Share

Rumah Yang Sunyi

Author: Erna Azura
last update Last Updated: 2025-04-07 20:19:05

Langit Jakarta sudah berwarna abu keunguan saat Amara turun dari ojeg online di depan sebuah cluster elite yang senyap. Petugas keamanan di pos masuk memeriksa wajahnya sesaat, lalu membuka portal otomatis dengan anggukan singkat.

Rumah Arga berada di blok paling ujung. Bentuknya minimalis-modern, dengan dinding kaca besar dan cat abu muda. Tak ada pagar tinggi. Hanya sensor gerak di teras, dan CCTV di empat sudut. Seperti pria yang menempatinya—tenang di luar, tapi mengawasi setiap inci.

Amara membuka pintu menggunakan sidik jari, seperti yang telah diatur Zeno-asistennya Arga.

Begitu masuk, aroma ruang kosong langsung menyambutnya. Ia berdiri di tengah ruang tamu yang bersih, terlalu rapi, terlalu hening.

Tidak ada staf rumah tangga. Tidak ada suara penggorengan. Tidak ada aroma nasi.

Ia melepas sepatu lalu menaiki anak tangga menuju ke kamarnya.

Kamar tamu yang cukup luas dengan ranjang queen-size, lemari, dan satu jendela besar menghadap halaman belakang. Sepi. Dingin.

Amara menatap koper yang belum dibuka. Lalu memutuskan turun kembali ke dapur.

Dapur terbuka. Lemari steril. Wastafel bersih. Kompor tanam menyala otomatis.

Ia membuka kulkas. Ada beberapa bahan dasar: telur, roti, dada ayam beku dan sayur segar yang sepertinya baru dimasukkan pagi tadi. Mungkin oleh Zeno atau kurir online.

Amara menyingsingkan lengan seragam kerjanya dan mulai memasak. Memotong sayur, menggoreng telur, menanak nasi di rice cooker mungil yang terletak di sudut.

“Selamat datang di kehidupan istri kontrak,” gumamnya lirih.

Saat semuanya matang, ia menata piring hanya untuk satu orang. Karena Arga bilang akan pulang malam, dan ia terlalu lelah untuk pura-pura jadi istri penuh.

Amara makan sendiri di meja makan. Sunyi. Lampu gantung menyala kuning temaram, bayangan tubuhnya menyatu dengan meja kayu yang dingin.

“Rumah ini seperti museum. Cantik tapi tak berjiwa.” Dia menggerutu.

Setelah makan, Amara mencuci piring, menyapu lantai, bahkan sempat melap permukaan meja dapur. Ia terbiasa mengurus rumah, tapi di sini… ia merasa seperti pembantu yang dibayar dengan harga tubuh.

Jam delapan malam, Amara naik ke kamar. Mandi. Mengenakan piyama satin biru yang telah disiapkan dalam lemari. Menyemprotkan sedikit parfum vanila.

Lalu duduk menanti.

Malam ini adalah malam pertama yang mereka sepakati dalam kontrak.

Setiap detik seperti berdetak terlalu nyaring.

Setengah sembilan.

Sembilan lewat lima.

Setengah sepuluh.

Amara berdiri di dekat jendela, menatap ke bawah. Tak ada suara mobil. Tak ada tanda kehidupan.

“Dia bilang akan pulang malam… kalau sibuk kenapa enggak bilang kalau malam pertamanya besok aja.” Amara menggerutu, dia lelah menunggu.

Eh, tapi. Kenapa dia jadi bersemangat?

Amara hanya ingin tugasnya selesai, dia orang yang penuh tanggung jawab.

Ia menyalakan lampu meja. Menyandarkan kepala ke ranjang. Tapi tubuhnya terlalu tegang untuk bisa rebah tenang.

Lalu…

Bunyi mesin mobil diikuti suara pintu tertutup.

Langkah kaki mendekat. Pintu utama terbuka, lalu tertutup pelan.

Langkah itu menaiki tangga.

Berhenti.

Lalu—

Tok.Tok

Pintu kamar diketuk dua kali.

Amara menahan napas. Pintu terbuka perlahan.

Arga berdiri di ambang pintu. Kemeja putihnya masih membalut tubuh, tapi lengannya digulung. Tatapannya menyisir tubuh Amara dari atas ke bawah.

“Kamu siap?”

Suara itu datar, namun ada bara yang menunggu menyala.

Dan Amara tahu…

Inilah awal malam yang tak bisa lagi ia tolak.

***

Amara berdiri di depan cermin, hanya mengenakan daster tipis berbahan satin warna biru muda. Rambutnya tergerai, tubuhnya diam mematung di kamar yang asing.

Dan ketika pintu terbuka perlahan, suara langkah kaki berat itu terdengar seperti palu pemutus takdir.

