Aku mengejap-ngejapkan mataku begitu sinar putih itu menerpaku, saat aku membuka mata. Aku melihat ruang yang serba putih dan beraroma obat. Aku tahu, sekarang aku sedang berbaring di rumah sakit. "Yun!" Aku menoleh pada suara yang memanggilku. Ibu menatapku dengan wajah cemasnya. Ia menggenggam erat tanganku. "Ibu...?" Aku berucap lemah. "Bagaimana keadaan kamu, nak?" tanya ibu. "Aku tidak tahu, Bu! Tenagaku seakan..terkuras habis," jawabku. "Aduh, Yun! Kamu buat jantung ibu seakan copot. Ibu sudah bilang berkali-kali agar kamu istirahat saja. Tapi kamu keras kepala! Hamil muda malah ikut bantu di warung!" omel ibu. "Jadi ibu tahu kalau Yuni sedang hamil?" Suara bang Arman membuat kami tersentak kaget. Ia menatap ibu dengan pandangan kecewa. Ia juga menatapku dengan pandangan yang sama. "Kenapa kalian tidak memberitahu aku?"Ibu dan aku saling pandang. "Jawab, Yun! Kenapa kamu merahasiakannya pada Abang?" tuntut bang Arman. "Karena Yuni ingin bercerai dari kamu, Man!" jawab
Aku menatap nanar pada semua orang yang memandangku. Mereka menatapku dengan tatapan menyudutkan ku. Wajahku sudah memerah. Laki-laki asing ini begitu kurang ajar. Seenaknya saja dia ikut campur dengan urusanku bersama si Yuni ini. Bukan salahku jika wanita tua itu pingsan. Dia yang terlalu berlebihan. Sudah tahu tua, masih saja sok melawan. Seharusnya para benalu ini kembali ke kampung halamannya. Tidak mau menjadi tatapan orang-orang di kompleks perumahan kumuh ini, aku memutuskan pergi. Hatiku puas karena berhasil menyakiti maduku itu. Aku tetap menganggapnya madu meskipun aku sudah lama bercerai dari bang Arman. Wanita itu sudah membuat kesempatan aku untuk kembali pada bang Arman hilang. Aku mendengar kabar jika bang Arman berhasil membujuk wanita itu kembali bersamanya. Ini membuatku marah. Dan aku semakin marah ketika mengetahui jika wanita kampung itu sedang hamil anak bang Arman. Ini tidak bisa dibiarkan! Aku harus melakukan sesuatu agar mereka cepat bercerai. Sebenarny
Mama tiba-tiba meneleponku dan memintaku melakukan sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehku. Aku memang tidak senang ketika mendengar ibu tiriku itu sedang mengandung anak papaku. Tapi aku juga tidak ingin menyakitinya. Aku cuma ingin hidup damai. Masalahku sudah sangat berat yang terkadang membuatku ingin pergi dari dunia ini. Tapi desakan mama membuatku seakan terdoktrin untuk melakukan itu. Mama bilang masalah harta warisan atau apapun itu, aku sungguh tidak peduli. Tapi ucapan mama adalah perintah bagiku. Aku tidak mau mama terus memakiku. Aku berpapasan dengan Tante Yuni. Kami terdiam kaku sejenak. Kemudian Tante Yuni tersenyum padaku. Aku membalasnya dengan senyum kaku. "Apa kabar, Elisa!" sapa Tante Yuni padaku. "Baik," jawabku singkat lalu kembali ke kamarku. Aku bisa melihat sekilas raut kekecewaan di wajah Tante Yuni. Aku bisa apa? Aku tidak bisa akrab dengannya karena dia itu ibu tiriku. Bangun tidur, aku mendengar suara ribut dan juga tawa. Sepertinya sangat rama
"Untuk apa kamu berpikir lagi, Yun? Kamu itu sudah tua. Umurmu sudah tiga puluh empat tahun. Umur segitu, ibu sudah punya anak empat," ucap ibu saat aku menolak keinginannya menerima lamaran laki-laki yang ditawarkan Paman Surya. Aku menatap sedih pada ibuku. Ibu yang dulu selalu membelaku saat kerabatku menghinaku dengan sebutan perawan tua. Sekarang ikut mendesakku untuk segera menikah. "Tapi laki-laki itu sudah tua, Bu. Dia juga punya anak dari pernikahannya yang dulu," aku memberi alasan. Ibu mendecih. "Memangnya kamu berharap laki-laki lajang yang akan meminangmu? Ingat, Yun. Usiamu tidak muda lagi. Ya, jodohmu tentu juga yang sudah tua," kilah ibu. "Tapi Bu, paman bilang dia duda cerai," aku masih mencoba mengelak. "Yun, duda cerai pun sudah bagus untukmu. Sekarang ini, banyak laki-laki yang tidak mau sama perawan tua. Mereka maunya sama yang muda. Termasuk duda cerai sekalipun!" tandas ibu seraya menatapku. Kata-kata ibu semakin menyakiti hatiku
Sejak menerima persetujuanku, ibu merasa sangat senang. Ia seperti anak kecil yang menjuarai sesuatu. Senyum sumringah selalu menempel di wajahnya. Dengan semangat ia menyiapkan segala hal untuk menyambut kedatangan laki-laki yang akan dijodohkan denganku itu. Perasaan ibu bertolak belakang denganku. Aku merasa begitu tidak berdaya karena aku tidak diijinkan menentukan jalan hidupku sendiri. Namun, apa yang bisa aku katakan lagi. Mereka benar. Aku hanya seorang perawan tua yang hidup masih menumpangi ibuku. Aku, hanya tamatan SMA. Masalah biaya, menjadi alasan aku tidak melanjutkan pendidikanku. Karena itu, aku bekerja siang malam untuk membantu orang tuaku membiayai pendidikan adik-adikku. Keadaan semakin sulit saat ayahku tiada. "Assalamualaikum!"Aku mendengar dari kamarku ada yang memberi salam. Itu seperti suara Paman Surya. "Waalaikumsalam," aku mendengar suara ibuku. "Silakan masuk!" Jantungku berdebar kencang. Hatiku merasa sangat tidak nyaman. Ingin
Pernikahanku dengan Arman berjalan dengan lancar. Senyum bahagia terpancar jelas di wajah mereka. Sedangkan aku, aku hanya memamerkan senyum palsu untuk menutupi air mata kepedihan di hatiku. Arman, laki-laki yang sekarang sudah sah menjadi suamiku, terus memandangiku. Saat tatapan kami bertemu, ia akan tersenyum canggung padaku dan menjadi salah tingkah. Tingkahnya seperti anak abege yang sedang pendekatan dengan lawan jenisnya. Setelah acara resepsi, Arman ingin membawaku ke Jakarta, tempat ia tinggal dan mencari nafkah selama ini. sebenarnya hatiku masih belum rela berpisah dengan ibu dan keluargaku yang lainnya. Namun, ibu mengatakan jika seorang istri itu harus mengikuti kemanapun suaminya pergi. Aku menangis sepanjang hari. Nanti sore, aku dan Arman akan kembali ke Jakarta. Itu artinya aku harus berpisah jarak yang jauh dari ibuku. Aku bahkan belum mempersiapkan pakaian yang akan aku bawa. "Yun? Lho, kok kamu belum siap-siap?" tanya ibu ketika ia masuk ke kamark
Pagi-pagi, aku sudah menyiapkan sarapan untuk suamiku. Nasi goreng jadi menu pilihanku hari ini. Aku membeli bahan makanan pada pedagang sayur yang lewat depan rumahku. Aku melirik sekilas saat mendengar langkah kaki bang Arman mendekatiku. Aku kembali mengaduk nasi gorengku. Bang Arman duduk di kursi tinggi mini bar. Ia menatapku. "Ada apa, bang?" tanyaku tanpa menoleh padanya. "Abang senang, akhirnya ada yang membuatkan Abang sarapan lagi," ucapnya. Aku terdiam sejenak. Kata 'lagi' itu menyadarkanku jika aku wanita kedua di hidupnya. Aku tidak menanggapi pernyataan bang Arman. Aku kembali melanjutkan mengaduk nasi gorengku. "Abang mau mandi atau sarapan dulu?" tanyaku ketika aku selesai memasak nasi gorengku. "Abang mau ngopi saja, dek," jawab bang Arman. "Adek ada buat kopi untuk Abang?" tanyanya.Aku baru ingat jika aku sudah menyeduh kopi buatnya. "Ada, bang. Maaf, Yuni lupa!" ucapku seraya tersenyum malu.Bang Arman terkekeh. "Belum t
Sejak bang Arman mengizinkan aku ke tokonya, setiap hari aku ke sana bersama bang Arman. Bang Arman menjadikan aku kasir di tokonya yang ada di blok A. Aku pelajari sedikit demi sedikit pekerjaanku sebagai kasir. Aku harus mengenal produk dan harga yang dijual. Juga kode-kode harga yang hanya diketahui oleh bang Arman. Aku juga belajar, bagaimana mencatat penjualan hari ini dan juga laba kotor yang kami peroleh serta merekapnya saat akan tutup toko. Dengan cepat aku bisa menguasainya karena dulu aku pernah bekerja di toko pakaian di kota kelahiranku. Seorang gadis berpakaian seragam SMA datang ke tokoku. Ia langsung berjalan menuju meja tempat aku duduk. Matanya terbelalak saat melihatku. Ia diam membeku. Aku menatap heran padanya. Aku mencoba tersenyum meskipun terasa canggung dan aneh. Aku bertanya-tanya, siapa gadis ini? Kenapa dia bisa lancang memasuki area kasir tanpa sungkan sedikit pun. Gadis itu hanya menatapku tanpa berniat membalas senyumanku. Aku menoleh p