katanya laki-laki itu akan datang ke sini untuk mengenalmu," ucap ibu. Aku menoleh pada ibuku."Jadi bagaimana? Nanti sore, laki-laki itu akan datang menemuimu. Dia datang bersama abangnya. Jika kalian cocok, bisa sekalian dianggap pinangan," ucap ibu mendesakku."Aku…aku belum siap, Bu!" ucapku lirih dan menunduk makin dalam.Ibu menghela nafas berat. Ia terlihat putus asa. "Sudah beberapa tahun yang lalu, kamu juga berkali-kali mengatakan belum siap. Tunggu berapa tahun lagi, baru kamu siap, Yun?" tukas ibu dengan wajah kecewa.Aku diam. Tubuhku gemetar dengan gemuruh perasaan di hatiku."Yun, ibu mohon! Kali ini, terimalah laki-laki itu. Siapa tahu dia laki-laki terbaik yang Allah berikan padamu. Tolong, nak! Jangan lagi tutup pintu hatimu!" Wajah ibu memohon padaku begitu terlihat menyedihkan. Aku seperti anak durhaka karena menghadirkan air mata di mata ibu yang aku sayangi.Aku menatap ibuku. Air mataku pun ikut mengalir. "Jika menurut ibu, dia yang terbaik." Aku diam sejenak. Menjeda kalimatku dan menata hatiku yang terasa tertekan. "Aku bersedia mengikuti kemauan ibu," ucapku dengan suara yang semakin rendah. Aku menunduk, menyembunyikan air mataku yang mengalir deras."Alhamdulillah, nak!" Ibuku langsung memelukku erat. Wajah sedih itu sudah berubah cerah dan bahagia meskipun masih ada sisa-sisa air mata.Baiklah, bu. Demi senyum itu, aku rela menyimpan tangisku dalam hati. Mudah-mudahan keputusan yang ibu buat, bisa membuatku bahagia. Hanya itu dia yang aku panjatkan padaNya.Mama tiba-tiba meneleponku dan memintaku melakukan sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehku. Aku memang tidak senang ketika mendengar ibu tiriku itu sedang mengandung anak papaku. Tapi aku juga tidak ingin menyakitinya. Aku cuma ingin hidup damai. Masalahku sudah sangat berat yang terkadang membuatku ingin pergi dari dunia ini. Tapi desakan mama membuatku seakan terdoktrin untuk melakukan itu. Mama bilang masalah harta warisan atau apapun itu, aku sungguh tidak peduli. Tapi ucapan mama adalah perintah bagiku. Aku tidak mau mama terus memakiku. Aku berpapasan dengan Tante Yuni. Kami terdiam kaku sejenak. Kemudian Tante Yuni tersenyum padaku. Aku membalasnya dengan senyum kaku. "Apa kabar, Elisa!" sapa Tante Yuni padaku. "Baik," jawabku singkat lalu kembali ke kamarku. Aku bisa melihat sekilas raut kekecewaan di wajah Tante Yuni. Aku bisa apa? Aku tidak bisa akrab dengannya karena dia itu ibu tiriku. Bangun tidur, aku mendengar suara ribut dan juga tawa. Sepertinya sangat rama
Aku menatap nanar pada semua orang yang memandangku. Mereka menatapku dengan tatapan menyudutkan ku. Wajahku sudah memerah. Laki-laki asing ini begitu kurang ajar. Seenaknya saja dia ikut campur dengan urusanku bersama si Yuni ini. Bukan salahku jika wanita tua itu pingsan. Dia yang terlalu berlebihan. Sudah tahu tua, masih saja sok melawan. Seharusnya para benalu ini kembali ke kampung halamannya. Tidak mau menjadi tatapan orang-orang di kompleks perumahan kumuh ini, aku memutuskan pergi. Hatiku puas karena berhasil menyakiti maduku itu. Aku tetap menganggapnya madu meskipun aku sudah lama bercerai dari bang Arman. Wanita itu sudah membuat kesempatan aku untuk kembali pada bang Arman hilang. Aku mendengar kabar jika bang Arman berhasil membujuk wanita itu kembali bersamanya. Ini membuatku marah. Dan aku semakin marah ketika mengetahui jika wanita kampung itu sedang hamil anak bang Arman. Ini tidak bisa dibiarkan! Aku harus melakukan sesuatu agar mereka cepat bercerai. Sebenarny