Arga berdiri di ambang pintu. Masih mengenakan kemeja kerja putih, lengan digulung sampai siku. Tatapannya tidak menilai, tapi… menuntut.

“Kamu siap?”

Pertanyaan Arga itu membuat tubuh Amara menegang.

“Buka bajunya.” Suaranya rendah, nyaris perintah.

Amara memejamkan mata sejenak. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu duduk di ujung ranjang dengan raut wajah penuh keraguan.

“Kamu udah minum pil KB?”

“Udah,” jawab Amara lirih.

“Kalau begitu, mari kita mulai bagian dari kontrak yang paling penting ini.”

Jari-jarinya menyentuh dagu Amara. Mengangkat wajah itu agar menatapnya. Ia tidak menemukan ketakutan di sana, hanya pasrah. Tapi pasrah bukan tunduk. Itu… bertahan.

Lalu jarinya menyentuh bahu Amara, menyeret tali tipis dasternya ke bawah. Kulit bersentuhan. Suhu ruangan seolah berubah drastis.

Satu yang Arga bisa nilai dari fisik Amara adalah sempurna, parasnya yang cantik dan tubuhnya putih mulus.

“Saya enggak akan menyakiti kamu … tapi saya juga enggak akan memanjakanmu,” bisiknya tepat di dekat telinga Amara.

Amara menahan napas.

Arga menunduk, mengecup bibir Amara pelan. Sekali. Lalu lagi. Dan berubah—keras, dalam, menuntut.

Amara terkesiap, tangannya mencengkeram seprai. Punggungnya refleks mundur, Arga mendorongnya pelan hingga punggungnya menyentuh kasur.

“Jangan berpikir,” bisik Arga. “Tubuhmu tahu bagaimana caranya menikmati.”

Daster itu tersingkap perlahan, kain satin jatuh dari pundak, menyingkap kulit putih yang gemetar. Arga mengecup tulang selangka Amara, lidahnya bermain sesaat, membuat napasnya terhenti.

Dan di saat yang bersamaan Arga menanggalkan seluruh pakaiannya.

Amara menutup mata. Ia benci bagaimana tubuhnya bereaksi.

Jantungnya berdetak lebih cepat. Tubuhnya panas. Dadanya naik turun. Tapi otaknya… kosong. Ia bukan kekasih. Ia bukan pasangan. Ia hanya istri kontrak.

“Kalau kamu merasa ini salah,” bisik Arga di telinganya, “Memohon lah agar saya berhenti. Tapi kalau kamu enggak menolak… saya akan menganggap kamu menerimanya.”

Amara membuka mata. Menatap pria itu lekat-lekat. “Saya… enggak akan lari dari tanggung jawab.”

Itu cukup.

Saat bibir Arga mendarat di lehernya, bukan rasa manis yang menyambut—tapi panas. Terbakar. Dingin yang berubah jadi bara hanya dalam hitungan detik.

Sentuhan pria itu kasar. Rakus. Tapi bukan tanpa arah.

Amara ingin menolak. Ingin menarik diri. Namun tubuhnya lemas. Dan matanya tak mampu menatap balik.

Arga mencium bibirnya lagi kali ini lebih keras, penuh gairah, dan membuat jantung Amara nyaris berhenti. Itu bukan ciuman seorang kekasih. Itu adalah tanda milik. Sebuah deklarasi.

Namun di sela nafas yang terengah, Arga terdiam sejenak.

Ia menatap mata Amara.

Dan untuk sepersekian detik—hanya sekejap—ada keraguan. Ada luka.

“Saya enggak percaya cinta, Amara,” ucapnya lirih. “Jadi jangan berharap apa pun dari saya.”

“Saya enggak akan berharap,” jawab Amara, jujur.

Itu yang mematikan rem dalam tubuh Arga.

Ia membawa tubuh Amara perlahan ke tengah tempat tidur, mencumbu garis rahangnya, dada, perut, hingga pangkal paha dengan gerakan terukur, dominan, dan intens.

Gairah itu menyiksa. Tapi bukan karena sakit melainkan karena tidak diiringi rasa.

Amara menutup matanya.

Arga kembali mencium bibir Amara yang kali itu berubah menjadi sentakan. Nafas, desahan, dan tubuh yang beradu tanpa kasih, tapi penuh gairah.

Arga menguasai. Memimpin. Tapi tidak menyakiti.

Tangannya menjelajah lembut tapi pasti. Setiap sentuhan membuat tubuh Amara mengejang. Dada mereka saling bersentuhan, kulit pada kulit. Suara lembut keluar dari tenggorokan Amara, tanpa izin.

“Arga ...,” desahnya di antara napas yang memburu.

