Suasana kantor CitraKredit siang itu terasa sedikit lebih lengang dari biasanya.Mungkin karena aura aneh yang perlahan menyelimuti koridor setelah berita pernikahan Arga Bagaskara dan Alena Wibisono tersebar luas.Arga baru saja menyelesaikan rapat singkat dengan divisi kredit mikro, dan kini kembali ke ruangannya. Kemejanya sedikit tergulung di lengan, jas disampirkan di sandaran kursi, dasi dilonggarkan. Penat belum benar-benar pergi dari wajahnya, tapi matanya tetap fokus menatap layar laptop.Pintu ruangannya diketuk.“Masuk,” ucap Arga tanpa mengalihkan pandangan.Pintu terbuka perlahan dan seorang wanita berpenampilan rapi melangkah masuk. Blazer putih gading membungkus tubuh rampingnya, rambut hitam tergerai elegan di bahu. Senyuman tipis menghiasi wajah cantiknya yang keras dan jutek dan sekarang ada kilat berbeda di matanya.Cassandra Wibisono.Arga mengangkat alis, sedikit terkejut. “Cassandra?”Cassandra melangkah lebih dalam, menutup pintu di belakangnya.“Urusan
Di sebuah lounge hotel, Cassandra Wibisono duduk santai dengan kacamata hitam besar menutupi setengah wajahnya. Gaun hitam sederhana melekat pas di tubuhnya, mempertegas aura dingin dan tajam yang memancar darinya.Udara Jakarta siang itu terasa berat, mendung bergelayut di langit, seolah menyimpan hujan yang enggan turun.Di hadapan Cassandra sekarang, seorang pria muda duduk santai, mengenakan hoodie abu-abu pudar, celana jins, dan sneakers lusuh. Rendy Ramadhan Kusuma.Di antara mereka, dua cangkir kopi yang nyaris tak tersentuh.Cassandra menyilangkan kaki, lalu melepaskan kacamata hitamnya perlahan, memperlihatkan tatapan tajam dan penuh perhitungan.“Kamu yakin bisa dipercaya, Rendy?” tanyanya pelan, hampir seperti bisikan. Tapi kata-katanya menusuk, tidak memberi ruang untuk keraguan.Rendy menyeringai kecil, merebahkan tubuhnya ke sandaran kursi. “Bukannya kamu sudah tahu jawaban itu dari semalam?”Senyum Cassandra melengkung dingin, mengingat betul ‘transaksi’ mereka s
FLASHBACK ONUdara di kamar pengantin terasa pekat, berat, seperti dipenuhi ribuan kata-kata tak terucapkan yang menggantung di antara dinding marmer dan jendela kaca setinggi langit-langit.Lilin aromaterapi sudah hampir padam, menguarkan sisa wangi vanilla yang terasa hambar, bahkan memuakkan bagi Alena yang kini berdiri terpaku di tengah kamar.Tubuhnya masih terbungkus jubah satin putih tipis. Rambut panjangnya tergerai, sebagian sudah kusut karena tangan-tangan gelisah yang tak tahu harus melakukan apa.Pintu kamar mandi baru saja terayun perlahan. Dari baliknya, Arga muncul, bukan dalam piyama seperti yang semestinya, melainkan masih dengan kemeja putih dan celana hitam dari pesta tadi. Lengan kemejanya tergulung asal, dasi sudah tidak ada, rambutnya tampak berantakan, basah oleh percikan air.Matanya kosong.Wajahnya datar.Tanpa sepatah kata pun, Arga berjalan melintasi kamar, tidak mendekat pada Alena, tidak menatapnya. Langsung ke meja kecil tempat ia melemparkan jas
Suasana hotel bintang lima di pusat Jakarta terasa lebih sunyi setelah hiruk-pikuk pesta pernikahan tadi.Dari luar jendela suite mewah lantai empat puluh delapan itu, pemandangan lampu-lampu kota Jakarta terbentang bagai lautan bintang. Gemerlap, memabukkan, sekaligus terasa begitu jauh dan dingin.Pintu kamar terbuka dengan suara pelan.Arga melangkah masuk lebih dulu, jas hitamnya sudah dilepas, tersampir di lengannya. Sepasang sepatu hitam berkilat menginjak karpet tebal berwarna krem pucat. Tubuhnya tampak tegang, bahunya kaku, langkahnya berat seperti menahan sesuatu.Di belakangnya, Alena berjalan dengan langkah ringan. Gaun pengantin putih bersiluet A-line itu menyapu lantai, berkilauan lembut di bawah cahaya lampu gantung kristal.Kamar itu sendiri adalah definisi romantis; langit-langit tinggi, dinding dihiasi panel kayu gelap dan marmer putih. Sebuah ranjang king-size dengan tirai tipis menjuntai seperti kanopi di ujung ruangan. Di atas tempat tidur, kelopak mawar mera
Di ruang televisi rumahnya yang sepi, Amara duduk bersandar di sofa dengan selimut tipis membalut tubuhnyaDi pangkuan, semangkuk kecil sup hangat buatan bi Eti nyaris tak tersentuh.Udara sore yang mendung mempertebal perasaan murung di hatinya.Televisi di depannya menyala. Awalnya hanya sebagai pengisi kekosongan, tapi tanpa sengaja channel berganti ke program infotainment yang tengah menayangkan berita besar hari ini.“Acara pernikahan spektakuler antara CEO muda tampan, Arga Bagaskara dan pewaris Wibisono Group, Alena Wibisono, menjadi sorotan utama hari ini!”Suara ceria presenter itu menusuk telinga Amara. Dia meremas sudut selimut, tapi tetap memandang layar.Gambar berganti. Cuplikan video resepsi mewah, kilatan lampu kamera, senyuman para undangan ternama.Lalu—momen yang menghantam jantung Amara tanpa ampun.Arga, dalam setelan tuxedo hitam klasik, berdiri di pelaminan di samping Alena yang mengenakan gaun putih berkilauan. Di hadapan tamu undangan dan lensa kamera,
Di salah satu penthouse mewah di pusat kota, suara benda keras terdengar membentur dinding.Cassandra Wibisono mengamuk. Gaun satin yang melekat di tubuhnya tampak berantakan, wajah cantiknya merah padam karena marah.“Atah melarang aku datang ke pernikahan Alena?” bentaknya, suaranya menggema di ruangan.Di tangan kirinya, selembar undangan yang sudah kusut. Ia melemparnya ke lantai, napasnya memburu cepat.Margaret dan Bernardus Wibisono memutuskan—atas nama menjaga citra keluarga—bahwa Cassandra tidak boleh hadir di pernikahan Alena dan Arga. Mereka tak mau ada drama, tak mau risiko reputasi. Lagi pula, semua orang tahu sejarah Cassandra dengan Arga.Diusir secara halus, diasingkan oleh keluarganya sendiri. Cassandra mendidih. Amarah mendesak ke permukaan.Tiba-tiba suara bel pintu berbunyi.“Siapa yang datang?” sentaknya kesal.Cassandra berjalan ke pintu, menghentak. Dibukanya dengan kasar.Di balik pintu, berdiri seorang pria muda. Wajah tampan itu terbingkai rambut ber