Pagi menyapa rumah itu tanpa suara. Tak ada burung. Tak ada suara teko air. Hanya matahari yang menembus kaca lebar di sisi ruang makan, menyorot meja marmer panjang yang masih kosong. Amara sudah bangun sejak pukul lima. Tubuhnya masih terasa pegal dan nyeri di beberapa bagian, tapi ia menahan semua itu. Tak ada ruang untuk merengek dalam peran yang dipilihnya sendiri. Ia berdiri di dapur, masih mengenakan daster satin seksi tadi malam hanya saja sekarang dibalut nightrobe dengan bahan dan warna yang sama, rambutnya dikuncir longgar, aroma minyak kayu putih samar masih tercium dari kulitnya. Ia menanak nasi, menggoreng telur, dan menumis sayur sawi putih yang dibumbui kaldu. “Istri kontrak pun tetap harus bisa masak,” gumamnya pelan sambil mengaduk wajan. Pukul enam kurang sepuluh, suara langkah kaki terdengar dari tangga. Amara memalingkan wajah. Tatapannya bersirobok dengan Arga yang menggunakan kaus hitam tipis dan celana jogger abu-abu. Rambutnya sedikit beran
Pukul tujuh tiga puluh pagi, Amara berdiri di halte kecil di depan cluster elite tempat ia tinggal. Rambutnya dikuncir rapi, blazer biru muda membalut tubuh mungilnya, dan wajahnya hanya dilapisi bedak tipis. Taksi online tiba dan ia masuk dengan senyum tipis pada sopir. Sepanjang perjalanan ke sekolah tempatnya mengajar, Amara hanya menatap keluar jendela, mencoba membaurkan diri dengan lalu lintas Jakarta yang padat dan penuh suara. “Di luar sini, semua orang berjalan seperti biasa. Tak satu pun tahu aku sudah menjadi istri seseorang … tanpa cinta.” Amara membatin. Setibanya di sekolah, beberapa murid melambai ramah. Tapi ada satu-dua tatapan bingung saat mereka melihat cincin di jari manisnya. “Bu Amara udah nikah?” bisik salah satu murid perempuan. Amara pura-pura tak dengar. Ia tersenyum lalu masuk ke ruang guru dan langsung disambut pelukan ringan dari Rania. “Kamu kelihatan lelah, Amara.” Amara hanya tersenyum tipis. “Baru adaptasi. Banyak hal baru yang haru
Pagi itu, Amara duduk di ujung ranjangnya dengan wajah sendu. Cahaya matahari masuk pelan lewat tirai tipis, menyinari pigura kecil yang tergenggam erat di tangannya.Foto keluarga.Ayahnya mengenakan kemeja kotak-kotak, tersenyum lebar dengan tangan memegang bahu Amara kecil yang waktu itu masih berseragam SMA. Di sampingnya, sang ibu memeluk bahu Amara dari belakang. Dan Rendy ada di sampingnya, wajah sang adik masih polos belum mengenal dunia yang kotor.Mereka berdiri di depan toko kelontong sederhana, rumah usaha keluarga yang menjadi pusat kehidupan mereka bertahun-tahun.Kini, semuanya tinggal kenangan.Amara menyentuh permukaan kaca pigura itu dengan jari pelan. Setiap detail wajah orangtuanya masih terekam kuat dalam pikirannya.“Kalau Ayah masih hidup… pasti aku enggak akan berakhir seperti ini,” gumamnya lirih.[FLASHBACK – lima tahun lalu]Amara berdiri di tengah toko, menatap rak kosong yang dulunya penuh dengan beras, minyak, dan mi instan. Ayahnya duduk di bangk
Amara masuk ke kamarnya malam itu dengan lelah yang bukan sekadar fisik. Ia membuka pigura foto keluarga yang tadi pagi sempat ia peluk, lalu meletakkannya kembali ke nakas.Ia duduk di ranjang. Diam. Tak menangis. Tapi matanya kosong.“Mungkin aku harus belajar untuk tak merasa sama sekali.”“Karena di dunia ini, perasaan yang paling menyakitkan adalah… ketika kamu masih berharap, tapi sudah tahu akhirnya.”Tangannya menggenggam seprai. Denting jam berdetak pelan, seperti menyindir kesepian yang semakin dalam. Di lantai bawah, semua lampu sudah mati. Suara langkah kaki pun nyaris tak terdengar.Tok. Tok.Pintu kamarnya diketuk dua kali. Lembut tapi tak ragu.Amara menoleh perlahan. Napasnya menggantung.“Amara.” suara Arga terdengar dari balik pintu. Datar, seperti biasa. Tapi entah kenapa, malam ini terdengar sedikit lebih… berat.Amara berdiri dan membuka pintu. Arga berdiri di sana, hanya mengenakan kaus tipis dan celana panjang rumah. Wajahnya teduh, tak semarah tadi saa
Amara nyaris terlambat ke sekolah hari ini karena tadi air tiba-tiba mati dan dia harus cosplay jadi tukang ledeng, berbekal video YouTube akhirnya dia bisa membereskan masalah itu karena ternyata filter airnya mampet dan mau tidak mau Amara harus mengurasnya dulu.Apa sih yang tidak bisa Amara lakukan?Sesampainya di sekolah dengan tubuh sedikit berkeringat dan lelah yang terasa di sekujur tubuh, Amara berjalan menyusuri koridor dan buku catatan di pelukannya.Suasana jam pertama masih sepi. Suara tawa siswa terdengar di kejauhan dan aroma kapur tulis bercampur wangi kopi dari ruang guru menyambutnya begitu masuk.Rania sudah duduk di mejanya, menatap Amara sambil mengangkat alis saat dia datang.“Kamu pasti abis jadi asisten rumah tangga seksi ya?” seloroh Rania, mencoba mencairkan suasana.Amara tertawa kecil. “Memangnya aku seksi?”Rania mengangguk pelan. “Tapi serius, Ra… kamu makin beda. Dulu kamu paling cerewet soal anak-anak bolos, guru yang malas ngoreksi, bahkan soal
Amara yang baru kembali dari kamarnya mengambil sweater kini telah duduk di kursi meja makan.Di hadapannya, kartu ATM berwarna hitam tergeletak di atas meja, sunyi—tapi penuh beban.Tanggal pernikahan mereka menjadi PIN.Simbol bahwa meskipun status mereka hanya kontrak, Arga mengikatnya dalam bentuk yang tak biasa: tanggung jawab.Amara menggenggam kartu itu, menghela napas.“Dulu aku cuma butuh uang untuk menebus utang Rendy… sekarang, aku mulai bingung, sebenarnya aku ini istri, asisten rumah tangga, atau manajer keuangan?”Langkah kaki terdengar dari arah dapur. Arga datang dengan dua gelas jus jeruk dan dua mangkuk bubur ayam hangat dari restoran langganan yang baru diantarkannya tadi lewat layanan pesan antar.“Buburnya jangan lupa diaduk. Telurnya di bawah,” ucap Arga datar, meletakkan mangkuk di depan Amara tanpa menatap.Amara meliriknya sesaat sebelum mengambil sendok.Senyap. Hanya suara kicau burung dan sesekali suara sendok bergesekan dengan mangkuk.Amara meli
Chapter 10 – Di Balik Sorotan dan Undangan LamaMobil sedan hitam Arga meluncur tenang di jalanan menuju sekolah tempat Amara mengajar. Amara duduk tenang di kursi penumpang, tatapannya kosong ke luar jendela dengan kedua tangan saling terpaut di atas pangkuan. Selama perjalanan, Arga tak banyak bicara. Hanya sesekali melirik ke arah Amara.Arga harus menginjak pedal rem karena lampu lalu lintas berubah merah.Dia kembali melirik Amara, ekspresi wajahnya tak terbaca. Arga tidak bisa membaca apa yang sedang Amara pikirkan.Tapi satu yang pasti, wajah putih mulus dengan hidung mancung dan bulu mata lentik itu tidak menggunakan make up berlebihan tapi Amara kelihatan … cantik.Tiba-tiba Amara menoleh membuat tatapan mereka bersirobok.“Kenapa?” tanyanya datar.Arga mengalihkan pandangannya setenang mungkin ke depan tanpa menjawab pertanyaan Amara.Lalu Amara mengeluarkan sebuah notebook setelahnya tenggelam dalam dunianya sendiri sibuk mengecek catatan rencana pelajaran hari in
Aroma makanan yang baru saja diantar memenuhi ruang makan rumah Arga. Di atas meja makan, empat kotak makanan dari restoran seafood terkenal tersusun rapi. Amara membuka satu persatu kotaknya. Udang saus padang, cumi goreng tepung, capcay kuah, dan seporsi nasi putih hangat dengan telur dadar.Arga datang dengan langkah ringan dari lantai dua, rambutnya basah karena habis mandi, kaos polos berwarna navy membungkus tubuhnya begitu sempurna ia. Pandangannya tertuju pada makanan.“Wangi banget … kamu yang pesan?” tanya Amara basa-basi begitu dia menangkap sosok Arga. “Memangnya kelihatan aku yang masak?” Arga menjawab ketus tanpa menoleh.Amara hanya tersenyum kecil, lalu mengambil sendok. Perutnya sudah keroncongan sejak siang tadi.Namun saat membuka kotak berisi udang saus padang, Amara mendadak ragu.“Aku… alergi udang sebenarnya,” katanya pelan, hampir seperti berbicara dengan dirinya sendiri.Arga yang duduk di seberang langsung berhenti mengunyah. “Lalu kenapa dipegang?”
Hari-hari di Jakarta kembali berjalan cepat, tapi bagi Amara, waktu seakan terseret perlahan. Ada yang berubah dalam dirinya—bukan hanya karena kelelahan, tapi karena beban rahasia yang membeku dalam dada.Pagi itu, Amara dan Arga duduk berhadapan di meja makan. Roti panggang, telur orak-arik, dan segelas jus jeruk tersaji. Tapi Amara lebih sering menatap piringnya ketimbang makan.Arga mengerutkan kening. “Kamu enggak suka menunya? Biasa juga makan ini.”Amara tersentak. “Eh… suka kok. Aku… cuma enggak laper aja.”Arga tak menjawab, hanya memandangi wajah Amara yang tampak letih, bibirnya sedikit pecah, dan pandangan yang seperti melayang entah ke mana.“Kamu sakit?” Arga mengulurkan tangan melewati meja hingga punggung tangannya menyentuh kening Amara.“Enggak.” Amara menggeleng pelan dengan senyum di bibirnya.“Nanti kamu laper di sekolah, kamu ngajar sampai sore, kan?” “Iya ….” “Kalau gitu habiskan,” kata Arga mengendik ke piring Amara dengan nada memerintah.Terpaksa
Kabut pagi di Ubud masih menggantung rendah, menyelimuti persawahan seperti selimut lembut. Arga masih tertidur di ranjang, wajahnya damai di bawah sinar keemasan yang menerobos celah tirai. Amara berdiri di depan cermin, mengenakan blus putih dan celana longgar krem, rambutnya dikepang rapi ke samping.Dia menatap pantulan dirinya lama.“Aku bisa selesaikan ini sendiri,” gumamnya, lebih seperti meyakinkan diri.Amara melangkah menuju pintu keluar.“Sayang, mau ke mana?” suara Arga terdengar dari balik selimut.Amara menoleh, tersenyum. “Aku mau ke pasar sebentar. Cari titipan oleh-oleh buat teman guru di sekolah.”Arga mengangguk kecil, matanya masih berat. “Pakai jaket, dingin.”Amara menyahut pelan, lalu segera pergi. Amara berjalan cepat menyusuri trotoar kecil di dekat jalan utama Ubud. Dia ingat ada ATM dekat sana.Pagi itu masih sepi, hanya beberapa toko yang baru membuka rolling door, dan suara motor jarang terdengar.Kini, di saku tas rotannya, segepok uang tunai s
Mentari pagi menyusup dari celah tirai kayu, menyentuh kulit Amara yang masih bersandar di dada Arga. Nafas mereka perlahan, nyaris bersatu dalam irama tidur yang damai. Seprei linen berantakan menutupi separuh tubuh mereka, sisa malam penuh keintiman yang terasa berbeda dari sebelumnya—lebih dalam, lebih bermakna.Amara membuka mata pelan. Detik pertama yang ia lihat adalah rahang Arga yang kokoh, lehernya yang hangat, dan detak jantung yang stabil di bawah telinganya.“Aku enggak mau hari ini selesai,” bisik Amara pelan, seolah takut suara bisa merusak sihir pagi itu.Arga, yang ternyata sudah bangun namun enggan beranjak, membuka matanya dan mengusap punggung Amara lembut. “Kita masih punya beberapa hari. Bahkan kalau kamu mau… kita enggak usah pulang dulu.”Amara tersenyum. “Nanti kamu bisa dipecat.”“Siapa yang mau pecat CEO?” balas Arga santai, membuat Amara terkekeh dan menyembunyikan wajahnya di dada pria itu.“Lima menit lagi aja ya,” kata Amara.“Kalau lima belas meni
Setelah sarapan pagi keesokan harinya, Arga membawa Amara checkout dari resort itu padahal Amara masih betah, dia belum menikmati kolam renang dan kenyaman kamar di resort tersebut.Mereka cukup lama berkendara dengan jalur menanjak hingga Amara merasakan udara dingin membelai pipinya melalui jendela yang sengaja dia buka.“Jadi, dari laut kita naik ke gunung?” Amara membuka suaranya setelah lama mereka hanya diam sibuk dengan benak masing-masing.“Tadinya aku spent sampai kita pulang nanti di resort sebelumnya, tapi kayanya pegunungan cocok untuk honeymoon,” kata Arga dari balik kaca mata hitamnya yang Amara duga sedang menatapnya penuh minat.Amara memalingkan wajah ke arah lain menahan senyum.“Enggak perlu ke Bali untuk honeymoon, semenjak kita menikah—kita udah langsung honeymoon,” gumam Amara menahan senyum.Arga terkekeh, dia merangkul pundak Amara dan membawa kepala istri tercintanya itu bersandar di pundaknya.Driver yang mengemudi di depan melirik melalui kaca spion t
Gunawan mengaduk es teh lemon yang nyaris mencair, wajahnya tampak kesal karena putra sambungnya selalu membela Amara. Tidak lama setelah Cassandra kembali dari yang katanya mengangkat panggilan telepon, Gunawan buka suara lagi.“Kita ke Surabaya dulu setelah dari sini,” ujar Gunawan dengan nada yang berusaha terdengar biasa saja.“Ada rapat penting sama mitra lama kita, dan Ayah mau kamu hadir langsung. Cassandra juga ikut, kebetulan dia punya agenda pitching ke salah satu perusahaan properti digital di sana,” sambung Gunawan terdengar seperti sebuah perintah.Arga hanya mengangkat satu alis. “Zeno bisa gantiin.”Gunawan berhenti mengaduk minumannya. “Maksud kamu?”“Zeno udah tahu semua agenda meeting. Proposal pun dia yang rancang. Jadi logisnya, dia yang handle. Aku enggak bisa ikut.”Cassandra langsung menoleh cepat. “Tapi ini penting, Ga. Kamu sendiri yang bilang, proyek di Surabaya bisa jadi langkah besar untuk ekspansi.”“Benar,” jawab Arga santai. “Makanya aku percaya
“Arga! Tunggu!” seru Cassandra, melangkah cepat menyusul Arga di lorong menuju ke kamar.Arga terus melangkah tapi Cassandra berhasil meraih pergelangan tangannya lalu pria itu menghela kasar.“Apaan sih!” serunya dengan ekspresi wajah tidak bersahabat.“Semenjak sampai di Bali kita belum bicara Arga, tadi siang kamu ngelengos gitu saja waktu ayah ibu kamu minta kita duduk berdua untuk ngobrol,” kata Cassandra melotot.“Terus kenapa? Kalau enggak ada urusan ngapain ngobrol … lagian kamu lupa sama kelakuan kamu waktu itu di kantor sampai nyaris membuat rumah tangga aku berantakan? Kamu enggak malu, Cassandra? Apa maksud kamu, hah?” Arga mengkonfrontasi sembari maju selangkah membuat Cassandra mundur selangkah.“Aku … aku hanya enggak mau kamu dimanfaatkan Amara … aku menduga, dia memberikan tubuhnya untuk membayar hutang adiknya, kan?” Pernyataan Cassandra itu membuat kening Arga mengernyit.“Kenapa kamu berpikir seperti itu?” Cassandra langsung gelagapan. “Emmm … ituuu … aku
Pagi itu, langit Bali seolah mengerti semangat yang sedang tumbuh. Matahari belum terlalu tinggi, namun lapangan rumput di sisi resort sudah penuh oleh karyawan CitraKredit yang mengenakan kaus berlogo perusahaan. Tenda-tenda kecil berjajar rapi, dipenuhi aneka makanan ringan, minuman segar, dan hadiah lomba.Amara duduk di samping Arga, mengenakan celana panjang linen putih dan blus biru muda, wajahnya segar dan cerah. Arga sendiri tampil santai dalam kemeja putih lengan pendek dan celana chino navy. Meski terlihat dingin seperti biasa, pria itu tak pernah jauh dari sisi Amara.Suasana gathering meriah. Ada lomba tarik tambang, balap karung, hingga estafet antar-departemen yang mengundang tawa. Karyawan bersorak-sorai, para petinggi perusahaan duduk di tenda VIP sambil memantau—termasuk Gunawan, Laraswati, Vikram dan Lavina. Musik akustik Bali dengan irama kecapi dan gamelan modern mengalun lembut, menciptakan suasana eksklusif namun tetap santai. Aroma sate lilit dan kopi Bali m
Langkah mereka menyusuri lorong hotel terasa lebih sunyi dari biasanya. Seolah dunia memutuskan untuk memberi ruang hanya bagi mereka berdua. Arga berjalan setengah langkah di depan, tangannya tetap menggenggam jemari Amara—erat, hangat, tidak tergesa.Sesampainya di kamar, lampu tidak langsung dinyalakan. Cahaya remang dari balkon cukup menerangi siluet ruangan. Ombak masih terdengar samar di kejauhan, menjadi alunan latar bagi detak jantung yang mulai berpacu.Arga menutup pintu. Sunyi seketika melingkupi mereka.Amara menoleh pelan, menatap wajah Arga yang kini hanya berjarak beberapa jengkal darinya. Tatapan pria itu tidak lagi datar. Ada sesuatu yang berubah—lebih dalam, lebih nyata.“Terima kasih untuk pesta ulang tahun kecilnya, sangat berarti untuk aku, Ga …,” bisik Amara, suaranya nyaris tak terdengar.Arga tidak menjawab. Ia hanya mengangkat tangan, menyentuh pipi Amara dengan telapak hangatnya. Sentuhan yang tidak memaksa, tapi membuat tubuh Amara merespons dengan berg
Suara dering ponsel Arga dari atas meja bar membuat Amara menoleh. Ia baru saja selesai menekan tombol start pada mesin cuci ketika Arga turun dari tangga, sudah berpakaian rapi dengan kemeja putih dan celana chino abu-abu yang membuatnya tampak santai tapi tetap karismatik. Bi Eti tidak datang lagi, katanya sakit sehingga Amara yang menggantikannya mengerjakan pekerjaan rumah pagi ini. “Ra,” panggil Arga sembari meraih ponsel lalu datang menghampiri. Amara menyeka tangannya menggunakan handuk kecil, masih berdiri di depan mesin cuci. “Ya?” “Kita harus ke Bali besok pagi,” kata Arga tanpa basa-basi. Amara mengerjap. “Besok pagi?” suaranya meninggi. “Kamu serius?” Arga mengangguk singkat. “Gathering tahunan CitraKredit, sekalian ulang tahun perusahaan. Ayah dan ibu akan hadir juga. Vikram sama istrinya datang. Jadi … kamu harus ikut.” Amara menghela napas panjang, dia tahu kalau dia dikontrak untuk menemani Arga, menjadi pendamping pria itu tapi, “Kenapa baru bil