Arga berhenti sesaat. Tatapannya gelap, penuh badai.

“Jangan panggil nama saya seperti itu … kecuali kamu ingin saya kehilangan kendali.”

Amara langsung memejamkan mata, menggigit bibir. Dan saat itu, Arga menekannya penuh. Membuat tubuh mereka benar-benar menjadi satu.

Dentuman pertama itu menyakitkan. Tapi lebih menyakitkan lagi adalah fakta bahwa tubuhnya… menerimanya.

Arga sempat berhenti menatap wajah Amara sebentar.

“Kamu … perawan,” katanya dengan nada terkejut.

Amara tidak mempedulikan ucapan Arga itu karena tubuhnya sedang menggigil.

“Emh ….” Suaranya pecah. Tapi pelan-pelan, sakit itu berganti dengan sensasi asing yang membuatnya ingin merintih.

Arga bergumam rendah, mencium leher Amara sambil bergerak ritmis. Tak ada kata cinta. Hanya napas, detak, dan insting primitif yang tak bisa disembunyikan.

Di dalam kamar itu, suara napas, decak lembut, dan desahan pelan jadi bahasa baru yang tak mereka mengerti tapi tak bisa mereka hentikan.

Tubuh mereka menyatu. Keras dan lembut. Diam dan gaduh. Nafas dan luka.

Amara menggigit bibir saat lengannya melingkar lemah di punggung Arga. Entah sejak kapan… ia mulai menggigil bukan karena takut tapi karena menikmati.

Tubuh mereka saling mengisi. Saling melawan. Tapi pada akhirnya … menyerah.

Ketika semuanya reda dan napas mereka mulai tenang, Arga tidak bicara sepatah kata pun. Ia hanya bangkit dari ranjang, meraih kemejanya kembali, dan berjalan ke arah pintu.

“Sarapan pagi jam 6. Jangan terlambat.”

Pintu tertutup.

Amara berbaring terlentang, menatap langit-langit gelap.

Tangannya menyentuh bawah perutnya yang masih berdenyut.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   TAMAT

    Udara pagi itu hangat, seperti menyimpan restu yang tak terucap dari langit. Di pelataran rumah sederhana yang disulap menjadi tempat akad, kain putih dan bunga melati menggantung indah, menghias setiap sudut seperti senyum yang dipintal dari harapan.Di dalam kamar pengantin perempuan, Ima duduk di depan cermin, mengenakan kebaya putih gading yang sederhana namun membuat auranya memancar. Tangannya dingin, bahkan lebih dingin dari ujung jari penata rias yang tengah merapikan sanggulnya.“Sudah cantik sekali, Mbak Ima ….”“Kalau aku tiba-tiba pingsan pas ijab kabul gimana?” tanya Ima pelan.Penata rias terkekeh pelan. “Kalau Mbaknya pingsan, Mas Bayu juga mungkin ikut pingsan bareng.”Ima tertawa canggung. Di dalam hatinya, bergemuruh rasa yang tak bisa dibahasakan. Ia bukan gadis kota, tak biasa jadi pusat perhatian, apalagi mengenakan kebaya dengan selendang renda, duduk di kursi pengantin yang dikelilingi puluhan mata.“Aku cuma gadis biasa,” bisiknya pada pantulan diri di ce

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Semuanya Akan Berbalik

    Langit Amsterdam kelabu. Angin musim gugur meniup dedaunan kuning yang berputar-putar di jalanan sepi di distrik Noord.Di dalam sebuah apartemen tua berlantai tiga yang retaknya terlihat jelas dari luar, Cassandra duduk di tepi kasur kecil berlapis kain kumal, menatap jendela berkabut dengan mata kosong.Sudah dua minggu listrik dan air di tempat itu dimatikan. Uang simpanannya habis untuk membayar biaya hidup mereka sejak melarikan diri dari Indonesia. Sementara Rendy telah ditahan pihak kepolisian Belanda.Beberapa bulan sebelumnya, mereka berdua datang dengan paspor turis dan sisa tabungan Cassandra—uang hasil menjual mobil dan perhiasan yang dulu dibelikan keluarganya. Di awal, mereka menyewa apartemen murah di kawasan yang cukup terpencil. Cassandra berpikir bisa memulai hidup baru, mungkin mencari pekerjaan, menyamar sebagai istri WNI, atau menyewa identitas palsu.Tapi Rendy punya rencana lain.Dia mulai berhubungan dengan seorang pria dari lingkaran gelap. Rendy tergoda