Aku mengejap-ngejapkan mataku begitu sinar putih itu menerpaku, saat aku membuka mata. Aku melihat ruang yang serba putih dan beraroma obat. Aku tahu, sekarang aku sedang berbaring di rumah sakit. "Yun!" Aku menoleh pada suara yang memanggilku. Ibu menatapku dengan wajah cemasnya. Ia menggenggam erat tanganku. "Ibu...?" Aku berucap lemah. "Bagaimana keadaan kamu, nak?" tanya ibu. "Aku tidak tahu, Bu! Tenagaku seakan..terkuras habis," jawabku. "Aduh, Yun! Kamu buat jantung ibu seakan copot. Ibu sudah bilang berkali-kali agar kamu istirahat saja. Tapi kamu keras kepala! Hamil muda malah ikut bantu di warung!" omel ibu. "Jadi ibu tahu kalau Yuni sedang hamil?" Suara bang Arman membuat kami tersentak kaget. Ia menatap ibu dengan pandangan kecewa. Ia juga menatapku dengan pandangan yang sama. "Kenapa kalian tidak memberitahu aku?"Ibu dan aku saling pandang. "Jawab, Yun! Kenapa kamu merahasiakannya pada Abang?" tuntut bang Arman. "Karena Yuni ingin bercerai dari kamu, Man!" jawab
Kehamilanku membuatku susah bergerak. Aku sering kali muntah dan merasa lemas. Padahal aku sudah meminum obat yang mengurangi muntah. Warung lebih sering dikelola ibu, kadang di bantu oleh Yudi dan Rindi. Tubuhku sangat lemas, sehingga aku tidak ikut keluar membantu ibu berjualan. Aku duduk di depan kamarku, yang menghadap langsung ke warung.Jantungku berdetak cepat, ketika melihat bang Arman datang. Seperti biasa ia memesan makanannya. Ibu melayani dengan wajah masam. Aku melihat bang Arman celingukan. Matanya menemukan sosokku yang duduk di depan jendela. Ia tersenyum ketika kami bertatapan. Aku buang muka. Aku mendadak gugup ketika bang Arman datang menghampiriku. Aku segera berdiri dan berjalan ke ranjangku. Aku berbaring dan berharap bang Arman tidak ke sini. "Yun!"Aku terperanjat kaget ketika bang Arman sudah berdiri di depan jendelaku dan memanggilku. Aku pura-pura tidak dengar dan mengabaikannya. "Kamu kenapa tidak membantu ibu jaga warung, Yun? Apa kamu sakit?" tanya b
Aku masih dalam diam ku. Sesungguhnya aku tidak pernah berpikir untuk cerai dan menjadi jadi. Tapi, pernikahan yang kujalani dengan bang Arman juga tidak membuat aku bahagia. "Yun! Apa yang kamu pikirkan lagi? Untuk apa kamu pertahankan laki-laki seperti Arman?!" Ibu menatapku dengan kesal. Begitulah ibu. Jika ibu merasa keputusannya tepat, dia akan terus mendesak ku untuk menjalankannya. Sama halnya saat beliau memaksaku untuk menerima pinangan bang Arman dulu. "Bu, aku tidak tahu, Bu. Aku masih belum siap jadi janda.""Jadi janda bukan suatu aib, Yun. Yang paling penting kebahagiaan kamu. Menikah dengan Arman hanya akan membuat kamu sengsara. Karena Arman masih terikat sama anak dan mantan istrinya. Kamu akan terus dibuat makan hati oleh mereka. Jadi, lepaskan saja Arman itu. Siapa tahu besok kamu dapat jodoh yang lebih baik," bujuk ibuku gencar.Aku kembali terdiam. "Yun!" Ibu menggenggam erat tanganku. "Ibu sedih melihat hidupmu sekarang. Rasanya hati ibu remuk ketika melihat m
Aku menunggu dengan gelisah. Aku sangat cemas hingga air mataku mengalir keluar. Seorang perawat datang menemui ku. "Apa mbak anaknya Bu Yanti?" tanyanya. "Iya, saya!" jawabku cepat. "Bu Yanti sudah stabil kondisinya, mbak. Dokter menyarankan agar Bu Yanti dirawat inap saja sambil melihat perkembangan kondisi kesehatannya. Kami langsung rujuk ke dokter jantung saja ya, mbak," jelas perawat itu padaku."Iy, suster! Lakukan yang terbaik saja buat ibuku," ujarku. "Kalau begitu, silakan di urus administrasinya, mbak!" "Baik, sus!" Aku bergegas ke ruang administrasi rumah sakit. ***Ibu sudah dibawa ke ruang rawat inap. Wajahnya yang tertidur terlihat begitu tenang. Aku meraih tangan ibu dan menggenggamnya kuat. Aku sangat lega karena ibu bisa melewati serangan jantungnya. Jika terjadi apa-apa pada ibu, mungkin aku bisa ikut mati bersamanya. Aku tidak pernah membayangkan akan kehilangan ibuku. Tubuhku masih gemetar ketika mengingat kejadian saat ibu tiba-tiba terkulai lemas.Drrrt..
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen