Pagi itu, Amara yang baru habis mandi membuka pintu kamar bersamaan dengan Arga yang tengah berjalan di lorong. Gara-gara momen bercinta pagi ini membuat mereka kesiangan. Amara berlari kecil di belakang Arga menuruni anak tangga dengan blazer yang belum dikancing dan rambut belum disisir apalagi make up. “Aku kesiangan,” kata Amara sembari mengoles roti asal-asalan dengan selai strawberry di dapur. “Kamu sih,” kata Arga bergumam setelah menenggak sebotol air mineral dingin dari dalam kulkas. “Kamu yang ngajakin gituan pagi-pagi,” balas Amara tidak mau kalah sembari mengerucutkan bibir menggemaskan membuat Arga terkekeh. Arga menarik Amara lebih dalam ke area kitchen island setelah istrinya itu meletakan roti di atas piring. “Katanya kesiangan, tapi kamu mancing-mancing terus.” Arga bergumam sembari mengancingkan blazer Amara. Jantung Amara seketika berdetak sangat kencang. Setelah Arga selesai, Amara bergegas menjauh dengan gesture gugup yang kentara. Dia
Chapter 22 – Detik-Detik yang Mengubah SemuanyaAmara turun dari mobil dan melangkah ringan menyusuri lorong, tote bag di pundak dan wajah yang tak bisa berhenti tersenyum.Momen singkat tadi—ciuman Arga di keningnya sebelum turun dari mobil—masih membekas jelas di ingatannya.Hangat. Manis. Tak terduga.Amara menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan jantungnya yang masih berdetak terlalu cepat.Banyak yang tidak Amara mengerti dari Arga, mulai dari bersedia menjenguk ibu, mau membiayai berobat ibu, tetap tinggal setelah bercinta lalu mengecup keningnya saat mereka hendak berpisah pagi ini.Apa yang Arga lakukan itu adalah peran suami yang sangat mencintai istrinya.Tapi untuk apa?Mereka hanya menikah kontrak dan Amara tidak berekspektasi kalau Arga sampai melakukan semua itu.Pria itu bersikap biasa saja tidak dingin, Amara sudah sangat bersyukur.Atau mengijinkannya pulang bertemu ibu bahkan Amara hampir tidak percaya sewaktu Arga bersedia mengunjungi ibu mengingat
Sabtu pagi datang dengan udara yang sedikit mendung, tapi justru terasa nyaman.Di lantai dua rumah mereka, kamar Amara tampak sedikit berantakan.Tas makeup, baju ganti, jaket, sepatu, hingga perlengkapan kecil-kecil berserakan di tempat tidur. Di tengah-tengah kekacauan itu, Amara berdiri, bingung sendiri.“Duh… ini bawa berapa baju ya? Kalau terlalu banyak nanti dikira lebay, kalau terlalu sedikit takut kurang…,” gumamnya sendiri sambil melipat satu dress berwarna pastel ke dalam koper.Sementara itu, dari kamar sebelah, suara Arga terdengar samar.Bersama dentingan hanger yang bersenggolan, pria itu tengah bersiap dengan sangat ….Cepat, praktis, tanpa drama.Beberapa menit kemudian, Arga sudah berdiri di depan pintu kamar Amara, mengetuk ringan.Tok.Tok.“Udah siap?”“Beberapa menit lagi!” balas Amara tergopoh, lalu buru-buru mendorong koper ke lantai.Arga bersandar di kusen pintu sambil menyilangkan tangan di dada, memperhatikan pemandangan di depannya.Amara sibu
Suasana kamar hanya diterangi lampu tidur berwarna kekuningan.Saat Amara merasa tangan besar itu mulai bergerak di perutnya, mengusap lembut, napasnya langsung tersendat.“Amara,” suara Arga terdengar berat dan serak di telinganya.“Ya?” balas Amara pelan, nadanya bergetar tak terkontrol.“Aku ingin kamu malam ini,” bisik Arga, nadanya dingin tapi dalam, seolah tidak memberi ruang untuk penolakan.Sebelum Amara sempat menjawab apa pun, Arga sudah membalik tubuh Amara menghadapnya.Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. Nafas Arga menghangatkan pipi Amara.Bibir Arga merengkuh bibir Amara dalam ciuman dalam yang langsung membakar udara di antara mereka.Bukan ciuman lembut—tapi penuh tuntutan. Penuh hasrat.Amara mendesah kecil, tangannya naik ke pundak Arga, berpegangan seolah tubuhnya bisa runtuh kapan saja.Arga menarik selimut ke atas, membungkus tubuh mereka berdua sebelum tangan-tangannya mulai menjelajahi kulit Amara.Setiap sentuhan Arga membuat Amara mengerang
Area taman belakang villa sudah dipenuhi pasangan-pasangan yang bersemangat.Panitia gathering memasang banner bertuliskan “Couple Fun Games”, lengkap dengan balon warna-warni dan deretan kursi untuk para peserta.Arga berdiri santai dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana training abu-abunya, sementara Amara berdiri di sampingnya—gelisah, memainkan ujung sweater oversized yang ia kenakan.“Kita akan lomba apa dulu ya?” bisik Amara, lirih.Arga meliriknya datar. “Apapun itu, kamu jangan bikin malu.”Amara memelototkan mata kecil. “Maksudnya aku yang bikin malu?”Arga hanya mengangkat alis sedikit, ekspresinya tetap malas seperti biasa.“Tuh ‘kan, ngeselin.” Amara bergumam pelan.Tapi anehnya, setelah itu Amara malah tersenyum kecil.Di atas panggung kecil, MC mulai membacakan lomba pertama:“Games pertama—balap kelereng di sendok! Tapi… yang megang sendok di mulutnya adalah suami, dan istri yang meletakkan kelerengnya!”Gelak tawa langsung pecah di seluruh area.Amar
Malam itu, setelah makan malam terakhir yang penuh kehangatan dan godaan dari para peserta gathering, Amara dan Arga kembali ke kamar villa mereka. Lorong menuju kamar terasa sunyi, hanya terdengar langkah kaki mereka yang beriringan. Keduanya berjalan berdampingan, namun tidak ada kata yang terucap.Udara dingin Ciwidey menyusup melalui celah-celah jendela, menambah keheningan yang menyelimuti villa. Sesampainya di kamar, Amara segera mengganti pakaiannya dengan piyama hangat, sementara Arga duduk di tepi ranjang, sambil memeriksa email di iPad yang selalu ia bawa ke mana-mana.Amara meliriknya sekilas lalu dengan ragu-ragu, ia berbaring di sisi ranjang, membelakangi Arga.Beberapa menit berlalu dalam keheningan.Terasa pergerakan Arga yang bangkit dari atas ranjang kemudian masuk ke dalam kamar mandi.Tidak lama kemudian Arga keluar, wajahnya tampak segar lalu mengganti pakaian dengan pakaian tidur nyaman.Jantung Amara berdebar kencang saat Arga mematikan lampu.Malam in
Malam telah beranjak saat Arga dan Amara tiba di Jakarta.Sesampainya di rumah, Amara langsung sibuk menyiapkan makan malam sederhana di bawah cahaya lampu gantung, memakai apron tipis yang membingkai tubuh mungilnya.Aroma tumisan sayuran segar dan sup ayam rendah karbo memenuhi udara.Sementara itu, setelah memasukan koper mereka ke kamar—Arga duduk di ruang makan, tangan kirinya menopang dagu, memperhatikan Amara dari kejauhan.Tak lama, Amara membawa dua piring ke meja.“Makan malam siap,” ujarnya pelan.Arga hanya mengangguk, tanpa senyum.Mereka makan dalam diam.Sendok yang beradu dengan piring menjadi satu-satunya suara di antara mereka.Amara mencuri-curi pandang ke arah Arga, merasa canggung dengan keheningan ini.Sementara Arga menunduk fokus pada makanannya, namun sesekali melirik Amara dari ekor matanya.Suasana terasa aneh.Mereka pernah begitu dekat—saling memeluk di malam dingin Ciwidey—tapi kini, duduk hanya satu meja pun terasa seperti menyeberangi lautan
Suasana rumah terasa jauh lebih dingin dibanding suhu sore itu.Amara memberanikan diri melangkah ke dapur, menyiapkan makan malam seadanya.Tangannya gemetar kecil saat memotong sayur, pikirannya melayang-layang—bukan hanya karena lelah, tapi karena tatapan Arga yang terus membakar tengkuknyaDi ruang makan, Arga duduk diam di kursinya, lengan bersedekap di dada, pandangan gelap terpaku ke arah dapur.Amara berusaha bersikap biasa.Menyelesaikan tumisan, menanak nasi shirataki, menyiapkan sup daging sapi hangat.Saat semuanya siap, ia membawa piring ke meja makan sambil menunduk dalam-dalam.“Makan malam sudah siap,” gumam Amara tanpa berani menatap.Arga tidak menjawab.Hanya menggeser kursinya sedikit lebih kasar dari biasanya, lalu mulai mengambil makanan.Mereka makan dalam diam.Sendok dan garpu beradu pelan dengan piring, menjadi satu-satunya suara yang terdengar.Amara sesekali melirik Arga dari ekor matanya—dan merasa tercekik.Rahang pria itu mengeras. Sorot mat
Amara terbangun dari tidur lelapnya, dia merasakan suhu dingin karena pendingin ruangan bekerja maksimal sementara Arga tidak memeluknya.Dia menegakan tubuh dan menemukan Arga berdiri di depan jendela, dengan bahu tegang dan punggung membatu, ia tahu… ada sesuatu yang berubah.Di luar sana masih pagi, langit Jakarta tampak mendung.Udara terasa berat seperti dada Arga yang sesak sejak subuh tadi.Pria itu tidak tidur semalaman—duduk bersandar di sisi ranjang, menatap Amara yang terlelap tanpa tahu bahwa dunia mereka mulai retak.“Sayang?” panggil Amara lembut sambil menarik selimut, duduk di tepi ranjang.Arga tidak langsung menoleh. Suaranya berat. Datar. “Sarapan kamu di meja makan.”Amara menelan ludah. Nada itu… bukan nada suaminya yang semalam memeluknya dengan cinta.“Memangnya bi Eti udah datang?” Amara turun dari atas ranjang.“Dari tadi,” balas Arga ketus.Kening Amara semakin terlipat dalam.“Arga, kamu kenapa?”Akhirnya pria itu menoleh. Tapi tatapan yang biasa
“Tadi kamu pulang sama siapa?” Arga bertanya saat mereka sedang asyik menonton televisi.Lebih tepatnya Arga saja yang menikmati karena Amara malah melamun menatap kosong.Kepala Amara yang bersandar di pundak Arga kemudian mendongak membuat Arga menoleh sehingga bibir mereka bertemu.Amara tersenyum karenanya.“Diantar supir ….” Arga menaikkan satu alisnya.“Supir taksi …,” sambung Amara lalu Arga terkekeh.Melihat senyum Arga yang hangat dan merasakan hubungannya dengan pria itu sudah seperti pernikahan sungguhan membuat sorot mata Amara kembali menyiratkan kesedihan mengingat kemunculan Rendy.“Besok aku ada meeting pagi, kita tidur yu!” Arga menarik tangannya dari pundak Amara.Amara langsung menegakan punggung lantas bangkit untuk menyusul Arga yang sudah mematikan televisi dan mengulurkan tangan.Dia raih tangan Arga yang kemudian menggenggamnya menuntun setengah langkah di depan meniti anak tangga.Arga tidak berhenti di depan kamar Amara, langkahnya terus tertuju ke
Hari-hari di Jakarta kembali berjalan cepat, tapi bagi Amara, waktu seakan terseret perlahan. Ada yang berubah dalam dirinya—bukan hanya karena kelelahan, tapi karena beban rahasia yang membeku dalam dada.Pagi itu, Amara dan Arga duduk berhadapan di meja makan. Roti panggang, telur orak-arik, dan segelas jus jeruk tersaji. Tapi Amara lebih sering menatap piringnya ketimbang makan.Arga mengerutkan kening. “Kamu enggak suka menunya? Biasa juga makan ini.”Amara tersentak. “Eh… suka kok. Aku… cuma enggak laper aja.”Arga tak menjawab, hanya memandangi wajah Amara yang tampak letih, bibirnya sedikit pecah, dan pandangan yang seperti melayang entah ke mana.“Kamu sakit?” Arga mengulurkan tangan melewati meja hingga punggung tangannya menyentuh kening Amara.“Enggak.” Amara menggeleng pelan dengan senyum di bibirnya.“Nanti kamu laper di sekolah, kamu ngajar sampai sore, kan?” “Iya ….” “Kalau gitu habiskan,” kata Arga mengendik ke piring Amara dengan nada memerintah.Terpaksa
Kabut pagi di Ubud masih menggantung rendah, menyelimuti persawahan seperti selimut lembut. Arga masih tertidur di ranjang, wajahnya damai di bawah sinar keemasan yang menerobos celah tirai. Amara berdiri di depan cermin, mengenakan blus putih dan celana longgar krem, rambutnya dikepang rapi ke samping.Dia menatap pantulan dirinya lama.“Aku bisa selesaikan ini sendiri,” gumamnya, lebih seperti meyakinkan diri.Amara melangkah menuju pintu keluar.“Sayang, mau ke mana?” suara Arga terdengar dari balik selimut.Amara menoleh, tersenyum. “Aku mau ke pasar sebentar. Cari titipan oleh-oleh buat teman guru di sekolah.”Arga mengangguk kecil, matanya masih berat. “Pakai jaket, dingin.”Amara menyahut pelan, lalu segera pergi. Amara berjalan cepat menyusuri trotoar kecil di dekat jalan utama Ubud. Dia ingat ada ATM dekat sana.Pagi itu masih sepi, hanya beberapa toko yang baru membuka rolling door, dan suara motor jarang terdengar.Kini, di saku tas rotannya, segepok uang tunai s
Mentari pagi menyusup dari celah tirai kayu, menyentuh kulit Amara yang masih bersandar di dada Arga. Nafas mereka perlahan, nyaris bersatu dalam irama tidur yang damai. Seprei linen berantakan menutupi separuh tubuh mereka, sisa malam penuh keintiman yang terasa berbeda dari sebelumnya—lebih dalam, lebih bermakna.Amara membuka mata pelan. Detik pertama yang ia lihat adalah rahang Arga yang kokoh, lehernya yang hangat, dan detak jantung yang stabil di bawah telinganya.“Aku enggak mau hari ini selesai,” bisik Amara pelan, seolah takut suara bisa merusak sihir pagi itu.Arga, yang ternyata sudah bangun namun enggan beranjak, membuka matanya dan mengusap punggung Amara lembut. “Kita masih punya beberapa hari. Bahkan kalau kamu mau… kita enggak usah pulang dulu.”Amara tersenyum. “Nanti kamu bisa dipecat.”“Siapa yang mau pecat CEO?” balas Arga santai, membuat Amara terkekeh dan menyembunyikan wajahnya di dada pria itu.“Lima menit lagi aja ya,” kata Amara.“Kalau lima belas meni
Setelah sarapan pagi keesokan harinya, Arga membawa Amara checkout dari resort itu padahal Amara masih betah, dia belum menikmati kolam renang dan kenyaman kamar di resort tersebut.Mereka cukup lama berkendara dengan jalur menanjak hingga Amara merasakan udara dingin membelai pipinya melalui jendela yang sengaja dia buka.“Jadi, dari laut kita naik ke gunung?” Amara membuka suaranya setelah lama mereka hanya diam sibuk dengan benak masing-masing.“Tadinya aku spent sampai kita pulang nanti di resort sebelumnya, tapi kayanya pegunungan cocok untuk honeymoon,” kata Arga dari balik kaca mata hitamnya yang Amara duga sedang menatapnya penuh minat.Amara memalingkan wajah ke arah lain menahan senyum.“Enggak perlu ke Bali untuk honeymoon, semenjak kita menikah—kita udah langsung honeymoon,” gumam Amara menahan senyum.Arga terkekeh, dia merangkul pundak Amara dan membawa kepala istri tercintanya itu bersandar di pundaknya.Driver yang mengemudi di depan melirik melalui kaca spion t
Gunawan mengaduk es teh lemon yang nyaris mencair, wajahnya tampak kesal karena putra sambungnya selalu membela Amara. Tidak lama setelah Cassandra kembali dari yang katanya mengangkat panggilan telepon, Gunawan buka suara lagi.“Kita ke Surabaya dulu setelah dari sini,” ujar Gunawan dengan nada yang berusaha terdengar biasa saja.“Ada rapat penting sama mitra lama kita, dan Ayah mau kamu hadir langsung. Cassandra juga ikut, kebetulan dia punya agenda pitching ke salah satu perusahaan properti digital di sana,” sambung Gunawan terdengar seperti sebuah perintah.Arga hanya mengangkat satu alis. “Zeno bisa gantiin.”Gunawan berhenti mengaduk minumannya. “Maksud kamu?”“Zeno udah tahu semua agenda meeting. Proposal pun dia yang rancang. Jadi logisnya, dia yang handle. Aku enggak bisa ikut.”Cassandra langsung menoleh cepat. “Tapi ini penting, Ga. Kamu sendiri yang bilang, proyek di Surabaya bisa jadi langkah besar untuk ekspansi.”“Benar,” jawab Arga santai. “Makanya aku percaya
“Arga! Tunggu!” seru Cassandra, melangkah cepat menyusul Arga di lorong menuju ke kamar.Arga terus melangkah tapi Cassandra berhasil meraih pergelangan tangannya lalu pria itu menghela kasar.“Apaan sih!” serunya dengan ekspresi wajah tidak bersahabat.“Semenjak sampai di Bali kita belum bicara Arga, tadi siang kamu ngelengos gitu saja waktu ayah ibu kamu minta kita duduk berdua untuk ngobrol,” kata Cassandra melotot.“Terus kenapa? Kalau enggak ada urusan ngapain ngobrol … lagian kamu lupa sama kelakuan kamu waktu itu di kantor sampai nyaris membuat rumah tangga aku berantakan? Kamu enggak malu, Cassandra? Apa maksud kamu, hah?” Arga mengkonfrontasi sembari maju selangkah membuat Cassandra mundur selangkah.“Aku … aku hanya enggak mau kamu dimanfaatkan Amara … aku menduga, dia memberikan tubuhnya untuk membayar hutang adiknya, kan?” Pernyataan Cassandra itu membuat kening Arga mengernyit.“Kenapa kamu berpikir seperti itu?” Cassandra langsung gelagapan. “Emmm … ituuu … aku
Pagi itu, langit Bali seolah mengerti semangat yang sedang tumbuh. Matahari belum terlalu tinggi, namun lapangan rumput di sisi resort sudah penuh oleh karyawan CitraKredit yang mengenakan kaus berlogo perusahaan. Tenda-tenda kecil berjajar rapi, dipenuhi aneka makanan ringan, minuman segar, dan hadiah lomba.Amara duduk di samping Arga, mengenakan celana panjang linen putih dan blus biru muda, wajahnya segar dan cerah. Arga sendiri tampil santai dalam kemeja putih lengan pendek dan celana chino navy. Meski terlihat dingin seperti biasa, pria itu tak pernah jauh dari sisi Amara.Suasana gathering meriah. Ada lomba tarik tambang, balap karung, hingga estafet antar-departemen yang mengundang tawa. Karyawan bersorak-sorai, para petinggi perusahaan duduk di tenda VIP sambil memantau—termasuk Gunawan, Laraswati, Vikram dan Lavina. Musik akustik Bali dengan irama kecapi dan gamelan modern mengalun lembut, menciptakan suasana eksklusif namun tetap santai. Aroma sate lilit dan kopi Bali m