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Arah

    Zeno berdiri di tepi pagar ketika Arga mulai melajukan kendaraannya, dengan tangan bersedekap dan senyum kecil menyambut mereka yang akan berangkat menuju rumah utama.“Kalian hati-hati di jalan ya,” ujar pria itu saat mobil Arga berhenti di depannya. “Terima kasih, Mas Zeno … untuk Aryana … untuk semuanya.” Zeno terkekeh kecil. “Santaiii. Gue cuma ingin liat sahabat gue bahagia.”“Lo enggak ikut mampir ke rumah?” tanya Arga kemudian.“Gue harus balik ke kantor. Masih ada jadwal meeting sore ini.”“Titip salam buat mbak Clara ya, Mas,” ujar Amara sambil tersenyum tipis.Zeno mengangguk. “Pasti. Dia akan senang dengar kamu pulang karena selama ini Arga uring-uringan terus sewaktu nyariin kamu.”Setelah berpamitan, Arga melajukan kendaraannya kembali dan dengan satu tarikan nafas panjang, mereka pun melanjutkan perjalanan terakhir siang itu—menuju rumah mereka sendiri.***Rumah itu berdiri megah tapi bersahaja, dengan desain kontemporer bernuansa hangat. Amara sempat menghe

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Pulang

    Langit siang itu cerah, tapi udara terasa lebih lembut dari biasanya. Seolah alam pun tahu bahwa hari ini akan menjadi awal baru bagi seseorang yang telah lama bersembunyi dari dunia.Amara berdiri di ambang pintu kamar, menatap koper besar yang sudah tertutup rapat. Di sisinya, Ima sedang melipat selimut kecil dan meletakkannya ke dalam tas kain berisi kebutuhan bayi. Di sisi lain, Arga sedang berbicara lewat telepon dengan nada serius—mengatur kepergian mereka semua ke Jakarta.“Aku sudah hubungi Bayu. Dia akan datang bawa mobil dan kursi roda untuk Ibu,” ucap Arga sambil menutup telepon.Dia menghampiri Amara lalu duduk di sebelahnya.Amara hanya mengangguk pelan. Pandangannya melayang ke luar jendela, ke halaman belakang Villa Bayu yang selama enam bulan terakhir menjadi tempat persembunyiannya—tempat ia lari dari pria yang selalu menyakiti hatinya, tempat ia menangis dalam sepi, dan tempat ia belajar menerima luka.“Aku akan kangen tempat ini,” gumamnya lirih.Arga menoleh.

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Keputusan Untuk Pulang

    Cahaya pagi menembus celah tirai kamar dan mendarat tepat di wajah Amara.Ia mengerjap perlahan, merasa hangat dan terkurung dalam pelukan yang kokoh. Nafas hangat menyentuh tengkuknya, dan ketika Amara menunduk sedikit, ia menyadari tubuhnya tak terlapisi sehelai kain pun.Kesadarannya kembali—tentang malam yang penuh desahan dan rintihan. Tentang sentuhan yang begitu familiar, tentang gairah yang meledak dan pelukan yang menenangkan setelahnya.Pelan-pelan, Amara menoleh ke belakang. Arga masih terlelap, wajahnya tampak damai dan tenang, seakan beban bertahun-tahun telah rontok bersamaan dengan malam itu. Tangan Arga masih memeluk pinggang Amara, dan kakinya terlilit di antara kaki Amara seperti berusaha memastikan perempuan itu tidak akan pergi lagi.Amara menggigit bibir bawahnya. Perasaan campur aduk menyerangnya—antara malu, bersalah, canggung, dan mungkin sedikit bahagia.Ia mencoba menarik tubuhnya perlahan, tapi Arga malah menariknya lebih erat. Suara baritonnya terdenga

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Demi Rembulan

    “Sebelum datang ke sini, saya ke rumah sakit dulu untuk menanyakan hasil tes dna dan ternyata hasilnya sudah keluar.” Arga menyimpan amplop di atas meja yang langsung Amara raih dan membukanya.Makan malam sudah selesai dan mereka pindah ke ruang televisi.Arga mengangkat Rembukan dari bouncer lalu memangkunya.Tidak ada penolakan atau gerakan gelisah meski Rembulan terus mendongak menatap Arga seakan sedang merekam baik-baik wajah yang jadi sering ada itu.“Dia memang anak kandung Rendy, hasilnya cocok.” Arga berujar kembali sebelum selesai Amara membaca seluruh tulisan di dalam kertas.“Syukurlaaaah ….” Amara mendesah lega.Ima memberikan Aryana kepada Amara. “Kamu makan dulu, Ma.” “Baik, Bu.” Amara langsung memakai apron menyusui untuk menyusui Aryana sementara ibu Sumiati menundukan kepala dengan mata terpejam di kursi rodanya seperti sedang bicara dengan sang Maha Pencipta mungkin mengucapkan banyak rasa syukur karena Aryana-cucunya bisa diselamatkan dan bisa berkumpu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status